BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu Pengetahuan merupakan
anugerah yang sangat agung dan rahasia Illahi yang paling besar dari sekian
banyak rahasia Allah di alam ini. Allah menciptakan dan membentuk manusia
dengan perangkat akal dan pikiran yang responsif terhadap berbagai fenomena
kehidupan di muka bumi, beserta berbagai macam tanda kebesaran-Nya di jagad
raya. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dikukuhkan menjadi pembawa risalah
kekhalifahan di muka bumi, yang memiliki kewajiban untuk memakmurkan dan
mengembangkannya. Dengan dinamika kehidupan dan berbagai pernak-perniknya,
berdasarkan petunjuk Rabb-Nya, selaras dengan manhaj dan arahan-Nya, sehingga
proses pencarian maupun pengamalan Ilmu Pengetahuan dapat dikategorikan sebagai
ibadah.
Berbicara tentang Ilmu
Pengetahuan dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ada persepsi bahwa Al-Qur’an
itu adalah kitab Ilmu Pengetahuan. Persepsi ini muncul atas dasar
isyarat-isyarat Al-Qur’an yang berkaitan dengan Ilmu Pengetahuan. Dari isyarat
tersebut sebagian para ahli berupaya membuktikannya dan ternyata mendapatkan
hasil yang sesuai dengan isyaratnya, sehingga semakin memperkuat persepsi
tersebut.[1]
B. Rumusan Masalah
Menjelaskan Al-Qur’an
surat Al-Mujadalah ayat 11
MenjelaskanAl-Qur’an surat
Al-Fathir ayat 27-28
Menjelaskan Al-Qur’an
surat An-Nahl ayat 79
Menjelaskan Al-Qur’an
surat Al-Mulk ayat 1-5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$#
(#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? †Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù
Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râ“à±S$# (#râ“à±S$$sù Æìsùötƒ ª!$#
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_u‘yŠ 4
ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ
Artinya : Hai orang-orang
beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”,
Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila
dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Kata (تفسّحوا) tafassahu dan (افسحوا ) ifsahu terambil dari kata (فسح) fasaha, yakni lapang. Sedang kata (انشزوا) unsyzu terambil dari kata (نشوز) nusyuz, yakni tempat yang tinggi. Perintah tersebut pada
mulanya berarti beralih ke tempat yang tinggi. Yang dimaksud di sini pindah ke
tempat lain untuk memberi kesempatan kepada yang lebih wajar duduk atau berada
di tempat yang wajar pindah itu atau bangkit melakukan satu aktifitas positif.
Ada juga yang memahaminya berdirilah dari rumah Nabi, jangan lama-lama di sana,
karena boleh jadi ada kepentingan Nabi SAW yang lain dan yang perlu segera
beliau hadapi.
Kata ( مجالس) majalis adalah bentuk jamak dari kata ( مجلس) majlis. Pada mulanya berarti tempat duduk. Dalam konteks ayat
ini adalah tempat Nabi Muhammad SAW. memberi tuntunan agama ketika itu. Tetapi,
yang dimaksud di sini adalah tempat keberadaan secara mutlak, baik tempat duduk,
tempat berdiri, atau bahkan tempat berbaring. Karena, tujuan perintah atau
tuntunan ayat ini adalah memberi tempat yang wajar serta mengalah kepada
orang-orang yang dihormati atau yang
lemah. Seorang tua non-muslim sekalipun jika Anda-wahai yang muda-duduk di bus
atau di kereta, sedang dia tidak mendapat tempat duduk, adalah wajar dan
beradab jika Anda berdiri untuk memberinya tempat duduk.
Ayat di atas tidak
menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan derajat orang berilmu.
Tetapi, menegaskan bahwa mereka memiliki derejat-derajat, yakni yang lebih
tinggi daripada yang sekedar beriman. Tidak disebutnya kata meninggikan itu
sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang dimilikinya itulah yang berperan
besar dalam ketinggian derajat yang diperolehnya, bukan akibat dari faktor di
luar ilmu itu.
Tentu saja, yang dimaksud
dengan ( الّذين اوتواالعلم) alladzina utu al-‘ilm/ yang diberi pengetahuan adalah mereka
yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini berati ayat di
atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang pertama sekadar
beriman dan beramal saleh dan yang kedua beriman dan beramal saleh serta
memiliki pengetahuan. Derajat kelompok yang kedua ini menjadi lebih tinggi,
bukan saja karena nilai ilmu yang disandangnya, tetapi juga amal dan
pengajarannya kepada pihak lain, baik secara lisan, atau tulisan, maupun dengan
keteladanan. Ilmu yang di maksud oleh ayat di atas bukan saja ilmu agama,
tetapi ilmu apapun yang bermanfaat.[2]
Kata ilmu berasal dari
bahasa Arab ‘Ilmu yang berarti pengetahuan, merupakan lawan kata jahl yang
berarti ketidaktahuan atau kebodohan. Sumber lain mengatakan bahwa kata ‘ilmu
adalah bentuk masdar dari ‘alima, ya’lamu-‘ilman. Menurut Ibn Zakaria,
pengarang buku Mu’jam Maqayis al-Lughab bahwa kata ‘ilm mempunyai arti
denotatif “bekas sesuatu yang dengannya dapat dibedakan sesuatu dari yang
lainnya”. Menurut Ibn Manzur ilmu adalah antonim dari tidak tahu (naqid
al-jahl), sedangkan menurut al-Asfahani dan al-Anbari, ilmu adalah mengetahui
hakikat sesuatu (indrak al-sya’i bi haqq qatib). Kata ilmu biasa disepadankan
dengan kata Arab lainnya, yaitu ma’rifah (pengetahuan), fiqh (pemahaman),
hikmah (kebijaksanaan), dan syu’ur (perasaan). Ma’rifah adalah padanan kata
yang paling sering digunakan.
Ada dua jenis pengetahuan,
yaitu:
Pengetahuan biasa
Pengetahuan biasa
diperoleh dari keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan, sepperti perasaan,
pikiran, pengalaman, panca indra, dan intuisi untuk mengetahui sesuatu tanpa
memperhatikan obyek, cara dan kegunaannya.
2. Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan ilmiah
merupakan keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan untuk mengetahui sesuatu, tetapi
dengan memperhatikan obyek yang ditelaah, cara yang digunakaan, dan kegunaan
pengetahuan.[3]
وَاللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Allah mengetahui segala
perbuatanmu. Tidak ada samar bagi-Nya, siapa yang taat dan siapa yang durhaka
di antara kamu. Orang yang berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan, dan orang
yang berbuat buruk akan dibalas-Nya dengan apa yang pantas baginya, atau diampuni-Nya.[4]
Dari ayat tersebut dapat
diketahui tiga hal sebagai berikut:
1. Pertama, bahwa para sahabat berupaya
ingin saling mendekat pada saat berada di majelis Rasulullah SAW, dengan tujuan
agar ia dapat mudah mendengar wejangan dari Rasulullah SAW yang diyakini bahwa
dalam wejangannya itu terdapat kebaikan yang amat dalam serta keistimewaan yang
agung.
2. Kedua, bahwa perintah untuk saling
meluangkan dan meluaskan tempat ketika berada di majelis, tidak saling
berdesakan dan berhimpitan dapat dilakukan sepanjang dimungkinkan, karena cara
damikian dapat menimbulkan keakraban di antara sesama orang yang berada di
dalam majelis dan bersama-sama dapat mendengar wejangan Rasulullah SAW.
3. Ketiga, bahwa pada setiap orang yang
memberikan kemudahan kepada hamba Allah yang ingin menuju pintu kebaikan dan
kedamaian, Allah akan memberikan keluasan kebaikan di dunia dan
akhirat.Singkatnya ayat ini berisi perintah untuk memberikan kelapangan dalam
mendatangkan setiap kebaikan dan memberikan rasa kebahagiaan kepada setiap
orang islam.Atas dasar inilah Rasulullah SAW menegaskan bahwa Allah akan selalu
menolong hamba-Nya, selama hamba tersebut selalu meolong sesama saudaranya.[5]
B. Al-Qur’an surat Al-Fathir ayat 27-28
óOs9r& ts? ¨br&
©!$# tAt“Rr& z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB $oYô_t÷zr'sù ¾ÏmÎ/ ;NºtyJrO
$¸ÿÎ=tFøƒ’C $pkçXºuqø9r& 4 z`ÏBur ÉA$t6Éfø9$# 7Šy‰ã` ÖÙ‹Î/ ÖôJãmur
ì#Î=tFøƒ’C $pkçXºuqø9r& Ü=ŠÎ/#{xîur ׊qß™ ÇËÐÈ
Artinya :Tidakkah kamu
melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu Kami hasilkan dengan
hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung
itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula)
yang hitam pekat.
Kata ( جدد) judad adalah bentuk jamak dari kata ( جدّة) juddah yakni jalan. Kata ( بيض) bidh adalah bentuk jamak dari kata (أبيض) abyadh, kata (سود) adalah bentuk jamak dari kata (أسود) aswad/ hitam, dan kata ( حمر) humur adalah bentuk jamak dari kata ( أحمر) ahmar. Adapun kata ( غرا بيب)
gharabib adalah bentuk jamak dari kata ( غربيب) ghirbib yaitu yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah
yang lumrah dipakai adalah ( سودغرابيب) sud
gharabib/ hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya untuk menggambarkan
kerasnya kepekatan itu.[6]
Pada ayat ini Allah
menguraikan beberapa hal yang menunjukkan kesempurnaan dan kekuasaan-Nya, yang
dapat dilihat manusia setiap waktu. Jika mereka menyadari dan menginsafi
semuanya itu, tentu mereka akan menyadari pula keesaan dan kekuasaan Allah Yang
Maha Sempurna itu. Di antara tanda-tanda itu adalah Allah menjadikan sesuatu
yang beraneka macamnyayang bersumber dari yang satu. Allah menurunkan hujan
dari langit, sehingga tanaman bisa tumbuh dan mengeluarkan buah-buahan yang
beraneka ragam warna, rasa, bentuk, dan aromanya sebagaimana yang kita
saksikan. Buah-buahan itu warnanya ada yang kuning, merah, hijau dan
sebagainya.[7]
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$#
Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøƒèC ¼çmçRºuqø9r& šÏ9ºx‹x. 3 $yJ¯RÎ)
Óy´øƒs† ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 žcÎ) ©!$# ͕tã î‘qàÿxî
ÇËÑÈ
Artinya : Dan demikian
(pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada
Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun.
Al’alim adalah orang yang
sangat berpengetahuan atau orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam. Pada
mulanya akar kata yang terdiri dari kata (‘ain, lam, mim) artinya adanya bekas
pada sesuatu yang dengan bekas itu sesuatu tersebut berbeda dengan lainnya.
Tanda pada sesuatu disebut juga dengan alamat. ‘Alam juga berarti bendera atau
gunung, karena keduanya menjadi tanda. Kata ilmu juga terkait dengan arti akar kata ini, karena dengan ilmu seseorang
akan berbeda dengan orang yang tidak berilmu. Kata al ulama di tujukan kepada
orang yang mempunyai ilmu pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja.
Dalam konteks keislaman
biasanya ungkapan ini untuk menunjukkan kepada orang yang sangat dalam
pengetahuan agamanya.[8]
Dan setelah Allah
menyebutkan satu persatu tanda-tanda kebesaran, bukti-bukti kekuasaan dan
bekas-bekas penciptaan-Nya, maka Dia terangkan pula bahwa semua itu takkan di
ketahui sebaik-baiknya kecuali oleh orang-orang yang berilmu tentang rahasia
alam semesta yaitu orang-orang yang mengetahui tentang rincian-rincian ciptaan
Allah SWT. Mereka itulah yang paham akan hal itu sebaik-baiknya dan mengetahui
betapa keras hantaman Allah dan betapa besar tekanan-Nya.
Ada sebuah asar yang
diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa dia
berkata, “orang yang berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di antara
hamba-hamba-Nya ialah orang yang tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun,
menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang
diharamkan-Nya, memelihara wasiat-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu
dengan-Nya dan memperhitungkan amalnya.”
Sedang Hasan Al-Basri
berkata, “Orang yang berilmu ialah orang yang takut kepada Allah Yang Maha
Pengasih, sekalipun dia tidak mengetahui-Nya. Dan menyukai apa yang disukai
oleh Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.”[9]
C. Al-Qur’an Surat an-Nahl ayat 79
óOs9r& (#÷rttƒ
’n<Î) ÌøŠ©Ü9$# ;Nºt¤‚|¡ãB †Îû Èhqy_ Ïä!$yJ¡¡9$# $tB £`ßgä3Å¡ôJムžwÎ) ª!$#
3 ¨bÎ) ’Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqãYÏB÷sムÇÐÒÈ
Artinya : Tidakkah mereka memperhatikan burung-burung
yang dimudahkan terbang diangkasa bebas. tidak ada yang menahannya selain
daripada Allah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang beriman.
Ayat ini menggambarkan
betapa luasnya kekuasaan Allah SWT melalui burung-burung yang ditundukkan di
udara antara langit dan bumi, tidak ada yang menahannya di angkasa dari jauh ke
bumi, kecuali Allah Azza wa Jalla dengan kekuasaannya yang luas. Padahal tubuhnya
yang berat dan udara yang ringan menharuskan dia untuk jatuh, karena tidak ada
gantungan di atasnya dan tidak ada tiang di bawahnya. Sekiranya saja Allah
mengambil kekuatan untuk terbang yang telah Dia berikan kepadanya niscaya dia
tidak akan kuasa untuk terbang tinggi.
Ulama dahulu mengetahui
adanya kerenggangan atmosfir di lapisan-lapisan atas di angkasa. Ini adalah
sebuah teori yang baru dipelajari dewasa ini di dalam ilmu-ilmu fisika. Ka’ab
Al-Ahbar mengatakan, burung terbang di angkasa setinggi dua belas mil, tidak
lebih dari itu.
Sesungguhnya pada
penundukan dan penahanan burung di angkasa benar-benar terdapat dalil, bahwa
tidak ada Tuhan selain Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya dan bahwa patung-patung
serta berhala tidak mempunyai bagian di dalam uluhiyyah. Dalil tersebut bagi
orang yang beriman kepada Allah, dan mengakui-Nya dengan adanya apa yang
terlihat oleh padanya mata dan terindra oleh indra-indra mereka.[10]
D. Al-Qur’an Surat al-Mulk ayat 1-5
x8t»t6s? “Ï%©!$# Ínωu‹Î/
à7ù=ßJø9$# uqèdur 4’n?tã Èe@ä. &äóÓx« íƒÏ‰s% ÇÊÈ “Ï%©!$# t,n=y{ |NöqyJø9$# no4qu‹ptø:$#ur
öNä.uqè=ö7u‹Ï9 ö/ä3•ƒr& ß`|¡ômr& WxuKtã 4 uqèdur Ⓝ͕yèø9$#
â‘qàÿtóø9$# ÇËÈ “Ï%©!$# t,n=y{ yìö7y™
;Nºuq»yJy™ $]%$t7ÏÛ ( $¨B 3“ts? †Îû È,ù=yz Ç`»uH÷q§9$# `ÏB ;Nâq»xÿs? ( ÆìÅ_ö‘$$sù
uŽ|Çt7ø9$# ö@yd 3“ts? `ÏB 9‘qäÜèù ÇÌÈ
§NèO ÆìÅ_ö‘$# uŽ|Çt7ø9$# Èû÷üs?§x. ó=Î=s)Ztƒ y7ø‹s9Î) çŽ|Çt7ø9$#
$Y¥Å™%s{ uqèdur ׎šym ÇÍÈ ô‰s)s9ur
$¨Zƒy— uä!$yJ¡¡9$# $u‹÷R‘‰9$# yxŠÎ6»|ÁyJÎ/ $yg»oYù=yèy_ur $YBqã_â‘
ÈûüÏÜ»u‹¤±=Ïj9 ( $tRô‰tGôãr&ur öNçlm; z>#x‹tã ÎŽÏè¡¡9$# ÇÎÈ
Artinya : 1. Maha suci
Allah yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala
sesuatu, 2. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
3. Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak
melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka
lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? 4.
Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan
payah. 5. Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang, dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.
Yang dimaksud dengan
“tangan” dalam ayat ini adalah sifat Allah, bukan nikmat dan kodrat-Nya. Dia
adalah benar-benar tangan-Nya secara hakiki, tanpa mempertanyakan bagaimana
bentuknya. Tangan yang tidak serupa dengan semua ciptaan-Nya yang akan
mengelola kerajaan-Nya sesuai yang Dia kehendaki.
Allah Ta’ala memuliakan
diri-Nya sendiri dan memberitahukan bahwa kerajaan itu terletak di tangan-Nya. Dialah
Yang Mengatur semua makhluk-Nya sesuai dengan yang Dia kehendaki. Tiddak ada
yang dapat menolak ketetapan-Nya. Dan, Dia tidak akan ditanya tentang
perbuatan-Nya, karena Dia adalah Mahakuasa, Mahabijaksana, Mahaadil. Itulah
sebabnya Allah Ta’ala berfirman, “Dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.”
Kemudian Allah Ta’ala
berfirman, “Yang menjadikan mati dan hidup.” Ayat ini menjadi dalil bagi orang
yang mengatakan bahwa kematian itu adalah sesuatu yang wujud karena dia adalah
makhluk. Adapun makna ayat ini adalah sesungguhnya Dialah yang telah mewujudkan
semua makhluk dari yang asalnya tidak ada, dengan tujuan menguji mereka,
siapakah di antara mereka yang paling bagus amalnya. Hal ini sebagaimana
firman-Nya, “Bagaimanakah mungkin kamu kafir kepada Allah, sedangkan kamu
sebelumnya adalah mati, kemudian Dia menghidupkan kamu.” Allah mengistilahkan
keadaan yang pertama, yaitu “tidak ada”, dengan kematian. Dan mengistilahkan
“kejadian” ini kehidupan. Itulah sebabnya Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian
Allah mematikan kamu kemudian menghidupkan kamu.”
Dan firman Allah
SWT,”Supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya,”
dalam ayat ini Allah tidak mengatakan yang paling banyak amalnya. Kemudian
Allah SWT berfirman,“Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” Yaitu Dialah
Yang Mahaperkasa, Yang Mahaagung, dan zat Yang Mahagagah. Walaupun demikian,
Dia adalah Yang Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat kepada-Nya dan kembali
setelah sebelumnya menduharkai dan menentang perintah-Nya.
Kemudian firman Allah SWT,
“Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis.” Yaitu satu tingkat demi
satu tingkat. Namun, apakah mereka sambung menyambung, dengan kata lain, apakah
sebagiannya berada di atas sebagian yang lain, ataukah terpisah oleh suatu ruang
yang hampa. Ada dua pandangan mengenai masalah ini, namun yang paling kuat
adalah pendapat yang kedua, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh hadits isra
Nabi SAW. Kemudian Firman Allah Ta’ala, “Kamu sama sekali tidak melihat pada
ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang.” Yaitu, padanya
tidak ikhtilaf, kesimpangsiuran, pertentengan, kekurangan, aib, dan cacat.
Itulah sebabnya selanjutnya Allah Ta’ala berfirman, “Maka lihatlah
berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” Yaitu, lihatlah
ke langit, kemudian renungkanlah, apakah kamu melihat ada aib, kekurangan,
cacat, atau keretakan di sana?
Kemudian firman Allah SWT,
“Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu
dengan tidak menemukan sesuatu cacat.” Yaitu, bila kamu memandang dengan
berulang-ulang sesuai dengan kehendak kamu, maka pastilah pandanganmu itu akan
kembali dengan tidak melihat suatu cacat dan aib apapun. “Dan penglihatanmu itu
pun dalam keadaan payah.” Sebab, terlalu sering mengulang-ulang pandangan dan
tidak juga mendapatkan kekurangan di sana. Manakala Allah menegaskan bahwa di
sana tidak terdapat kekurangan apapun maka Allah pun segera menjelaskan
kesempurnaan dan keindahannya. Firman Allah, “Sesungguhnya Kami telah menghias
langit yang dekat dengan bintang-bintang,” yaitu bintang gemintang yang
ditempatkan di sana, baik yang beredar maupun yang tetap.
Firman Allah Ta’ala, “Dan
Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar setan.” Maksudnya dengan
sejenis bintang, bukan dengan bintang itu sendiri, sebab setan itu tidak
dilempari dengan bintang-bintang yang ada di langit, tetapi dengan bola-bola
api yang ada di bawahnya. Dan, kadang-kadang pelempar itu merupakan pecahan
dari bintang itu sendiri.
Firman Allah Ta’ala, “Dan
Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.” Yaitu, Kami jadikan
kehinaan di dunia ini untuk setan-setan itu dan akan Kami sediakan di akhirat
nanti siksa yang menyala-nyala. Qatadah mengatakan, “Bintang-bintang ini
diciptakan hanyalah untuk tiga fungsi. Diciptakan Allah untuk menghiasi langit,
melempari setan-setan, dan tanda-tanda yang dapat dipakai sebagai petunjuk.
Orang yang menakwilkan di luar dari tiga hal ini, berarti dia mengatakan
berdasarkan nalarnya saja, tersesat, menyia-nyiakan nasibnya, dan membebani
diri dengan sesuatu yang tidak diketahuinya.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian ayat-ayat di
atas, dapat ditarik kesimpulan diantaranya:
1. Allah akan lebih meninggikan derajat
orang-orang yang beriman serta berilmu pengetahuan, dibandingkan dengan
orang-orang yang hanya sekedar beriman saja.
2. Ada dua jenis pengetahuan, yaitu
pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah.
3. Ulama’ adalah orang yang mempunyai ilmu
pengetahuan yang luas dalam bidang apa saja.
4. Sumber ilmu pada garis besarnya ada dua,
yaitu:
a. Ilmu yang bersumber pada wahyu
(al-Qur’an) yang menghasilkan ilmu naqli.
b. Ilmu yang bersumber pada alam melalui
penalaran yang menghasilkan ilmu aqli.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghiy, Ahmad
Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XIV. Semarang: Toha Putra, 1989
Al-Maraghiy, Ahmad
Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXII. Semarang: Toha Putra, 1992
Al-Maraghiy, Ahmad
Musthafa, Tafsir Al-Maraghiy juz XXVIII. Semarang: Toha Putra, 1989
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib,
Tafsir Ibnu Katsir jilid IV. Jakarta:
Gema Insani Press, 2000
Departemen Agama RI,
Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid VIII. Jakarta: Lentera Abadi, 2010
Munir, Ahmad, Tafsir
Tarbawi cet.1. Yogyakarta: Teras, 2008
Nata, abuddin, Tafsir
Ayat-ayat Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Shihab, M.Quraish, Tafsir
Al-Misbah vol. 13. Jakarta: Lentera Hati, 2002
[1] Dr. Ahmad Munir, MA,
Tafsir Tarbawi cet.I (Yogyakarta: Teras,
2008), hlm. 80
[2] M. Quraish Shihab,
Tafsir Al-Mishbah, Vol. 13 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 490-491
[3] Abuddin Nata, Tafsir
Ayat-Ayat Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafido Persada, 2002), hlm. 155-156
[4] Ahmad Musthafa
Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghiy, juz XXVIII, (semarang: CV Toha Putra, 1989),
hlm. 26
[5] Abuddin Nata, op.cit.,
hlm. 29
[6] M. Quraish Shihab,
op.cit., hlm. 464
[7] Kementrian Agama RI,
Al-Qur’an dan Tafsirnya, jilid VIII, (Jakarta: Lentera Abadi, 2010), hlm. 161
[8] Kementrian Agama RI,
Ibid., hlm. 160
[9] Ahmad Musthafa
Al-Maraghiy, juz XXII, op.cit., hlm. 219-220
[10] Ahmad Musthafa
Al-Maraghiy, juz XIV, op.cit., hlm. 212-213
[11] M. Nasib ar- Rifa’i,
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, jilid IV, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000),
hlm. 762-763