MAKALAH SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

.BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan. Da’wah bil hal atau keteladanan. Selanjutnya, ketika agama ini kian berkembang, di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al-Qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya.

Dan pada saat kekuasaan politik Islam semakin kokoh dengan munculnya kerajaan-kerajaan Islam, pendidikan semakin meroleh perhatian.

Maka dalam makalah ini, penulis akan menjelaskan beberapa bagian penting yang terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan pendidika Islam di Indonesia, yaitu: pendidikan Islam masa permulaan, pertumbuhan dan perkembangan Islam; (1) Masa kerajaan Islam (2) Masa kerajaan Islam di Jawa (3) Metode pendidikan Islam Walisongo serta Masa kerajaan Islam di bagian Timur.


B.     Rumusan Masalah

            Berdasarakan latarbelakang di atas dapat dirumuskan rumusan maslah dalam makala ini yaitu : 

1.      Memenuhi tugas terstruktur pada mata kuliah Sejarah pendidikan Islam.

2.      Bagaimana pendidikan Islam pada masa permulaan.

3.      Bagaimana pertumbuhan dan Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia.


C.     Tujuan Pembahasan

1.      Memahami bagaimana pendidikan Islam pada masa permulaan.

2.      Memahami bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia.



BAB II

PEMBAHASAN

PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A.     PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PERMULAAN

Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia atau proses Islamisasi di Indonesia melalui beberapa cara atau saluran, yaitu:

1.      Perdagangan

Sejak abad ke-7 M, para pedagang Islam dari Arab, Persia, dan India telah ikut ambil bagian dalam kegiatan perdagangan di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan perdagangan antara masyarakat dan para pedagang Islam. Di samping berdagang, para pedagang Islam dapat menyampaikan dan mengajarkan agama dan budaya Islam kepada orang lain termasuk masyarakat Indonesia Politik

Setelah tersosialisasinya agama Islam, maka kepentingan politik dilaksanakan melalui perluasan wilayah kerajaan, yang diikuti pula dengan penyebaran agama Islam.

2.      Tasawwuf

 Para ahli tasawwuf hidup dalam kesederhanaan, mereka selalu berusaha untuk menghayati kehidupan masyarakatnya dan hidup bersama-sama di tengah-tengah masyarakatnya. Para ahli tasawuf ini biasanya memiliki keahlian yang dapat membantu kehidupan masyarakat, di antaranya ahli menyembuhkan penyakit dan lain-lain. Mereka juga aktif menyebarkan dan mengajarkan agama Islam. Penyebaran agama Islam yang mereka lakukan disesuaikan dengan kondisi, alam pikiran, dan budaya masyarakat pada saat itu, sehingga ajaran-ajaran Islam dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat. Ahli tasawwuf yang memberikan ajaran agama Islam yang disesuaikan dengan alam pikiran masyarakat setempat antara lain Hamzah Fansuri di Aceh dan Sunan Panggung di Jawa


Pada tahap awal pendidikan Islam berlangsung secara informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan. Para Mubaligh banyak memberikan contoh teladan dalam sikap hidup meeka sehari-hari. Para Mubaligh itu menunjukkan akhlaqul karimah, sehingga masyarakat yang didatangi menjadi tertarik  untuk mememluk Agama Islam dan mencontoh perilaku mereka.


Beberapa faktor yang mempermudah perkembangan Islam di Indonesia antara lain sebagai berikut:

1.      Dalam ajaran agama Islam tidak dikenal adanya perbedaan golongan dalam masyarakat. Masyarakat mempunyai kedudukan yang sama sebagai Hamba Allah. Walaupun demikian, ajaran agama Islam kurang meresap di kalangan Istana, hal ini dibuktikan dengan masih adanya praktek-praktek feodalisme khususnya di lingkungan keratin Jawa.

2.      Agama Islam cocok dengan jiwa pedagang. Dengan memeluk Islam maka hubungan di antara para pedagang semakin bertambah erat, sesuai dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa setiap orang itu bersaudara.

3.      Sifat bangsa Indonesia yang ramah tamah memberi peluang untuk bergaul lebih erat dengan bangsa lain. Dengan pendekatan yang tepat, maka bangsa Indonesia dengan mudah dapat menerima ajaran agama Islam.

4.      Islam dikembangkan dengan cara damai. Pendekatan secara damai akan lebih berhasil dibandingkan secara paksa dan kekerasan.


B.     PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN ISLAM MASA KERAJAAN

1.      Masa kerajaan Islam di Sumatera

Kerajaan di Sumatera meliputi kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Perlak, dan kerajaan Aceh Darussalam. Ketiaga kerajaan tersebut berada di Aceh, daerah paling ujung dari Sumatera.

KerajaanSamudera Pasai  yang didirikan pada abad ke-10 M. Raja pertamanya Al-Malik Ibrahim bin Mahdum yang kedua bernama Malik Al-shaleh dan yang terakhir bernama Al-Malik Sabar Syah (tahun 1444 M/ abad ke 15 H).[1]

Pada tahun 1345 M, Ibnu Batutah dari Maroko, mengelilingi dunia dan singgah dikerajaan pasai pada zaman Al-Malik Al-Zahir, raja yang sangat terkenal sangat alim dalm ilmu agama dan bermazhab Syafi’I. mengadakan perjanjian sampai waktu ashar serta fasih berbahasa arab, cara hidupnya sederhana.[2]

Pada abad ke-14 M merupakan zaman kejayaan kerajaan Samudera Pasai, sehingga pada waktu itu pendidikan juga tentu mendapat tempat/ perhatian tersendiri.

Kerajaan Islam yang kedua di Indonesia adalah Perlak di Aceh, rajanya yang pertama Sultan Alaudin (th 1161-1186 H/abad 12 M). antara Pase dengan Perlak terjalin kerjasama yang baik sehingga seorang raja Pase kawin denganputri raja Perlak.

Berita perjalanan Marco Polo seorang berkebangsaan Italia pengelilingi dunia, pernah singga di Perlak pada tahun 1292 M. Dia menerangkan bahwa Ibukota Perlak ramai dikunjungi pedagang Islam dari Timur Tengah, Parsi dan India, yang sekaligus melakukan tugas-tugas dakwah.

Rajanya yang ke enam bernama Sultan Mahdum Alauddin Muhammad Amin, adalah seorang ulama yang mendirikan Perguruan Tinggi Islam. Suatu lembaga majlis taklim tinggi dihadiri kusus oleh para murid yan sudah alim. Lembaga tersebut mengajarkan dan membacakan kitab-kitab agama yang berbobot pengetahuan tinggi. Misalnya : kitab Al-Um karangan imam Syafi’i dan lain-lain.[3]

Sultan Ali Muhayyat Syah adalah sultan pertama Aceh yang membesarkan kerajaan Aceh. Puncak kebesaran Aceh terjadi pada masa sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang menguasai seluruh pelbuhan di pesisir timur Sumatera sampai Asahan dan pantai Sumatera Barat.[4]

Dalam bidang pendidikan di Kerajaan Aceh Darussalam adalah benar-benar mendapat perhatian. Pada saat itu terdapat lembaga-lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan Ilmu pengetahuan, diantaranya:

Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, ahli pikir dan cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.

Balai Seutia Ulama, merupakan jawaban pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran.

Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu kependidikannya

Samudera pasai, malaka, dan Aceh merupakan pusat-pusat pendidikan dan pengajaran agama Islam. Dari sinilah ajaran Islam tersebar keseluruh nusantara melalui karya ulama-ulamanya serta murid-murid yang menuntut ilmu kesana.[5]

2.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan Islam di Jawa meliputi Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten. Pendidikan Islam yang berlangsung di kerajaan demak, Pajang dan Mataram beriringan dengan kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para ulama dan para wali. Raden fatah, raja pertama kerajaan demak, adalah santri perguruan Islam Denta.

Kesultanan Demak mencapai zaman kemajuannya pada kekuasaan sultan Trenggono yang berkuasa tahun 1524- 1546. Demak berkembang menjadi kerajaan terkemuka dan pusat islamisasi. Masjid Demak terkenal sebagai tempat berkumpulnya berkumpulnya Walisongo yang dianggap paling berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa.[6]

Sistem pelaksanaarn pendidikan dan pengajaran agama Islam di Demak mempunyai kemiripan dengan pelaksanaannya di Aceh, yaitu dengan mendirikan masjid di tempat-tempat sentral di suatu daerah. Disana diajarkan pendidikan agama dibawah pimpinan seorang Badal untuk untuk menjadi guru, yang menjadi pusat pendidikan dan pengajaran serta sumber agama Islam.[7]

Kitab-kitab agama Islam di zaman Demak yang masih dikenal ialah Primbon atau notes, berisi segala macam catatan tentang ilmu-ilmu agama, macam-macam doa, bahkan juga tentang ilmu obat-obatan, ilmu ghaib dan sebagainya. Ada juga kitab-kitab yang dikenal dengan nama: Suluk Sunan Bonang, Suluk sunan Kalijaga, Wasita Jati Sunan Geseng dan lain-lain. Semuanya itu berisi diktat didikan dan ajaran mistik(tasawuf) Islam dari masing-masing sunan itu ditulis dengan tangan.[8]

Pada zaman kerajaan Mataram, pendidikan sudah mendapat perhatian sedemikian rupa, seolah-olah tertanam semacam kesadaran akan pendidikan pada masyarakat kala itu. Meskipun tidak ada semacam undang-undang wajib belajar, tapi anak-anak usia sekolah tampaknya harus belajar pada tempat-tempat pengajian di desanya atas kehendak orang tuanya sendiri. Ketika itu hampir disetiap desa diadakan tempat pengajian alquran, yang diajarkan huruf hijaiyah, membaca alquran, barzanji,, pokok dan dasar-dasar ilmu agama Islam dan sebagainya. Adapun cara mengajarkannya adalah dengan cara hafalan semata-mata. Di setiap tempat pengajian dipimpin oleh guru yang bergelar modin. Selain pelajaran alquran, juga ada tempat pengajian kitab, bagi murid-murid yyang telah khatam mengaji alquran. Tempat pengajianya disebut pesantren.[9]

3.      Metode/pendekatan Pendidikan Islam Wali Songo

Ada beberapa jenis pendekatan pendidikan yang dilakukan Walisongo dalam mengajarkan agama Islam, yaitu modeling, substantive, tidak diskriminatif, understable and applicable, dan pendekatan kasih sayang.[10]

a)      Pendekatan Modelling

Modelling diartikan sebagai model, contoh, panutan. Artinya dalam menyampaikan ajaran Islam tidak hanya sekedar memberitahu hal-hal yang sifatnya hanya kognitif semata, tetapi juga dengan cara memberikan contoh. Islam adalah ajaran nilai yang mana tidak akan berguna jika hanya digunakan sebatas pada pengetahuan kognitif saja. Dengan kata lain inti dari pendidikan Islam adalah internalisasi nilai-nilai ke-Islaman. Oleh karena itu perlu adanya sebuak objek yang bisa dijadikan teladan atau panutan.

Dalam dunia Islam Rosululloh adalah seorang pemimpin yang tidak diragukan lagi. Karena kemuliaan akhlaknya beliau dijadikan sebagai sumber referensi pola kehidupan sehari-hari umat Islam. Dia juga orang yang memiliki pengaruh besar terhadap peradaban manusia. Bangsa Arab yang dahulu berwatak jahiliyah berangsur-angsur berubah karena keteladanannya. Bahkan seorang penulis buku terkenal memposisikan Nabi Muhammad SAW sebagai orang paling berpengaruh nomor satu dalam sejarah peradaban manusia.

Di Jawa, dalam masyarakat santri, kepemimpinan Rosululloh diterjemahkan dan diteruskan oleh para Walisongo yang dikemudian hari sampai kini menjadikan mereka sebagai kiblat kedua setelah Nabi.


Yang perlu ditegaskan adalah bahwa modelling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat Jawa. Walisongo sebagai penyebar ajaran Islam yang juga menjadi kiblat kaum santri sudah barang tentu berkiblat pada para guru besar dan kepimpinan muslimin, Nabi Muhammad SAW. Kekuatan modelling ditopang dan sejalan dengan sistem nilai Jawa yang mementingkan  paternalisme (sistem kepemimpinan berdasarkan hubungan bapak dan anak) dan patron-client relation (hubungan pelindung-klien/yang dilindungi) yang sudah mengakar dalam budaya masyarakat Jawa.

b)      Pendekatan Substantif

Di zaman serba modern seperti sekarang ini, pendidikan mempunyai kedudukan amat penting di dalamnya. Sebab tanpa pendidikan manusia tidak dapat mencapai prestasi yang begitu tinggi dalam membangun peradaban. Suatu peradaban yang maju dan berkembang adalah peradaban yang di dalamnya menjunjung tinggi pendidikan.

Namun yang menjadi problem, dan hal ini yang terkadang menimbulkan adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasi suatu ilmu pengetahuan adalah terjadinya perselisihan dalam perbedaan pandangan pengetahuan yang cenderung tidak substantif. Padahal hal tersebut seharusnya tidak begitu terlalu dipermasalahkan. Masih banyak permasalahan yang perlu dibahas terkait dengan substansi dari pada bentuk luarnya.

Pendekatan substantif adalah pendekatan yang dalam pengajarannya lebih mengutamakan materi pokok / inti pokok pengajaran. Dalam Islam ajaran tauhid adalah satu materi pokok yang disjikan sejak awal. “Karena lebih mengutamakan pendekatan substantive maka jika terlihat pendekatan Walisongo sering menggunakan elemen-elemen non-Islam, sesungguhnya hal ini adalah means atau a matter of approach, atau alat untuk mencapai tujuan yang tidak mengurangi substaisi dan signifikansi ajaran yang diberikan. Dengan kata lain, wisdom dan mau`idhah hasanah adalah cara yang dipilih sesuai dengan ajaran Al-Quran (An-Nahl : 125)”.[11]

Mungkin karena dengan pendekatan seperti itulah masyarakat Jawa dapat menerima Islam secara damai dan dapat tersebar luas di tanah Jawa. Jika ingin mendapatkan simpati dari orang asing maka kita harus mengetahui bagaimana karakteristik orang asing tersebut. Dan hal inilah yang dilakukan para Walisongo dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa.

c)      Tidak bersifat diskriminatif

Manusia adalah makhluk yang memiliki potensi sejak lahir. “aliran nativisme berpendapat bahwa perkembangan manusia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa manusia sejak lahir; pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah yang menentukan hasil perkembangannya.”[12]

“Sementara aliran emprisme berpendapat berlawanan dengan kaum nativisme karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia dewasa itu sama sekali ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan pengalaman yang diterimanya sejak kecil.”

Baik antara nativisme maupun empirisme masing-masing memiliki kebenaran dan argumen masing-masing. Di sini tidak akan mempertentangkan hal tersebut. Justru keduanya dipandang sebagai sesuatu yang saling melengkapi antara satu dengan yang lain.

Dalam Islam dikenal dengan istilah “fitrah”. Secara etimologis, asal kata fitrah dari bahasa Arab yaitu “fitratun” jamaknya “fitarun”, artinya perangai, tabiat, kejadian asli, agama, ciptaan. Fitrah juga terambil dari akar-akar “Al-Fathr” yang berarti belahan. Dari makna ini lahir akna-makna lain, antara lain “pencipta” atau “kejadian”.[13]

Sehubungan dengan kata fitrah tersebut ada sebuah hadits shohih diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah: “tidak ada satu anak pun yang dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR : Bukhori dan Muslim).[14]

Sesungguhnya manusia dihadapan Allah adalah sama, yang membedakan ialah kadar keimanannya. Salah satu kandungan dari Al Quran tersebut menjelaskan pada kita bahwasanya perbedaan individu tidak begitu dipersoalkan dalam Islam. Manusia dipandang memiliki kedudukan yang sama dengan manusia yang lain. Yang membedakan diantara keduanya ialah hanya ketakwaan terhadap Allah.

Konsep pendekatan yang diterapkan Walisongo dalam mengajarkan ajaran Islam juga sebenarnya mengambil dari kandungan tersebut. Dengan menganggap semua manusia sama, maka semuanya berhak untuk mendapatkan ilmu Islam dari mereka (Walisongo). Sehingga wajar jika kiranya Islam dikatakan sebagai agama yang rahmatan lil`alamiin, sebab tidak ada istilah diskriminasi dalam pembagian hak serta kewajiban bagi tiap individu.

Meskipun dikatakan sebagai pendidikan yang merakyat, namun pendidikan Islam Walisongo juga ditujukan pada penguasa. Keberhasilan Walisongo terhadap pendekatan yang terakhir ini biasanya terungkap dalam istilah poluler Sabdo Pandito Ratu yang berarti menyatunya pemimpin agaa dan pemimpin Negara. Dengan kata lain, dikotomi atau gap antara ulama dan raja tidak mendapatkan tempat dalam ajaran dasar Walisongo. Ajaran ini adalah warisan Sunan Kalijaga, tokoh yang mewariskan sistem kabupaten di Jawa.


d)      Understandable and applicable

Maksudnya adalah mudah dipahami dan dilaksanakan. Konsep pendidikan yang tidak muluk-muluk dan cara penyampaian yang sederhana namun mengena, lebih mudah untuk ditangkap oleh masyarakat yang sebagian besar masih rendah tingkat pemahamannya. Hal ini selaras dengan ajaran Nabi wa khatibinnas `ala qadri `uqulihim.

Proses penyampaian tidak hanya dengan ceramah tetapi juga menggunakan metode dan media lain. Seperti media pewayangan misalnya. Wayang sebenarnya tidak berasal dari Islam, namun dengan mengganti substansi wayang tersebut dengan inti ajaran Islam, maka proses pendidikan Islam masih dapat dilaksanakan. Ajaran rukun Islam dengan demikian dapat ditemukan dalam cerita pewayangan seperti syahadatain yang sering dipersonifikasikan dalam tokoh puntadewa, tokoh tertua diantara Pandawa dalam kisah Mahabarata. Puntadewa yang memiliki pusaka Jamus Kalimasada (Kalimasada : Kalimah Syahadat) digambarkan sebagai raja adil yang tulus ikhlas bekerja untuk kesejahteraan rakyatnya, yakni pemimpin yang konsisten antara kata dan perbuatannya. Tingkah laku yang tidak munafik ini (beriman) adalah refleksi lips of faith.


e)      Pendekatan kasih sayang

Mendidk bukanlah sekedar transfer ilmu pengetahuan dari seorang guru kepada muridnya. Terlalu naïf jika masih ada guru yang menganggap demikian pada zaman sekarang ini. Lebh jauh lagi pendidika merupakan transformasi komponen-komponen pendidikan yang mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian pendidikan juga mementingkan aspek moral.

Bagi walisongo, mendidik adalah tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya dengan mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah ayangi, hormati, dan jagalah anak didikmu, hargailah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunmu. Beri mereka pakaian dan makanan hingga mreka dapat menjalankan syariat Islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan.

C.     MASA KERAJAAN ISLAM BAGIAN TIMUR

1.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Sulawesi

Kerajaan yang mula-,mula berdasarkan Islam adalah Kerajaan Kembar Gowa Tallo tahun 1605 M. rajanya bernama I. Mallingkaang Daeng Mansyonri yang kemudian bergantiu nama dengan Sultan Abdullah Awwalul Islam. Menyusul di belakangnya raja Gowa bernama Sultan Alauddin. Dalam waktu dua tahun seluruh rakyatnya telah memeluk Islam. Muballig Islam yang berjasa di sana ialah Abdul Qorid Katib Tunggal gelar Dato Ri Bandang berasal dari Minangkabau, murid Sunan Giri.[15]

Sejak dahulu, perkembangan agama Islam di Sulawesi selatan amat pesat. Sejalan dengan itu, disana terdapat sejumlah pesantren yang berdiri dan berkembang pesat. Pada tahap awal, merupakan pesantren atau surau dengan model lama sebagaimana yang terdapat di Sumatera dan Jawa. Perkembangan itu semakin pesat sejak adanya alim ulama bugis yang datang dari tanah mekah, setealah tinggal disana bermukim beberapa tahun lamanya. Sistim dan rencana pengajaran pesantren di Sulawesi hampir sama dengan sistim dan rencana pengajaran pesantren di Sumatera dan Jawa karena sumbernya satu yaitu mekah.[16]

Kemudian secara berangsur-angsur berdirilah madrasah-madrasah (sekolah agama) Yang menggunakan sistem klasikal yang dilengkapi dengan bangku, meja, dan papan tulis sebagaimana sekolah yang digunakan. Menurut catatan sejarah, yang mula-mula mendirikan madrasah di Sulawesi selatan adalah Muhammadiyah sekitar tahun 1926.[17]

2.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Maluku

Islam memasuki Maluku pada akhir abad ke-15. Sekitar tahun 1460 raja ternate memeluk agama Islam. Sekitar tahun 1460 raja Ternate memeluk agama Islam. Nama raja itu adalah vongi tidore. Sementara H.J. de Graaf berpendapat bahwa raja muslim yang pertama adalah Zayn al-Abidin (1486-1500). Pada masa itu gelombang perdagangan muslim terus meningkat , sehingga raja menyerah pada tekanan dan memutuskan untuk mempelajari tentang Islam pada madrasah Giri. Di Giri ia dikenal dengan nama raja Bulawa atau raja cengkeh. Setelah kembali dari jawa, ia mengajak Tuhubahahul ke daerahnya, dan yang terakhir inilah dikenal sebagai penyebar utamaIslam di kepulauan Maluku.[18]

3.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Kalimantan

Berbagai tulisan dan kajian yang membicarakan tentang masuknya Islam di kalimantan selatan selalu mengidentikkan dengan berdirinya kerajaan banjarmasin. Kerajaan banjar merupakan kelanjutan dari kerajaan Daha yang beraga Hindu. Berdirinya kerajaan Islam banjar ini ada hubungannya dengan pertentangan keluarga istana, antara pangeran Samudera sebagai pewaris sah kerajaan Daha dengan pamannya Pangeran Tumenggung.

Terjadi peperangan antara pangeran Samudera dengan Pangeran Tumenggung. Pangeran samudera meminta bantuan kepada sultan Demak. Sultan demak bersedia membantu dengan syarat pangeran samudera mau masuk Islam.setelah pangeran samudera menyetujui syarat itu sultan demak mengirim seribu orang tentara.

Dalam peperangan itu pangeran samudera memperoleh kemenangan. Sesuai janjinya, ia beserta seluruh kerabat keraton dan penduduk banjar masuk Islam. Setelah pangeran banjar masuk Islam namanya diganti Sultan Suryanullah atau Suryansyah dan dikukuhkan sebagai raja pertama kerajaan Islam Banjar. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1526 M.

Sesudah kerajaan Banjar berdiri dibawah pimpinan sultan suryansyah, perkembangan Islam makin maju, masjid-masjid dibangun hampir di setiap desa. Pada tahun 1710 di Zaman kerajaan Islam banjar ke-7 lahir ulama terkenal yaitu Syeh Muhammad Arsyad al Banjary di desa Kalampayan Martapura.

Syeh Muhammad Arsyad banyak mengarang kitab-kitab agama, diantaranya yang paling terkenal sampai sekarang adalah kitab Sabilul Muhtadin. Sultan Tahmilillah mengangkatnya sebagai mufti besar kerajaan banjar. Syeh Muhammad Arsyad juga berjasa besar dalam mendirikan di kampung Dalam Pagar yang sampai sekarang masih terkenal dengan sebutan pesantren Darussalam.

Sistem pengajian kitab di pesantren Banjarmasin, tidak berbeda dengan sistem pengajian kitab di pondoak pesantren jawa ataupun Sumatera, yaitu dengan mempergunakan sistem halaqah, menterjemahkan kitab-kitab yang dipakai kedalam bahasa daerah.[19]


Berdirinya kerajaan Islam kutai kalimantan Timur, bermula dari adanya dua orang penyebar agama Islam pada masa pemerintahan Raja Mahkota. Dua orang tersebut yaitu dato’ Ri Bandang dari makassar dslaman Tuan Tunggang Parangan. Melalui Tuan Tunggang Parangan, Raja Mahkota masuk Islam. Seiring dengan itu dibangunlah masjid dan kegiatan pengajaran agama. Orang pertama yang mengikuti pengajaran itu adalah raja Mahkota sendiri, kemudian pangeran, para menteri, panglima dan hulubalang, kemudian rakyat pada umumnya.

Dalam perkembangannya Raja Mahkota berusaha keras menyebarkan Islam. Proses pengIslaman di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan terjadi pada tahun 1575. Penyebaran lebih jauh ke daerah pedalaman terutama pada waktu putranya Aji di Langgar dan penggantinya.[20]



BAB III

PENUTUP

A.     Kesimpulan

Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia atau proses Islamisasi di Indonesia melalui beberapa cara atau saluran, yaitu:

·         Perdagangan

·         Tasawwuf

Pertumbuhan Dan Perkembangan Islam Masa Kerajaan

1.      Masa kerajaan Islam di Sumatera

Kerajaan di Sumatera meliputi kerajaan Samudera Pasai, kerajaan Perlak, dan kerajaan Aceh Darussalam. Ketiaga kerajaan tersebut berada di Aceh, daerah paling ujung dari Sumatera.

2.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Jawa

Kerajaan Islam di Jawa meliputi Kerajaan Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten. Pendidikan Islam yang berlangsung di kerajaan demak, Pajang dan Mataram beriringan dengan kegiatan dakwah Islam yang dilakukan para ulama dan para wali. Raden fatah, raja pertama kerajaan demak, adalah santri perguruan Islam Denta.

3.      Metode/pendekatan Pendidikan Islam Wali Songo

Ada beberapa jenis pendekatan pendidikan yang dilakukan Walisongo dalam mengajarkan agama Islam, yaitu modeling, substantive, tidak diskriminatif, understable and applicable, dan pendekatan kasih sayang

Masa Kerajaan Islam Bagian Timur

1.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Sulawesi

2.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Maluku

3.      Pendidikan pada zaman kerajaan Islam di Kalimantan



DAFTARPUSTAKA


·         Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet IV.

·         Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007).

·         Taufiq Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta : PT. Ichtiar baru van hoeve, tth),

·         Mahmud Yunus, sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995).

·         Abdul Jamil, dkk, Islam dan kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000) .

·         M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006).

·         Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004).

·         Al Quran dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), VII, juz 2.

·         Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011).


Referensi:

[1]  Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), Cet IV, Hlm. 135.

[2]  Ibid.  Hlm. 136.

[3]  Zuhairini dkk, Op. Cit... Hlm.  136.

[4]  Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007), Hlm. 25.

[5]  Ibidt., Hlm. 107.

[6]  Taufiq Abdullah dkk, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Asia Tenggara (Jakarta : PT. Ichtiar baru van hoeve, tth), Hlm. 47.

[7]  Hasbullah, Op. Cit.., Hlm. 34 – 35.

[8]  Mahmud Yunus, sejarah pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara Sumber Widya, 1995), Hlm. 220.

[9]  Hasbullah, Op. Cit.., Hlm. 36 – 37.

[10] . Abdul Jamil, dkk, Islam dan kebudayaan Jawa (Yogyakarta: Gama Media, 2000) . Hlm.  240 - 244

[11]   H. Abdul Jamil, dkk, Op. Cit. Hlm. 243

[12]   M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis. (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006). Hlm.  59

[13]  Muis Sad Iman, Pendidikan Partisipatif (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004). Hlm. 17

[14]  Al Quran dan Tafsirnya, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), VII, juz 21, Hlm.  571 - 572

[15]  Zuhairini dkk, Op. Cit..., hlm. 145.

[16]  Mahmud Yunus, Op. Cit..., hlm. 326.

[17]  Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), Hlm. 270.

[18]  Abudin Nata, Op. Cit, hlm. 252.

[19]   Hasbullah, Op. Cit..., Hlm. 38.

[20]   Abudin nata, Op. Cit..., Hlm. 251.


Artikel Terkait