BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tugas utama manusia hidup
di dunia ini adalah beribadah kepada Allah SWT. Ibadah kepada-Nya merupakan
bukti pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya. Dari berbagai ayat dan hadis
dijelaskan bahwa pada hakekatnya manusia yang beribadah kepada Allah ialah
manusia yang dalam menjalani hidupnya selalu berpegang teguh kepada wahyu Allah
dan hadis Nabi SAW. Pengertian ibadah tidak hanya terbatas kepada apa yang
disebut ibadah mahdhah atau rukun Islam saja, tetapi sangat luas seluas aspek
kehidupan yang ada. Yang penting aktivitas yang kita lakukan harus diniatkan
untuk ibadah kepada-Nya dan yang menjadi pedoman dalam mengontrol aktivitas ini
adalah wahyu Allah dan sabda Rasul-Nya.
Namun ada satu aspek yang
seringkali dilupakan dalam pelaksanaan ibadah kepada-Nya, yakni keikhlasan
dalam menjalankannya. Keikhlasan dalam beribadah merupakan aspek yang sangat
fundamental yang akan mempengaruhi diterima atau tidaknya ibadah kita. Ibadah yang dilakukan tanpa keikhlasan adalah
ibadah yang sia-sia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian ikhlas beramal?
2. Contoh alil naqli tentang keikhlasan
beramal?
3. Contoh hadits tentang keikhlasan beramal?
4. niat yang ikhlas dalam beramal dan
tanda-tanda rang ikhlas?
5. tujuan ikhlas beramal?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ikhlas Beramal
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص : اِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ اِلىَ اَجْسَامِكُمْ وَلاَ اِلىَ صُوَرِكُمْ وَ لٰكِنْ يَنْظُرُ اِلىَ قُلُوْبِكُمْ رواه مسلم
Dari Abu Hurairah RA, ia
berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat
(menilai) bentuk tubuhmu dan tidak pula menilai kebagusan wajahmu, tetapi Allah
melihat (menilai) keikhlasan hatimu”. [HR. Muslim]
Ikhlas artinya tulus atau
murni, bersih dan terbebas dari tujuan untuk selain Allah. Menurut Abu Al-Qasim
Al-Qusyairi adalah menegaskan Al-haqq (Tuhan yang Maha Benar). Dalam melakukan
ketaatan dengan tujuan mendekatkan diri kepada-Nya, bukan untuk mendapatkan
pujian atau apa saja yang dapat menghalangi diri untuk dekat dengan Allah.[1]
Menurut ulama ikhlas ada dua macam. Yaitu :
1. Keikhlasan beramal merupakan keinginan
mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkan ikhwal-Nya dan menyambut
seruan-Nya. Adapun yang mendorong keyakinan itu adalah keyakinan yang benar.
Lawan kata dari keikhlasan beramal adalah kemunafikan.
2. Keikhlasan mencari pahala merupakan
keinginan memperoleh manfaat akhirat dengan amal kebajikan. Lawan kata dari keikhlasan
ini adalah riya’.
Secara lughawi, kata amal
(bahasa arab) terdiri dari ‘ain, mim dan lam yang berarti semua pekerjaan yang
di kerjakan. Kata amal juga berarti perbuatan atau pekerjaan yang di sertai
niat atau maksud dan pikiran.[2] Menurut Raqib al-‘asfahany amal adalah suatu
perbuatan yang di lakukan berdasarkan ilmu pengetahuan, pilihan sendiri, di
lakukan secara sadar dan sengaja yang di sertai dengan niat.
Imam Syafi’i pernah
memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad
dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka),
maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu
karena Allah Azza wa Jalla.”[3]
Dari paparan di atas dapat
di simpulkan bahwa ikhlas beramal merupakan ketulusan hati seorang muslim untuk
melakukan perbuatan berdasarkan akal, ilmu, kesadaran dengan tujuan untuk
mengharap ridho Allah.
Untuk memproleh kualitas
ikhlas yang baik seorang muslim harus menumbuhkan keyakinan terlebih dahulu.
Hal ini di karenakan keyakinanlah yang menjadi kunci dari keikhlasan. Sebab
orang yang yakin akan mampu menciptakan kekhusyukan dalam menjalankan segala
perbuatannya. Orang yang yakin akan selalu kokoh berdiri di terjang ombak yang
sangat dahsyat. Mereka akan selalu mempunyai anggapan bahwa Allah selalu
memberinya nikmat. Segala permasalahan yang terjadi selalu di serahkan kepada
Allah. Karena dia sadar akan tugasnya untuk selalu berusaha. Hanya orang yang
memiliki keyakinan yang bisa merasakan keikhlasan yang sesungguhnya.
B. Dalil Naqli Tentang Keikhlasan Beramal
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ ﴿٥﴾
Artinya : Padahal mereka
tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam menjalankan agama yang lurusdan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.[4] (QS.
Al – Bayyinah : 5).
a. Asbabun Nuzul Q.S Al-bayyinah : 5
Ayat ini adalah Karena
adanya perpecahan dikalangan mereka maka pada ayat ini dengan nada mencerca
Allah menegaskan bahwa mereka tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah
Allah. Perintah yang ditujukan kepada meraka adalah untuk kebaikan dunia dan
agama mereka, untuk memcapai kebahagian dunia dan akhirat, yang berupa ikhlas
lahir dan batin dalam berbakti kepada Allah dan membersikan amal perbuatan dari
syirik serta mematuhi agama Nabi Ibrahim yang menjauhkan dirinya dari kekafiran
kaumnya kepada agama tauhid dengan mengikhlasan ibadat kepada Allah SWT.
b. Tafir Global QS. Al-bayyinah : 5
Perintah untuk menyembah
hanya kepada Allah SWT dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah SWT.
Perintah untuk memurnikan agama Allah dari ajaran-ajaran kemusyrikan. Perintah
untuk mendirikan shalat dan zakat. Menyembah kepada Allah dan menjauhi
kemusyrikan adalah agama yang benar dan lurus.
Surat ini turun sebagai
bentuk penegasan kembali atas tindakan Ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) yang
melampaui batas. Misalnya, umat Nasrani telah menjadikan Nabi Isa sebagai
Tuhan, sementara itu kaum Yahudi menghinakannya. Melalui ayat ini Allah
mengingatkan kembali kepada mereka agar kembali kepada agama yang lurus (din
al-qayimah). Agama yang lurus ini bercirikan tiga hal, yaitu adanya ketundukan
dan kepatuhan hanya kepada Allah, mendirikan shalat dan menunaikan zakat.
Ketundukan dan kepatuhan
secara murni menjadi kunci terbentuknya sikap lurus dan senantiasa condong
kepada kebajikan. Sebaliknya, ketundukan dan kepatuhan yang tidak murni
(syirik) menjadi akar penyimpangan dan kecondongan kuat untuk berbuat yang
berlawanan dengan nilai-nilai kebajikan.
Kata (مخلصين) mukhlishin adalah berbentuk isim fa’il berasal dari kata خلص)) khalusha yang artinya murni setelah sebelumnya diliputi
kekeruhan. Dari sini ikhlas merupakan
usaha memurnikan dan menyucikan hati
sehingga benar-benar tertuju kepada Allah semata, sedang sebelum keberhasilan
itu hati masih biasanya diliputi atau dihinggapi oleh hal-hal selain Allah,
seperti pamrih dan yang semacamnya.
Kata (حنفاء) hunafa’ adalah berbentuk jamak dari kata mufrod (حنيف) hanif yang biasa diartikan lurus atau cenderung kepada
sesuatu(kebajikan). Agama Islam disebut juga sebagai agama hanif karena
posisinya yang lurus (berada di tengah-tengah). Artinya, tidak cenderung pada
materialisme dan mengabaikan yang spiritual atau sebaliknya.
Penyebutan shalat dan
zakat secara khusus mempunyai arti akan pentingnya menjalin hubungan baik
dengan Allah dan sesama manusia.[5]
C. Hadits tentang keikhlasan beramal
Dikutip dari kitab Shahih
Bukhori, tentang niat. Berikut matannya:
عن عمربن الخطاب قال : سمعت رسول الله صلي الله عليه وسلم يقول: إنماالأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى. فمن كانت هجرته الي الله ورسوله فهجرته الي الله ورسوله. ومن كانت هجرته الي دنيا يصيبها اوالي امرأة ينكحها فهجرته الي ماهاجراليه (رواه البخارى)
Artinya : Dari ‘Umar bin Khathab r.a. katanya: “saya
mendengar Rosulullah Shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda, amalan itu harus
beserta niat. Dan milik tiap-tiap manusia itu, ialah balasan apa yang
diniatkannya. Barang siapa pindahnya karena Allah dan Rosul-Nya, maka baginya
pahala pindah karena Allah dan Rosul-Nya, barang siapa yang pindahnya karena
dunia yang hendak diperolehnya atau perempuan yang hendak di kawininya, maka balasan
pindahnya itu, menurut niat pindahnya itu”. (HR Bukhori Muslim).[6]
a. Isi Kandungan Hadits
Sungguh luar biasa hadits
ini, Kenapa tidak? Karena hadits ini menerangkan tentang keikhlasan seseorang
dalam beramal. Dan ini adalah inti dari segala amalan yang kita kerjakan.
Apalah artinya beramal yang banyak, kalau tanpa niat karena Allah. walaupun
seseorang beramal dengan ilmu yang benar, tetap dimata Allah tidak ada nilainya
sama sekali, kalau tanpa di barengi keikhlasan. Yang ada mungkin hanya pujian
dari orang lain dan kesombongan pada diri sendiri.
Abu abdullah mengatakan :
Tidak ada hadits nabi yang paling banyak mengandung faidah kecuali hadits ini.
Begitu juga dengan Imam syafi'i, beliau mengatakan : bawha hadits ini terdapat
dalam 70 cabang ilmu agama. Maksudnya, dari hadits yang satu ini bisa masuk
kepada 70 cabang ilmu. Dua kalimat ini (
إنماالأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى) seolah olah sama, karena kalau diterjemahkan secarara
tekstual, maka kita akan mendapatkan kesamaan arti.
Makanya sebagian ulama ada
yang mengatakan, kalimat kedua dalam hadits ini hanyalah sebagai taukid
(kalimat penguat) untuk kalimat yang pertama. Dan sebagian ulama lagi
mengatakan (dan ini yang paling kuat alasanya) termasuk didalamnya pendapat
imam Nawawi dalam kitabnya al-arbain an-nawawi bawha kalimat pertama innamal
a'malu binniyat adalah menerangkan bahwa segala amalan itu mesti ada niatnya.
Dan yang dimaksud dengan
kalimat wainnama likulimri in maanawa adalah hasil atau buah dari niat atas
amalan yang di kerjakanya itu. Kalau kita beramal dengan niat karena Allah,
maka keridhaan Allah yang akan kita dapatkan. dan kalau kita beramal dengan
niat selain karena Allah, maka kita akan mendapatkan apa yang kita niatkan itu.
Melalui hadits ini
Rasulullah saw. menjelaskan pada kita akan pentingnya sebuah niat dalam
beribadah pada Allah. Makanya tidak heran kalau imam Bukhari meletakan hadits
ini dalam kitab shahih bukhari pada jilid pertama dan pada nomor urutan
pertama. Begitu juga dengan Imam Nawawi, dalam kitabnya al-arba'iin
an-nawawiyah meletakan hadits ini pada urutan pertama juga.
Niat inilah yang sangat
penting untuk senantiasa kita perhatikan setiap kita akan melakukan amalan.
Karena hanya dengan niat kita akan mengetahui apakah kita melakukan amalan itu
untuk mencari keridhaan Allah ataukah hanya untuk mendapatkan popularitas atau
pujian dari manusia.
Melihat redaksi hadits ini
kita jadi tahu, ternyata untuk menumbuhkan niat yang ikhlas atas segala amalan
yang kita lakukan ini sangatlah susah, Muawiyah bin abi sofyan saja, Mendengar
hadits ini langsung menangis dan pingsan. Dari sinilah kita diperintahkan agar
senantiasa "tajdidunniah" memperbaharui...dan senantiasa
memperbaharui niat atas segala amalan yang kita lakukan.Niatkanlah segala
amalan kita ini hanya karena Allah! niscaya kita akan mendapat pahala
disisiNya, ikhlaskanlah segala amalan kita agar kita mendapat
keridhanya.Beramal dengan ikhlas adalah...bukan ingin di puji, bukan pula takut
dibenci, tapi kita beramal hanya untuk mendapat pahala dan keridhan Allah
swt.[7]
D. Niat yang ikhlas dalam beramal dan
tanda-tanda orang ikhlas
Seorang hamba yang
menginginkan keikhlasan dalam seluruh aktifitasnya hendaklah berniat dalam
melaksanakan aktifitasnya dengan niat-niat sebagai berikut:
Hendaklah dalam beramal dilandasi oleh keimanan kepada Allah,
dan ini adalah niat yang paling prinsip karena tanpa keimanan semua amalan akan
menjadi sia-sia, tidak berarti dan tidak bernilai sedikitpun di sisi Allah.
1. Berniat cinta Allah.
2. Berniat mengagungkan dan memuliakan
Allah.
3. Berniat untuk taat dan beribadah kepada
Allah.
4. Berniat mencari ridha Allah.
5. Berniat mendapatkan kedamaian dan
kelezatan bersama Allah ketika berbuat ketaatan dan beribadah kepadaNya.
6. Berniat mengharapkan kenikmatan dan
kelezatan memandang Wajah Allah pada hati kiamat dan ketika di surga.
7. Berniat agar dijadikan istiqamah.
8. Berniat agar mati husnul khatimah.
9. Berniat mencari pahala, ganjaran dan
balasan kebaikan dari Allah di dunia dan di akhirat.
10. Berniat mendapatkan surga.
11. Berniat takut hukuman, ancaman dan adzab
Allah di dunia dan di akhirat.
12. Berniat takut neraka dan agar dibebaskan dari
api neraka.
Ada tiga niat, tujuan dan
prinsip yang harus selalu menyertai seorang hamba dalam beribadah kepada Allah,
yaitu
1. hendaklah ibadah didasari oleh cinta kepada
Allah disertai pengagungan.
2. Hendaklah ibadah didasari rasa takut .
3. Hendaklah ibadah didasari rasa berharap.
Hendaklah seorang hamba
dalam beribadah kepada Allah tidak pernah terlepas dari ketiganya karena inti
dan tujuan beribadah berkisar pada ketiga hal tersebut.[8]
Tanda-tanda orang yang
ikhlas dalam beramal yaitu :
1. Ia tidak mencari popularitas dan tidak
menonjolkan diri. Karena ia sadar, sehebat apapun ketenaran disisi manusia
tiada berarti di hadapan Allah andaikata tidak memiliki keikhlasan. Seorang
hamba ahli ikhlas tidak sibuk menonjolkan diri, menyebut-nyebut amalnya,
memamerkan hartanya, keilmuannya, kedudukannya, dan aneka topeng duniawi lainnya.
Karena itu tiada berguna kalau Allah menghinakannya
2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh
pujian. Baginya pujian hanyalah sangkaan orang pada kita, padahal kita tahu
keadaan diri kita yang sebenarnya. Bagi seorang yang ikhlas, dipuji, dihargai,
tidak dipuji, bahkan dicaci sama saja. Karena baginya pujian dari Allah-lah
yang terpenting. Allah-lah tujuan dari segala amalnya.
3. Tidak silau dan cinta jabatan. Allah tidak
pernah menilai pangkat dan jabatan seseorang, namun yang dinilai adalah tanggung
jawab terhadap amanah dari jabatannya. Maka hamba Allah yang ikhlas tidak
bangga dan ujub karena jabatannya.
4. Tidak dipebudak Imbalan dan balas budi.
Seorang hamba ahli ikhlas sangat yakin kepada janji dan jaminan Allah, baginya
mustahil Allah memungkiri janji-janji-Nya. Bagi seorang hamba yang ikhlas,
rezekinya adalah ketika ia berbuat sesuatu bukan ketika mendapatkan sesuatu.
Balasannya cukup dari Allah saja, yang pasti, tidak akan meleset, dan tidak
akan salah perhitungan-Nya.
5. Tidak mudah kecewa. Seorang yang ikhlas
yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik, lalu terjadi atau tidak yang
ia niatkan itu, semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT.
6. Tidak Membedakan Amal Besar dan Amal Kecil.
Seorang hamba yang ikhlas tidak peduli amal itu kecil dalam pandangan manusia
atau tidak, ada yang menyaksikan atau tidak. Karena dihadapan Allah tidak ada
satupun amal yang remeh andaikata dilakukan dengan tulus sepenuh hati karena
Allah semata.
7. Tidak fanatik golongan. Seorang muslim yang
ikhlas sangat sadar bahwa tujuan dari
perjuangan hidupnya adalah Allah SWT, maka yang akan dibela pun adalah
kepentingan yang diridhoi oleh Allah. Tidak tegantung perasaan pribadi. Selama
apa yang diperjuangkan adalah untuk membela agama Islam, maka ia pun akan turut
membela.
8. Ringan, lahab dan Nikmat dalam Beramal.
Keikhlasan adalah buah keyakinan yang mendalam dari seorang hamba Allah
sehingga perbuatan apapun yang disukai oleh Allah, dapat membuatnya bertambah
dekat dengan Allah, akan menjadi program kesehariannya. Semua dilakukan dengan
ringan, lahab, dan nikmat.
9. Tidak egois karena selalu mementingkan
kepentingan bersama. Orang yang ikhlas tidak pernah keberatan dengan keberadaan
orang lain yang lebih pandai, lebih sholeh, lebih bermutu darinya. Meski
menurut pandangan manusia ia akan tesaingi dengan keberadaan orang yang
melebihi dirinya, namun orang yang ikhlas beramal bukan untuk mencari
popularitas. Baginya yang terpenting adalah maju bersama demi kepentingan
bersama.
10. Tidak Membeda-bedakan dalam pergaulan.
Seorang yang ikhlas tidak akan membeda-bedakan teman. Tegur sapanya tidak akan
terbatas pada orang tertentu, senyumnya tidak akan terbatas pada yang
dikenalnya, dan pintunya selalu terbuka untuk siapa saja.
E. Tujuan Ikhlas Beramal
1. Ikhlas merupakan syarat amal agar diterima
Ibadah tidak akan diterima bila tidak disertai dua syarat, yaitu :
1) Ikhlas (murni karena Allah)
2) Ittiba’ (tatacara mengikuti teladan
Rosulullah).
2. Ikhlas adalah pondasi dari kesuksesan dunia
& akhirat.
Ikhlas pun laksana ruh
bagi jasad, sehingga amal tanpa ikhlas ibarat jasad yg mati, tanpa ruh di
dalamnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ikhlas dalam beramal
merupakan sikap yang tiada mengharapkan tujuan lain selain dari pada untuk
mendekatkan diri kepada Allah. Ikhlas
dalam beramal tidak boleh diikuti dengan niat riya, yaitu mengharapkan pujian
atau kehormatan dari sesamanya. Karena amal yang akan dibalas oleh Allah adalah
amal yang dilakukan karena mengharap
kasih dan sayang-Nya, yaitu dengan keikhlasan di dalam hatinya.
B. Saran
Semoga dengan selesainya
makalah Qur’an Hadits II ini, maka penyusun sangat mengharapkan respon dari
para teman-teman mahasiswa ataupun dari dosen dan saran konstruktik dari siapapun
datangnya, demi perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat,
khususnya bagi penyusun sendiri, umumnya bagi para pembaca lainnya. Amin Ya
Robbal ‘Alamin….
DAFTAR PUSTAKA
Abdul muhsin, langkah
pasti menuju bahagia, (Jakarta : Pustaka An-Naba, 2005), hlm. 35-36
Jubran Mas’ud, al-Ralahr
Mu’jam Lughawiy Asrhy, jilid II (Beirut: Dar al-Ilmu lil Mulayin, 1981), hlm.
1051
Maulana Muhammad Zakariyya
Al Kandahlawi Rah.A, Himpun fadhilah amal, (Yogyakarta: Ash-Shaff, 2007),hlm.
395
Muhammad Nasrudin,
Silsilah Hadits Shahih, (Jakarta : Pustaka An-Naba, 2006), hlm. 94-95
Totok Jumantoro dan Samsul
Amin, kamus ilmu tasawuf (Wonosobo: Amzah, 2005), hlm 86
Zainudin Hamidi, Shohih
Bukhari, (Jakarta: Wijaya, 1969), hlm.13
Al – Qur’an Surah Al – Bayyinah
ayat 5
Ansor, Beramal Dengan
Ikhlas, Artikel ini diakses pada: 16 Maret 2021, dengan alamat website:
http://muslimini.blogspot.com/2009/12/innamal-amallu-binniyat.html
[1] Totok Jumantoro dan Samsul Amin, kamus ilmu
tasawuf (Wonosobo: Amzah, 2005), hlm 86.
[2] Jubran Mas’ud,
al-Ralahr Mu’jam Lughawiy Asrhy, jilid II (Beirut: Dar al-Ilmu lil Mulayin,
1981), hlm. 1051
[3] Abdul muhsin, langkah
pasti menuju bahagia, (Jakarta : Pustaka An-Naba, 2005), hlm. 35-36
[4] Al – Qur’an Surah Al –
Bayyinah ayat 5
[5] Maulana Muhammad
Zakariyya Al Kandahlawi Rah.A, Himpun fadhilah amal, (Yogyakarta: Ash-Shaff,
2007),hlm. 395
[6] Zainudin Hamidi, Shohih Bukhari, (Jakarta:
Wijaya, 1969), hlm.13
[7] Ansor, Beramal Dengan Ikhlas, Artikel ini
diakses pada: 16 Maret 2021, dengan alamat website:
http://muslimini.blogspot.com/2009/12/innamal-amallu-binniyat.html
[8] Muhammad Nasrudin,
Silsilah Hadits Shahih, (Jakarta : Pustaka An-Naba, 2006), hlm. 94-95