Dosen : Ns. Sulaeman, S.Kep,.
M.Kep
ASKEP
ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN: PENYAKIT
MENTAL, KECACATAN, DAN POPULASI TERLANTAR
DI SUSUN
OLEH :
MARIANA
PENA
MELINDA
STIKES MUHAMMADIYAH SIDRAP
PRODI S1 ILMU KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK 2020/2021
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat
dan karunia-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugaas askep “ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS POPULASI RENTAN:
PENYAKIT MENTAL, KECACATAN, dan POPULASI TERLANTAR”,
dengan tepat pada waktunya. Banyak rintangan dan hambatan yang kami hadapi
dalam penyusunan makalah ini. Namun berkat bantuan dan dukungan dari
teman-teman serta bimbingan dari dosen, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini. Dengan adanya makalah ini
di harapkan dapat membantu dalam proses pembelajaran dan dapat menambah
pengetahuan para pembaca.
Barru,
02 Oktober 2020
Kelompok VII
DAFTAR
ISI
Sampul
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1. Populasi Rentan
2. Gangguan Mental (Mental Disorder)
3. Penyandang Cacat / Disabilitas
4. Tunawisma/ Gelandangan
BAB III
PENGKAJIAN
A. Kasus
B. Pengkajian
C. Diagnosa keperawatan Individu
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka........................................................................................................25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi rentan atau populasi beresiko adalah
kondisi yang mempengaruhi kondisi seseorang atau populasi untuk menjadi sakit
atau sehat (Kaakinen, Hanson, Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004).
Pandera mengkategorikan faktor resiko kesehatan antara lain genetik, usia,
karakteristik biologi, kesehatan individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika
seseorang dikatakan rawan apabila mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya,
atau outcome negatif. Faktor pencetusnya berupa genetik, biologi atau
psikososial. Populasi rawan atau rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang
memiliki peningkatan risiko yang relatif atau rawan untuk menerima pelayanan
kesehatan. Kenyataan menunjukan bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan
perundangundangan yang mengatur tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat
implementasinya sangat beragam. Sebagian undang-undang sangat lemah
pelaksanaannya, sehingga keberadaannya tidak memberi manfaat bagi masyarakat.
Disamping itu, terdapat peraturan perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi
berbagai hal yang berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok
rentan. Keberadaan masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di
negeri ini memerlukan tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan-kepentingan mereka melalui penegakan hukum dan tindakan legislasi
lainnya. Hak asasi orang-orang yang diposisikan sebagai masyarakat kelompok
rentan belum terpenuhi secara maksimal, sehingga membawa konsekuensi bagi
kehidupan diri dan keluarganya, serta secara tidak langsung juga mempunyai
dampak bagi masyarakat.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan populasi rentan?
2.
Apa yang
dimaksud dengan populasi rentan penyakit mental ?
3.
Apa yang
dimaksud dengan populasi rentan kecacatan ?
4.
Apa yang dimaksud
populasi rentan terlantar ?
5.
Bagaimana Asuhan
keperawatan untuk agregat penyakit mental ?
C. Tujuan
1.
Untuk mengetahui
tentang agregat populasi rentan
2.
Untuk mengatahui
tentang populasi rentan penyakit mental
3.
Untuk mengetahui
populasi rentan kecacatan
4.
Untuk mengtahui
populasi rentan terlantar
5.
Untuk mengetahui
bagaiaman asuhan keperawatan untuk agregat penyakit mental.
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP TEORI
1.
Populasi Rentan
Pengertian Kelompok Rentan tidak dirumuskan secara
eksplisit dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5
ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa setiap orang yang
termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam penjelasan pasal
tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan,
antara lain, adalah orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan
penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan,
bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah:
a.
Refugees
(pengungsi)
b.
Internally
Displaced Persons (IDPs) (orang orang yang terlantar)
c.
National
Minoritie (kelompok minoritas)
d.
Migrant Workers
(pekerja migran )
e.
Indigenous
Peoples (orang pribumi/penduduk asli dari tempat pemukimannya)
f.
Children (anak)
b.
g) Women
(wanita)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia,
kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan
dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum
bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud
dengan penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan
atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Dari sisi
pengelompokkannya, maka penyandang cacat dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
hal : Penyandang cacat fisik, Penyandang cacat mental, Penyandang cacat fisik
dan mental.
2.
Gangguan Mental (Mental Disorder)
a.
Definisi
Gangguan Mental (Mental Disorder) Istilah gangguan mental (mental disorder)
atau gangguan jiwa merupakan istilah resmi yang digunakan dalam PPDGJ (Pedoman
Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa). Definisi gangguan mental (mental
disorder) dalam PPDGJ II yang merujuk pada DSM-III adalah: “Gangguan mental
(mental disorder) atau gangguan jiwa adalah sindrom atau pola perilaku, atau
psikologi seseorang, yang secara klinik cukup bermakna, dan secara khas
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya
(impairment/disability) di adalm satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia. Sebagai tambahan, disimpulkan bahwa disfungsi itu adalah disfungsi
dalam segi perilaku, psikologik, atau biologik, dan gangguan itu tidak
semata-mata terletak di dalam hubungan orang dengan masyarakat”. (Maslim,
tth:7). Dari penjelasan di atas, kemudian dirumuskan bahwa di dalam konsep
gangguan mental (mental disorder) terdapat butir-butir sebagai berikut:
1)
Adanya gejala
klinis yang bermakna, berupa: Sindrom atau pola perilaku Sindrom atau pola
psikologik
2)
Gejala klinis
tersebut menimbulkan “penderitaan” (distress), antara lain berupa: rasa nyeri,
tidak nyaman, tidak tentram, terganggu, disfungsi organ tubuh, dll.
3)
Gejala klinis
tersebut menimbulkan “disabilitas” (disability) dalam aktivitas kehidupan
sehari-hari yang biasa dan diperlukan untuk perawatan diri dan kelangsungan
hidup (mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, dll).
(Maslim, tth:7). Secara lebih luas gangguan mental
(mental disorder) juga dapat didefinisikan sebagai bentuk penyakit, gangguan,
dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental, disebabkan oleh kegagalan
mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan/mental terhadap stimuli ekstern dan
ketegangan-ketegangan; sehingga muncul gangguan fungsional atau struktural dari
satu bagian, satu orang, atau sistem kejiwaan/mental (Kartono, 2000:80).
Pendapat yang 5 sejalan juga dikemukakan Chaplin (1981) (dalam Kartono,
2000:80), yaitu: “Gangguan mental (mental disorder) ialah sebarang bentuk
ketidakmampuan menyesuaikan diri yang serius sifatnya terhadap tuntutan dan
kondisi lingkungan yang mengakibatkan ketidakmampuan tertentu. Sumber
gangguan/kekacauannya bisa bersifat psikogenis atau organis, mencakup
kasuskasus reaksi psikopatis dan reaksi-reaksi neurotis yang gawat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gangguan
mental (mental disorder) adalah ketidakmampuan seseorang atau tidak
berfungsinya segala potensi baik secara fisik maupun phsikis yang menyebabkan
terjadinya gangguan dalam jiwanya.
1)
Macam-Macam
Gangguan Mental (Mental Disorder).
Dalam menjelaskan macam-macam gangguan mental
(mental disorder), penulis merujuk pada PPDGJ III (dalam Rusdi Maslim, tth:10),
yang digolongkan sebagai berikut:
a)
Gangguan mental
organik dan simtomatik;Gangguan mental organik adalah gangguan mental yang
berkaitan dengan penyakit atau gangguan sistematik atau otak yang dapat di
diagnosis secara tersendiri. Sedangkan gangguan simtomatik adalah gangguan yang
diakibatkan oleh pengaruh otak akibat sekunder dari penyakit atau gangguan
sistematik di luar otak (extracerebral). (Maslim, tth:22).
b)
Gangguan mental
dan perilaku akibat zat psikoaktif. Gangguan yang disebabkan karena penggunaan
satu atau lebih zat psikoaktif (dengan atau tidak menggunakan resep dokter).
(Maslim, tth:36).
c)
Gangguan
skizofrenia dan gangguan waham. Gangguan skizofrenia adalah gangguan yang pada
umumnya ditandai oleh penyimpangan yang fundamental dan karakteristik dari
pikiran dan persepsi, serta oleh afek yang tidak wajar (inappropriate) atau
tumpul (blunted).” (Maslim, tth:46). Sedangkan gangguan waham adalah gejala
ganguan jiwa di mana jalan pikirannya tidak benar dan penderita itu tidak mau
di koreksi bahwa hal itu tidak betul; suatu jalan pikiran yang tidak beralasan.
(Sudarsono, 1993:272).
d)
Gangguan suasana
perasaan (mood/afektif). Gangguan suasana perasaan (mood/afektif) adalah
perubahan suasana perasaan (mood) atau afek, biasanya kearah depresi (dengan
atau tanpa anxietas yang menyertainya), atau kearah elasi (suasana perasaan
yang meningkat). (Maslim, tth:60).
e)
Gangguan
neurotik, somatoform dan gangguan stres. Gangguan neurotik, somatoform dan
gangguan stes merupakan satu kesatuan dari gangguan jiwa yang disebabkan oleh
faktor psikologis. (Maslim, tth:72).
f)
Sindrom perilaku
yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan faktor fisik. Gangguan mental
yang biasanya ditandai dengan mengurangi berat badan dengan segaja, dipacu dan
atau dipertahankan oleh penderita (Maslim, tth:90).
g)
Gangguan
kepribadian dan perilaku masa dewasa Suatu kondisi klinis yang bermakna dan
pola perilaku yang cenderung menetap, dan merupakan ekspresi dari pola hidup
yang khas dari seseorang dan cara-cara berhubungan dengan diri-sendiri maupun
orang lain (Maslim, tth:102).
h)
Retardasi mental
Retardasi mental adalah keadaan perkembangan jiwa yang terhenti atau tidak
lengkap, terutama ditandai oleh terjadinya hendaya keterampilan selama masa
perkembangan sehingga berpengaruh pada tingkat keceradsan secara menyeluruh
(Maslim, tth:119).
i)
Gangguan
perkembangan psikologis. Gangguan yang disebabkan kelambatan perkembangan
fungsifungsi yang berhubungan erat dengan kematangan biologis dari susunan
saraf pusat, dan berlangsung secara terus menerus tanpa adanya remisi dan kekambuhan
yang khas. Yang dimaksud “yang khas” ialah hendayanya berkurang secara
progresif dengan bertambahnya usia anak (walaupun defisit yang lebih ringan
sering menetap sampai masa dewasa) (Maslim, tth:122).
j)
Gangguan
perilaku dan emosional dengan onset masa kanakkanak. Gangguan yang dicirikan
dengan berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Berkurangnya perhatian
ialah dihentikannya terlalu dini tugas atau suatu kegiatan sebelum
tuntas/selesai. Aktivitas berlebihan (hiperaktifitas) ialah bentuk kegelisahan
yang berlebihan, khususnya dalam situasi yang menuntut keadaan yang relatif
tenang (Maslim, tth:136). Berkaitan dengan pemaparan di atas, Sutardjo A.
Wiramihardja (2004:15-16), mengungkapkan bahwa gangguan mental (mental
disorder) memiliki 7 rentang yang lebar, dari yang ringan sampai yang berat.
Secara ringkas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.
Gangguan
emosional (emotional distubance) merupakan integrasi kepribadian yang tidak
adekuat (memenuhi syarat) dan distress personal. Istilah ini lebih sering
digunakan untuk perilaku maladaptive pada anak-anak.
2.
Psikopatologi
(psychopathology), diartikan sama atau sebagai kata lain dari perilaku
abnormal, psikologi abnormal atau gangguan mental.
3.
Sakit mental
(mental illenes), digunakan sebagai kata lain dari gangguan mental, namun
penggunaannya saat ini terbatas pada gangguan yang berhubungan dengan patologi
otak atau disorganisasi kepribadian yang berat.
4.
Gangguan mental
(mental disorder) semula digunakan untuk nama gangguan gangguan yang
berhubungan dengan patologi otak, tetapi saat ini jarang digunakan. Nama inipun
sering digunakan sebagai istilah yang umum untuk setiap gangguan dan kelainan.
5.
Ganguan prilaku
(behavior disorder), digunakan secara khusus untuk gangguan yang berasal dari
kegagalan belajar, baik gagal mempelajari kompetensi yang dibutuhkan ataupun
gagal dalam mempelajari pola penanggulangan masalah yang maladaptif. f) Gila
(insanity), merupakan istilah hukum yang mengidentifikasikan bahwa individu
secara mental tidak mampu untuk mengelolah masalahmasalahnya atau melihat
konsekuensikonsekuensi dari tindakannya. Istilah ini menunjuk pada gangguan
mental yang serius terutama penggunaan istilah yang bersangkutan dengan pantas
tidaknya seseorang yang melakukan tindak pidana di hukum atau tidak.
2)
Faktor-Faktor
Yang Mempengaruhi Timbulnya Gangguan Mental (Mental Disorder)
Untuk mendapatkan
jawaban mengenai faktor faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya gangguan
mental (mental disorder), maka yang perlu ditelusuri pertama kali adalah faktor
dominan yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang. Dalam hal ini, penulis
merujuk pada pendapat 8 Kartini Kartono (1982:81), yang membagi faktor dominan
yang mempengaruhi timbulnya gangguan mental (mental disorder) ke dalam tiga faktor,
yaitu:
a)
Faktor Organis
(somatic), misalnya terdapat kerusakan pada otak dan proses dementia.
b)
Faktor-faktor
psikis dan struktur kepribadiannya, reaksi neuritis dan reaksi psikotis pribadi
yang terbelah, pribadi psikopatis, dan lain-lain. Kecemasan, kesedihan,
kesakitan hati, depresi, dan rendah diri bisa menyebabkan orang sakit secara
psikis, yaitu yang mengakibatkan ketidakseimbangan mental dan desintegrasi
kepribadiannya. Maka sruktur kepribadian dan pemasakan dari
pengalaman-pengalaman dengan cara yang keliru bisa membuat orang terganggu
psikisnya. Terutama sekali apabila beban psikis ternyata jauh lebih berat dan
melampaui kesanggupan memikul beban tersebut.
c)
Faktor-faktor
lingkungan (milieu) atau faktor-faktor sosial. Usaha pembangunan dan
modernisasi, arus urbanisasi dan industialisasi menyebabkan problem yang
dihadapi masyarakat modern menjadi sangat kompleks. Sehingga usaha penyesuaian
diri terhadap perubahan-perubahan sosial dan arus moderenisasi menjadi sangat
sulit. Banyak orang mengalami frustasi, konflik bathin dan konflik terbuka
dengan orang lain, serta menderita macam-macam gangguan psikis.
3)
Pencegahan
Gangguan Mental
Tujuan utama pencegahan
gangguan mental adalah membimbing mental yangsakit agar menjadi sehat mental
danmenjaga mental yang sehat agar tetap sehat. Namun sebelumnya akan penulis
paparkan terlebih dahulu tentang pengertian pencegahan gangguan mental.
a)
Pengertian
Pencegahan Gangguan Mental
Dalam dunia kesehatan
mental pencegahan didefinisikan sebagai upaya mempengaruhi dengan cara yang
positif dan bijaksana dari lingkungan yang dapat menimbulkan kesulitan atau
kerugian. (Prayitno, 1994:205). Sementara AF. Jaelani (2000:87), berpendapat
bahwa pencegahan mempunyai pengertian sebagai metode yang digunakan manusia
untuk menghadapi diri sendiri dan orang lain guna meniadakan atau mengurangi
terjadinya gangguan kejiwaan. Dengan demikian pencegahan gangguan mental
didasarkan pada upaya individu terhadap diri dan orang lain untuk menekan
serendah mungkin agar tidak terjadi gangguan mental sesuai dengan kemampuannya.
b)
Upaya pencegahan
Banyak para ahli yang
memberikan metode upaya pencegahan mulai dari faktor yang mempengaruhi sampai
akibat yang ditimbulkan. Pada dasarnya upaya pencegahan ialah didasarkan pada
prinsip-prinsip kesehatan mental. Prinsipprinsip yang dimaksud adalah:
1.
Gambaran dan
sikap baik terhadap diri-sendiri Orang yang memiliki kemampuan mnyesuaikan
diri, baik dengan diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan
dengan alam lingkungan, serta hubungan dengan Tuhan. Hal ini dapat diperoleh
dengan cara penerimaan diri, keyakinan diri dan kepercayaan kepada diri-sendiri
(Yahya, 1993:83).
2.
Keterpaduan atau integrasi diri Berarti adanya
keseimbangan antara kekuatan-kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan
(falsafah dalam hidup) dan kesanggupan mengatasi ketegangan emosi (stres)
(Yahya, 1993:84).
3.
Pewujudan diri
(aktualisasi diri) Merupakan sebuah proses pematangan diri dapat berarti
sebagai kemampuan mempengaruhi potensi jiwa dan memiliki gambaran dan sikap
yang baik terhadap diri-sendiri serta meningkatkan motivasi dan semangat hidup.
Oleh karena itu, agar terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mungkin
mengaktualisasikan diri dan memenuhi kebutuhan dengan baik dan memuaskan
(Kartono, 1986:231). Dengan demikian upaya pencegahan dapat berhasil apabila
manusia dapat berpotensi untuk menjadikan dirinya sebagai yang terbaik dan
tidak hanya pasrah pada kemampuan dasar manusia seperti menggembangkan bakat
dan sebagainya.
4.
Kemampuan
menerima orang lain 10 Melakukan aktivitas sosial dan menyesuaikan diri dengan
lingkunagn tempat tinggal. Lingkungan di samping sebagai faktor penyebab
timbulnya gangguan mental, juga memiliki peran penting dalam usaha mencegah
timbulnya gangguan mental. Sebab bagi individu yang tidak mampu menyesuaikan
diri dengan lingkungannya, dapat menyebabkan timbulnya kecemasan dan kesulitan
dalam mengahadapi tuntutan dan persoalan yang dapat terjadi setiap hari.
(Syukur, 2000:13). Dalam ungkapan kata lain disebtkan bahwa mereka yang tidak
mempunyai ikatan status di masyarakat dan mereka yang tidak mempunyai fungsi
atau peran dalam masyarakat lebih mudah mengalami gangguan kejiwaan. (Hawari,
1999:11). Sebagai upaya pencegahannya manusia sedapat mungkin menghindarinya,
yaitu dengan melakukan aktivitas sosial dalam masyarakat, dan lain sebagainya.
5.
Agama dan
falsafah hidup. Dalam hal ini agama berfungsi sebagai therapy bagi jiwa yang
gelisah dan terganggu. Selain itu agama juga berperan sebagai alat pencegah
(preventif) terhadap kemungkinan gangguan mental dan merupakan faktor pembinaan
(konstruktif) bagi kesehatan mental. (Daradjat, 1975:80). Dengan keyakinan
beragama, berarti seseorang telah hidup dekat dengan Tuhan serta tekun
menjalankan agama. Pada akhirnya akan terwujud kesehatan mental secara utuh.
Sedangkan falsafah hidup merupakan wujud dari kumpulan prinsip atau
nilai-nilai. Sehingga setiap orang berusaha sesuai dengan ketentuannya. Dengan
demikian apabila seseorang memiliki falsafah hidup, maka akan dapat menghadapi
tantangannya dengan mudah (Fahmi, 1982:92).
6.
Pengawasan diri
Agar dapat terhindar dari gangguan mental, maka sedapat mukin melindungi diri
dari dorongan dan keinginan atau berbuat maksiat dengan mengawasi diri kita.
Secara umum orang yang wajar adalah orang yang mampu mengendalikan keinginannya
dan mampu menunda sebagian dari pemenuhan kebutuhannya, serta bersedia
meninggalkan kelezatankelezatan dengan segera, demi untuk mencapai keuntungan
(pahala) yang lebih lama sifatnya serta lebih kekal. (Fahmi, 1982:114). Manfaat
lain dari pengawasan diri adalah menghindarkan seseorang dari
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma dan adat yang berlaku.
Berdasarkan pada eksplorasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pencegahan
gangguan mental dimaksudkan untuk mewujudkan kesehatan mental yang didasarkan
pada kemauan dan kemampuan setiap pribadi untuk merubah dari masalah yang buruk
agar menjadi baik.
3.
Penyandang Cacat / Disabilitas
Pengertian Penyandang Disabilitas Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia1 penyandang diartikan dengan orang yang menyandang
(menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa Indonesia yang
berasal dari kata serapan bahasa Inggris disability (jamak: disabilities) yang
berarti cacat atau ketidakmampuan.
Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 10
Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,
penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang
disabilitas fisik dan mental. Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah
orang yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan
orang pada umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan
pelayanan khusus agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di
muka bumi ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas,
mencakup orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence
Quotient) rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga
fungsi-fungsi kognitifnya mengalami gangguan. Penyandang Cacat dalam
pokok-pokok konvensi point 1 (pertama) pembukaan memberikan pemahaman, yakni;
Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat
menganggu atau merupakan rintangan dan hamabatan baginya untuk melakukan secara
selayaknya, yang terdiri dari, penyandang cacat fisik; penyandang cacat mental;
penyandang cacat fisik dan mental. Menurut Peraturan Daerah Provinsi Lampung
Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelayanan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas,
penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
penyandang disabilitas fisik, penyandang disabilitas mental serta penyandang
disabilitas fisik dan mental.
Orang berkebutuhan khusus (disabilitas) adalah orang
yang hidup dengan karakteristik khusus dan memiliki perbedaan dengan orang pada
umumnya. Karena karakteristik yang berbeda inilah memerlukan pelayanan khusus
agar dia mendapatkan hak-haknya sebagai manusia yang hidup di muka bumi
ini.Orang berkebutuhan khusus memiliki defenisi yang sangat luas, mencakup
orang-orang yang memiliki cacat fisik, atau kemampuan IQ (Intelligence Quotient)
rendah, serta orang dengan permasalahan sangat kompleks, sehingga fungsi-fungsi
kognitifnya mengalami gangguan.
a.
Jenis-jenis
Disabilitas
Terdapat
beberapa jenis orang dengan kebutuhan khusus/disabilitas. Ini berarti bahwa
setiap penyandang disabilitas memiliki defenisi masing-masing yang mana
kesemuanya memerlukan bantuan untuk tumbuh dan berkembang secara baik.
Jenis-jenis
penyandang disabilitas:
1)
Disabilitas
Mental. Kelainan mental ini terdiri dari:
a)
Mental Tinggi.
Sering dikenal dengan orang berbakat intelektual, di mana selain memiliki
kemampuan intelektual di atas rata-rata dia juga memiliki kreativitas dan tanggungjawab
terhadap tugas.
b)
Mental Rendah
Kemampuan mental rendah atau kapasitas intelektual/IQ (Intelligence Quotient)
di bawah rata-rata dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu anak lamban belajar
(slow learnes) yaitu anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) antara
70-90. Sedangkan anak yang memiliki IQ (Intelligence Quotient) di bawah 70
dikenal dengan anak berkebutuhan khusus.
c)
Berkesulitan
Belajar Spesifik Berkesulitan belajar berkaitan dengan prestasi belajar
(achievment) yang diperoleh
2)
Disabilitas
Fisik. Kelainan ini meliputi beberapa macam, yaitu:
a)
Kelainan Tubuh
(Tuna Daksa) Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang
disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat
bawaan, sakit atau akibat kecelakaan (kehilangan organ tubuh), polio dan
lumpuh.
b)
Kelainan Indera Penglihatan (Tuna Netra)
Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunanetra
dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (blind) dan low
vision.
c)
Kelainan
Pendengaran (Tunarungu) Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam
pendengaran baik permanen maupun tidak permanen. Karena memiliki hambatan dalam
pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka
biasa disebut tunawicara.
d)
Kelainan Bicara
(Tunawicara) Adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam mengungkapkan
pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapat dimengerti
oleh orang lain. Kelainan bicara ini dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan
bicara ini dapat bersifat fungsional di mana kemungkinan disebabkan karena
ketunarunguan, dan organik yang memang disebabkan adanya ketidaksempurnaan
organ bicara maupun adanya gangguan pada organ motorik yang berkaitan dengan
bicara.
4.
Tunawisma/ Gelandangan
a.
Definisi
Homeless atau tunawisma menggambarkan seseorang yang tidak memiliki tempat
tinggal secara tetap maupun yang hanya sengaja dibuat untuk tidur. Tunawisma
biasanya di golongkan ke dalam golongan masyarakat rendah dan tidak memiliki
keluarga. Masyarakat yang menjadi tunawisma bisa dari semua lapisan masyarakat
seperti orang miskin, anak-anak, masyarakat yang tidak memiliki keterampilan,
petani, ibu rumah tangga, pekerja sosial, tenaga kesehatan profesional serta
ilmuwan. Beberapa dari mereka menjadi tunawisma karena kemiskinan atau
kegagalan sistem pendukung keluarga mereka. Selain itu alasan lain menjadi
tunawisma adalah kehilangan pekerjaan, ditinggal oleh keluarga, kekerasan dalam
rumah tangga, pecandu alkohol, atau cacat. Walaupun begitu apapun penyebabnya,
tunawisma lebih rentan terhadap masalah kesehatan dan akses ke pelayanan
perawatan kesehatan berkurang.
1)
Faktor Penyebab
Munculnya Tunawisma
a)
Kemiskinan
Kemiskinan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banyaknya gelandangan,
pengemis dan anak jalanan. Kemiskinan dapat memaksa seseorang menjadi
gelandangan karena tidak memiliki tempat tinggal yang layak, serta menjadikan mengemis
sebagai pekerjaan. Ketidakmampuan seseorang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
dan keluarga membuatnya dalam garis kemiskinan. Penghasilan yang tidak menentu
berbanding terbalik dengan pengeluaran membuat seseorang rela menjadi tunawisma
untuk tetap bertahan hidup.Selain itu anak dari keluarga miskin menghadapi
risiko yang lebih besar untuk menjadi anak jalanan karena kondisi kemiskinan
yang menyebabkan mereka kerap kali kurang terlindung.
b)
Rendah tingginya
pendidikan Rendahnya pendidikan sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
seseorang. Pendidikan sangat berpengaruh terhadap persaingan didunia kerja.
Seseorang dengan pendidikan rendah akan sangat sulit mendapatkan sebuah
pekerjaan yang layak. Sedangkan mereka juga memerlukan biaya untuk mencukupi
semua kebutuhan hidupnya. Pada umumnya tingkat pendidikan gelandangan dan
pengemis relatif rendah sehingga menjadi kendala bagi mereka untuk memperoleh
pekerjaan yang layak.
c)
Keluarga
Keluarga adalah tempat seseorang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang
lebih daripada lingkungan lain. Namun, hubungan keluarga yang tidak harmonis
atau anak dengan keluarga broken home membuat mereka merasa kurang
perhatian,kemyamanan dan ketenangan sehingga mereka cenderung mencari
kebebasan, belas kasih dan ketenangan dari orang lain.
d)
Umur Umur yang
semakin rentan serta kemampuan fisik yang menurun, membuat seseorang lebih
sulit mendapatkan pekerjaan. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk memenuhi
kebutuhannya. Menjadi tunawisma merupakan alternatif terakhir mereka untuk
bertahan hidup.
e)
Cacat Fisik
Kondisi fisik yang tidak sempurna membuat seseorang sulit mendapatkan
pekerjaan. Kebanyakan seserang yang memiliki cacat fisik memilih menjadi
tunawisma untuk dapat bertahan hidup. Menurut Kolle (Riskawati dan Syani ( 2012
) kondisi kesejahteraan seseorang dapat diukur melalui kondisi fisiknya seperti
kesehatan.
f)
Rendahnya
ketrampilan Ketrampilan sangatlah penting dalam kehidupan,dengan ketrampilan
seseorang dapat memiliki asset produksi. Namun, ketrampilan perlu digali salah
satunya melalui pendidikan serta membutuhkan modal pendukung untuk
dikembangkan. Hal inilah yang menjadi penghambat seseorang dalam mengembangkan
ketrampilan yang dimilki. Ketidakberdayaan inilah yang membuat seseorang
memilih menjadi tunawisma untuk bertahan hidup. Pada umumnya gelandangan dan
pengemis tidak memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja.
g)
Masalah sosial
budaya Ada beberapa faktor sosial budaya yang menagkibatkan seseorang menjadi
gelandangan dan pengemis. Antara lain:
1.
Rendahnya harga
diri. Rendahnya harga diri kepada sekelompok orang, mengakibatkan mereka tidak
memiliki rasa malu untk meminta-minta. Dalam hal ini, harga diri bukanlah
sesuatu yang berharga bagi mereka. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya tunawisma
yang berusia produktif.
2.
Sikap pasrah
pada nasib. Mereka manggap bahwa kemiskinan adalah kondisi mereka sebagai
gelandangan dan pengemis adalah nasib, sehingga tidak ada kemauan untuk
melakuan perubahan.
3.
Kebebasan dan kesenangan
hidup mengelandang.
h)
Faktor Lingkungan
Menjadi gelandangan dan pengemis dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang
mendukungnya. Contohnya saja jika bulan ramadhan banyak sekali ibu-ibu rumah
tangga yang bekerja sebagai pengemis. Momen ini digunakan mereka mencari uang
untuk membantu suaminya mencari nafkah. Tentu hal ini akan mempengaruhinya
untuk melakukan pekerjaan yang sama, terlebih lagi melihat penghasilan yang
didapatkan lumayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
i)
Letak Geografis
Kondisi wilayah yang tidak dapat diharapkan potensi alamnya membuat masyarakat
yang tinggal di daerah tersebut mengalami kemiskinan dan membuat masyarakat
harus meninggalkan tempat tersebut untuk mencari peruntungan lain. Akan tetapi,
keputusannya untuk pindah ke kota lebih memperburuk keadaan. Tidak adanya potensi
yang alam sedia untuk diolah membuat masyarakat tersebut semakin masuk dalam
garis kemiskinan, dan membuatnya menjadi gelandangan. Oleh karena itu ia lebih
memilih menjadi pengemis sehingga kebutuhan hidupnya sedikit terpeuhi dengan uang
hasil meminta-minta
j)
Lemahnya
penangan masalah gelandangan dan pengemis Penanganan masalah gelandangan dan
pengemis yang dilakukan oleh pemerintah hanya setengah hati. Selama ini
penanganan yang telah nyata dilakukan adalah razia, rehabilitasi dalam panti
sosial, kemudian setelah itu dipulangkan ketempat asalnya. Pada kenyataannnnya,
penanganan ini tidak menimbulkan efek jera bagi mereka sehingga suatu saat
mereka akan kembali lagi menjadi gelandangan dan pengemis. pada proses
penanganan hal yang dilakukan adalah setelah dirazia mereka dibawa kepanti
sosial untuk mendapat binaan, bagi yang sakit dan yang berusia renta akan tetap
tinggal di panti sosial sedangkan yang lainnya akan dipulangkan. Proses ini
dirasakan terlalu mudah dan enak bagi gelandangan dan pengemis sehingga ia
tidak perlu takut apabila terjaring razia lagi. hal inilah yang membuat mereka
terus mengulang kegiatan yang sama yakni menjadi gelandangan dan pengemis.
BAB III
PENGKAJIAN
A.
Kasus
seorang perempuan, usia 30 tahun,dengan dua orang
anak pulang dari rumah sakit setelah 20 hari dirawat di rumah sakit, perempuan
tersebut dirawat karena marah-marah, tertawa, berbicara sendiri, merusak alat
rumah tangga dan curiga dengan suaminya. Diagnosa medis skizofrenia. Suami
perempuan tersebut bekerja sebagai buruh di kota dan pulang seminggu sekali.
Perempuan tersebut sudah 2 kali dirawat di rumah sakit. Dirumah ia hanya
tinggal dengan kedua anaknya, 1 minggu setelah pulang kader melaporkan
keperawat puskesmas bahwa perempuan tersebut mulai marah-marah, bicara dan
tertawa sediri lagi dan tidak mau minum obat
B.
Pengkajian
Satu minggu setelah pulang dari rumah sakit
perempuan tersebut marah-marah, bicara sendiri, tertawa sendiri, merusak alat
rumah tangga, dan curiga dengan suaminya. Selama satu minggu terakhir perempuan
tersebut tidak minum obat.
C.
Diagnosa keperawatan Individu
Dx : Halusinasi
Resiko perilaku kekerasan
Penatalaksanaan regimen terapeutik
inefektif
Keluarga :
Kurang pengetahuan
Perencanaan
Tujuan jangka panjang
Individu
a.
Halusinasi berkurang
atau hilang
b.
Perilaku
mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan dapat di cegah
c.
Patuh dalam
penatalaksanaan regimen terapeutik
Keluarga
Merawat pasien dengan halusinasi, resiko
perilakukekerasan dan penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif
Tujuan jangka pendek
Individu
a.
Mengenal masalah
dan mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik, bercakapcakap, kegiatan
terjaduan dan patuh minum obat
b.
Mengontrol
prilaku kekerasan dengan cara : fisik, sosial, spiritual, deescalasi dan patuh
obat
c.
Memahami manfaat
6 benar obat dan dampak bila putus obat
Keluarga
a.
Mengenal masalah
halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan penatalaksanaan regimen terapeutik
b.
Memutuskan cara
merawat perempuan tersebut
c.
Memodivikasi
lingkungan
d.
Melakukan
follow-up dan rujukan
Tindakan
Individu
a.
Melatih
mengontrol halusinasi dengan 4 cara : menghardik, bercakap-cakap, kegiatan terjadual
dan patuh minum obat
b.
Melatih
mengontrol prilaku kekerasan dengan cara: fisik, sosial, spiritual, deescalasi
dan patuh obat
c.
Mendiskusikan
tentang manfaat obat
Keluarga :
a.
Melatih mengenal
masalah
b.
Melatih keluarga
mengambil keputusan
c.
Melatih keluarga
cara memodivikasi lingkungan
d.
Melatih keluarga
cara merawat ODGJ dengan halusinasi, resiko perilaku kekerasan dan ketidak
efektifan penatalaksanaan regimen terapeutik
Evaluasi :
Individu :
a.
Halusinasi
terkontrol atau hilang
b.
Tidak menciderai
diri, orang lain dan lingkungsn
c.
Patuh minum obat
d.
Keluarga
e.
Pengetahuan
keluarga meningkat
f.
Mampu merawat
perempuan tersebut
Pencegahan :
Primer : pendidikan kesehatan dan melatih cara
manajemen setres untuk suami dan anak-anak pasien tersebut
Sekunder : monitor kepatuhan minum obat dan
memberikan perawatan Tersier : meningkatkan kemampuan koping dan mengembangkan
sistem pendukun
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Populasi
rentan atau populasi beresiko adalah kondisi yang mempengaruhi kondisi
seseorang atau populasi untuk menjadi sakit atau sehat (Kaakinen, Hanson,
Birenbaum dalam Stanhope & Lancaster, 2004). Pandera mengkategorikan faktor
resiko kesehatan antara lain genetik, usia, karakteristik biologi, kesehatan
individu, gaya hidup dan lingkungan. Jika seseorang dikatakan rawan apabila
mereka berhadapan dengan penyakit, bahaya, atau outcome negatif. Faktor
pencetusnya berupa genetik, biologi atau psikososial. Populasi rawan atau
rentan merupakan kelompok-kelompok sosial yang memiliki peningkatan risiko yang
relatif atau rawan untuk menerima pelayanan kesehatan. Kenyataan menunjukan
bahwa Indonesia memiliki banyak peraturan perundangundangan yang mengatur
tentang Kelompok Rentan, tetapi tingkat implementasinya sangat beragam.
Sebagian undang-undang sangat lemah pelaksanaannya, sehingga keberadaannya
tidak memberi manfaat bagi masyarakat. Disamping itu, terdapat peraturan
perundang-undangan yang belum sepenuhnya mengakomodasi berbagai hal yang
berhubungan dengan kebutuhan bagi perlindungan kelompok rentan. Keberadaan
masyarakat kelompok rentan yang merupakan mayoritas di negeri ini memerlukan
tindakan aktif untuk melindungi hak-hak dan kepentingankepentingan mereka melalui
penegakan hukum dan tindakan legislasi lainnya. Hak asasi orang-orang yang
diposisikan sebagai masyarakat kelompok rentan belum terpenuhi secara maksimal,
sehingga membawa konsekuensi bagi kehidupan diri dan keluarganya, serta secara
tidak langsung juga mempunyai dampak bagi masyarakat.
B. Saran
Dengan adanya makalah ini maka diharapkan untuk
dapat mengaplikasikan pada kehidupan dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan
hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, E.T . 2006 . Buku Ajar Keperawatan
Komunitas Teori dan Praktik , Jakarta : EGC
Mary A. Nies, Melaine McEwen.Keperawatan kesehatan
komunitas dan keluarga.2019.Elsevier.Singapore
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. (2009). Ilmu Keperawatan
Komunitas; Konsep dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Medika
Riyadi.
Sugeng (2007), Keperawatan Kesehatan Masyarakat, retieved may 12nd.
Smeltzer, & Bare, 2002. Buku Ajar Keperawatan
Medikal. Bedah Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC
R, Fallen. Catatan Kuliah Keperawatan Komunitas.
(2010). Yogyakarta: Nuha Medika Vaughan, 2000, General Oftamology, Jakarta.