MAKALAH EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan bagian yang inhern dalam kehidupan manusia. Dan, manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Karena hal itulah, maka pendidikan merupakan sebuah proses yang sangat vital dalam kelangsungan hidup manusia. Tak terkecuali pendidikan Islam, yang dalam sejarah perjalanannya memiliki berbagai dinamika. Eksistensi pendidikan Islam senyatanya telah membuat kita terperangah dengan berbagai dinamika dan perubahan yang ada.

Berbagai perubahan dan perkembangan dalam pendidikan Islam itu sepatutnya membuat kita senantiasa terpacu untuk mengkaji dan meningkatkan lagi kualitas diri, demi peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan Islam di Indonesia. Telah lazim diketahui, keberadaan pendidikan Islam di Indonesia banyak diwarnai perubahan, sejalan dengan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Sejak dari awal pendidikan Islam, yang masih berupa pesantren tradisional hingga modern, sejak madrasah hingga sekolah Islam bonafide, mulai Sekolah Tinggi Islam sampai Universitas Islam, semua tak luput dari dinamika dan perubahan demi mencapai perkembangan dan kemajuan yang maksimal. Pertanyaannya kemudian adalah sudahkah kita mencermati dan memahami bagaimana kemunculan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia, untuk kemudian dapat bersama-sama meningkatkan kualitasnya, demi tercipta pendidikan Islam yang humanis, dinamis, berkarakter sekaligus juga tetap dalam koridor Alqur’an dan Assunah.

B.     Rumusan Masalah

Merujuk pada latar belakang diatas kami merumuskan masalah sebagai berikut:

1.      Apa pengertian pendidikan islam?

2.      Bagaimana sejarah perkembangan pendidikan islam di Indonesia?

3.      Apa saja isu-isu pendidikan islam di Indonesia?

 

C.    Tujuan Pembahasan

Tujuan dari pembahasan makalah kami adalah:

1.      Mengetahui apa pengertian pendidikan islam

2.      Mengetahui sejarah pendidikan islam di Indonesia

3.      Mengetahui isu-isu pendidikan islam di Indonesia

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pendidikan Islam

Bila kita akan melihat pengertian pendidikan dari segi bahasa, maka kita harus melihat kepada kata Arab karena ajaran islam itu diturunkan dalam bahasa tersebut. Kata “pendidikan” yang umum kita gunakan sekarang, dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah”, dengan kata kerja “rabba”. Kata “pengajaran” dalam bahasa Arabnya adalah “ta’lim” dengan kata kerjanya “’allama”. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya “Tarbiyah wa ta’lim” sedangkan “pendidikan islam” dalam bahasa Arabnya adalah “Tarbiyah Islamiyah”.[1]

Pengertian pendidikan seperti lazim difahami sekarang belum terdapat di zaman Nabi. Tetapi usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan berdakwah, menyampaikan ajaran, memberikan contoh, melatih keterampilan berbuat, member motivasi dan menciptakan lingkungan social yang mendukung pelaksanaan ide pembentukan pribadi muslim itu, telah mencakup arti pendidikan dalam pengertian sekarang. Orang arab mekah yang tadinya menyembah berhala, musyrik, kafir, kasar dan sombong maka dengan usaha dan kebaikan Nabi mengislamkan mereka, lalu tingkah laku mereka berubah menjadi menyembah Allah Tuhan Yang MAha Esa, mukmin, muslim, lemah lembut dan hormat pada orang lain.mereka telah berkepribadian muslim sebagaimana yang telah dicita-citakan oleh ajaran Islam. Dengan itu berarti nabi telah mendidik, membentuk kepribadian yaitu kepribadian muslim dan sekaligus berarti bahwa Nabi Muhammad saw adalah seorang pendidik yang berhasil. Apa yang beliau lakukan dalam membentuk manusia, kita rumuskan sekarang dengan pendidikan islam. Cirinya ialah perubahan sikap dan tingkah laku dengan petunjuk ajaran islam.  Untuk itu perlu adanya usaha, kegiatan, cara, alat dan lingkungan hidup yang menunjang keberhasilannya. Dengan demikian, secara umum dapat kita katakana bahwa pendidikan islam itu adalah kepribadian muslim.

 

B.     Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam Di Indonesia

Pendidikan islam tidak dapat dilepaskan dari substansi ajaran agama islam yang berpusat pada nilai-nilai moralitas. Pendidikan islam sebagai salah satu institusi pendidikan di Indonesia memiliki peran penting sebagai salah satu pendiri fondasi bangsa. Seperti ajaran agama segara umumnya, pendidikan islam memiliki instrumen yang kuat dalam membentuk hegemoni untuk membangun budaya integritas bangsa.

Pendidikan Islam merupakan satu bentuk pendidikan yang memiliki kekhasan sendiri yang menjadikan pendidikan tersebut berbeda dengan pendidikan lainnya. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan Islam merupakan bentuk pendidikan yang berbasis masyarakat dan merupakan bentuk pendidikan keagamaan yang dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal, dan non-formal. Selain itu, dalam Undang-Undang tersebut, pendidikan Islam juga masuk ke dalam bentuk pendidikan dasar dan tinggi berupa Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah. Sedangkan menurut Mastuhu, satuan pendidikan Islam dibagi ke dalam beberapa kategori, yaitu non-pesantren (madrasah), pesantren, diniyah murni, dan perguruan tinggi agama Islam (Arif, 2008:199).

1.      Masa awal pendidikan islam di Indonesia

Pendidikan Islam di Indonesia tidak terlepas dari sejarah perkembangan Islam di Indonesia sejak awal masuk ke Tanah Air melalu jalur perdagangan hingga sekarang. Islam masuk dan berkembang di Nusantara sekitar sejak abad ke-12 yang bermula di daerah barat Indonesia tepatnya di semenanjung selat malaka (Ricklets, 1995: 3-4). Selanjutnya Islam mulai menyebar ke hampir seluruh pelosok nusantara melalui jalur perdagangan. Penyebaran Islam ini tidak terlepas dari metode yang dilakukan oleh para penyiar Islam di Indonesia yang tidak terlepas dari pendidikan. Perkembangan pendidikan Islam yang diterapkan dalam penyebaran ajaran Islam di Indonesia diawali dengan munculnya pesantren di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Sejarah pendidikan islam sama tuanya dengan masuknya agama islam ke Indonesia. Hal ini dikarenakan pemeluk agama baru tersebut ingin mempelajari dengan mengetahui lebih dalam tentang ajaran-ajaran Islam. Mereka ingin pandai sholat, berdoa, membaca Al-Qur’an yang menyebabkan timbulnya proses belajar meskipun dalam pengertian yang sangat sederhana.[2]

Dari sinilah timbul pendidikan Islam yang pada mulanya mereka belajar di rumah-rumah, langgar/surau, masjid, kemudian berkembang menjadi pokok pesantren. Setelah itu, timbul system madrasah yang teratur sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.

2.      Pendidikan Islam pada masa penjajahan belanda

Masa penjajahan Belanda merupakan era baru dalam eksistensi pendidikan islam di Indonesia. Perubahan sosial dan modernisasi menjadi isu sentral pada era kolonialisasi Belanda. Hal ini berdampak langsung pada pendidikan islam di Indonesia. Kemajuan zaman yang pesat akibat dari kolonialisasi dan modernisasi yang dibawa oleh orang barat berupa pengaruh hegemoni Barat yang datang ke indonesia (Ridjaluddin F. N, 2001: 77-78). Hegemoni Barat ini dapat dilihat dari kebijakan Pemerintah Belanda yang sangat membatasi pergerakan Islam di Indonesia termasuk dalam pendidikan.

Pemerintah colonial belanda yang memperkenalkan sekolah. Sekolah modern menurut system persekolahan yang berkembang di dunia Barat mempengaruhi system pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia sebelum adanya Kolonial Belanda yang sangat berbeda dalam system dan pengelolaan dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.

Hal tersebut tampak dari terpecahnya dunia pendidikan di Indonesia pada abad ke-20 menjadi dua golongan.

a.    Pendidikan yang diberikan oleh sekolah Barat yang sekuler dan tidak mengenal ajaran agama.

b.   Pendidikan yang diberikan oleh pondok pesantren yang hanya mengenal ajaran agama.

Dengan kata lain, menurut Wijosukarto yang dikutip oleh muhaemin, pada periode tersebut terdapat dua corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat pondok pesantren dan corak baru dari perguruan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang dikelola Belanda berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi, yaitu pendidikan umum, sedangkan lembaga pendidikan islam lebih menekankan pada aspek keagamaan.[3]

Hegemoni ini selanjutnya membentuk persepsi mayarakat, khususnya masyarakat perkotaan, bahwa pesantren merupakan pendidikan yang tradisional dan ortodoks. Persepsi masyarakat tersebut selanjutnya menjadi salah satu sebab kemunduran yang dialami oleh pendidikan Islam dalam bentuk pesantren di Indonesia khususnya di daerah perkotaan. Untuk menyiasati hal tersebut, umat Islam di Indonesia khususnya yang taat beragama membentuk sikap konfrontasi terhadap pemerintah belanda dengan membuat hegemoni tandingan berupa pelabelan haram terhadap segala sesuatu yang menjadi produk kolonial serta memusatkan, pada umumnya, kegiatan pendidikan Islam (pesantren) di daerah pinggiran kota dan desa (Suminto, 1985: 50-51). Selain itu, juga muncul gagasan diantara ulama-ulama dan cendikiawan-cendikiawan muslim di Indonesia untuk membentuk satu bentuk pendidikan Islam yang modern dan dapat diterima oleh masyarakat Indonesia pada waktu itu yang telah terhegemoni oleh pengaruh barat dalam hal pendidikan sebagai salah satu cara menghadapi tantangan tersebut. Bentuk pendidikan Islam modern tersebut adalah madrasah.

Gagasan pembentukan madrasah ini juga tidak terlepas dari pembaharuan Islam yang dibawa oleh para cendikiawan Islam Indonesia yang telah kembali dari timur tengah. Dimana cendikiawan muslim yang mengkaji Islam pada awal abad ke-20 berpindah dari Haramain (Mekkah) ke Al-Azhar Kairo. Perpindahan ini karena sifat pendidikan Islam di Al-Azhar Kairo tidak hanya membahas masalah-masalah agama saja melainkan juga masalah sosial politik seperti kolonialisme dan imperialisme yang di lakukan oleh kaum barat (Abaza, 1999: 48-49).

Pembaharuan Islam di Indonesia diawali dengan adanya gerakan Padri (Sumatra Barat), Persatuan Islam dan Muhammadiyah (Pulau Jawa). Dalam gerakan pembaharuan Islam ini, yang menjadi isu atau tema utama diantaranya adalah, pertama, puruifikasi agama yaitu pemurnian doktrin-doktrin Islam yang terkait dengan bid’ah, khufarat, dan tahayul yang berlangsung sejak sebelum kemerdekaan Indonesia hingga beberapa saat setelah kemerdekaan; kedua, sekularisasi dalam Islam yaitu pemahaman dan pemecahan masalah-masalah duniawi dengan mengerahkan rasio yang selanjutnya melahirkan paham desakralisasi; ketiga, reaktualisasi ajaran Islam yaitu munculnya modifikasi dalam ajaran-ajaran Islam yang mendasar dan sifatnya mutlak (Ismali, 2001: 169-175).

Ketika madrasah terus berkembang dan dapat menyaingi sekolah desa yang didirikan oleh pemerintah Belanda, maka pemerintah Belanda pada akhirnya mengeluarkan kebijakan yang disebut wilde Schoolen Ordonantie yaitu kebijakan yang melabelkan pendidikan Islam, termasuk madrasah  sebagai sekolah liar dan harus di tutup (arif, 2008: 202). Kebijakan ini berujung pada semakin terisolasinya madrasah dari arus modernisasi dan sulit untuk berkembang serta identik dengan praktek-praktek ritual keagamaan. Selain itu, dualisme pendidikan antara sekolah sekuler dan sekolah keagamaan juga mulai berkembang sejak kebijakan tersebut dibuat. Walaupun demikian, pendidikan madrasah tetap mampu mendapat dukungan masyarakat sekitar karena pendidikan sekuler yang didirikan oleh pemerintahan kolonial tidak mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat di setiap daerah Hindia Belanda. Sehingga pendidikan madrasah yang meniru pendidikan sekuler dalam hal metode dan kurikulum menjadi pilihan alternatif bagi rakyat.

3.      Eksistensi Pendidikan Islam Pasca Kemerdekaan

Setelah masa kemerdekaan, Madrasah memasuki masa yang menguntungkan eksistensinya. Dimana madrasah tidak lagi berhadapan dengan kekuatan yang menolak eksistensinya seperti pemerintaha kolonial. Pergerakan dan perkembangan madrasah dan pendidikan Islam lainnya juga tidak lagi terkekang oleh kebijakan-kebijakan diskriminatif dari pemerintah kolonial seperti kebijakan ordonansi guru dan sekolah liar. Karena madrasah dan pendidikan islam lainnya telah merdeka dan berada di dalam bangsa yang merdeka.

Perjalanan sejarah pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda dan Jepang sangat menarik dan memiliki proses yang sangat panjang. Belanda yang menduduki Indonesia setelah tiga setengah abad dan jepang selama tiga setengah tahun meninggalkan kesengsaraan, mental dan kondisi psikologis yang lemah. Dengan misi gold, glory, dan gospel mereka mempengaruhi pemikiran dan ideology dengan doktrin-doktrin Barat (Zuhairin, 1986: 134).

Hal tersebut mendorong para tokoh muslim pada masa itu untuk berupaya sekuat tenaga mengajarkan islam dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan Islam, seperti madrasah, pesantren, majelis ta’lim, dan sebagainya.

Sayangnya, hal tersebut tidak dirasakan oleh madrasah dan pendidikan Islam lainnya. Dampak-dampak yang dirasakan oleh madrasah dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial tersebut tetap dirasakan oleh madrasah setelah Indonesia merdeka. Paradigma dualisme pendidikan terus tetap berjalan pada pemerintahan Soekarno dan pada masa Orde Baru. Di masa pemerintahan Soekarno, hal ini dapat dilihat dari adanya pendidikan sekuler dan pendidikan Islam yang bercorak isolatif-tradisional maupun sintesis seperti madrasah. Kondisi seperti ini pada akhirnya menjadikan pendidikan Islam, termasuk madrasah tidak dapat perhatian yang sama dengan sekolah umum lainnya. Hal ini terlihat dari pengesahan Undang-Undang Pendidikan Nasional No. 4 tahun 1950 jo. No. 12 tahun 1954 yang masih terbatas pada penguatan struktur madrasah bukan pada substansi dan penguatan posisi madrasah secara konstitusional  (arif, 2008: 204-205).

Sedangkan pada masa Orde Baru, Madrasah makin terhimpit posisinya dengan dikeluarkannya Keppres No. 34/1972 dan Inpres No. 15/1974 yang mengintruksikan agar semua lembaga pendidikan di Indonesia, termasuk lembaga pendidikan Islam, dibawah tanggung jawab Departemen P & K. Keputusan ini mendapatkan banyak protes dari sebagian besar praktisi pendidikan Islam dan meminta sidang Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A). Selanjutnya, hasil dari sidang ini lah yang menjadi dasar dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yang ditandatangani oleh Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 24 Maret 1975 yang menjadikan komposisi Pendidikan umum dan Pendidikan Agama 70:30 dalam kurikulum madrasah. Kondisi ini diperparah dengan perintah pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an kepada militer untuk menopang kekuatan negara dalam menghadapi rongrongan ideologi apapun termasuk ideologi agama yang telah disahkan oleh pemerintah (Amnesti Internasional, 1998: 1). Sehingga segala kegiatan di madrasah dan lembaga pendidikan Islam lainnya sangat dibatasi dan harus sesuai dengan apa yang dikehendaki pemerintah Indonesia pada waktu itu.

C.    Isu-Isu Pendidikan Islam di Indonesia

1.      Problematika Pendidikan islam di Indonesia[4]

1)      Benturan antara idealisme dan pragmatisme

Menyusul derasnya arus globalisasi, minimal ada dua tantangan besar yang harus dihadapi oleh pendidikan islam. Kedua tantangan tersebut meliputi dua aspek. Kedua tantangan tersebut meliputi dua aspek yaitu kelembagaan dan penguatan materi pendidikan. Untuk konteks pertama, bila mengamati kekuatan pasar seperti dimaksud diatas, kita segera diingatkan oleh dua kategori pendidikan yang kini menyeruak ke permukaan : pendidikan yang dikendalikan oleh pasar dan pendidikan yang berorientasi penciptaan pasar. Pada kategori pertama, pendidikan diombang-ambingkan oleh selera pasar, menyusul pergerakannya yang didikte oleh kepentingan pasar itu sendiri. Dalam konteks ini, kualitas layanan pendidikan semestinya disesuaikan dengan tuntunan konsumen masyarakat.

Pendidikan islam, singkatnya harus mewaspadai dan merespon dengan bijaksana kekuatan pasar tanpa harus kehilangan jati dirinya. Memang, pendidikan islam tidak bisa menghindari kenyataan bahwa kekuatan pasar semakin mengalami peningkatan sebagai akibat dari penguatan kapitalisme, yang semakin tinggi oleh arus globalisasi. Harus disadari bahwa bagaimanapun upaya pereduksian yang dilakukan, globalisasi telah mengikat berbagai elemen social global beserta kepentingan-kepentingan yang dimiliki ke dalam satu tarikan nafas yang sama. Namun demikian, pendidikan islam tidak seharusnya kehilangan identitas sebagai sebuah media pelestarian nilai-nilai dan juga kultur yang telah membentuk keislaman dan kemsyarakatan kaum muslim selama ini. Kapitalisme telah memunculkan borjuasi yang mampu memporakporandakan struktur kekastaan dimasyarakat seperti yang menjadi semangat islam. Namun begitu, kapitalisme melalui kekuataan pasar yng ditimbulkan bisa mengancam kedekatan masyarakat terhadap nilai-nilai keislaman.

2)      Tantangan inovasi kurikulum dan khususnya pembelajaran[5]

Muhaaimin mencatat sejumlah permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan islam di Indonesia, khususnya jenjang pendidikan tinggi . permasalahan yang dimaksud berkaitan dengan desain dan implementasi kurikulum, sebagaimana berikut :

a.       Kurang relavannya materi pembelajaran dengan masyarakat : banyak program studi dan materi pembelajaran yang tidak dimintai masyarakat tetap dipertahankan.

b.      Kurang efektifnya pembelajaran, yakni tidak terjaminnya lulusan yang sesuai dengan harapan.

c.       Kurang efisiensinya penyelenggaraan pembelajaran, yakni terlalu banyaknya materi ehingga kompetensi lulusan tidak bisa dijamin secara baik.

d.      Kurang fleksibelnya dalam pengembangan kurikulum agar lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

e.       Banyaknya multitafsir atas materi dan praktik pembelajaran

f.       Hanya berupa deretan mata kuliah.

g.      Berbasisi pada mata kuliah/penyampaian materi bukan pada tujuan kurikuler.

h.      Kurang jelas dan kuatnya pengacuan secara fungsional materi pembelajaran terhadap tugas utama kurikuler.

Secara lebih spesifik, inovasi atas strategi dan metode pembelajaran cenderung melemah dibanding praktik pengulangan atas metode konvensional. Seperti menjadi catatan besar dari praktik riil yang ada.

3)      Tantangan desentralisasi dan otonomi pendidikan[6]

Kebijakan pemerintah dalam menyikapi system pendidikan islam di Indonesia ini menjadi gerbang awal lembaga pendidikan islam di Indonesia untuk tetap eksis dalam menghadapi era persaingan bebas dan keunggulan teknologi informasi yang menurut adanya system politik, ekonomi dan budaya.

Kebijakan pemerintah melalui desentralisasi dan otonomi pendidikan sejatinya memberikan peluang yang sangat besar dan luas kepada pendidikan islam di Indonesia untuk melakukan akselerasi kualitas penyelenggaraan pendidikannya. Pendidikan islam semestinya merespon kebijakan desentralisasi dan otonomi ini dengan penuh semangat kemajuan. Namun, bila peluang yang muncul dari kebijakan ini tidak dimanfaatkan dengan baik, pendidikan islam akan gagal untuk bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya. Karena itu, pembenahan yang lebih komprehensif perlu dilakukan, mulai dari pengembangan kurikulum, tenanga pendidik, hingga sarana prasarana, sebagaimana diantaranya dijelaskan dibawah. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan disuatu daerah patut menjadi masukan dan pelajaran bagi pendidikan islam untuk melakukan hal yang sama guna mencapai kesuksesan yang serupa pula. Proses replikasi seperti ini sudah menjadi hal yang sangat umum di era desentralisasi dan otonomi pendidikan.

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Sejarah perkembangan pendidikan Islam di Indonesia meliputi awal masuk pendidikan Islam di Indonesia yang sama dengan masuknya islam di Indonesia. Perkembangan pada masa penjajahan Belanda yang menyebabkan perubahan system pembelajaran yang menganut budaya barat. Dan perkembangan pada era pasca merdeka yang menyebabkan pendidikan di Indonesia menjadi Merdeka pula.

Problematika Pendidikan islam di Indonesia

1.      Benturan antara idealisme dan pragmatisme

Kapitalisme telah memunculkan borjuasi yang mampu memporakporandakan struktur kekastaan dimasyarakat seperti yang menjadi semangat islam. Namun begitu, kapitalisme melalui kekuataan pasar yng ditimbulkan bisa mengancam kedekatan masyarakat terhadap nilai-nilai keislaman.

2.      Tantangan inovasi kurikulum dan khususnya pembelajaran

Secara lebih spesifik, inovasi atas strategi dan metode pembelajaran cenderung melemah dibanding praktik pengulangan atas metode konvensional. Seperti menjadi catatan besar dari praktik riil yang ada.

3.      Tantangan desentralisasi dan otonomi pendidikan

Karena itu, pembenahan yang lebih komprehensif perlu dilakukan, mulai dari pengembangan kurikulum, tenanga pendidik, hingga sarana prasarana, sebagaimana diantaranya dijelaskan dibawah. Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan disuatu daerah patut menjadi masukan dan pelajaran bagi pendidikan islam untuk melakukan hal yang sama guna mencapai kesuksesan yang serupa pula. Proses replikasi seperti ini sudah menjadi hal yang sangat umum di era desentralisasi dan otonomi pendidikan.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Daradjat, Zakiyah dkk. 2014. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumu Aksara.

Kodir, Abdul. 2015. Sejarah Pendidikan Islam. Bandung: CV PUSTAKA SETIA.

Muzakki, kholilah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Kopertais IV Press. Surabaya.

 

 

[1] Dr. Zakiyah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: PT Bumu Aksara, 2014), 27.

[2] Dr. H Abdul Kodir, M.A, Sejarah Pendidikan Islam (Bandung: CV PUSTAKA SETIA, 2015), 149.

[3] Ibid., 174.

[4] Muzakki, Ilmu Pendidikan Islam. (Surabaya : Kopertais IV Press, 2011) 176.

[5] Ibid., 180.

[6] Ibid., 182.

Artikel Terkait