MAKALAH AKHLAK TASAWUF PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM AKHLAK ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kata “akhlak” berasal dari
bahasa arab yang secara bahasa bermakna “pembuatan” atau “penciptaan” dalam konteks agama, akhlak bermakna
perangai, budi, tabi’at, adab, atau tingkah laku. Menurut Imam Ghozali, akhlak
adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang melahirkan perbuatan
perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran maupun pertimbangan.
Melacak sejarah
perkembangan akhlak (etika) dalam pendekatan bahasa sebenarnya sudah dikenal
manusia di muka bumi ini. Yaitu, yang dikenal dengan istilah adat istiadat yang
sangat dihormati oleh setiap individu, keluarga dan masyarakat.
Selama lebih kurang seribu
tahun ahli-ahli fikir Yunani dianggap telah pernah membangun “kerajaan
filsafat“, dengan lahirnya berbagai ahli dan timbulnya berbagai macam aliran
filsafat. Para penyelidik akhlak mengemukakan, bahwa ahli-ahli semata-semata
berdasarkan fikiran dan teori-teori pengetahuan, bukan berdasarkan agama.
Selain itu juga masih terdapat ahli-ahli fikir lain di zaman sebelum islam,
pertengahan, dan di zaman modern.
Dari filsuf – filsuf
Yunani terjadilah persoalan antara baik dan buruk. Yang mana persoalan ini
menjadi permbicaraan utama dalam kajian ilmu akhlak dan ilmu estetika. Di
antara pembicaraan baik dan buruk penting karena terdapat dua alasan, ini juga berkaitan
dengan ilmu akhlak, dan dapat mengetahui pandangan islam tentang persoalan
akibat munculnya berbagai aliran.
Pada pembahasan ini kami
sebagai pemakalah akan menjelaskan tentang sejarah perkembangan ilmu akhlak
pada zaman Yunani sampai zaman Modern dan baik dan buruk.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang
tersebut maka dapat kami rumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah perkembangan Pemikiran
akhlak Islam pada Fase Yunani?
2. Bagaimana sejarah akhlak Islam pada Fase
Arab sebelum Islam?
3. Bagaimana sejarah akhlak Islam pada Fase
Islam?
4. Bagaimana akhlak Islam pada fase abad
pertengahan?
5. Bagaimana akhlak Islam pada Fase Modern?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bahwa sejarah dan
perkembangan Pemikiran dalam akhlak Islam pada Fase Yunani
2. Untuk mengetahui sejarah akhlak Islam
pada Fase Arab Pra islam.
3. Untuk mengetahui sejarah akhlak Islam
pada Fase islam.
4. Untuk mengetahui perkembangan akhlak
Islam pada fase Abad Pertengahan.
5. Untuk mengetahui perkembangan kondisi
Pemikiran akhlak Islam pada Fase Modern
BAB II
PEMBAHASAN
A. Fase Yunani
Pertumbuhan Pemikiran
akhlak Islam pada bangsa Yunani baru terjadi setelah munculnya orang-orang yang
bijaksana (500-450 SM). Sedangkan sebelum itu di kalangan bangsa Yunani tidak
dijumpai pembicaraan mengenai akhlak, Islam karena pada masa itu perhatian
mereka tercurah pada penyelidikannya mengenai alam.[1]
Dasar yang digunakan para
pemikir Yunani dalam membangun ilmu akhlak adalah pemikiran filsafat tentang
manusia. Ini menunjukkan bahwa ilmu akhlak yang mereka bangun lebih bersifat
filosofis. Pandangan dan pemikiran filsafat yang dikemukakan para filosof
Yunani berbeda-beda. Tetapi substansi dan tujuannya sama, yaitu menyiapkan
angkatan muda bangsa Yunani, agar menjadi nasionalis yang baik, merdeka, dan
mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.[2]
Pandangan dan pemikiran
yang dikemukakan para filosof Yunani secara redaksional berbeda-beda, tetapi
substansi dan tujuannya sama yaitu menyiapkan angkatan muda Yunani agar menjadi
nasionalis yang baik lagi merdeka dan mengetahui kewajiban mereka terhadap
tanah airnya.
Para tokoh filosofi Yunani
yang mengemukakan tentang akhlak diantaranya adalah :
1. Socrates (469-399 SM)
Socrates didaulat sebagai
perintis ilmu akhlak Yunani yang pertama. Alasannya, ia adalah tokoh pertama
yang bersungguh-sungguh mengaitkan manusia dengan prinsip ilmu pengetahuan. Ia
berpendapat bahwa akhlak dalam kaitannya dengan hubungan antar manusia harus
didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ia mengatakan bahwa “keutamaan itu terdapat
pada ilmu”. Oleh karena itu, tidak heran jika kemudian bermunculan berbagai
pendapat tentang tujuan akhlak walaupun sama-sama didasarkan pada Socrates
2. Cynics dan Cyrenics
Golongan terpenting yang lahir
setelah Socrates adalah Cynics dan Cyrenics. Keduanya dari pengikut Socrates.
Golongan Cynics di bangun oleh Antistenes (414 - 370 SM). Menurut golongan ini
bahwa ketuhanan itu bersih dari segala kebutuhan, dan sebaik-baik manusia
adalah orang yang berperangai dengan akhlak ke Tuhanan. Di antara pemimpin
paham golongan Cynics yang terkenal adalah Diagenes yang meninggal pada tahun
323 SM. Adapun golongan “Cyrenics” di bangun oleh Aristippus yang lahir di
Cyrena (kota Barka di utara Afrika).
Kedua golongan tersebut, sama-sama
bicara tentang perbuatan yang baik, utama dan mulia. Golongan pertama, Cynics
bersikap memusat pada Tuhan (teo-sentris) dengan cara manusia berupaya
mengindentifikasi sifat Tuhan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari-hari. sedangkan golongan kedua, Cyrenics bersikap memusat pada manusia
(antro-pocentris) dengan cara manusia mengoptimalkan perjuangan dirinya dan
memenuhi kelezatan hidupnya.
3. Plato (427-347 SM)
Ia adalah seorang ahli filsafat
Athena dan murid dari Socrates. Pandangannya dalam bidang akhlak berdasarkan
pada teori model. Teori model ini digunakan Plato untuk menjelaskan masalah
akhlak. Di antara model ini adalah model untuk kebaikan yaitu arti mutlak,
azali, kekal dan amat sempurna. Dalam pandangan akhlaknya, Plato tampak
memadukan antara unsure yang datang dari diri manusia sendiri dan unsure yang
datang dari luar. Unsur dari diri manusia berupa akal pikiran dan potensi
rohaniah, sedangkan unsure dari luar berupa pancaran nilai-nilai luhur dari
yang bersifat mutlak.
Dia berpendapat bahwa pokok-pokok
keutamaan ada empat antara lain:
a) Hikmah/kebijaksanaan,
b) Keberanian,
c) Keperwiraan
d) Keadilan.
4. Aristoteles (394-322 SM)
Dia murid Plato yang membangun
suatu paham yang khas, yang mana pengikutnya diberi nama dengan “Peripatetics”
karena mereka memberikan pelajaran sambil berjalan, atau karena ia mengajar di
tempat berjalan yang teduh. Dia menyelidiki dalam akhlak dan mengarangnya. Dan
ia berpendapat bahwa tujuan terakhir yang dikehendaki manusia mengenai segala
perbuatannya ialah “bahagia”. Akan tetapi pengertiannya tentang bahagia lebih
luas dan lebih tinggi dari pengikut paham utilitarianism dalam zaman baru ini.
Dan menurut pendapatnya jalan mencapai kebahagiaan ialah mempergunakan kekuatan
akal pikiran sebaik-baiknya.
Selain itu Aristoteles ialah pencipta teori serba tengah
tiap-tiap keutamaan adalah tengah-tengah diantara kedua keburukan, seperti
dermawan adalah tengah-tengah antara boros dan kikir, keberanian adalah
tengah-tengah antara membabi buta dan takut.
5. Stoics dan Epicurics
Setelah aristoteles datang “Stoics”
dan “Epicuric” mereka berbeda
penyelidikanya dalam akhlak “stoics”
berpendirian sebagai paham “Cynics”, dan telah kami beri pejelasan secukupnya.
Akan tetapi perlu kami katakan disini, bahwa paham “stoics” ini diikuti oleh
banyak ahli filsafat di yunani dan romawi, rome ialah seneca (6 SM - 65 M),
Epicetetus (60 – 110 M) dan kaisar marcus orleus (121 – 180 M).
Stoisisme mengatakan bahwa tujuan
hidup manusia adalah menjalani segala sesuatu yang bisa dijalani secara
rasional. Kenikmatan dan kesengsaraan datang dan pergi, dan kita tidak perlu
melekat pada salah satunya. Segala ide tentang kesengsaraan dan kebahagiaan
berasal dari pikiran manusia belaka. Pikiran, the mind adalah kunci dari
Stoisisme. Kedamaian batin atau peace of mind akan kita alami kalau kita mau
berpikir rasional.
Filsafat Epikurus bertujuan
menjamin kebahagiaan manusia. Filsafatnya dititikberatkan pada etika yang akan
memberikan ketenangan batin.
6. Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi,
tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama itu telah berhasil mempengaruhi
pemikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak yang tercantum dalam
kitab Taurat dan Injil. Agama itu memberi pelajaran kepada manusia bahwa Tuhan
merupakan sumber segala akhlak. Tuhan yang memberi dan menentukan segala bentuk
patokan-patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan arti baik dan buruk. Baik
dalam arti sebenarnya adalah kerelaan Tuhan dan melaksanakan
perintah-perintah-Nya.
Ajaran akhlak pada agama
Nasrani ini bersifat Teo-centri(memusat pada Tuhan) dan sufistik(bercorak
batin). Ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para pendeta sejalan
dengan ajaran Yunani dari aliran Stoics dalam persoalan baik dan buruk,
sehingga kedudukan para pendeta sama dengan kedudukan para ahli filsafat di
Yunani. Menurut ahli filsafat Yunani pendorong untuk melakukan perbuatan baik
ialah pengetahuan dan kebijaksanaan, sedangkan menurut agama Nasrani pendorong
berbuat kebaikan adalah cinta dan iman kepada Tuhan berdasarkan petunjuk kitab
Taurat.
B. Fase Arab Pra Islam
Kehidupan baik dan
kemuliaan cukup. Namun mereka juga pemarah yang luar biasa, perampok, perampas,
saat mereka merasa diancam. Kehalusan perangai bangsa Arab dapat dilihat dari
syair-syair mereka, Pada zaman jahiliah bangsa Arab memiliki perangai halus dan
rela dalam saat contohnya syair Zuhair ibn Abi Salam yang mengatakan : “Siapa
yang menempati janji tidak akan tercela, dan siapa yang membawa hatinya menuju
kebaikan yang menentramkan, tidak akan ragu-ragu”.[3] Adapun Amir ibnu Dharb
Al-‘Adwaniy “pikiran itu tidur dan nafsu bergejolak. Sesungguhnya penyesalan
itu akibat kebodohan”.
Aktsam ibn Shaify juga
mengatakan “ jujur adalah pangkal keselamatan; dusta adalah kerusakan;
kejahatan adalah kekerasan; ketelitian adalah sarana menghadapi kesulitan;
kelemahan adalah penyebab kehinaan. Penyakit pikiran adalah nafsu, dan
sebaik-baik perkara adalah sabar”.[4] Amr ibn al-Ahtam pernah mengatakan kepada
budaknya “Sesungguhnya kikir itu merupakan perangai yang akurat lelaki pencuri;
bermurahlah dalam cinta karena sesungguhnya kedudukan suci dan tinggi adalah
oang yang belas kasih. Orang yang mulia akan takut mencelamu, dan bagi
kebenaran memiliki jalan sendiri bagi orang-orang yang baik”.[5]
Dapat dipahami bahwa
bangsa Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran yang minimal dalam bidang
akhlak, dan belum sebanding dengan
kata-kata hikmah dari filosof-filosof Yunani kuno. Memang pada saat itu dari
kalangan bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat dan aliran-alirannya.
Hanya ada orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan
untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah agama islam
datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala sesuatu yang
ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah ciptaan sang
Khalikul Alam.
Bangsa Arab pada masa
Jahiliyah tidak menonjol dalam segi filsafat sebagai mana bangsa Yunani (zeno,
Plato dan Aristotels). Hal ini karena penyelidikan terhadap ilmu terjadi hanya
pada bangsa yang sudah maju pengetahuannya. Sekalipun demikian, bangsa Arab
pada waktu itu mempunyai ahli-ahli hikmah dan syair-syair yang hikmah dan
syairnya mengandung nilai-nilai akhlak, seperti Lukman Al-Hakim, Aktsam bin
Shaifi, Zuhair bin Abi Sulma, dan Hatim Ath-Tha’i.
Dapat dipahami bahwa bangsa
Arab sebelum islam telah memiliki pemikiran yang minimal dalam bidang akhlak,
dan belum sebanding dengan kata-kata
hikmah dari filosof-filosof Yunani kuno. Memang pada saat itu dari kalangan
bangsa Arab belum diketahui adanya para ahli filsafat dan aliran-alirannya.
Hanya ada orang-orang arif bijaksana dan ahli-ahli syair yang menganjurkan
untuk berbuat kebaikan dan melarang berbuat keburukan.
Setelah agama islam
datang, munculah keyakinan bahwa Allah adalah sumber dari sagala sesuatu yang
ada di dunia ini. Semua yang ada dilangit dan di bumi adalah ciptaan sang
Khalikul Alam.[6]
C. Fase Islam
islam, tidak diragukan
lagi bahwa Nabi Muhammad saw. Adalah guru terbesar dalam bidang akhlak. Bahkan,
keterutusannya ke muka bumi ini adalah untuk menyempurmakan akhlak. Akan
tetapi, tokoh yang pertama kali menggagas atau menulis ilmu akhlak dalam islam,
masih diperbincangkan. Berikut ini akan dikemukakan beberapa teori.
Pertama, tokoh yang
pertama kali menggagas ilmu akhlak adalah Ali bin Abi Thalib ini berdasarkan
sebuah risalah yang ditulisnya untuk putranya, Al-Hasan setelah kepulangannya
dari perang shiffin di dalam risalah tersebut terdapat banyak pelajar tentang
akhlak dan berbagai keutamaan. Kandungan risalah ini tercermin pula dalam kitab
Nahj Al-Balagah yang banyak dikutip oleh ulama sunni, seperti Abu Ahmad bin
Abdillah Al-‘Asykari dalam kitabnya Az-Zawajir wa Al-Mawa’izh.
Kedua, tokoh islam yang
pertama kali menulis ilmu akhlak adalah Ismail bin Mahran Abu An-Nasr
As-Saukuni, ulama abad kedua H. Ia menulis kitab Al-Mu’min wa Al-Fajr, kitab
akhlak yang pertama kali dikenal dalam islam. Selain itu dikenal tokoh-tokoh
akhlak walaupun mereka tidak menulis kitab tentangnya, seperti Abu Dzar
Al-Gifhari, Amr bin Yasir , Nauval Al_Bakali, dan Muhammad bin Abu Bakar.
Ketiga, pada abad ketiga
H, Ja’far bin Ahmad Al-Qumi Menulis kitab Al-Mani’at min Dukhul Al-Jannah.
Tokoh lainnya yang secara khusus berbicara dalam bidang akhlak adalah:
1. Ar-Razi (250-313H) walaupun masih ada
filusuf lain, seperti Al-Kindi dan Ibnu Sina. Ar-Razi telah menulis karya dalam
bidang akhlak berjudul Ath-Thibb Ar-Ruhani (kesehatan ruhani). Buku ini
menjelaskan kesehatan ruhani dan penjagaannya. Kitab ini merupsksn filsafat
akhlak terpenting yang bertujuan memperbaiki moral-moral manusia.
2. Pada abad ke empat H, Ali bin ahmad
Al-Kufi menulis kitab Al- Adab dan Makarim Al-akhlak. Pada abad ini dikenal
pula tokoh Abu Nasar Al-Farabi yang melakukan penyelidikan tentang akhlak.
Demikian juga ikhwan Ash-Shafa dalam Rasa’ilnya, dan Ibnu Sina (370-428H).
3. Pada abad ke lima H, Ibnu Maskawaih (w.
421 H) menulis kitab Tahdzib Al-Akhlak wa Tath-hir Al-A’araq dan Adab Al-‘Arab
wa Al-Furs. Kitab ini merupakan uraian suatu aliran akhlak yang sebagai
materinya berasal dsari konsep-konsep akhlak dari Plato dan Aristoteles yang
diramu dengan ajaran dan hukum islam serta diperkaya dengan pengalaman hidup
penulis dan situasi zamannya.
4. Pada abad ke enam H, Warram bin Abi
Al-Fawaris menulis kitab Tanbih Al-Khatir wa Nuzhah An-Nazhir.
5. Pada
abad ke tujuh H, Syekh Khawajah Natsir Ath-Thusi menulis kitab Al-Akhlak
An-Nashiriyyah wa Awshaf Asy-Asyraf wa Adab Al-Muta’alimin.
Pada abad-abad sesudahnya
dikenal bebera kitab, seperti Irsyad Ad-Dailami Ashabih Al-Qulub karya
Syairazi, Makarim Al-Akhlak karya Hasan bin Amin Ad-Din Al-Adab, Ad-Dhiniyah
karya amin Ad-Din Ath-Thabarsi, dan Bihar Al-Anwar.[7]
D. Fase Abad Pertengahan
Kehidupan masyarakat Eropa
di abad pertengahan dikuasai oleh gereja. Pada waktu itu gereja berusaha
memerangi filsafat Yunani serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno.
Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “hakikat” telah diterima dari wahyu. Apa
yang telah diperintahkan oleh wahyu tentu benar adanya. Oleh kerana itu tidak
ada artinya lagi penggunaan akal dan pikiran untuk kegiatan penelitian.
Mempergunakan filsafat boleh saja asalkan tidak bertentangan dengan doktrin
uang dikeluarkan oleh gereja, atau memiliki perasaan dan menguatkan pendapat
gereja. Diluar ketentuan seperti itu penggunaan filsafat tidak diperkenankan.
Corak ajaran akhlak yang
sifatnya perpaduan antara pemikiran filsafat Yunani dan ajaran agama itu,
nantinya akan dapat pula dijumpai dalam ajaran akhlak yang terdapat dalam Islam
sebagaimana terlihat pada pemikiran aklhlak yang dikemukakan kaum Muktazilah.
Ilmu filsafat,termasuk
didalamnya ilmu akhlak, waktu itu di Eropa pada abad-abad pertengahan, sangat
tertekan, sebab gereja memusuhi filsafat Yunani dan Romawi dan menentang
penyebaran ilmu dan kenegaraan. Gereja percaya bahwa hakikat kebenaran itu
wahyu yang tidak mungkin salah lagi.
Wahyu hanya membolehkan orang berfilsafat dalam batas-batas tertenttu, sekadar
memperkuat kepercayaan-kepercayaan keagamaan.
Di Eropa terjadi
konfrontasi antara filsafat dan gereja. Gereja pada waktu itu memerangi
filsafat Yunani dan Romawi, dan
menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa
kenyataan hakikat telah diterima dari wahyu. Namun diantara golongan gereja ada
juga yang menerima percikan filsafat selama tidak bertentangan dengan ajaran
gereja.
Inilah yang menciptakan
suasana dimana filsafat akhlak yang lahir pada masa itu merupakan perpaduan
antara ajaran Yunani dengan ajaran Nasrani. Pemuka-pemukanya yang termasyhur
adalah Abelard (1079-1142) dan Thomas Aquinas (1226-1274).
Kemudian datang
Shakespeare dan Hetzenner yang menyatakan adanya perasaan naluri pada manusia
dapat digunakan untuk membedakan baik dan buruk.
E. Fase Modern
Periode modern dimulai
dari tahun 1800 sampai fase kita sekarang, merupakan zaman kebangkitan umat
islam. Ditandai dengan jatuhnya Mesir ke tangan Barat menginsyafkan dunia islam
akan kelemahannya dan menyadarkan umat islam bahwa di Barat telah timbul
peradaban baru yang lebih tinggi.
Sejak Abad Pertengahan,
zaman John Stuart Mill (1806-1873) dipindahkannya paham Epicurus ke paham
Utilitarisme. Pahamnya terbesar di Eropa dan mempunyai pengaruh besar disana.
Utilitarisme adalah paham yang memandang bahwa ukuran baik buruknya sesuatu
ditentukan oleh kegunaannya.
Herbert Spencer
(1820-1903) mengemukaan paham pertumbuhan secara bertahap (evolusi) dalam
akhlak manusia. Descartes (1596-1650) seorang ahli pikir Perancis yang menjadi
pembangun mazhab rasionalisme. Segala persangkaan yang berasal dari adat
kebiasaan harus ditolak.
Dari bahasan diatas dapat
dipahami bahwa pada era modern itu bermunculan berbagai mazhab etika antara
lain sebagai berikut:
1. Ada yang tetap mempertahankan corak paham
lama
2. Ada yang secara radikal melakukan
revolusi pemikiran
3. Tidak sedikit yang masih tetap konsisten
mempertahankan etika teologis, yaitu ajaran akhlak yang berdasarkan ketuhanan
(agama)[8]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sejarah Perkembangan
Akhlak Pada Zaman Yunani Socrates dipandang sebagai perintis Ilmu Akhlak. Dia
berpendapat akhlak dan bentuk perhubungan itu, tidak menjadi benar kecuali bila
didasarkan ilmu pengetahuan. Lalu datang Plato (427-347 SM). Ia seorang ahli
Filsafat Athena, yang merupakan murid dari Socrates. Buah pemikirannya dalam
Etika berdasarkan ‘teori contoh’. Dia berpendapat alam lain adalah alam rohani.
Kemudian disusul Aristoteles (394-322 SM), dia adalah muridnya plato.
Pengukutnya disebut Peripatetis karena ia memberi pelajaran sambil berjalan
atau di tempat berjalan yang teduh.
Pada saat islam masuk
lahirlah seorang guru besar dalam bidang akhlak yaitu Nabi Muhammad saw. Bahkan
diutusnya beliau ke muka bumi tiada lain untuk menyempurnakan akhlak, namun
yang pertama kali menggagas atau menulisnya masih terus diperbincangkan.
Seiring berjalannya waktu
bangsa Eropa pun bangkit dan mulai merngkaji ilmu tentang akhlak dengan
mengkritik sebagian ajaran klasik dan menyelidiki ajaran akhlak tersebut.
Begitu banyak
pendapat-pendapat tentang ajaran akhlak namun masih terdapat dan di temui
kekurangan-kekurangan yang menjadikannya kurang sempurna dan ditemui celah,
hanya satu yang kebenarannya mutlak dan absolut yaitu akhlak yang di ajarkan
oleh Nabi Muhammad saw. Dengan panduannya yaitu Al-Qur’anul Karim yang
diwahyukan oleh Allah swt. Kepadanya
B. Saran
Di zaman yang serba modern
ini, kita di hadapkan pada perkembangan teknologi yang begitu canggih yang
dapat memberi pengaruh baik maupun buruk pada akhlak kita, oleh karena itu kita
sebagai generasi muda penerus bangsa harus pandai-pandai memilah-milah mana hal
yang baik dan yang buruk untuk diri kita.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Yatimin.2007.
Study Akhlak dalam Perspektif Alquran.
Jakarta: Amzah.
Amin, Ahmad. 1995. Etika
(Ilmu Akhlak). Jakarta: Bulan Bintang
Anwar, Rosihon. 2010.
Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka setia.
Nata, Abuddin. 2010.
Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Press.
[1]
http://id.wikipedia.org/wiki/perkembanganakhlak di akses diakses pada minggu/14maret2021
[2] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2000),
hlm. 59
[3] Dr.Yusuf Musa,
Falsafatu Akhlak il Islam, Kairo, tahun 1963, hlm.86
[4] Ibid hlm. 10
[5] Ibid hlm. 12
[6] Rosihon Anwar, Akhlak
Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia), 2010. Hal. 56-57
[7] Ibid Hal. 57-60
[8]
https://www.kompasiana.com/eganurfadillah5648/5c0697416ddcae79410fcae2/perkembangan-pemikiran-dalam-akhlak-islam?page=all
di akses diakses pada minggu/14maret2021