HIPERBILIRUBINEMIA
A. DEFINISI
Hyperbilirubin (Hiperbilirubin)
adalah suatu penyakit dimana meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya
lebih dari normal. Hiperbilirubin adalah meningkatnya kadar bilirubin
dalam darah yang kadar nilainya lebih dari normal (Suriadi, 2001). Nilai normal bilirubin indirek 0,3 –
1,1 mg/dl, bilirubin direk 0,1 – 0,4 mg/dl.
Hiperbilirubinemia (ikterus bayi baru lahir) adalah
meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler, sehingga kulit,
konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning (Ngastiyah, 2000).
Peningkatan
bilirubin dapat terjadi karena polycetlietnia, isoimmun hemolytic disease,
kelainan struktur dan enzim sel darah merah, keracunan
obat (salisilat, kortikosteroid, klorampenikol), hemoliosis ekstravaskuler; cephalhematoma,
dan ecchymosis ataupun gangguan fungsi hati; defisiensi
glukoronil transferase, obsrtuksi empedu/ atresia biliari,
infeksi, masalah inetabolik; galaktosemia hypothyroidisme, jaundice ASI.
B.
ETIOLOGI
Peningkatan kadar bilirubin dalam
darah tersebut dapat terjadi karena keadaan sebagai berikut;
1.
Polychetemia
2.
Isoimmun Hemolytic Disease
3.
Kelainan struktur dan enzim sel darah merah
4.
Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat,
kortikosteroid, kloramfenikol)
5.
Hemolisis ekstravaskuler
6.
Cephalhematoma
7.
Ecchymosis
8.
Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil
transferase, obstruksi empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik
galaktosemia, hipotiroid jaundice ASI
9.
Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi.
Menurunnya ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
C.
PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang
berasal dari pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya
akan masuk sirkulasi, dimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin
{protein} digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan dirubah menjadi
bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal
ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila
kadar protein-Z dan protein
-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan
asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu
intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat
toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada
bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan efek patologik pada sel
otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang
terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi
tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah
melalui sawar darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat
lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf
pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada
beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat
ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar
Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang,
atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar
Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat
tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh.
Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut
dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek
patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.
Kelainan yang terjadi pada otak disebut kernikterus.
Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat
tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20
mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui
sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan BBLR , hipoksia, dan
hipoglikemia (AH Markum, 1991).
- Pigmen
kuning ditemukan dalam empedu yang terbentuk
dari pemecahan hemoglobin oleh kerja heme
oksigenase, biliverdin reduktase, dan agen pereduksi nonenzimatik dalam
sistrn retikuloendotelial.
- Setelah
pemecahan hemoglobin, bilirubin tak
berkonjugasi diambil oleh protein intraselular
"Y protein" dalam hati.
- Bilirubin yang tidak
terkonjugasi dalam hati diubah atau
terkonjugasi oleh enzim asam (UPGA)
uridin difosfoglukuronant menjadi bilirubin mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam
air.
- Bilirubin
yang terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieleminasi melalui ginjal. Dengan
konjugasi bilirubin masuk dalam empedu, kemudian ke sistem gastrointestinal
dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan urine.
- Warna
kuning dalam kulit akibat akumulasi pigmen bilirubin yang larut (tak
terkonjugasi).
- Pada
bayi dengan hyperbilirubinemia kemungkinan merupakan hasil dari difisiensi
atau tidak aktifnya glukuronil transferase.
- Jaundice
yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja
glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang
terdapat dalam ASI. Jika pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum
akan turun dengan cepat dan normal dalam beberapa hari.
- Bilirubin
yang patologis tampak ada kenaikan bilirubin dalam 24 jam pertama
kelahiran. Sedangkan untuk bayi dengan ikterus fisiologis muncul antara 3
sampai 5 hari sesudah lahir.
D.
KLASIFIKASI
1. Ikterus
Fisiologis.
Ikterus fisiologik adalah ikterus yang timbul pada
hari kedua dan ketiga yang tidak mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak
melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernicterus”
dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi. Ikterus patologik adalah
ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu
nilai yang disebut hiperbilirubin.
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis.
Ikterus fisiologis adalah ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut
menurut (Hanifah, 1987), dan (Callhon, 1996), (Tarigan, 2003) dalam (Schwats,
2005):
a.
Timbul pada hari kedua - ketiga.
b.
Kadar bilirubin indirek setelah 2x24 jam tidak
melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg% pada kurang bulan.
c. Kecepatan peningkatan
kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d.
Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg%.
e.
Ikterus hilang pada 10 hari pertama.
f.
Tidak mempunyai dasar patologis; tidak terbukti
mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu.
g. Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis
atau hiperbilirubinemia dengan karakteristik sebagai berikut Menurut (Surasmi,
2003) bila:
1)
Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2)
Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau > setiap
24 jam.
3)
Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg% pada
neonatus < bulan dan 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan.
4)
Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas
darah, defisiensi enzim G6PD dan sepsis).
5)
Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa
gestasi < 36 minggu, asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan,
infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia, hiperosmolalitas darah.
2.
Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia.
Menurut (Tarigan, 2003) adalah suatu keadaan dimana
kadar konsentrasi bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai
potensi untuk menimbulkan kern ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik,
atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis. Brown menetapkan
hiperbilirubinemia bila kadar bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan
15 mg% pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.
3. Kern
Ikterus.
Adalah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nucleus
subtalamus, hipokampus, nukleus merah, dan nukleus pada dasar ventrikulus IV. Kern ikterus ialah ensefalopati bilirubin yang biasanya
ditemukan pada neonatus cukup bulan dengan ikterus berat (bilirubin lebih dari
20 mg%) dan disertai penyakit hemolitik berat dan pada autopsy ditemukan bercak
bilirubin pada otak. Kern ikterus secara klinis berbentuk kelainan syaraf
simpatis yang terjadi secara kronik.
E.
MANIFESTASI
KLINIS
Tanda dan gejala yang
jelas pada anak yang menderita hiperbilirubin adalah;
1.
Tampak ikterus pada sklera, kuku atau kulit dan
membran mukosa.
2.
Jaundice yang tampak dalam 24 jam pertama disebabkan
oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan diabetik
atau infeksi.
3.
Jaundice yang tampak pada hari ke dua atau hari ke
tiga, dan mencapai puncak pada hari ke tiga sampai hari ke empat dan menurun
pada hari ke lima sampai hari ke tujuh yang biasanya merupakan jaundice
fisiologis.
4.
Ikterus adalah akibat pengendapan bilirubin indirek
pada kulit yang cenderung tampak kuning terang atau orange, ikterus pada tipe
obstruksi (bilirubin direk) kulit tampak berwarna kuning kehijauan atau keruh.
Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat.
5.
Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna
tinja pucat, seperti dempul
6.
Perut membuncit dan pembesaran pada hati
7.
Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata
berputar-putar
8.
Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap
9.
Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
10.
Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai
spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
F.
KOMPLIKASI
1.
Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
2.
Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy,
retardasi mental, hiperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan
tangisan yang melengking.
G.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
1.
Laboratorium (Pemeriksan Darah)
a.
Pemeriksaan billirubin serum. Pada bayi prematur kadar
billirubin lebih dari 14 mg/dl dan bayi cukup bulan kadar billirubin 10 mg/dl
merupakan keadaan yang tidak fisiologis.
b.
Hb, HCT, Hitung Darah Lengkap.
c.
Protein serum total.
2.
USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3.
Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu
membedakan hapatitis dan atresia billiari.
H.
PENATALAKSANAAN
1. Pengawasan
antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini (pemberian ASI).
2. Menghindari
obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran, misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan
dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati
dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase
yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan clereance hepatik pigmen
dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu sering digunakan.
5. Antibiotik,
bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan
hiperbillirubin patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit
melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi
tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat
ditangani dengan foto terapi.
DAFTAR PUSTAKA
Suriadi, dan Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak . Edisi I.
Fajar Inter Pratama. Jakarta.
Ngastiah. 1997. Perawatan Anak Sakit.
EGC. Jakarta.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Yayasan Bina Pustaka.
Jakarta.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan
Maternal Dan Neonatal. JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka. Jakarta.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal / Bayi. EGC.
Jakarta