A. Latar Belakang
Pendidikan adalah sebuah
aktivitas manusia yang memiliki maksud mengembangkan individu sepenuhnya. Islam
merupakan agama yang sangat menekankan pendidikan bagi manusia. Hal itu
terbukti dengan adanya banyak hadits dan ayat al-Qur’an yang menunjukkan
tentang pendidikan. Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang bersumber dari
al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber utama agama Islam.
Pendidikan Islam merupakan
pendidikan yang digunakan untuk membina manusia dari kecil sampai mati. Karena
pendidikan Islam merupakan pendidikan seumur hidup, maka perlu dibedakan antara
pendidikan orang dewasa dan pendidikan anak-anak. Pendidikan Islam merupakan
pendidikan yang memperhatikan perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, Akhyak
mengatakan dalam bukunya, pendidikan yang tidak berorientasi pada perkembangan
kejiwaan akan mendapatkan hasil yang tidak maksimal, bahkan bisa membawa kepada
kefatalan anak, karena anak tumbuh dan berkembang sesuai dengan irama dan ritme
perkembangan kejiwaan anak. Masing-masing periode perkembangan anak memiliki
tugas-tugas perkembangan yang harus dipenuhi anak secara baik tanpa ada
hambatan.
Statemen di atas,
mengisyaratkan bahwa sebenarnya orang tua mempunyai tanggung jawab yang sangat
besar terhadap pendidikan anaknya. Dan keluarga yang merupakan lembaga
pendidikan yang pertama dan utama tersebut, wajib memberikan pendidikan agama
Islam dan menjaga anaknya dari api neraka. Maka dari itu, penulis akan
menguraikan lebih lengkap mengenai tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan
anaknya yang ditinjau dari al-Qur’an dan hadits dalam tulisan berikut ini.
B. Ayat-Ayat Tentang Tanggung Jawab Orang Tua
Terhadap Pendidikan ditinjau dari Terjemahan DEPAG
Al-Qur’an tidak secara
langsung mengemukakan tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan,
namun perintah atau statemen tersebut tersirat dalam beberapa ayat yang
mengisyaratkan tentang hal itu. Dalam makalah ini penulis hanya mengambil
beberapa sampel saja, karena tidak mungkin penulis membahas secara detail semua
ayat tarbiyah. Berikut ini ayat yang menunjukkan tanggung jawab orang tua
terhadap pendidikan:
Q.S.al-Tahrim/66:6
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ (6)
Artinya: Hai orang-orang
yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang
keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Q.S.Luqman/31:12-19
وَلَقَدْ آَتَيْنَا لُقْمَانَ الْحِكْمَةَ أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ وَمَنْ يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ (12)
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (13)
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ (14)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (15)
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ (16)
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ (17) وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18) وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ (19)
Artinya: Dan sesungguhnya
telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan
barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk
dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”(12) Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar.”(13) Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)
kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu
dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.(14) Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya
di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu
kerjakan. (15) Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu
perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di
dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya
Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.(16) Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).(17) Dan janganlah
kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.(18) Dan sederhanalah kamu
dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah
suara keledai.(19).
Apabila kita perhatikan,
terjemahan DEPAG di atas, nampaknya tidak menyebutkan secara eksplisit atau
langsung tentang tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anaknya, namun
bagi orang-orang yang berpikir dan mengerti tentang al-Qur’an, ayat tersebut
dapat dipahami dengan mudah. Maka dapat dikatakan jika dalam terjemahan Depag
belum dapat dilihat langsung tentang tanggung jawab orang tua terhadap
pendidikan anak, kecuali bagi orang-orang yang berpikir dan meneliti tentang
al-Qur’an.
C. Ayat-Ayat Tentang Tanggung Jawab Orang Tua
Terhadap Pendidikan ditinjau dari Asbab al-Nuzul
Zuhdi dalam bukunya
mengatakan asbab al-nuzul adalah semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu
ayat/beberapa ayat yang mengandung sebabnya atau memberi jawaban terhadap
sebabnya atau menerangkan hukumnya pada saat terjadinya peritiwa itu. Lebih
lanjut Al-Zarqani, menyebutkan asbabun nuzul ialah sesuatu yang turun satu ayat
atau beberapa ayat berbicara tentangnya (sesuatu itu) atau menjelaskan
ketentuan-ketentuan hukum yang terjadi pada waktu terjadinya peristiwa
tersebut.
Dalam pengetahuan kita
tentang asbab al-nuzul tentunya memiliki beberapa macam manfaat. Para ulama
berpendapat manfaat mengetahui asbab al-nuzul, sebagaimana diuraikan oleh
Baidan, antara lain:
Menurut Al-Wahidi;
seseorang tidak mungkin mengetahui tafsir ayat Al-Qur’an tanpa mengetahui
kisahnya dan keterangan turunnya.
Menurut Ibnu Taimiyah;
bahwa mengetahui sebab turunnya ayat Al-Qur’an dapat menolong memahami ayat
tersebut, karena sesungguhnya mengerti sebabnya dapat menghasilkan pengetahuan
tentang akibatnya.
Menurut Al-Suyuthi; bahwa
sebagian ulama yang kesulitan memahami Al-Qur’an akan teratasi kesulitannya
dengan mengetahui sebab turunnya ayat yang bersangkutan.
Ayat-ayat yang penulis
eksplore di atas, ternyata ada bertepatan mempunyai asbab al-nuzul, yaitu surah
Luqman. Adapun perinciannya adalah sebagai berikut:
Firman Allah ayat 14-15
menurut al-Mawardi berkenaan dengan Sa’ad bin Abi Waqas “yaitu ketika ia masuk
Islam, ibunya bersumpah tidak akan makan dan minum, lalu ia merayunya agar
meninggalkan hal itu, tetapi menolaknya. Demikian nasehat itu dilakukan pada
hari kedua. Dan pada hari ketiga ia merayu ibunya lagi dan ibunya tetap
menolaknya, lalu Sa’ad berkata: seandainya ibu memiliki seratus nyawa, niscaya
akan habis sebelum aku mau meninggalkan agamaku. Setelah melihat hal itu, maka ibunya
lalu mau makan.
Dari keterangan di atas
juga tidak tampak mengenai tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan
anaknya. Karena asbab al-nuzul di atas hanya menerangkan berbaktinya anak
kepada orang tuanya.
D. Ayat-Ayat Tentang Tanggung Jawab Orang Tua
Terhadap Pendidikan ditinjau dari Kitab-Kitab Tafsir
Q.S. al-Tahrim:6
Qurtubi
قال الضحاك : معناه قُوا أنفسكم ، وأهلوكم فَلْيَقُوا أنفسهم ناراً . وروى عليّ بن أبي طلحة عن ابن عباس : قُوا أنفسكم وأْمُرُوا أهليكم بالذكر والدعاء حتى يَقِيَهم الله بكم . وقال عليّ رضي الله عنه وقتادة ومجاهد : قُوا أنفسكم بأفعالكم وقُوا أهليكم بوصِيّتكم
Jagalah dirimu dan
keluargamu dari neraka. Jagalah dirimu dan perintahkanlah keluargamu untuk
berdzikir dan berdoa.
Thabari
يا أيها الذين صدقوا الله ورسوله( قُوا أَنْفُسَكُمْ ) يقول: علموا بعضكم بعضا ما تقون به من تعلمونه النار، وتدفعونها عنه إذا عمل به من طاعة الله، واعملوا بطاعة الله.وقوله:( وَأَهْلِيكُمْ نَارًا ) يقول: وعلموا أهليكم من العمل بطاعة الله ما يقون به. أنفسهم من النار.
Maksudnya ajarilah dirimu
dan keluargamu tentang sesuatu yang menyebabkan masuk neraka dan sesuatu yang
menyebabkan taat kepada Allah.
Mawardi
{ يا أيها الذين آمَنوا قُوا أَنفُسَكم وأهْليكم ناراً } قال خيثمة : كل شيء في القرآن يا أيها الذين آمنوا ففي التوراة يا أيها المساكين . وقال ابن مسعود : إذا قال اللَّه يا أيها الذين آمنوا فارعها سمعك فإنه خير تؤمر به أو شر تنهى عنه . وقال الزهري : إذا قال اللَّه تعالى : يا أيها الذين آمنوا افعلوا ، فالنبي منهم . ومعنى قوله : { قوا أنفسكم وأهليكم ناراً } أي اصرفوا عنها النار ، ومنه قول الراجز : ولو توقى لوقاه الواقي … وكيف يوقى ما الموت لاقي وفيه ثلاثة أوجه : أحدها : معناه قوا أنفسكم ، وأهلوكم فليقوا أنفسهم ناراً ، قاله الضحاك. الثاني : قوا أنفسكم ومروا أهليكم بالذكر والدعاء حتى يقيكم اللَّه بهم ، رواه ابن أبي طلحة عن ابن عباس .
Maksud dari ayat di atas
jagalah dirimu dan keluargamu dari neraka dengan cara mengajari dirimu dan
keluargamu tentang sesuatu yang membuat mereka takut pada neraka.
Jalalain
{ ياأيها الذين ءَامَنُواْ قُواْ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ } بالحمل على طاعة الله { نَاراً وَقُودُهَا الناس } الكفار { والحجارة } كأصنامهم منها ، يعني أنها مفرطة الحرارة تتقد بما ذكر ، لا كنار الدنيا تتقد بالحطب ونحوه { عَلَيْهَا ملائكة } خزنتها عدّتهم { تِسْعَةَ عَشَرَ } [
31 30 : 74 ] كما سيأتي في المدّثر { غِلاَظٌ } من غلظ القلب { شِدَادٌ } في البطش { لاَّ يَعْصُونَ الله مَا أَمَرَهُمْ } بدل من الجلالة ، أي لا يعصون أمر الله { وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ } تأكيد ، والآية تخويف للمؤمنين عن الارتداد ، وللمنافقين المؤمنين بألسنتهم دون قلوبهم .
Maksudnya jagalah dirimu
dan keluargamu dari neraka dengan senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah.
Q.S. Luqman:
Qurtubi
الأولى : قوله تعالى : { يابني أَقِمِ الصلاة } وصّى ابنه بعُظْم الطاعات وهي الصلاة والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر . وهذا إنما يريد به بعد أن يمتثل ذلك هو في نفسه ويزدجر عن المنكر
Maksud tafsir di atas
adalah hendaklah orang tua menasehati anaknya agar taat kepada allah dengan
menjalankan shalat serta amar ma’ruf nahi munkar.
Thabari
يقول تعالى ذكره مخبرا عن قيل لقمان لابنه(يا بُنَيَّ أقِمِ الصَّلاةَ) بحدودها(وأمُرْ بالمعْرُوفِ) يقول: وأمر الناس بطاعة الله، واتباع أمره(وَانْهَ عَنِ المُنْكَرِ) يقول: وانه الناس عن معاصي الله ومواقعة محارمه(وَاصْبِرْ عَلى ما أصَابَكَ) يقول: واصبر على ما أصابك من الناس في ذات الله، إذا أنت أمرتهم بالمعروف، ونهيتهم عن المنكر، ولا يصدّنك عن ذلك ما نالك منهم(إنَّ ذلكَ مِنْ عَزْمِ الأمُورِ) يقول: إن ذلك مما أمر الله به من الأمور عزما منه
Ayat di atas menunjukkan
bahwa orang tua wajib memerintahkan dan mengajari anaknya shalat.
Mawardi
{ وَهُوَ يَعِظُهُ } أي يُذكِرُهُ ويؤدبه . { يَا بُنَيَّ لاَ تُشْرِكَ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ } يعني عند اللَّه ، وسماه ظلماً لأنه قد ظلم به نفسه ، وقيل إنه قال ذلك لابنه وكان مشركاً ، وقوله { يَا بُنَيَّ } ليس هو حقيقة التصغير وإن كان على لفظه وإنما هوعلى وجه الترقيق كما يقال للرجل يا أُخَيّ . وللصبي هو كُوَيّس
Jalalain
{ وَ } اذكر { إِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يا بَنِى } تصغير إشفاق { لاَ تُشْرِكْ بالله إِنَّ الشرك } بالله { لَظُلْمٌ عَظِيمٌ } فرجع إليَه وأَسلم { وَوَصَّيْنَا الإنسان بوالديه } أمرناه أن يبرّهما { حَمَلَتْهُ أُمُّهُ } فوهنت { وَهْناً على وَهْنٍ } أي ضعفت للحمل وضعفت للطلق وضعفت للولادة { وفصاله } أي فطامه { فِى عَامَيْنِ } وقلنا له { أَنِ اشكر لِى ولوالديك إِلَىَّ المصير } أي المرجع. { وَإِن جاهداك على أَن تُشْرِكَ بِى مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ } موافقة للواقع { فَلاَ تُطِعْهُمَا وصاحبهما فِى الدنيا مَعْرُوفاً } أي بالمعروف : البرّ والصلة { واتبع سَبِيلَ } طريق { مَنْ أَنَابَ } رجع { إِلَىَّ } بالطاعة { ثُمَّ إِلَىَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ } فأجازيكم عليه وجملة الوصية وما بعدها اعتراض { يابنى إِنَّهَا } أي الخصلة السيئة { إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِى صَخْرَةٍ أَوْ فِى السموات أَوْ فِى الأرض } أي في أخفى مكان من ذلك { يَأْتِ بِهَا الله } فيحاسب عليها { إِنَّ الله لَطِيفٌ } باستخراجها { خَبِيرٌ } بمكانها { يابنى أَقِمِ الصلاة وَأْمُرْ بالمعروف وانه عَنِ المنكر واصبر على مآ أَصَابَكَ } بسبب الأمر والنهي { إِنَّ ذلك } المذكور { مِنْ عَزْمِ الأمور } أي معزوماتها التي يعزم عليها لوجوبها { وَلاَ تُصَعِّرْ } وفي قراءة تُصَاعِرْ { خَدَّكَ لِلنَّاسِ } لا تُمِلْ وجهك عنهم متكبراً { وَلاَ تَمْشِ فِى الأرض مَرَحًا } أي خيلاء { إِنَّ الله لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ } متبختر في مشيه { فَخُورٍ } على الناس. { واقصد فِى مَشْيِكَ } توسط فيه بين الدبيب والإِسراع ، وعليك السكينة والوقار { واغضض } اخفض { مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأصوات } أقبحها { لَصَوْتُ الحمير } أوّله زفير وآخره شهيق
Ayat tersebut menunjukkan
pendidikan yang diberikan oleh tua kepada anaknya dan orang tua tidak boleh
membiarkan anaknya terlantar.
Dari berbagai tafsir yang
penulis kutip tersebut terdapat beberapa tafsir yang ketika menafsiri ayat yang
penulis pilih telah langsung menunjukkan tentang kewajiban orang tua terhadap
pendidikan anak, namun tidak semua menunjukkan hal itu secara langsung.
Keterangan mengenai tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan kepada anaknya
dapat dilihat dalam keterangan hadits.
E. Hadits Tentang Tanggung Jawab Orang Tua
Terhadap Pendidikan
Banyak hadits yang
mengisyaratkan tentang tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya, walaupun
tidak secara langsung. Hadits tersebut dapat berupa hadits tentang pengajaran
orang tua kepada anaknya tentang tauhid, tentang shalat dan lain sebagainya.
Penulis akan menerangkan hadits-hadits tersebut masuk dalam kalimat atau
paragraf.
Dalam rangka menanamkan
aqidah kepada anak, pertama kali yang dilakukan oleh orang tua mengajarkan
kalimat syahadat kepada anak, dengan memperdengarkan kalimat tersebut kepada
anak. Maka sebagai orang tua yang bijaksana dan mempunyai pengetahuan yang
tinggi harus mengerti hal tersebut selain mampu mengajari anaknya untuk
berpikir dan memberikan ilmu kepada anaknya tersebut. Hal itu sesuai dengan
hadits Nabi sebagai berikut:
عن عكرمة عن ابن عباس مرفوعا : إفتحوا على صبيانكم أول كلمة (لا إله إلا الله).
Artinya: Dari Ikrimah,
dari Ibn Abbas yang merupakan hadits marfu’. Ajarkanlah anakmu kalimat lailaha
illa allah.
Dalam hadits lain
disebutkan:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : « من ربى صغيرا حتى يقول : لا إله إلا الله لم يحاسبه الله عز وجل
Artinya: Barang siapa yang
mendidik anak kecil sampai anak tersebut mengatakan Laila ha illa Allah, maka
ia tidak dihisab.
Ibn Qayyim, sebagaimana
yang dikutip Suwaid, mengatakan “Di awal waktu ketika anak-anak mulai bisa
berbicara, hendaklah mendiktekan kepada mereka kalimat la ilaha illallah
Muhammad Rasulullah dan hendaklah sesuatu yang pertama kali didengar oleh
telinga mereka adalah la ilaha illallah (mengenal Allah) dan mentauhidkan-Nya.”
Pendidikan akhlak yang
diberikan oleh orang tua yang merupakan lanjutan dari pendidikan aqidah yang
diberikan sebelumnya. Bentuk pendidikan akhlak berupa nasehat agar anak mau
berbakti kepada orang tua, mentaatinya dan memenuhi segala haknya. Pendidikan
akhlak biasanya dilakukan dengan mengandalkan jasa ibu. Ini menurut Mufarakah,
“disebabkan karena “peranan bapak” dalam konteks kelahiran anak lebih ringan
daripada peranan ibu.” Setelah pembuahan, semua proses selama dalam kandungan
sampai kelahiran anak dipikul ibu. Tidak berhenti sampai disitu, tetapi masih
berkelanjutan sampai proses menyusui, bahkan lebih dari itu. Besarnya peran ibu
tersebut, sampai-sampai disebut khusus oleh Nabi dalam haditsnya, sebagai
berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي قَالَ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ
Artinya: Dari Abu Hurairah
RA, ia berkata: seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW kemudian
berkata: Ya Rasulullah siapa manusia yang paling berhak ku hormati, Nabi
bersabda: Ibumu. Laki-Laki itu berkata: kemudian siapa? Nabi bersabda: kemudian
ibumu. Laki-Laki itu berkata: kemudian siapa? Nabi bersabda: kemudian ibumu.
Laki-Laki itu berkata: kemudian siapa? Nabi bersabda: kemudian bapakmu.
Anak tidak akan mampu
melakukan kebaktian tersebut tanpa adanya bimbingan dari orang tua atau
keluarga. Maka orang tua harus senantiasa memberi kasih sayang dan membimbing
anaknya tersebut. Dengan pemberian kasih sayang dan pendidikan diharapkan anak
akan menjadi taat dan mau berbakti kepada orang tua, karena orang tua telah
berjasa kepadanya.
Anak dalam perkembangannya
selalu terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya. Maka dari itu, orang tua harus
mampu memfilter segala hal yang dapat berpengaruh buruk kepada diri anak. Namun
jangan sekali-kali orang tua melarang anaknya untuk bermain dengan
teman-temannya, karena larangan itu akan membuat anak menjadi tidak pandai
bergaul dan akan berdampak buruk dalam
perkembangan berikutnya. Namun hendaknya orang tua mengarahkan agar anaknya
bergaul dengan teman-teman yang mempunyai akhlak yang baik.
Keluarga merupakan
institusi yang pertama kali bagi anak dalam mendapatkan pendidikan dari orang
tuanya. Jadi keluarga mempunyai peran dalam pembentukan akhlak anak, oleh
karena itu keluarga harus memberikan pendidikan atau mengajar anak tentang
akhlak mulia atau baik. Hal itu tercermin dari sikap dan perilaku orang tua
sebagai teladan yang dapat dicontoh oleh anak.
Disamping itu, dalam melakukan
pendidikan akhlak kepada anaknya, orang tua hendaknya menggunakan metode
pembiasaan. Maksudnya anak dilatih untuk berakhlak yang baik dan bertingkah
laku yang sopan kepada orang tua. Jangan sampai kedua orang tua menunjukkan
kekerasan yang terjadi antara keduanya di depan anaknya, karena hal itu akan
mengakibatkan anak meniru kekerasan tersebut dan menganggap bahwa orang tuanya
tidak dapat memberi contoh yang baik.
Dengan demikian, keluarga
mempunyai kewajiban sebagai berikut:
Memberi contoh kepada anak
dalam berakhlak mulia. Sebab orang tua yang tidak berhasil menguasai dirinya
tentulah tidak sanggup meyakinkan anak-anaknya untuk memegang akhlak yang
diajarkannya. Maka sebagai orang tua harus terlebih dahulu mengajarkan pada
dirinya sendiri tentang akhlak yang baik sehingga baru bisa memberikan contoh
pada anak-anaknya.
Menyediakan kesempatan
kepada anak untuk mempraktikkan akhlak mulia. Dalam keadaan bagaimanapun,
sebagai orang tua akan mudah ditiru oleh anak-anaknya, dan di sekolah pun guru
sebagai wakil orang tua merupakan orang tua yang akrab bagi anak.
Memberi tanggung jawab
sesuai dengan perkembangan anak. Pada awalnya orang tua harus memberikan
pengertian dulu, setelah itu baru diberikan suatu kepercayaan pada diri anak
itu sendiri.
Mengawasi dan mengarahkan
anak agar selektivitas dalam bergaul. Jadi orang tua tetap memberikan perhatian
kepada anak-anak, dimana dan kapanpun orang tua selalu mengawasi dan
mengarahkan, menjaga mereka dari teman-teman yang menyeleweng dan tempat-tempat
maksiat yang menimbulkan kerusakan.
Dalam hal ini, orang tua
atau keluarga selaku lembaga pendidikan yang alami dan kodrati bagi anak harus
mampu mengarahkan anak-anaknya untuk berakhlak yang baik dan meninggalkan
akhlak yang buruk dimulai dari menghormatinya. Selain itu, orang tua juga harus
mampu menjadi teladan yang baik bagi anak-anaknya. Orang tua dilarang
memerintahkan pada anak tentang hal-hal yang dilarang agama.
Dalam menilai akhlak anak,
orang tua dapat membaca perbuatan lahir dari anak tersebut, karena perbuatan
lahir merupakan tanda dan bukti adanya akhlak. Misalnya: bila ada seorang anak
yang suka memberi dengan tetap secara terus menerus, maka hal itu menunjukkan
bahwa seorang anak tersebut berakhlak dermawan. Namun jika perbuatan itu hanya
terjadi satu atau dua kali saja, maka tidak dikatakan termasuk perbuatan
akhlak. Dari sini dapat dikemukakan bahwa syarat akhlak ada dua. Pertama,
perbuatan itu harus konstan, yang dilakukan berulang kali dalam bentuk yang
sama, sehingga menjadi kebiasaan. Kedua perbuatan itu harus tumbuh dengan mudah
tanpa pertimbangan dan pemikiran, yakni bukan karena adanya tekanan, paksaan
dari orang lain atau bahkan pengaruh-pengaruh atau bujukan yang indah dan
sebagainya. Dan biasanya akhlak itu yang paling menonjol dipengaruhi oleh
keluarga dan lingkungan.
Pendidikan akhlak yang
diberikan orang tua terhadap anak sangat penting artinya dalam mewujudkan
generasi yang berkualitas dan bertaqwa kepada Allah sehingga mereka mampu dalam
melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai khalifah di bumi ini. Akan tetapi
permasalahan yang dihadapi, yaitu jika orang tua tersebut beragama lain atau
musyrik, maka seorang anak tidak wajib untuk menaati perintah orang tua, jika
perintahnya itu berupa hal-hal yang bertentangan dengan agama anak tersebut,
yaitu agama Islam.
عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرُوا أَوْلَادَكُمْ بِالصَّلَاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
Artinya: Perintahkan
anak-anakmu untuk melaksanakan shalat apabila mereka telah berusia tujuh tahun,
dan apabila mereka telah berusia sepuluh tahun maka pukullah mereka (apabila
tidak mau melaksanakan shalat itu) dan pisahkanlah tempat tidur mereka
Hadits yang penulis
tampilkan berikutnya adalah hadits mengenai pendidikan shalat yang diberikan
orang tua kepada anaknya. Orang tua wajib mendidik dan mengajari anaknya
shalat. Penunjukan usia tujuh tahun dalam hadits tersebut, bila ditinjau dari
psikologi modern adalah tepat. Dalam usia tujuh tahun, telinga anak telah mempu
menangkap kandungan suatu perintah atau larangan bahkan berita yang disampaikan
melalui ucapan. Pengembangan seluruh ranah itu dapat dijumpai dalam perintah
mendirikan shalat secara disiplin terhadap anak. Kesiapan demikian secara umum
belum tampak jelas pada anak usia enam tahun ke bawah.
Pengaplikasian pendidikan
ibadah yang berupa shalat tersebut dimulai dengan adanya persiapan, yaitu
mengenalkan benda-benda najis, mengenalkan tatacara bersuci, mengajarkan
rukun-rukun shalat, kewajiban-kewajiban dalam mengerjakan shalat serta hal-hal
yang bisa membatalkan shalat.
Memerintahkan anak untuk
mendirikan shalat fadhu dapat direalisasikan melalui tiga alternatif langkah:
Perintah
Apabila waktu suatu shalat
fardhu telah masuk, sedang anak tampak masih sibuk dengan aktivitasnya seperti:
membaca buku pelajaran, menonton siaran televisi, bermain-main di rumah; maka
orang tua dapat secara langsung memberikan perintah lisan terhadap anak dengan
intonasi dan bahasa tubuh yang dilandasi rasa kasih sayang supaya mendirikan
shalat fardhu secara munfarid. Dan bila diperlukan, hal itu diulang
berkali-kali sampai anak berangkat untuk mengambil air wudhu atau menjalankan
shalat. Maka dari itu, orang tua harus selalu memperhatikan anaknya dan juga
perkembangan mereka, dan mengarahkan segala aktivitasnya ke arah yang positif.
Ajakan
Apabila waktu suatu shalat
fardhu telah masuk, sedang anak tampak masih sibuk dengan aktivitasnya seperti:
membaca buku pelajaran, menonton siaran televisi, bermain-main di rumah; maka
orang tua dapat secara langsung mengajak anaknya untuk bersama-sama menjalankan
shalat. Namun jika anak masih tidur pulas, seperti pada waktu shalat subuh, maka
orang tua dapat membangunkannya dengan penuh kasih sayang, baik dengan
dipanggil dengan pelan, dirangkul atau dipapah untuk menuju ke tempat berwudhu.
Pengawasan
Menurut Marimba,
“anak-anak bersifat pelupa, lekas melupakan larangan-larangan atau perintah
yang baru saja diberikan kepadanya. Oleh sebab itu, maka sebelum kesalahan itu
berlangsung lebih jauh, selalu ada usaha-usaha koreksi dan pengawasan”. Maka
orang tua diharapkan mampu mengawasi kedisiplinan anaknya dalam menjalankan
shalat.
Konsekuensi yang diambil
jika anak disiplin dalam menjalankan shalat adalah memberikan reward kepadanya.
Jika anak lalai menjalankan shalat yang pertama adalah diperingatkan. Namun
apabila umurnya sudah mencapai sepuluh tahun sebagaimana yang disebutkan dalam
hadits diatas, maka orang tua perlu bertindak dengan memukulnya dengan pukulan
yang tidak terlalu keras, yang fungsinya sebagai hukuman kepada anak tersebut
karena telah lalai dalam menjalankan shalat. Hukuman merupakan jalan terakhir
yang ditempuh oleh pendidik. Kalau dalam hadits tersebut disebutkan dengan
hukuman fisik yaitu dengan pukulan, hal itu bisa diartikan secara umum, yaitu
berupa hukuman fisik, psikis dan sosial.
Hukuman ini dilakukan
kepada anak agar anak tidak berbuat hal yang menyebabkan adanya hukuman
tersebut. Hukuman juga menjadikan anak disiplin dalam melaksanakan shalat. Pada
taraf yang lebih tinggi, akan membuat anak menjadi insyaf. Berbuat atau tidak
berbuat bukan karena takut akan hukuman, melainkan karena keinsyafan sendiri.
Sepanjang masih dalam
batas-batas yang diizinkan, hukuman yang diterapkan pendidik terhadap peserta
didik dapat dibenarkan. Namun apabila hukuman yang diterapkan tersebut sampai
menganiaya anak didik, maka tidak dapat dibenarkan lagi. Berkaitan dengan cara
mendidik anak dalam pelaksanaan ibadah yang berupa shalat dapat dikemukakan,
bahwa pada mulanya anak dididik dan diperintah untuk menjalankan shalat dengan
kasih sayang dan lemah lembut, akan tetapi jika anak masih tetap tidak mau
menjalankan shalat, maka boleh beralih ke cara yang lain dan pemukulan
merupakan alternatif terakhir dalam hal itu.
Karena kesadaran yang
dibentuk dari metode nasehat dan kasih sayang akan berbeda dengan kesadaran
yang dibentuk dari metode hukuman dan kekerasan. Apapun alasannya, hukuman dan
kekerasan tidak boleh digunakan untuk mendidik anak, terlebih lagi dalam
pendidikan ibadah, selama masih dimungkinkan menggunakan metode yang lain.
Mengajari anak untuk
mendirikan shalat, berarti melatih mereka untuk mengingat Allah swt, dalam
waktu-waktu yang berurutan pada pagi hari, siang hari, dan sore hari, juga
malam hari. Melatih anak untuk terbiasa mendirikan shalat 5 waktu dengan tertib
dan disiplin berarti melatih anak untuk berkomunikasi dan berhubungan secara
lebih dekat dengan Allah swt, sekaligus menerapkan kedisiplinan waktu kepada
mereka. Hal ini jelas menumbuhkan kesadaran dan sifat amanah yang besar sekali
peranannya ketika anak sudah mencapai usia dewasa nanti, baik untuk individu,
masyarakat, bangsa dan negara, di segala bidang.
Sesuai dengan tingkat
pertambahan usia dan perkembangan kognitif anak, maka keimanan anak kepada
Allah perlu juga ditingkatkan dengan cara melaksanakan ibadah yang berupa
shalat 5 waktu. Melatih anak untuk mendirikan shalat 5 waktu dengan kontinue
berarti juga melatih mereka untuk belajar mensyukuri nikmat yang diberikan
Allah kepadanya.
Setelah anak mampu untuk
kontinue melaksanakan shalat 5 waktu, maka yang selanjutnya adalah melatih dan
mengajak anak untuk melaksanakan shalat sunnah, yang dimulai dengan memberi tahu
anak tentang shalat sunnah, kemudian memberi pemahaman kepada anak tentang
hikmah shalat sunnah, sehingga anak tertarik untuk menjalankan shalat sunnah
dan melaksanakan shalat sunnah, walaupun hanya 1 kali sehari. Namun bila hal
itu menjadi kebiasaan, maka lama-kelamaan anak akan merasakan nikmatnya
melaksanakan shalat. Sehingga anak menganggap bahwa shalat tidak lagi sebagai
beban atau kewajiban, namun shalat sebagai kebutuhan
Referensi
Ashraf, Ali, Horizon Baru
Pendidikan Islam, terj. Sori Siregar, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
Akhyak, Profil Pendidik
Sukses: Sebuah Formulasi dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, Surabaya: eLKAF,
2005.
Zuhdi, Masjfuk, Pengantar
Ulumul Qur’an, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987.
Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd
Azhim, Manahil al-‘Irfan Fi ‘Ulum Al-Qur’an, Mesir: ‘Isu al bab al Halabi, tt.
Baidan, Nashruddin,
Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan,
al-Nukat wa al-‘Uyyun, juz 3, Mauqi’u al Tafasir: Dalam Software Maktabah
Samilah, 2005.
Al-Maraghi, Mustofa,
Tafsir al-Maraghi, terj.Bahrun Abu Bakar dkk, vol 11, Semarang: Toha Putra,
1989.
Razak, Abdul, Musannaf
Abdurrazak, juz 4, Mauqi’u Ya’sub: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
At Tabrani, Mu’jam Ausath,
juz 11, Mauqi’u Ya’sub: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
Suwaid, Muhammad, Tarbiyah
Fi al-Atfal (Mendidik Anak Bersama Nabi: Panduan Lengkap Pendidikan Anak
Disertai Teladan Kehidupan Para Salaf), terj. Salafuddin Abu Sayyid, Solo:
Pustaka Arafah, 2006.
Mansur, Pendidikan Anak
Usia Dini Dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Maunah, Binti, “Pendidikan
Anak Dalam Keluarga: Upaya Maksimalisasi Fungsi, Peran dan Tanggung Jawab Orang
Tua ” dalam Taallum Jurnal Pendidikan Islam, vol 18, no1, juni 2008.
Nur, Iffatin,
“Implementasi Long Life Education Sebagai Benteng Moralitas Dalam Perspektif
Al-Qur’an“ dalam Taallum Jurnal Pendidikan Islam, vol 18, No.2, November 2008.
Dawud, Abu, Sunan Abu
Dawud, juz 2, Mauqi’ul Islam: Dalam Software Maktabah Samilah, 2005.
Rohmad, Ali, “Orang Tua
Sebagai Pembina Kedisiplinan Shalat Anak“, dalam Taallum Jurnal Pendidikan
Islam, vol. 29, no.1, juni. 2006.