PENGERTIAN, SEJARAH, DAN RUANG LINGKUP EKONOMI ISLAM
A. Pengertian Ekonomi Islam
Menurut beberapa ahli ekonomi Islam, pengertian ekonomi islam sebgai berikut:
1. Menurut Hasanuzzaman, ekonomi islam adalah ilmu dan aplikasi petunjuk dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam meperoleh dan menggunakan sumber daya material agar memenuhi kebutuhan manusia dan agar dapat menjalankan kewajibannya kepada Allah dan masyarakat.[1]
2. Menurut Muhammad Abdul Mannan, ekonomi islam adalah ilmu social yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai islam.
3. Menurut Nejatullah Ash-Shiddiqi, ekonomi islam adalah tanggapan pemikir-pemikir muslim terhadap tantangan ekonomi pada zamannya. Dimana dalam upaya ini mereka dibantu oleh Al Quran dan Sunnah disertai dengan argumentasi dan pengalaman empiris.[2]
4. Menurut Yusuf Qardhawi adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at Allah.
5. Menurut Umer Chapra, ekonomi islam adalah cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber sumber daya langka sesuai dengan al–‘iqtisad al–syariah atau tujuan ditetapkan syariah, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbngan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solodaritas sosial dan jalinan moral dari masyarakat.[3]
Berbagai ahli ekonomi muslim memberikan defenisi ekonomi islam yang bervariasi, tetapi dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang islami. Yang dimaksudkan dengan cara-cara islami disini adalah cara-cara yang didasarkan atas ajaran agama islam, yaitu AlQur’an dan Sunnah Nabi. Dengan pengertian seperti ini istilah yang juga sering digunakan adalah ekonomi islam.
Ekonomi merupakan konsekuensi logis dari implementasi ajaran islam secara kaffah dalam aspek ekonomi. Oleh karena itu, perekonomian islam merupakan suatu tatanan perekonomian yang dibangun atas nilai-nilai ajaran islam yang diharapkan, yang belum tentu tercermin pada perilaku masyarakat muslim yang ada pada saat ini.
B. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
1. Periode di Masa Rasulullah Saw (571-632 M)
Kehidupan Rasulullah Saw dan masyarakat muslim di masa beliau adalah teladan yang paling baik implementasi islam, termasuk dalam bidang ekonomi. Meskipun pada masa sebelum kenabian Muhammad Saw adalah seseorang pebinis, tetapi yang dimaksudkan perekonomian di Rasulullah disini adalah pada masa Madinah. Pada periode Makkah Masyarakat Muslim belum sempat membangun perekonomian, sebab masa itu penuh dengan perjuangan untuk mempertahankan diri dari intimidasi orang-orang Quraisy. Barulah pada periode Madinah Rasulullah memimpin sendiri membangun masyarakat Madinah sehingga menjadi masyarakat sejahtera dan beradab. Meskipun perekonomian pada masa beliau relative masih sederhana, tetapi beliau telah menunjukkan prinsip yang mendasar bagi pengelolaan ekonomi. Karakter umum dari perekonomian pada masa itu adalah komitmennya yang tinggi terhadap etika dan norma, serta perhatiannya yang besar terhadap keadilan dan pemerataan kekayaan. Usaha-usaha ekonomi harus dilakukan secara etis dalam bingkai syariah islam, sementara sumber daya ekonomi boleh menumpuk pada segelintir orang melainkan harus beredar bagi kesejahteraan seluruh umat. Pasar menduduki peranan penting sebagai mekanisme ekonomi, tetapi pemerintah dan mayarakat juga bertindak aktif dalam mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan.[4]
Sebagaimana pada masyarakat arab lainnya, mata pencaharian mayoritas penduduk madinah adalah bardagang, sebagian yang lain bertani, beternak, dan berkebun. Berbeda dengan Makkah yang gersang sebagian tanah di Madinah relative subur sehingga pertanian , peternakan, dan perkebunan dapat dilakukan di kota ini. Kegiatan ekonomi pasar relative menonjol pada masa itu, di mana untuk menjaga agar mekanisme pasar tetap berada dalam bingkai etika dan moralitas islam Rasulullah mendirikan al- hisbah. Al-Hisbah adalah institusi yang bertugas sebagai pengawas pasar. Rasulullah juga membentuk Baitul Maal, sebuah institusi yang bertindak sebagai pengelola keuangan Negara. Baitul Maal ini memegang peranan yang sangat penting bagi perekonomian, termasuk dalam melakukan kebijakan yang bertujuan untuk kesajahteraan masyarakat.
Rasulullah Saw mengawali pembangunan Madinah dengan tanpa sumber keuangan yang pasti, sementara distribusi kekayaan juga timpang. Kaum Muhajirin tidak memilki kekayaan karena mereka telah meninggalkan seluruh hartanya di Mekkah. Oleh Karena itu, Rasulullah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan Anshar sehingga dengan sendirinya terjadi redistribusi kekayaan. Kebijakan ini sangat penting sebagai strategi awal pembangunan Madinah. Selanjutnya untuk memutar roda perekonomian, Rasulullah mendorong kerja sama usaha diantara anggota masyarakat (misalnya muzaraah, mudharabah, musaqa, dan lain-lain) sehingga terjadi peningkatan produktivitas. Namun, sejalan dengan perkembangan sumber penerimaan Negara juga meningkat. Sumber pemasukan Negara berasal dari beberapa sumber, tetapi yang paling pokok adalah zakat dan ushr.[5] Secara garis besar pemasukan Negara ini dapat digolongkan bersumber dari umat islam sendiri, non-Muslim, dan umum sebagai mana table di bawah ini:
Sumber-sumber Pendapatan pada Masa Rasulullah Saw
Dari Kaum Muslim
Dari Kaum non-Muslim
Umum
1. Zakat
2. Ushr (5-10%)
3. Ushr (2,5%)
4. Zakat Fitrah
5. Wakaf
6. Amwal Fadila
7. Nawaib
8. Shadaqah yang lain
9. Khumus
Jiyah
Kharaj
Ushar
Ghanimah
Fay
Uang Tebusan
Pinjaman dari kaum Muslim atau non Muslim
Hadiah dari pimpinan atau pemerintah Negara lain
Sumbe: Sabzwari, 1984
2. Periode di masa Khulafaurrasyidin
Para khulafaurrasyidin adalah penerus kepemimpinan Nabi Muhammad Saw karenanya kebijakan mereka tentang perekonomian pada dasarnya adalah melanjutkan dasar-dasar yang dibangun Rasulullah Saw. Khalifah pertama, Abu Bakar Siddiq (51 SH – 13 H/537-634 M) banyak menemui permasalahan dalam pengumpulan zakat, sebab pada masa itu mulai muncul orang-orang yang enggan membayar zakat. Beliau membangun lagi Baitul maal dan meneruskan system pendistribusian harta untuk rakyat sebagaimana pada masa Rasulullah Saw. Beliau juga mulai mempelopori system penggajian bagi aparat Negara, misalnya untuk khalifah sendiri digaji amat sedikit yaitu 2,5 atau 2,75 dirham setiap hari hanya dari baitul Maal. Tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga diterapkan 2000 atau 2500 dirham dan menurut keterangan lain 6000 dirham pertahun. [6]
Khalifah kedua, Umar bun Khattab (40 SH – 23 H/584-644 M) di pandang paling banyak melakukan inovasi dalam perekonomian. Umar bin Khatab menyadari pentingnya sektor pertanian bagi perekonomian, karenanya ia mengambil langkah-langkah besar pengembangan bidang ini. Misalnya, ia menghadiahkan tanah pertanian kepada masyarakat yang bersedia menggarapnya. Namun dengan ketentuan, siapa yang gagal mengelolanya selama 3 tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikannya atas tanah tersebut. Saluran irigasi terbentang hingga di daerah-daerah taklukan dan sebuah departemen besar didirikan untuk membangun waduk-wauk, tangki-tangki, kanal-kanal dan pintu-pintu air serba guna kelancaran dan ditribusi air.
Pada masa umar, hukum perdagangan mengalami penyempurnaan guna menciptakan perekonomian secara sehat. Umar mengurangi beban pajak terhadap beberapa barang, pajak perdagangan nabati dan kurma syiria sebesar 50%.[7] Hal ini akan memperlancar arus pemasukan bahan makanan ke kota-kota. Pada saat yang sama, juga dibangun pasar-pasar, termasuk didaerah pedalaman seperti Ubulla, yaman, damskus, Makkah, dan Bahrain. Pecan-pekan dagang berkedudukan penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Beberapa pecan dagang yang menonjol adalah pecan dagang ‘Ukaz yang berada di Hijaz yang berdekatan dengan Sukar dan lainnya. Pekan dagang itu berlangsung pada 1-20 Dzulkaidah.
Permasalahan ekonomi di masa Khalifah Usman bin Affan (47 SH – 35 H/577-656 M) semakin rumit, sejalan dengan semakin luasnya wilayah Negara Islam. Pemasukan dari zakat, jizyah, dan juga rampasan perang semakin besar. Pada enam tahun pertama kepemimpinannya Balkh, Kabul, Ghazni, Kerman, dan Sistan ditaklukan. Untuk pendapatan baru, kebijakan umar dituruti. Tidak lama, islam mengakui empat kontrak dagang setelah Negara-negara tersebut ditaklukan kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon-pohon, buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.[8]
Ali bin Abi Thalib (23 SH – 40 H/600-661 M) khalifah yang keempat ini terkenal sangat sederhana. Mewarisi kendali pemerintahan dengan wilayah yang luas, tetapi banyak potensi konflik dari khalifah sebelumnya, ali harus mengelola perekonomian secara hati-hati. Ia secara sukarela menarik dirinya dari daftar penerima dana bantuan Baitul Maal, bahkan menurut yang lainnya dia memberikan 5000 dirham setiap tahunnya. Ali sangat ketat dalam menjalankan keuangan Negara. Salah satu upayanya yan monumental adalah pencetakan mata uang sendiri atas nama pemerintahaan Islam, dimana sebelumnya kekhalifahan Islam menggunakan uang dinar dari Romawi dan dirham dari Persia.[9]
3. Fase Pertama
a. Zaid bin Ali (80-120 H/699-738 M)
Cucu Imam Husain ini merupakan salah seorang fukaha yang paling terkenal di madinah dan guru dari seorang ulama terkemuka, Abu Hanifah. Zaid bin Ali berpandangan bahwa penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih tinggi dari pada harga tunai merupakan salah satu bentuk transaksi yang sah dan dapat dibenarkan selamatransaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha antar kedua belah pihak.
Pada dasarnya, keuntungan yang diperoleh para pedagang dari penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan murni bagian dari sebuah perniagaan dan tidak termasuk riba. Penjualan yang dilakukan secara kredit merupakan salah satu bentuk promosi sekaligus respon terhadap permintaan pasar. Engan demikian, bentuk penjualan seperti ini bukan suatu tindakan diluar kebutuhan. Keuntungan yang diperoleh dari pedagang yang menjual secara kredit merupakan sebuah bentuk kompensasi atas kemudahan yang diperoleh seseorang dalam membeli suatu barang tanpa harus membayar secara tunai.
Hal tersebut tentu berbeda dengan pengambilan keuntungan dari suatu penangguhan pembayaran pinjaman. Dalam hal ini peminjam memperoleh suatu asset yakni uang yang harganya tidak mengalami perubahan dari waktu ke waktu, karena uang itu sendiri adalah sebagai standar harga. Dengan kata lain, uang tidak dengan sendirinya menghasilkan sesuatu. Ia baru akan dapat menghasilkan jika dan hanya jika melalui perniagaan dan pertukaran dengan barant-barang yang harganya sering berfluktuatif.
Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bahwa dalam syariah, setiap baik buruknya suatu akad ditentukan oleh akad itu sendiri, tidak dihubungkan dengan akad yang lain. Akad jual beli yang pembayarannya ditangguhkan adalah suatu akad tersendiri dan memilki hak sendiri untuk diperiksa apakah adil atau tidak, tanpa dihubungkannya dengan akad lain. Dengan kata lain, diketemukan fakta bahwa dalam suatu kontrak terpisah, harga yang dibayar tunai lebih rendah, hal itu tidak mempengaruhi keabsahan akad jual beli kredit dengan pembayaran yang lebih tinggi, karena kedua akad tersebut independent dan berbeda satu sama lain.[10]
b. Abu Hanifah (80-150 H/699-767 M)
Abu Hanifah merupakan seorang fukaha tkenal yang juga seorang pedagang di kota Kufah yang ketika itu merupakan pusat aktivitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Semasa hidupnya, salah satu transaksi yang sangat popular adalah salam, yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia mencoba menghilangkan perselisihan ini dengan merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di dalam akad, seperti jemis komoditi, mutu, dan kuantitas serta waktu dan tempat pengiriman. Ia memberikan persyaratan bahwa komoditi tersebut harus tersedia di pasar selama waktu kontrak dan tanggal pengiriman sehingga kedua belah pihak mengetahui bahwa pengiriman tersebut merupakan sesuatu yang mungkin dapat dilakukan.[11]
Disamping itu, Abu Hanifah mempunyai perhatian yang besar terhadap orang-orang yang lemah. Ia tidak akan membebaskan kewajiban zakat terhadap perhiasan dan sebaliknya, membebaskan pemilik harta yang dililit utang dan tidak sanggup menebusnya dari kewajiban membayar zakat. Ia juga tidak diperkenankan pembagian hasil panen (muzara’ah) dalam kasus tanah yang tidak menghasilkan apa pun. Hal ini dilakukan untuk melindungi para penggarap yang umumnya adalah orang-orang lemah.
c. Abu Yusuf (113-182 H/731-798 M)
Penekanan terhadap tanggung jawab penguasa merupakan tema pemikiran ekonomi islam yang selalu dikaji sejak awal. Tema ini pula yang ditekankan Abu Yusuf dalam surat panjang yan dikirimkannya kepada penguasa dinasti Abbasiyah, Khalifah Harun al-Rasyid. Di kemudian hari, surat yang membahas tentang pertanian dan perpajakan tersebut dikenal sebagai Kitab al-Kharaj.[12]
Kekuatan utama pemkiran Abu Yusuf adalah dalam masalah keuangan public. Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan dan pertanggung jawaban Negara islam terhadap kesejahteraan rakyatnya, ia memberikan beberapa saran tentang cara-cara memperoleh sumber perbelanjaan untuk untuk pembanguna jangka panjang, seperti membangun jembatan dan bendungan serta menggali saluran-saluran besar dan kecil.
d. Muhammad bin Hasan Al-Syaibani
Salah satu rekan sejawat Abu Yusuf dalam mazhab hanafiyah adalah Muhammad bin Hasan al-Syaibani. Risalah kecilnya yang berjudul al-Ikhtisab fi ar-Rizq al-Mustathab membahas pendapatan dan belanja rumah tangga. Ia juga menguraikan perilaku konsumsi seorang muslim yang baik serta keutamaan orang yang suka berderma dan tidak suka meminta-minta. Al- Syaibani mengklasifikasikan jenis pekerjaan ke dalam empat hal, yakni ijarah (sewa-menyewa), tijarah (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah (industri). Cukup menarik untuk dicatat bahwa ia menilai pertanian sebagai lapangan pekerjaan yang terbaik, padahal masyarakat Arab pada saat itu lebih tertarik untuk berdagang dan berniaga. Dalam suatu risalah yang lain, yakni Kitab al-Asl, Al-Syaibani telah membahas masalah kerja sama usaha dan bagi hasil.[13]
e. Ibnu Miskawih (w. 421 H/1030 M)
Salah satu pandangan Ibnu Miskawih yang terkait dengan aktivitas ekonomi adalah tentang pertukaran dan peranan uang. Ia menyatakan bahwa manusia merupakan makhluk social dan tidak bisa hidup sendiri. Ia juga menegaskan bahwa logam yang dapat dijadikan sebagai mata uang adalah logam yang dapat diterima secara universal melalui konvensi, yakni tahan lama, mudah dibawa, tidak mudah rusak, dikehendaki orang dan fakta orang senang melihatnya.[14]
4. Fase Kedua
a. Al –Ghazali (451-505 H/1055-1111 M)
Al-Ghazali memberikan nasihat kepada para penguasa agar selalu memerhatikan kebutuhan rakyatnya serta tidak berperilaku zalim terhadap mereka. Ketika rakyat mengalami kekurangan dan tidak ada jalan untuk memperoleh penghasilan hidupnya, penguasa wajib menolong dengan menyediakan makanan dan uang dari perbendaharaan Negara. Dalam hal pajak, Al-Ghazali bisa menoleransi pengenaan pajak jika pengeluaran untuk pertahanan dan sebagainya tidak tercukupi dari kas Negara yang telah tersedia. Bahkan, jika hal yang demikian terjadi, Negara diperkenankan melakukan peminjaman.[15]
Al-Ghazali juga mempunya wawasan yang sangat luas mengenai evolusi pasar dan peranan uang. Ia juga mengemukakan alasan pelarangan riba fadhal, yakni karena melanggar sifat dan fungsi uang, serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan dasar uang itu sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran.
b. Ibnu Taimiyah (w. 728/1328 M)
Ibnu Taimiyah yang bernama ibnu Taqiyuddin Ahmad Halim lahir di kota Harran pada tanggal 22 januari 1263 M (10 Rabiul Awwal 661 H). ia brasal dari keluarga yang berpendidikan tinggi. Ayah, paman dan kakeknya merupakan ulama besar Mazhab Hanbali dan penulis sejumlah buku.
Berkat kecerdasan dan kejeniusannya, Ibnu Taimiyah yang masih berusia sangat muda telah mampu menempatkan sejumlah mata pelajaran, seperti tafsir, hadis, fiqih, matematika, dan filsafat, serta berhasil menjadi yang terbaik diantara teman-teman seperguruannya. Guru Ibn Taimiyah berjumlah 200 orang, diantaranya adalah Syamsuddin Al-Maqdisi, Ahmad bin Abu Al-Khair, Ibn Abu Al-Yusr, dan Al-Kamal bin Abdul Majd bin Asakir.[16]
Ketika umur 17 tahun, Ibnu Taimiyah telah diberi kepercayaan oleh gururnya, Syamsuddin Al-Maqdisi, untuk mengeluarkan fatwa. Pada saat bersamaan, ia juga memulai kiprahnya sebagai seorang guru. Kedalaman ilmu Ibnu Taimiyah memperoleh penghargaan dari pemerintah pada saat itu dengan menawarinya jabatan kepala kantor pengadilan. Namun, karena hati nuraninya tidak mampu memenuhi berbagai batasan yang ditentukan oleh penguasa, ia menolak tawaran tersebut.
Kehidupan Ibnu Taimiyah tidak hanya terbatas pada dunia buku dan kata-kata.sejarah mencatat bahwa sepanjang hidupnya, Ibnu Taimiyah telah menjalani masa tahanan sebanyak empat kali akibat fitnah yang dilontarkan para penentangnya. Selama dalam tahanan, Ibnu Taimiyah tidak pernah berhenti untuk menulis dan mengajar. Bahkan, ketika penguasa mencabut haknya untuk menulis dengan cara mengambil pena dan kertasnya, ia tetap menulis dengan menggunakan batu arang. Ibnu Taimiyah meninggal dunia didalam tahanan pada tanggal 26 september 1328 M (20 Dzul Qaidah) 728 H) setelah mengalami perlakuan yang sangat kasar selama lima bulan.
A. Pemikiran Ekonomi
Pemikiran ekonomi Ibnu Taimiyah banyak diambil dari berbagai karya tulisnya antara lain Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam, as-Siyasah asy-syar’iyyah fi ishlah ar-Ra’I wa ar-Ra’iyah dan al-Hisbah fi al-Islam.
1. Harga yang Adil, Mekanisme Pasar dan Regulasi Harga
a. Harga yang Adil
Ibnu Taimiyah merupakan orang yang pertama kali menaruh perhatian khusus terhadap permasalahan harga yang adil. Dalam membahas persoalan yang berkaitan dengan harga, ia sering kali mengunakan dua istilah, yakni kompensasi yang setara (‘iwadh al-mitsl) dan harga yang setara (tsman al-mitsl). Ia menyatakan “kompensasi yang setara akan diukur dan ditaksir oleh hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (nafs al-‘adl).”[17]
Ditempat lain, ia membedakan antara dua jenis harga, yakni harga yang tidak adil dan dilarang serta harga yang adil dan disukai. Ibnu Taimiyah menganggap harga yang setara sebagai harga yang adil. Oleh karena itu ia menggunakan istilah ini secara bergantian.
Menurut Ibnu Taimiyah bahwa kompensasi yang setara itu relative merupakan sebuah fenomena yang dapat bertahan lama akibat terbentuknya kebiasaan, sedangkan harga yang setara itu bervariasi, ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran serta dipengaruhi oleh kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dan ia juga menjelaskan bahwa harga yang setara adalah harga yang dibentuk oleh kekuatan pasar yang berjalan secara bebas, yakni pertemuan antara kekuatan permintaan dengan penawaran.
· Konsep Upah yang adil
Pada abad pertenganhan, konsep upah yang adil dimaksudkan sebagai tingkat upah yang wajib diberikan kepada para pekerja sehingga mereke dapat hidup secara layak ditengah-tengah masyarakat. Tentang bagaimana upah yang setara itu ditentukan, Ibnu Taimiyah menjelaskan, “upah yang setara akan ditentukan oleh upah yang telah diketahui jika ada, yang dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak. Seperti halnya dalam kasus jual atau sewa, harga yang telah diketahui akan diperlakukan sebagai harga yang setara.”
· Konsep laba yang Adil
Berdasarkan defenisi tentang harga yang adil, Ibnu Taimiyah mendefenisikan laba yang adil sebagai laba normal yang secara umum diperoleh dari jenis perdagangan tertentu, tanpa merugikan orang lain. Ia menentang tingkat keuntungan yang tidal lazim, bersifat eksploitasi dengan memanfaatkan ketidak pedulian masyarakat terhadap kondisi pasar yang ada. Para pedagang berhak memperoleh keuntungan melalui cara-cara yang dapat diterima secara umumtanpa merusak kepentingan para pelanggannya.
· Relevansi Konsep Harga Adil dan Laba yang Adil bagi Masyarakat
Menurut Ibnu Taimiyah, adil bagi para pedagang berarti barang-barang dagangan mereka tidak dipaksa untuk dijual pada tingkat harga yang dapat menghilangkan keuntungan normal mereka. Menurutnya “setiap individu mempunyai hak pada apa yang mereka milki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya, baik sebagian maupun separuhnya, tanpa izin dan peersetujuan mereka.”
b. Mekanisme Pasar
Ibnu Taimiyah memiliki sebuah pemahaman yang jelas tenteng bagaimana, dalam suatu pasar bebas, harga yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Ia mengemukakan,
“naik dan turunnya harga tidak selalu diakibatkan oleh kezaliman orang-orang tertentu. Terkadang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan produksi atau penurunan impor barang-barang yang diminta. Oleh karena itu, apabila permintaan naik dan penawaran turun, harga-harga naik. Disisi lain, apabila persediaan barang meningkat dan permintaan terhadapnya menurun, harga pun turun. Kelangkaan atau kelimpahan ini bukan disebabkan oleh tindakan orang-orang tertentu. Ia bisa jadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak mengandung kezaliman, atau terkadang ia juga bisa disebabkan oleh kezaliman. Hal ini adalah kemahakuasaan Allah yang telah menciptakan keinginan di hati manusia.”
Ia menyebutkan dua sumber persediaan, yakni produksi local dan impor barang-barang yang diminta (mayukhlaq aw yujlab min dzalik al-mal al- matlub). Untuk menggambarkan permintaan terhadap suatu barang tertentu, ia menggunakan istilah raghbah fi al-syai yang berarti hasrat terhadap sesuatu, yakni barang. Hasrat merupakan salah satu faktor terpenting dalam permintaan, faktor lainnya adalah pendapatan yang tidak disebutkan oleh Ibnu Taimiyah. Perubahan dalam supply digambarkan sebagai kenaikan atau penurunan dalam persediaan barang-barang yang disebabkan olek dua faktor, yakni produksi local dan impor.[18]
Ibnu Taimiyah mencatat beberapa factor yang mempengaruhi permintaaan serta kosekuensinya teerhadap harga, yaitu:
1) Keinginan masyarakat terhadap berbagai jenis barang yang berbeda dan selalu berubah-ubah.
2) Jumlah para peminat (tullab) terhadap suatu barang.
3) Lemah atau kuatnya kebutuhan terhadap suatu barang serta besar atau kecilnya tingkat dan ukuran kebutuhan.
4) Kualitas pembeli.
5) Jenis uang yang digunakan dalam transaksi.
6) Tujuan transaksi yang menghendaki adanya kepemilikanresiprokal diantara kedua belah pihak.
7) Besar kecilnya biaya yang harus dikeluarkan oleh produsen atau penjual.
c. Regulasi Harga
Tujuan regulasi harga adalah untuk menegakkan keadilan serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat. Dan ketika dalam keadaan darurat, seperti terjadi bencana kelaparan, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan penetapan harga serta memaksa para pedagang untuk menjual barang-barang kebutuhan dasar, seperti bahan makanan.[19] Ia menyatakan :
“Inilah saatnya bagi penguasa untuk memaksa seseorang menjual barang-barangnya pada harga yang adil ketika masyarakat sangat membutuhkannya. Misalnya, ketika memiliki kelbihan bahan makanan sementara masyarakat menderita kelaparan, pedagang akan dipaksa untk menjual barangnya pada tingkat harga yang adil.”
Dalam melakukan penetapan harga, harus dibedakan antara para pedagang lokal yang memiliki persediaan barang dengan para importir. Dalam hal ini, para importir tidak boleh dikenakan kebijakan tersebut. Namun, mereka dapat diminta untuk menjual barang dagangannya seperti halnya rekanan importir mereka. Penetapan harga akan menimbulkan dampak yangmerugikan persediaan barang-barang impor mengingat penetapan harga tidak diperlukan terhadap barang-barang yang tersedia di tempat itu, karena akan merugikan para pembeli.
1) Pasar yang Tidak Sempurna
Disamping dalam kondisi kekeringan dan perang, Ibnu Taimiyah merekomendasikan kepada pemerintah agar melakukan kebijakan penetapan harga pada saat ketidak sempurnaan melanda pasar. Sebagai contoh, apabila para penjual (arabab al-sila’) menghentikan penjualan barang-barang mereka kecuali pada harga yang lebih tinggi dari pada harga normal (al-qimah al-ma’rufah) dan pada saat yang bersamaan masyarakat membutuhkan barang-barang tersebut, mereka akan diminta untuk menjual barang-barangnya pada tingkat harga yang adil.
Contoh nyata dari pasar yang tidak sempurna adalah adanya monopoli terhadap makanan dan barang-barang kebutuhan dasar lainnya. Dalam kasus seperti ini, penguasa harus menetapkan harga (qimah al-mitsl) terhadap transaksi jual beli mereka. Seorang monopolis jangan dibiarkan secara bebas untuk menggunakan kekuatannya karena akan menentukan harga semaunya yang dapat menzalimi masyarakat.[20]
2) Musyawaarah untuk Menetapkan Harga
Sebelum menerapakan kebijakan penetapan harga, terlebih dahulu pemerintah harus melakukan musyawarah dengan masyarakat terkait. Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“imam (penguasa) harus menyelanggarakan musyawarah dengan para tokoh yang merupakan wakil dari para pelaku pasar (wujuh ahl al-suq). Anggota masyarkat lainnya juga diperkenankan menghadiri musyawarah tersebut sehingga dapat membuktikan pernyataan mereka. Setelah melakukan musyawarah dan penyelidikan terhadap pelaksanaan transaksi jual-beli mereka, pemerintah harus meyakinkan mereka pada suatu tingkat harga yang dapat membantu mereka dan masyarakat luas, hingga mereka menyetujuinya. Harga tersebut tidak boleh ditetapkan tanpa persetujuan dan izin mereka.”
2. Uang dan Kebijakan Moneter
a. Karakteristik dan Fungsi Uang
Secara khusus, Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda.[21] Ia menyatakan,
“ Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui, dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
b. Penurunan Nilai Mata Uang
Ibnu Taimiyah menentang keras terjadinya penurunan nilai mata uang dan pencetakan mata uang yang sangat banyak. Ia mengatakan,
“penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain dari emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.”
Pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa Ibnu Tamiyah memiliki beberapa pemikiran tentang hubungan antara jumlah uang, total volume transaksi dan tingkat harga.
c. Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia menggambarkan hal sebagai berikut:
“apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu. Apabila nilai intrinsic mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulkan uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya kedaerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.”[22]
Pada pernyataan tersebut , Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya akan diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama dibanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.
c. Al-Maqrizi (845 H/1441 M)
Al-Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dan kenaikan harga-harga yang terjadi secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Selain kelangkaan pengan secara alami oleh kegagalan hujan, Al-Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang berat terhadap para penggarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus. Berbicara tentang sebab yang ketiga ini, Al-Maqrizi menegaskan bahwa uang emas dan perak merupakan satu-satunya mata uang yang dapat dijadikan standar nilai sebagaimana yang telah ditentukan syariah, sedangkan penggunaan fulus sebagai mata uang dapat menimbulkan kenaikan harga-harga. Menurut Al-Maqrizi, fulus dapat diterima sebagai mata uang jika dibatasi penggunaannya, yakni hanya untuk kperluan transaksi yang berskala kecil.
5. Fase Ketiga
Fase ketiga yang dimulai pada tahun 1446 hingga 1932 Masehi fase tertutupnya pintu ijtihad (independent judgement) yang mengakibatkan fase ini dikenal juga sebagai fase stagnasi. Pada fase ini, para fuqaha hanya menulis catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan aturan standar bagi masing-masing mazhab. Namun demikian, terdapat sebuah gerakan pembaharu selama dua abad terakhir yang menyeru untuk kembli kepada Al Qur’an dan Hadist nabi sebagai sumber pedoman hidup. Tokoh-tokoh pemikir ekonomi islam pada fase ini antara lain diwakili oleh Shah Wali Allah (w. 1176 H/1762 M), Jamaluddin Al-Afghani (w. 1315 H/1897), Muhammad Abduh (w. 1320 H/1905 M), dan Muhammad Iqbal (w. 1357 H/1938 M).[23]
C. Ruang Lingkup Ekonomi Islam
Beberapa ekonom memberikan penegasan bahwa ruang lingkup dari ekonomi Islam adalah masyarakat Muslim atau negara Muslim sendiri. Artinya, ia mempelajari perilaku ekonomi dari masyarakat atau Negara Muslim di mana nilai-nilai ajaran Islam dapat diterapkan. Namun, pendapat lain tidak memberikan pembatasan seperti ini, melainkan lebih kepada penekanan terhadap perspektif Islam tentang masalah ekonomi pada umumnya. Dengan kata lain, titik tekan ilmu ekonomi Islam adalah pada bagaimana Islam memberikan pandangan dan solusi atas berbagai persoalan ekonomi yang dihadapi umat manusia secara umum. [24]
1. Islam sebagai Sistem Kehidupan
Aktivitas dan perilaku ekonomi tidak terlepas dari karakteristik manusianya. Pola perilaku, bentuk aktivitas, dan pola kecederungan terkait dengan pemahaman manusia terhadap makna kehidupan itu sendiri. Dalam pandangan islam bahwa kehidupan manusia dimana merupakan rangkaian kehidupan yang telah ditetapkan Allah kepada setiap makhluk-Nya untuk nanti dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak.[25] Telah menjadi suatu ketapan (kodrat) dan kehendak (iradat) Allah bahwa manusia diciptakan juga sekaligus diberikan tuntunan hidup agar dapat menjalani kehidupan di dunia sebagai hamba Allah untuk memakmurkan kehidupan di dunia ini sesuai dengan kehendak-Nya. Agama Islam yang diturunkan oleh Allah melalui para Nabi dan Rasul-Nya dan disempurnakan ajarannya melalui Nabi terakhir, yaitu Muhammad Saw adalah suatu system kehidupan yang bersifat integral dan komprehensif mengatur semua aspek kehidupan manusia agar mencapai kehidupan yang sejahtera, baik di dunia maupun di akhirat, sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Baqarah (2) ayat 132 :
4Óœ»urur !$pkÍ5 ÞO¿Ïdºtö/Î) Ïm‹Ï^t/ Ü>qà)÷ètƒur ¢ÓÍ_t6»tƒ ¨bÎ) ©!$# 4’s"sÜô¹$# ãNä3s9 tûïÏe$!$# Ÿxsù £`è?qßJs? žwÎ) OçFRr&ur tbqßJÎ=ó¡•B ÇÊÌËÈ
Dan Ibrahim telah Mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
2. Perbandingan Sistem Ekonomi
a. Sitem ekonomi
Sistem ekonomi suatu Negara didasarkan atas seberapa jauh institusi kepemilikan, insentif dan pembuat keputusan mendasari semua aktivitas ekonomi.[26] Persoalan bidang ekonomi adalah membahasa seputar barang yang seharusnya dihasilkan, cara menghasilkan barang tersebut menggunakan teknologi padat modal atau padat karya, untuk siapa barang tersebut dihasilkan, dan cara mendistribusikan barang tersebut kepada masyarakat.
Dengan memahami pengertian dari system ekonomi tersebut maka kita dapat mengklasifikasikan sistem yang dianut suatu masyarakat atau Negara. Namun karena tingkat kompleksitas bidang ekonomi, tak ada satu pun Negara atau masyarakat yang ekstrim menggunakan atau menganut satu sitem ekonomi secara mutlak, hanya menunjukkan kecondongan untuk mendekati ke kutub yang mana. Terdapat kecenderungan umum bahwa sistem ekonomi di suatu Negara bergandengan tangan secara erat dengan system politik Negara-negara tersebut. Ideology politik berkaitan dengan ideology ekonomi.
b. Sistem Ekonomi Kapitalis
Kapitalisme sebagai system ekonomi mucul pada abad ke-16, yang didorong dengan munculnya industri sandang di Inggris. Perkembangan industry sandang di Inggris di dukung oleh bahan baku wol yang diproduksi di dalam negeri. Kapitalisme berkembang ketika terjadi revolusi industry di Inggris yang ditandai dengan peralihan dari dominasi modal perdagangan di atas modal bagi industry menuju kearah dominasi modal industry atas modal perdagangan. Proses terjadinya cepat dan akhirnya muncullah Adam Smith yang dikenal sebagai bapak kapitalisme. Jiwa kapitalisme terlihat jelas pada egoisme, bebas menumpuk harta kekayaan, mengembangkan dan membelanjakan.
Berikut cirri-ciri system ekonomi kapitalis.
1) Kebebasan memiliki harta secara perorangan.
2) Persaingan bebas.
3) Kebabasan Penuh.
4) Mementingkan diri sendiri.
5) Harga sebagai penentu.
6) Campur tangan pemerintah minimum.
c. Sistem Ekonomi Sosialis
Kutub lain dari system ekonomi kapitalis adalah system ekonomi sosialis. Lahirnya system ekonomi marxisme atau sosialisme pada mulanya dimaksudkan untuk meperbaiki kehidupan masyarakat yang menderita akibat akumulasi modal kapitalisme. Munculnya system ini diawali dengan terjadinya kelesuan berkepanjangan (malaisse) ekonomi pada awal abad ke-20 dan tidak munculnya mekanisme pasar yang dijanjikan kepitalisme. Kelesuan ditandai dengan terjadinya pengangguran yang berkelanjutan dan meningkatnya kesengsaraan masyarakat, sementara kapitalis semakin menumpuk kekayaan. System sosialis ini yang dirumuskan oleh Karl Marx.
Cirri-ciri system ekonomi sosialis.
1) Kepemilikan harta dikuasai Negara.
2) Setiap individu memiliki kesamaan kesempatan dalam melakukan aktivitas ekonomi.
3) Disiplin politik yang tegas.
4) Tiap warga Negara dipenuhi kebutuhan pokoknya.
5) Proyek pembengunan individu dilaksanakan Negara.
6) Posisi tawar-menawar individu terbatas.
d. System Ekonomi Islam
Gagalnya kapitalisme maupun sosialisme menciptakan kesejahteraan masyarakat, mengharuskan adanya pemecahan. Karena itu, Negara-negara Muslim sangat membutuhkan suatu system yang lebih baik yang mampu memberikan semua elemen berperan dalam rangka mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia sejati.
System ekonomi Islam yang dilandasi dan bersumber pada ketentuan Al-Quran dan Sunnah, berisi tentang nilai persaudaraan, rasa cinta, penghargaan kepada waktu, dan kebersamaan. Adapun system ekonomi islam meliputi antara lain:
1) Mengakui hak milik individu sepanjang tidak merugikan masyarakat.
2) Individu mempunyai perbedaan yang dapat dikembangkan berdasarkan potensi masing-masing.
3) Adanya jaminan social dari Negara untuk masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok manusia.
4) Mencegah konsentrasi kekayaan pada kelompok kecil orang yang memiliki kekuasaan lebih.
5) Melarang praktik penimbunan barang sehingga mengganggu distribusi dan stabilitas harga.
6) Melarang praktik asocial (mal bisnis).
Apabila kita kaji dalam Al Quran dan sunnah Rasul sebagai sumber inspirasi maka tujuan ekonomi dalam islam dapat dirumuskan sebagai berikut.
1) Membangun kehidupan umat manusia yang adil dan merata, dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada umat manusia untuk berjreasi dalam rangka meningkatkan taraf hidupnya.
2) Mewujudkan kehidupan ekonomi yang serasi, ersatu, damai, dan maju dalam suasa kekeluargaan dengan sesame umat manusia, serta menghilangkan nafsu menguasai, menumpuk harta, dan menindas yang lemah.
3) Membangun peradaban eknomi yang tidak menimbulkan kerusakan di Bumi.
4) Membangun kehidupan ekonomi umat manusia yang makmur dan selalu mendorong untuk lebih maju dengan jalan untuk selalu meningkatkan kualitas dan kuantitas.
5) Membangun kehidupan ekonomi umat manusia yang stabil dengan jalan mencegah inflasi, depresi, dan stagnasi.
6) Membangun kehidupan ekonomi yang merdeka dan menumbuhkan sikap kebersamaan.
7) Mewujudkan kehidupan ekonomi umat manusia yang mandiri, tanpa adanya ketergantungan dengan kelompok tertentu yang berkuasa.
e. Komparasi Teori dan Sistem Ekonomi
Kendati semua ekonom mengenal dan mengagungkan ajaran Adam Smith dalam bukunya Wealth of Nations, hanya sedikit yang mencermati secara teliti. Dalam nuku Wealth of Nations, yang diterbitkan Oxford University Press, tahun 1993, Adam Smith mengutip perjalanan Doktor Pocok yang menjelaskan rahasia kesuksesan para pedagang Arab. Tepatnya, ia menulis, “ketika mereka memasuki kota, mereka mengundang orang-orang di jalan, baik kaya maupun miskin, untuk makan bersama dengan duduk bersila. Mereka memulai makan dengan mengucap bismilah dan mengakhiri dengan ucapan hamdallah.”
Apabila dicermati lebih dalam buku The Wealth of Nation diduga banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwal yang bahasa inggrisnya The Wealth karangan Abu Ubaid (838 M). banyak dari teori ekonomi modern yang merupakan inspirasi dari pemikiran ekonomi Islam. Beberapa system ekonomi dari masyarakat muslim yang ditiru barat antara lain adalah syirkah (serikat dagang), suftaja (bill of exchange), hiwala (letter of credit), dar-ut Tiraz (BUMN), ma’una (bank swasta).[27]
Dengan mengkaji dan kempelajari seimbang antara literature Islam dengan literature barat akan meningkatkan pemahaman kita bahwa sangat besar peran pemikir ekonomi Islam terhadap inspirasi para pemikir barat. Hal tersebut menjadikan kita tidak perlu terkesima dengan teori-teori barat yang sering kita agungkan berlebihan, disamping akan menambah pengakuan peran pemikir ekonomi Islam terhadap kemajuan ekonomi modern dewasa ini.
Berdasarkan penjelasan diatas sehrusnya system ekonomi Islam merupakan system ideal dan terbak secara normative, tetapi realita menunjukkan bahwa pada abad ini perwujudan tersebut tidak berhasil. Hal ini disebabkan karena umat Islam sendiri masih meragukan system ekonomi Islam karena terpesone dengan kehebatan system ekonomi lain.
G.H Jensen seorang nonmuslim dan bukan ahli ekonomi dalam bukunya Islam Militan, bahwa sejak 1960-1970-an sudah ada ratusan jilid buku ditulis oleh para sarjana Pakistan, Syria, Mesir, dan dunia Islam lainnya tentang teori ekonomi Islam yang langsung dipraktikan, sesungguhnya memang benar. Tetapi Jensen mempertanyakan masalahnya, mengapa hingga saat ini teori ekonomi Islam itu tidak dipraktikkan. Jensen menjawab sendiri, bahwa para pemimpin dunia Islam belum mempunya “Political Willing.”
DAFTAR PUSTAKA
Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
P3EI. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Rivai, Veithzal dkk. Islamic Economics. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009.
http://maz-adul.blogspot.com,ekonomi-islam.html
[1] Veithzal Rivai dkk, Islamic Economics (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), h. 11
[2] Ibid.,h. 12
[3] http://maz-adul.blogspot.com,ekonomi-islam.html,
[4] P3EI, Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.97-89.
[5] Ibid.,h.99.
[6] Ibid.,h.101-102.
[7] Ibid.,h.102.
[8] Ibid.,h.104.
[9] Ibid.
[10] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), h.13.
[11] Ibid.,h.14.
[12]Ibid.,h.15.
[13] Ibid.,h.16.
[14] Ibid.,h.17
[15] Ibid.,h.19.
[16] Ibid.,h.351.
[17] Ibid.,h.354.
[18] Ibid.,h.364-365.
[19] Ibid.,h.369.
[20] Ibid.,h.370.
[21] Ibid.,h.373.
[22] Ibid.,h.376.
[23] Ibid.,h.21.
[24] P3EI, Op. Cit., h.17.
[25] Veithzal Rivai dkk, Op. Cit., h.29.
[26] Veithzal Rivai dkk, Op. Cit., h.30.
[27] Veithzal Rivai dkk, Op. Cit., h.36.