BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah kehidupan
manusia, telah muncul konsepsi tentang kepemimpinan. Bagaimana Nabi Adam
memimpin Hawa dan keturunannya di dunia setelah diusir dari surga. Begitu juga sejak
awal kemunculan Islam, Nabi Muhammad selain sebagai seorang Rasul yang
menyampaikan ajaran-ajaran agama tetapi juga seorang kepala negara dan kepala
rumah tangga. Paling tidak dalam catatan-catatan sejarah kenabian yang
terdokumentasi dalam Hadits-Hadits yang tetap terjaga dan dapat digunakan
sampai saat ini, Nabi memberikan contoh bagaimana seorang pemimpin
menyelesaikan masalah-masalah pribadi maupun sosial kemasyarakatan berdasarkan
musyawarah untuk tercapainya kemaslahatan.
B.Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah
dalam makalah ini adalah:
· Apa pengertian dari kepemimpinan?
· Bagaimana cara memilih pemimpin?
· Bagaimana cara manajemen kepemimpinan?
· Bagaimana contoh perealisasiannya
dalam islam?
C.Tujuan
Adapun tujuan dari
pembuatan makalah ini adalah:
· Mampu menjelaskan hakekat dari kepemimpinan
· Memahami cara pemilihan pemimpin
· Mampu menjelaskan bagaimana cara
manajemen kepemimpinan
· Mampu memberikan contoh mengenai
kepemimpinan islam
BAB II
PEMBAHASAN
SAYA. Pengertian
Kepemimpinan berasal dari
akar kata “pimpin” kita mengenal kata “pemimpin” dan “kepemimpinan”. Dalam
Ensiklopedi Umum, halaman 549 kata “kepemimpinan” ditafsirkan sebagai hubungan
yang erat antara seorang dan sekelompok
manusia karena adanya kepentingan bersama; hubungan Itu oleh oleh
tingkahlaku yang tertuju dan terbimbing dari manusla yang seorang itu.
Manusiaatau orang ini biasanya disebut pemimpin atau pemimpin,
sedangkankelompok manusia yang mengikutinya disebut yang dipimpin [1] .
Islam menetapkan tujuan
dan tugas utama adalah melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta
melaksanakan perintah-perintah-Nya. Ibnu Taimyah mengungkapkan bahwa kewajiban
seorang pemimpin yang telah ditunjuk dipandang dari segi agama dan dari segi
ibadah adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pendekatan diri kepada Allah
adalah dengan menaati peraturan-peraturan-Nya dan Rasul-Nya. Namun hal itu
lebih sering disalah gunakan oleh orang-orang yang ingin memegang dan harta.
II.
Dalil tentang Kepemimpinan [2]
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته الإمام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في أهله وهو مسئول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته وكلكم رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya:
Dari Ibn Umar ra
Sesungguhnya Rasulullah Saw. Berkata: ”Kalian adalah pemimpin, yang akan
dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Suami adalah pemimpin keluarga, dan
akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin
dirumah suaminya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Pelayan adalah pemimpin dalam mengelolaharta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Oleh karena itu kalian sebagai
pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. “
Hal yang paling mendasar
yang dapat diambil dari hadis diatas adalah bahwa dalam tingkat apapun, manusia
adalah pemimpin termasuk bagi dirinya sendiri. Setiap perbuatan dan tindakan
memiliki risiko yang harus dipertanggungjawabkan.
Setiap orang adalah
pemimpin meskipun pada saat yang sama setiap orang yang membutuhkan pemimpin
ketika ia harus menciptakan solusi hidup di mana kemampuan, keahlian, dan
kekuatannya membangun oleh sekat yang ia ciptakan sendiri dalam posisinya
sebagai bagian dari komunitas.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra.,
dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan mendapat
naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu :
Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala,
Seseorang yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid,
Dua orang saling mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah
karena-Nya. Seorang laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita
bangsawan yang cantik lalu ia menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada
Allah.”Seorang yang mengeluarkan sedekah sedang ia merahasiakanny,
sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan
kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat yang sepi sampai
meneteskan air mata.”
Setiap orang berhak
mengeluarkan pendapatnya dan seorang pemimpin berkewajiban mendengarkan. Ia
wajib menjalankan hasil musyawarah. Setiap keputusan yang telah disepakati
bersama wajib dilaksanakan karena itu merupakan amanat yang dibebankan kepadanya.
Dalam hadits diatas diungkapkan keutamaan seorang pemimpin yang adil sehingga
mendapatkan posisi pertama orang yang mendapatkan naungan dari Allah pada hari
kiamat. Hal ini menunjukkan begitu beratnya menjadi seorang pemimpin untuk
selalu adil dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ إِلَّا أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Artinya :
Dari Ibn Umar ra., dari
Nabi Saw., sesungguhnya bliau bersabda : “Seorang Muslim wajib mendengar dan
taat terhadap perintah yang disukai maupun tidak disukainya. Kecuali bila
diperintahkan mengerjakan kemaksiatan, maka ia tidak wajib mendengar dan taat”
Secara kontekstual hadits
diatas dapat diartikan dalam berbagai dimensi. Dalam sebuah komunitas,
masyarakat dan agama setiap manusia memiliki sistem yang mengatur mereka maka
wajar sebagai bagian dari sistem tersebut untuk mematuhi aturan-aturan yang
berlaku. Namun ketaatan tersebut tidak serta merta menjadi sikap yang selalu
taklid terhadap pemimpin. Dalam Islam diajarkan tidak diperbolehkan taat atau
memetuhi pemimpin kecuali dalam batas-batas yang telah dijelaskan Allah dalam
al-Qur’an dan Hadits bahwa tidak wajib memetuhi seorang pemimpin melainkan
karena Allah.
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَمُرَةَ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ
Artinya :
Dari Abdurrahman ibn
Smurah ra. Ia berkata : Rasulullah bersabda :”Wahai Abdurrahman Ibn sammurah,
janganlah kamu meminta jabatan. Apabila kamu diberi dan tidak memintanya, kamu
akan mendapat pertolongan Allah dalam melaksanakannya. Dan jika kau diberi
jabatan karena memintanya, jabatan itu diserahkan sepenuhnya. Apabila kamu
bersumpah terhadap satu perbuatan, kemudian kamu melihat ada perbuatan yang
lebih baik, maka kerjakanlah perbuatan yang lebih baik itu.“
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ دَخَلْتُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَا وَرَجُلَانِ مِنْ بَنِي عَمِّي فَقَالَ أَحَدُ الرَّجُلَيْنِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمِّرْنَا عَلَى بَعْضِ مَا وَلَّاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ وَقَالَ الْآخَرُ مِثْلَ ذَلِكَ فَقَالَ إِنَّا وَاللَّهِ لَا نُوَلِّي عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلَا أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Artinya:
Dari Abu Musa al-Asy’ari
ra., ia berkata: bersama dua orang saudara sepupu, saya mendatangi Nabi Saw.
kemudian salah satu diantara keduanya berkata: Wahai Rasulullah, berilah kami
jabatan pada sebagian dari yang telah Allah kuasakan terhadapmu. Dan yang lain
juga berkata begitu. Lalu beliau bersabda: Demi Allah, aku tidak akan
mengangkat pejabat karena memintanya, atau berambisi dengan jabatan itu.
Kepemimpinan adalah
sesuatu yang muncul dari dalam dan merupakan buah dari keputusan seseorang
untuk mau menjadi pemimpin, baik bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, bagi
lingkungan pekerjaannya, maupun bagi lingkungan sosial dan bahkan bagi
negerinya. Berdasarkan hadits diatas dapat dipahami bahwa yang menjadi penentu
adalah masyarakat atau komunitas, bukan sikap mengharapkan sebuah jabatan
dengan meminta. Dengan meminta maka jabatan tersebut bukan lagi sebuah
pengembanan amanat masyarakat atau komunitas yang dipimpin melainkan keinginan
pribadi dengan tujuan tertentu.
Kepemimpinan adalah
tanggung jawab yang dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu
transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati
dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk bertanggungjawab kepada
yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin
untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh masyarakat atau komunitas yang
dipimpinnya. Kembali betapa banyak kita saksikan para pemimpin yang mengaku
wakil rakyat ataupun pejabat publik, justru tidak memiliki integritas sama
sekali, karena apa yang diucapkan dan dijanjikan ketika kampanye dalam Pemilu
tidak sama dengan yang dilakukan ketika sudah duduk nyaman di kursinya. Wallahu
A’lam
III.
Tinjauan Umum Mengenai
Kepemimpinan
Secara etimologi
kepemimpinan berarti Khilafah, Imamah, Imaroh, yang mempunyai makna daya
memimpin atau kualitas seorang pemimpin atau tindakan dalam memimpin. Sedangkan secara terminologinya adalah suatu kemampuan untuk mengajak orang
lain agar mencapai tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan. Dengan kata
lain, kepemimpinan adalah upaya untuk mentransformasi-kan semua potensi yang
terpendam menjadi kenyataan.
Tugas dan tanggungjawab
seorang pemimpin adalah menggerakkan dan mengarahkan, menuntun, memberi
mutivasi serta mendorong orang yang dipimpin untuk berbuat sesuatu guna
mencapai tujuan. Sedangkan tugas dan tanggungjawab yang dipimpin adalah
mengambil peran aktif dalam mensukseskan pekerjaan yang dibebankannya. tanpa
adanya kesatuan komando yang didasarkan atas satu perencanaan dan kebijakan yang jelas, maka rasanya sulit
diharapkan tujuan yang telah ditetapkan akan tercapai dengan baik. Bahkan
sebaliknya, yang terjadi adalah kekacauan dalam pekerjaan. Inilah arti penting
komitmen dan kesadaran bersama untuk mentaati pemimpin dan peraturan yang telah
ditetapkan.
IV.
Kepemimpinan dalam Islam
Ø Hakekat Kepemimpinan
Dalam pandangan Islam,
kepemimpinan merupakan amanah dan tanggungjawab yang tidak hanya dipertanggungjawabkan
kepada anggota-anggota yang dipimpinnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah Swt. Jadi, pertanggungjawaban kepemimpinan dalam Islam tidak
hanya bersifat horizontal-formal sesama manusia, tetapi bersifat vertical-moral,
yakni tanggungjawab kepada Allah Swt di akhirat nanti. Seorang pemimpin akan
dianggap lolos dari tanggungjawab formal di hadapan orang-orang yang
dipimpinnya, tetapi belum tentu lolos ketika ia bertanggungjawab di hadapan
Allah Swt. Kepemimpinan sebenarnya bukan sesuatu yang mesti menyenangkan,
tetapi merupakan tanggungjawab sekaligus amanah yang amat berat yang harus
diemban dengan sebaik-baiknya. Allah Swt berfirman:
“Dan orang-orang yang
memelihara amanah (yang diembankannya) dan janji mereka, dan orang-orang yang
memelihara sholatnya, mereka itulah yang akan mewarisi surga firdaus, mereka
akan kekal di dalamnya” (QS.Al Mukminun 8-9)
Seorang pemimpin harus
bersifat amanah, sebab ia akan diserahi tanggungjawab. Jika pemimpin tidak
mempunyai sifat amanah, tentu yang terjadi adalah penyalahgunaan jabatan dan
wewenang untuk hal-hal yang tidak baik. Itulah mengapa nabi Muhammad SAW juga
mengingatkan agar menjaga amanah kepemimpinan, sebab hal itu akan
dipertanggungjawabkan, baik didunia maupun diakhirat. Nabi bersabda: “Setiap
kalian adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya” (HR. Bukhori) Nabi Muhammad Saw juga bersabda: “Apabila amanah disia-siakan maka
tunggulah saat kehancuran. Waktu itu ada seorang shahabat bertanya: apa
indikasi menyia-nyiakan amanah itu wahai Rasulullah? Beliau menjawab: apabila
suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya” (HR. Bukhori)
Oleh karenanya,
kepemimpinan mestinya tidak dilihat sebagai fasilitas untuk menguasai, tetapi
dimaknai sebagai sebuah pengorbanan dan amanah yang harus diemban dengan
sebaik-baiknya. Kepemimpinan juga bukan kesewenang-wenangan untuk bertindak,
tetapi kewenangan untuk melayani dan mengayomi dan berbuat dengan seadil-adilnya.
kepemimpinan adalah sebuah keteladanan dan kepeloporan dalam bertindak.
Kepemimpinan semacam ini akan muncul jika dilandasi dengan semangat amanah,
keikhlasan dan nilai-nilai keadilan.
Ø Hukum dan Tujuan Menegakkan Kepemimpinan
Pemimpin yang ideal
merupakan dambaan bagi setiap orang,
sebab pemimpin itulah yang akan membawa maju-mundurnya suatu organisasi,
lembaga, Negara dan bangsa. Oleh karenanya, pemimpin mutlak dibutuhkan demi
tercapainya kemaslahatan umat. Tidaklah mengherankan jika ada seorang pemimpin
yang kurang mampu, kurang ideal misalnya cacat mental dan fisik, maka cenderung
akan mengundang kontroversi, apakah tetap akan dipertahankan atau di non
aktifkan.
Imam Al-mawardi dalam
Al-ahkam Al sulthoniyah menyinggung
mengenai hukum dan tujuan menegakkan kepemimpinan. beliau mengatakan bahwa
menegakkan kepemimpinan dalam pandangan
Islam adalah sebuah keharusan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan
bernegara. Lebih lanjut, beliau mengatakan bahwa keberadaan pemimpin (imamah)
sangat penting, artinya, antara lain karena imamah mempunyai dua tujuan:
pertama: Likhilafati an-Nubuwwah fi-Harosati ad-Din, yakni sebagai pengganti
misi kenabian untuk menjaga agama. Dan
kedua: Wa sissati ad-Dunnya, untuk memimpin atau mengatur urusan dunia. Dengan
kata lain bahwa tujuan suatu kepemimpinan adalah untuk menciptakan rasa aman,
keadilan, kemasylahatan, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mengayomi rakyat,
mengatur dan menyelesaikan problem-problem yang dihadapi masyarakat.
Dari sinilah para ulama’
berpendapat bahwa menegakkan suatu kepemimpinan (Imamah) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara adalah suatu keniscayaan (kewajiban). Sebab imamah
merupakan syarat bagi terciptanya suatu masyarakat yang adil dalam kemakmuran
dan makmur dalam keadilan serta terhindar dari kehancuran dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, tampilnya seorang pemimpin yang ideal yang
menjadi harapan komponen masyarakat menjadi sangat urgen.
Ø Kriteria Pemimpin yang Ideal dalam Islam
Imam Al Mawardi dalam
Al-ahkam Al sulthoniyyah-Nya memberikan beberapa kriteria seorang pemimpin yang
ideal agar tampilnya pemimpin tersebut dapat mengantarkan suatu Negara yang
adil dan sejahtera seperti yang diharapkan.
* Seorang pemimpin harus mempunyai sifat
adil (‘adalah)
* Memiliki pengetahuan untuk memanage
persoalan-persoalan yang ada kaitannya dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara.
* Sehat panca indranya seperti pendengaran,
penglihatan dan lisannya. Sehingga seorang pemimpin bisa secara langsung
mengetahui persoalan-persoalan secara langsung bukan dari informasi atau
laporan orang lain yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
* Sehat anggota badan dari kekurangan.
Sehingga memungkinkan seorang pemimpin untuk bergerak lebih lincah dan cepat dalam
menghadapi berbagai persoalan ditengah-tengah masyarakat.
* Seorang pemimpin harus mempunyai misi dan
visi yang jelas. bagaimana memimpin dan memanage suatu Negara secara
berstruktur, sehingga ada perioritas tertentu, mana yang perlu ditangani terlebih
dahulu dan mana yang dapat ditunda sementara.
* Seorang pemimpin harus mempunyai
keberanian dan kekuatan. Dalam hal ini seorang pemimpin harus mempunyai keberanian dan kekuatan dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
* Harus keturunan Quraisy.
Namun menurut pandangan
Ibnu Khaldun dalam Muqoddimah-Nya bahwa, hadits “Al Aimmatu min Quraisyin” (HR.
Ahmad dari Anas bin Malik) tersebut dapat dipahami secara konstektual, bahwa
hak pemimpin itu bukan pada etnis Quraisy-nya, melainkan pada kemampuan dan
kewibawaannya. Pada masa Nabi Muhammad Saw orang yang memenuhi persyaratan
sebagai pemimpin dan dipatuhi oleh masyarakat adalah dari kaum Quraisy. Oleh
karena itu, apabila pada suatu saat ada orang yang bukan dari Quraisy tapi
punya kemampuan dan kewibawaan, maka ia dapat diangkat sebagai pemimpin
termasuk kepala Negara.
V.
Prinsip-Prinsip Kepemimpinan Islam
Sebagai agama yang sesuai dengan fitrah manusia,
Islam memberikan prinsip-prinsip dasar dan tata nilai dalam mengelola
organisasi atau pemerintahan. Al-qur’an dan As-sunnah dalam permasalahan ini
telah mengisyaratkan beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan
dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (baca:
berpolitik) termasuk di dalamnya ada system pemerintahan yang nota-benenya
merupakan kontrak sosial. Prinsip-prinsip atau nilai-nilai tersebut antara
lain: prinsip Tauhid, As-syura (bermusyawarah) Al-’adalah (berkeadilan)
Hurriyah Ma’a Mas’uliyah (kebebasan disertai tanggungjawab) Kepastian Hukum, Jaminan
Haq al Ibad (HAM) dan lain sebagainya.
· Prinsip Tauhid
Prinsip tauhid merupakan
salah satu prinsip dasar dalam kepemimpinan Islam (baca: pemerintahan Islam).
Sebab perbedaan akidah yang fundamental dapat menjadi pemicu dan pemacu
kekacauan suatu umat. oleh sebab itu, Islam mengajak ke arah satu kesatuan
akidah di atas dasar yang dapat diterima oleh semua lapisan masyarakat, yaitu
tauhid. Dalam alqur’an sendiri dapat ditemukan dalam surat An-nisa’ 48, Ali
imron 64 dan surat al Ikhlas.
· Prinsip Musyawarah (Syuro)
Musyawarah berarti
mempunyai makna mengeluarkan atau mengajukan pendapat. Dalam menetapkan
keputusan yang berkaitan dengan kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat,
paling tidak mempunyai tiga cara: 1. keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.
2. kepeutusan yang ditetapkan pandangan minoritas. 3. keputusan yang ditetapkan oleh pandangan
mayoritas, ini menjadi ciri umum dari demokrasi, meski perlu diketahui bahwa
“demokrasi tidak identik dengan syuro” walaupun syuro dalam Islam membenarkan
keputusan pendapat mayoritas, hal itu tidak bersifat mutlak. Sebab keputusan
pendapat mayoritas tidak boleh menindas keputusan minoritas, melainkan tetap
harus memberikan ruang gerak bagi mereka yang minoritas.
Lebih dari itu, dalam Islam suara mayoritas
tidak boleh berseberangan dengan prinsip-prinsip dasar syariat. Dalam Al-quran
ada beberapa ayat yang berbicara tentang musyawarah. Pertama: musyawarah dalam
konteks pengambilan keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak,
seperti menyapih anak. Hal ini sebagaimana terdapat pada surat al-Baqarah ayat
233. “apabila suami-istri ingin menyapih anak mereka (sebelum dua tahun) atas
dasar kerelaan dan musyawarah antar mereka, maka tidak ada dosa atas keduanya”
Kedua: musyawarah dalam konteks membicarakan persoalan-persoalan tertentu
dengan anggota masyarakat, termasuk di dalamnya dalam hal berorganisasi. Hal
ini sebagaimana terdapat pada surat Ali-imron ayat 158. “bermusyawarahlah kamu
(Muhammad) dengan mereka dalam urusan tertentu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, bertawakkalah kepada Allah Swt. Sesungguhnya Allah Swt
mencintai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”. meskipun terdapat beberapa Al-qur’an dan
As-sunnah yang menerangkan tentang musyawarah.
Hal ini bukan berarti
al-Qur’an telah menggambarkan system pemerintahan secara tegas dan rinci ,
nampaknya hal ini memang disengaja oleh Allah untuk memberikan kebebasan
sekaligus medan kreatifitas berfikir hambanya untuk berijtihad menemukan sistem
pemerintahan yang sesuai dengan kondisi sosial-kultural. Sangat mungkin ini
salah satu sikap demokratis tuhan terhadap hamba-hambanya.
· Prinsip Keadilan (Al-’adalah)
Dalam memanage
pemerintahan, keadilan menjadi suatau keniscayaan, sebab pemerintah dibentuk
antara lain agar tercipta masyarakat yang adil dan makmur. Tidaklah berlebihan
kiranya jika al- Mawardi dalam Al-ahkam Al-sulthoniyahnya memasukkan syarat
yang pertama seorang pemimpin negara adalah punya sifat adil. Dalam al-Qur’an,
kata al-’Adl dalam berbagai bentuknya terulang dua puluh delapan kali. Paling
tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh ulama. pertama: adil dalam arti sama. Artinya tidak
menbeda-mbedakan satu sama lain.
Persamaan yang dimaksud adalah persamaan hak.
Ini dilakukan dalam memutuskan hukum. Sebagaimana dalam al qur’an surat
an-Nisa’ 58. “Apabila kamu memutuskan suatu perkara di antara manusia maka
hendaklah engkau memutuskan dengan adil”. Kedua: adil dalam arti seimbang. Di
sini keadilan identik dengan kesesuaian. Dalam hal ini kesesuaian dan keseimbangan tidak
mengharuskan persamaan kadar yang besar dan kecilnya ditentukan oleh fungsi
yang diharapkan darinya. Ini sesuai dengan al-Qur’an dalam surat al infithar
6-7 dan al Mulk 3. ketiga: adil dalam arti perhatian terhadap hak-hak individu
dan memberikan hak-hak itu kepada pemiliknya. Keempat: keadilan yang
dinisbatkan kepada Allah Swt. Adil di sini berarti memelihara kewajaran atas
berlanjutnya eksistensi.
Dalam hal ini Allah
memiliki hak atas semuanya yang ada sedangkan semua yang ada, tidak memiliki
sesuatau di sisinya. Jadi, system pemerintahan Islam yang ideal adalah system
yang mencerminkan keadilan yang meliputi persamaan hak di depan umum,
keseimbangan (keproposionalan) dalam memanage kekayaan alam misalnya,
distribusi pembangunan, adanya balancing power antara pihak pemerintah dengan
rakyatnya.
· Prinsip Kebebasan (al-Hurriyah)
Kebebasan dalam pandangan
al-Qur’an sangat dijunjung tinggi termasuk dalam menentukan pilihan agama
sekaligus. Namun demikian, kebebasan yang dituntut oleh Islam adalah kebebasan
yang bertanggungjawab. Kebebasan di sini juga kebebasan yang dibatasi oleh
kebebasan orang lain. Dalam konteks kehidupan politik, setiap individu dan
bangsa mempunyai hak yang tak terpisahkan dari kebebasan dalam segala bentuk
fisik, budaya, ekonomi dan politik serta berjuang dengan segala cara asal
konstitusional untuk melawan atas semua bentuk pelanggaran.
Sedangkan George R Terry
(2006 : 124), mengemukakan 8 (delapan) ciri mengenai kepemimpinan dari pemimpin
yaitu :
(1) Energik, mempunyai
kekuatan mental dan fisik;
(2) Stabilitas emosi,
tidak boleh mempunyai prasangka jelek terhadap bawahannya, tidak cepat marah
dan harus mempunyai kepercayaan diri yang cukup besar;
(3) Mempunyai pengetahuan
tentang hubungan antara manusia;
(4) Motivasi pribadi,
harus mempunyai keinginan untuk menjadi pemimpin dan dapat memotivasi diri
sendiri;
(5) Kemampuan
berkomunikasi, atau kecakapan dalam berkomunikasi dan atau bernegosiasi;
(6) Kemamapuan atau
kecakapan dalam mengajar, menjelaskan, dan mengembangkan bawahan;
(7) Kemampuan sosial atau
keahlian rasa sosial, agar dapat menjamin kepercayaan dan kesetiaan bawahannya,
suka menolong, senang jika bawahannya maju, peramah, dan luwes dalam bergaul;
(8) Kemampuan teknik, atau
kecakapan menganalisis, merencanakan, mengorganisasikan wewenang, mangambil
keputusan dan mampu menyusun konsep.
VI.
Contoh Kepemimpinan Dalam
Islam[3]
1. Kepemimpinan Rasulullah SAW
Kepemimpinan Rasulullah Saw tidak bisa terlepas dari
kehadiran beliau yaitu sebagai pemimpin spiritual dan pemimpin rakyat. Prinsip
dasar dari kepemimpinan beliau adalah keteladanan. Dalam memimpin beliau lebih
mengutamakan Uswah Al- hasanah pemberian contoh kepada para shahabatnya.
Sebagaimana digambarkan dalam Al-qur’an:
” Dan sesungguhnya engkau Muhammad benar-benar berada dalam akhlaq yang
sangat agung” (QS. Al-qolam 4).
Keteladanan
Rasulullah Saw antara lain
tercermin dalam sifat-sifat beliau, Shiddiq, Amanah, Tabligh, Fathonah. Inilah
karakteristik kepemimpinan Rasulullah Saw:
1. Shiddiq, artinya jujur, tulus.
Kejujuran dan ketulusan adalah kunci utama untuk membangun sebuah kepercayaan.
Dapat dibayangkan jika pemimpin sebuah organisasi, masyarakat atau Negara,
tidak mempuyai kejujuran tentu orang-orang yang dipimpin (baca: masyarakat)
tidak akan punya kepercayaan, jika demikian yang terjadi adalah krisis
kepercayaan.
2. Amanah, artinya dapat dipercaya.
Amanah dalam pandangan Islam ada dua yaitu: bersifat teosentris yaitu
tanggungjawab kepada Allah Swt, dan bersifat antroposentris yaitu yang terkait
dengan kontak sosial kemanusiaan.
3. Tabligh, artinya menyampaikan apa
yang seharusnya disampaikan. Dalam hal ini adalah risalah Allah Swt. Betapapun
beratnya resiko yang akan dihadapi, risalah tersebut harus tetap disampaikan
dengan sebaik-baiknya.
4. Fathonah, artinya cerdas.
Kecerdasan Rasulullah Saw yang dibingkai dengan kebijakan mampu menarik simpati
masyarakat arab. dengan sifat Fathonahnya, rmampu memanage konflik dan
problem-problem yang dihadapi ummat pada waktu itu. Suku Aus dan Khazraj yang
tadinya suka berperang, dengan bimbingan Rasulullah Saw mereka akhirnya menjadi
kaum yang dapat hidup rukun.
Dalam kepemimpinannya,
Rasulullah Saw juga menggunakan pendekatan persuasif dan tidak menggunakan
dengan kekerasan atau represif. Hal ini
antara lain tampak dalam sikap nabi ketika mengahadapi seorang badui yang baru
masuk Islam yang belum mau meninggalkan kebiasaan jeleknya. Juga beliau dalam
kepimpinannya menerapkan gaya inklusif indikasinya beliau mau dikritik dan
diberi saran oleh para shahabatnya. Ini tampak ketika beliau memimpin perang
badar. Beliau pada waktu itu hendak menempatkan pasukannya pada posisi tertentu
ekat dengan mata air. Seorang shahabat anshor bernama Hubab bin Mundhir
bertanya: ya Rasulullah, apakah keputusan itu berdasarkan wahyu, Sehingga tidak
dapat berubah atau hanya pendapat engkau?
Beliau menjawab ini adalah ijtihadku. Kata Hubab, wahai utusan Allah,
ini kurang tepat, Shahabat tersebut lalu mengusulkan agar beliau menempatkan
pasukannya lebih maju ke depan, yakni kemata air yang lebih dekat, kita bawa
tempat air lalu kita isi, kemudian mata air itu kita tutup dengan pasir, agar
musuh kita tidak bisa memperoleh air. Akhirnya beliau mengikuti saran shahabat
tersebut.
2. Kepemimpinan Al-Khulafa’ Al Rasyidin
Sepeninggal Nabi,
kepemimpinan umat Islam digantikan oleh para penggantinya yang dikenal dengan
Al-Khulafa’ Al Rasyidin. Masa Al-Khulafa’ Al Rasyidin dapat dipetakan menjadi
empat, yaitu: Abu Bakar Assiddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin
Abi Thalib. System pergantian kepemimpinan dari masing-masing khalifah tersebut
berbeda-beda. Sebab Rasulullah Saw tidak pernah berwasiat tentang sistem
pergantian kepemimpinan. Alqur’an juga tidak memberi petunjuk secara jelas
bagaimana system suksesi kepemimpinan dilakukan, kecuali hanya prinsip-prinsip
umum, yaitu agar umat Islam menentukan urusannya melalui musyawarah. Nampaknya hal itu disengaja
diserahkan kepada ummat Islam agar sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang
ada.
Abu Bakar ash-Shiddiq
sebagai Khalifah pertama setelah meninggalnya Rasulullah Saw (11-13 H atau
632-634 M) terpilih sebagai khalifah melalui musyawarah terbuka dibalai
pertemuan Bani Saidah yang dihadiri oleh lima tokoh perwakilan dari golongan
umat Islam, anshor dan muhajirin. Yaitu,
Abu Bakar, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah, Basyir bin Sa’ad dan Asid
bin Khudair.
Inilah salah satu embrio demokrasi dalam
sejarah kepemimpinan Islam. setelah berakhirnya masa kepemimpinan Abu Bakar
selama kurang lebih dua tahun, terpilihlah Umar bin Khattab (12-23H atau
634-644 M), namun terpilihnya Umar bin Khattab menjadi khalifah ini atas wasiat
Abu Bakar sebelum meninggal dunia. Ini beliau lakukan, karena beliau khawatir
dan trauma adanya perselisihan di antara umat Islam, sebagaimana yang terjadi
sepeninggal Rasulullah Saw.
Sepeninggal Umar bin
Khattab, maka estafet kepemimpinan dilanjutkan oleh Usman bin Affan (23-35 H atau 644-654 M). namun system
pengangkatan Usman ini berbeda dengan system pada masa Abu Bakar dan Umar.
Usman diangkat menjadi khalifah melalui “dewan formatur” yang terdiri dari lima
orang yang ditunjuk oleh Umar sebelum beliau meninggal dunia. Yaitu, Ali bin
Abi Tholib, Usman bin Affan, Saad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, Abdurrohman
bin Auf dan Thalhah bin Ubaidillah.
Setelah Usman bin Affan
menyelesaikan tugas kepemimpinannya, maka tongkat komando kepemimpinan Islam
dipegang oleh Ali bin Abi Tholib melalui pemilihan dan pertemuan terbuka.
VII.
Demokrasi dan Islam
Diantara kaidah penting
dalam ajaran Islam yang mulia ini adalah, menyerahkan urusan yang berhubungan
dengan kemaslahatan umum, seperti masalah politik dan kemasyarakatan, kepada
para ulama, yaitu orang-orang yang memiliki ilmu yang mendalam tentang agama.
Adapun orang-orang bodoh maka tidak boleh berbicara. Jika mereka berani
berbicara dan berkomentar maka akan muncul kerusakan-kerusakan dalam
masyarakat.
Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam telah memperingatkan,
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak
mengangkat ilmu dengan mengangkatnya dari hati para hamba, akan tetapi Allah
mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai ketika Allah tidak
menyisakan seorang ‘alim pun maka manusia mengangkat orang-orang bodoh sebagai
pemimpin-pemimpin mereka. Maka orang-orang bodoh tersebut ditanya, lalu mereka
berfatwa tanpa ilmu, mereka pun sesat dan menyesatkan.” [HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiyalllahu’anhuma]
Juga sabda Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam,
سيأتي على الناس سنوات خداعات يصدق فيها الكاذب و يكذب فيها الصادق و يؤتمن فيها الخائن و يخون فيها الأمين و ينطق فيها الرويبضة قيل : و ما الرويبضة ؟ قال : الرجل التافه يتكلم في أمر العامة
“Akan datang kepada
manusia tahun-tahun yang penuh tipu daya, dimana pendusta dipercaya dan orang
jujur didustakan, pengkhianat diberi amanah dan orang yang amanah dikhianati,
dan berbicara di zaman itu para Ruwaibidhoh.” Ditanyakan, siapakah Ruwaibidhoh
itu? Beliau bersabda, “Orang bodoh yang berbicara dalam masalah umum.” [HR. Al-Hakim
dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Al-Jami’, no. 3650]
Demikianlah yang terjadi
beberapa pekan terakhir ini dalam menyikapi pemilihan pemimpin kafir untuk
salah satu propinsi. Sampai seorang oknum MUI angkat bicara,
“Jika memang sudah teruji
adil, maka boleh memilih pemimpin yang nonmuslim.”
Seorang mantan ketua umum
Muhammadiyah juga tidak mempermasalahkan isu SARA dalam pemilihan pemimpin,
dengan alasan si pemimpin tersebut tidak akan berlaku diskriminatif,
“Pemimpin di negeri ini
baik di tingkat kelurahan, kecamatan, kabupaten-kota, provinsi hingga presiden
tidak akan berani melakukan diskriminasi.”
Tak ketinggalan, pemimpin
sebuah partai “Islam” pun berkomentar,
“Isu SARA jelas tidak
berproduktif.”
Dan partai tersebut bahkan
telah membuktikan beberapa tahun lalu mendukung calon walikota nonmuslim,
walaupun tidak berhasil memenangkan pemilihan.
Sebagian orang pun
beralasan asal tidak korupsi dan alasan-alasan lainnya yang berhubungan dengan
masalah “perut” masyarakat yang harus dipenuhi maka tak masalah meskipun
pemimpinnya nonmuslim. Alasan lain kata mereka, isu SARA tidak mencerdaskan dan
hanya mengkotak-kotakan, maka yang mereka inginkan adalah tidak perlu
membedakan pemimpin muslim maupun nonmuslim.
Jadi, masih pantaskah
memilih pemimpin karena agamanya?
Jawabannya tergantung dari
sisi mana kita melihat, yaitu dari dua sisi:
Pertama: Dari sisi
demokrasi, benar bahwa demokrasi tidak mengharamkan pemimpin nonmuslim, asal
dipilih oleh rakyat maka seorang pencuri, perampok, pembunuh, pezina dan orang
kafir sekalipun, ‘layak’ dijadikan pemimpin. Demokrasi itu sendiri adalah
ajaran impor dari negeri-negeri kafir yang di negeri mereka sendiri pemimpin
muslim hampir mustahil terpilih. Dan membawa-bawa Islam dalam dunia demokrasi
dianggap tidak produktif, tidak mencerdaskan dan hanya mengkotak-kotakan,
kecuali dengan memaksakan Islam harus tunduk di bawah demokrasi.
Kedua: Dari sisi ajaran
Islam, ajaran yang turun dari sang Pencipta, Pemberi rizki, Yang Menghidupkan
dan Mematikan manusia, yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk mereka,
maka hukum memilih pemimpin nonmuslim (baca: kafir) adalah haram berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta KESEPAKATAN seluruh ulama Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.
Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” [Al-Maidah: 51]
Ulama besar Syafi’iyah,
Al-Imam Al-Mufassir Ibnu Katsir Asy-Syafi’i rahimahullah menjelaskan makna ayat
ini,
ينهى تعالى عباده المؤمنين عن موالاة اليهود والنصارى، الذين هم أعداء الإسلام وأهله، قاتلهم الله، ثم أخبر أن بعضهم أولياء بعض، ثم تهدد وتوعد من يتعاطى ذلك فقال: { وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ }
“Allah ta’ala melarang
hamba-hamba-Nya yang beriman dari bersikap loyal kepada Yahudi dan Nasrani,
karena mereka itu adalah musuh-musuh Islam dan kaum muslimin. Kemudian Allah
ta’ala mengabarkan bahwa sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Kemudian Allah ta’ala mengingatkan dengan keras dan mengancam siapa yang
loyal kepada mereka dengan firman-Nya, ‘Barangsiapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim’.”
[Tafsir Ibnu Katsir, 3/132]
Juga firman Allah ta’ala,
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا
“Dan Allah sekali-kali
tidak memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang
beriman.” [An-Nisa: 141]
Ulama besar Syafi’iyah
yang lain, Al-Imam Al-‘Allamah An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,
قال القاضي عياض أجمع العلماء على أن الإمامة لا تنعقد لكافر وعلى أنه لو طرأ عليه الكفر انعزل
“Berkata Al-Qodhi ‘Iyadh,
Ulama telah SEPAKAT (ijma’) bahwa kepemimpinan tidak sah bagi seorang kafir,
dan jika seorang pemimpin muslim menjadi kafir maka harus diselengserkan.”
[Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, 12/229]
Al-Imam Ibnu Hazm
rahimahullah berkata,
وأن يكون مسلما لأن الله تعالى يقول ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا والخلافة أعظم السبيل ولأمره تعالى بإصغار أهل الكتاب وأخذهم بأداء الجزية وقتل من لم يكن من أهل الكتاب حتى يسلموا
“Syarat pemimpin haruslah
seorang muslim, karena Allah ta’ala berfirman, ‘Dan Allah sekali-kali tidak memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman.’
[An-Nisa: 141] Dan kepemimpinan adalah sebesar-besarnya jalan (untuk menguasai
kaum muslimin). Dan (kepemimpinan kaum muslimin bagi orang kafir tidak boleh)
karena Allah ta’ala memerintahkan untuk menghinakan Ahlul Kitab, memerintahkan
mereka membayar jizyah dan memerangi orang kafir selain Ahlul Kitab sampai
mereka masuk Islam.” [Al-Fishol fil Milal wal Ahwa’ wan Nihal, 4/128]
Demikianlah perbedaan dua
sisi pandang dalam menyikapi pemilihan pemimpin nonmuslim, yang pertama adalah
produk manusia yang hanya berdasarkan hawa nafsu dan kemampuan akal yang sangat
terbatas, sedang yang kedua berasal dari sang Pencipta, Yang Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana. Orang yang berakal tentu mengerti dari sisi mana sebaiknya
dia memandang.
Dan sang Pencipta, Allah
jalla wa ‘ala menegaskan,
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ
“Kebenaran itu adalah dari
Rabbmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.”
[Al-Baqorah: 147]
Allah ta’ala juga
mengingatkan,
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ
“Andaikan kebenaran itu
menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang
ada di dalamnya.” [Al-Mu'minun: 71]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pemimpin dan Kepemimpinan
merupakan dua elemen yang saling
berkaitan. Artinya,kepemimpinan (style of the leader) merupakan
cerminan dari karakter/perilaku
pemimpinnya (leader behavior). Perpaduan atau sintesis antara “leader behavior
dengan leader style” merupakan kunci keberhasilan pengelolaan organisasi; atau
dalam skala yang lebih luas adalah pengelolaan daerah atau wilayah, dan bahkan
Negara.
Banyak pakar manajemen
yang mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpinan. Dalam hal ini dikemukakan
George R. Terry (2006 : 495), sebagai berikut: “Kepemimpinan adalah
kegiatan-kegiatan untuk mempengaruhi orang orang agar mau bekerja sama untuk
mencapai tujuan kelompok secara sukarela.”
Dari defenisi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kepemimpinan ada keterkaitan antara
pemimpin dengan berbagai kegiatan yang dihasilkan oleh pemimpin tersebut.
Pemimpin adalah seseorang yang dapat mempersatukan orang-orang dan dapat
mengarahkannya sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tertentu. Untuk mencapai
tujuan yang diinginkan oleh seorang pemimpin, maka ia harus mempunyai kemampuan
untuk mengatur lingkungan kepemimpinannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mawardi, Imam. AL-AHKAM
AS-SULTHANIYYAH. Cet. 4; Jakarta : DARUL
FALAH 2006.
Asy-Syaikh Abdurrahman bin
hasan, Minhajus Sunnah. Cet. Pertama; Pustaka Ar-Rayyan, Januari 2007.
Imam Nawawi, Ringkasan
Riyadhus Sholihin, Cet. 8, Pustaka Irsyad Baitus Salam, September 2006.
Al-Bayan, Shohih Bukhari
Muslim. Cet. 1; Penerbit : Jabal 2008.
Muhammad Fuad Abdul Baqi,
Al-Lu’lu wal Marjan. Cet. 1; PT. BINA ILMU SURABAYA 2003.
[2] Riyadush shalihin
[3] http//
nasehatonline.wordpres.com