PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kritik sanad hadits
merupakan kegiatan ilmiah untuk membuktikan keotentikan suatu berita (hadits)
dan bagian dari upaya membenarkan yang benar dan membatalkan yang salah. Umat Islam terutama para ulama hadits memberikan
perhatian yang sangat besar dalam hal ini, baik khabar yang dipakai sebagai
penetapan suatu pengetahuan atau khabar tersebut berkaitan ucapan, perbuatan
dan ketetapan yang disandarkan kepada Rasulullah SAW yang dijadiikan suatu dalil
(dasar hukum). Usaha ini bertujuan untuk
memelihara keotentikan hadits serta mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW, dengan
berjalan di atas sunnah beliau, dalam rangka mencapai keridhlaan Allah SWT.
Jauh sebelum kita, para
pendahulu kita telah berusaha melestarikan peninggalan Nabi ini dan menjaganya
dari persangkaan negatif dan pemalsuan yang ternyata banyak dilakukan oleh
berbagai kalangan, dengan berbagai kepentingan. Usaha pemeliharaan hadits Nabi
Muhammad tersebut dimulai dengan pembukuan hadits dan diikuti dengan penelitian
melalui proses yang sangat ketat berdasarkan metodologi dan standart yang
diciptakan secara sendiri-sendiri oleh masing-masing peneliti, sehingga suatu
hadits benar-benar dapat dipastikan kesahihannya.[1]
Dalam makalah ini penulis
akan membahas beberapa hal berikut ini yaitu:
Apakan pengertian sanad,
Urgensinya dan kapan awal mula pemakainnya?
Bagaimana (fenomena)
kritik sanad dikalangan muhadditsin?
Bagaimana kritik
orientalis terhadap sanad?
Bagaimana balasan kritikan
dari beberapa pakar kontemporer terkemuka, semisal Fazlurrahman dan M.M.Azami?
Pemakalah mencoba untuk
membahasnya dalam makalah ini sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang
pemakalah miliki.
BAB II KRITIK SANAD HADITS
(Naqd al-Sanad/kritik
eksternal)
Pengertian Kritik Sanad,
Urgensinya dan Awal mula pemakainnya
A. Pengertian Kritik Sanad
Secara terminologi kata
kritik (naqd) berasal dari bahasa arab yaitu berasal dari kata نقد yang merupakan muradif dari kata تمييز yang berarti membedakan. Dalam literatur ditemukan kata نقد yang diartikan dengan kritik, hal ini digunakan oleh
muhadditsin awal abad kedu[2], dilain tempat dikatakan bahwa maksud dari kritk
adalah memisahkan sesuatu yang baik dari yang buruk.[3] Sementara secara
etimologi kritik merupakan usaha menemukan kesalahan atau kekeliruan dalam
rangka mencari kebenaran.[4]
Sementara kata sanad,
secara terminologi berasal dari bahasa arab tepatnya dari kata سندyaitu muradif dari kata طريق Yang berarti jalan atau sandaran. Sedangkan secara etimologi
kata sanad dapat diartikan sebagai jalan (rentetan perawi) yang menyampaikan
kita kepada matan hadits.[5]
Jadi berkaitan dengan hal
ini pengertian kritik sanad yaitu penelitian, penilaian dan penelusuran sanad
hadits tentang kepribadian perawi dan proses penerimaan hadits dari perawi
sebelumnya, dengan usaha menemukan kekeliruan (kesalahan) dalam rangkaian sanad
untuk menemukan kebenaran.[6] Dengan kata lain untuk memastikan kualitas hadits yang diriwayatkan oleh perawi
yang bersangkutan apakah kapsitasnya sebagai hadits dhaif, hasan ataupun
tergolong hadits shahih atau bahkan mungkin hadits palsu.[7]
B. Urgensi (tujuan) Kritik
sanad dan Awal mula pemakaiannya.
Penelitian atau kritik
sanad hadits dilakukan untuk memastikan dan mengetahui kualitas suatu hadits
berdasarkan tinjauan terhadap aspek sanad atau rentetan perawi yang
meriwayatkan hadits bersangkutan.[8] Apakah hadits itu dapat digolongkan hadits
shahih, hadits hasan atau hadits dha’if. Sehingga bisa memperjelas kapasitas
hadits tersebut apakah bisa dijadikan sebagai dalil (landasan) dalam proses
istimbath hukum atau tidak.
Kegiatan kritik sanad
belum muncul pada masa Rasulullah SAW, bahkan lebih dari itu dikatakan pada
masa shahabat besar (khulafaurrasyidin) juga belum ditemukan kegiatan kritik sanad.[9]
Bahkan para muhadditsin menganggap para shahabat yang meriwayatkan hadits pada
periode tersebut merupakan shahabat yang dapat dipastikan ke’adilannya karena
menurut mereka shahabat Rasulullah SAW adalah Adil.[10]
Perhatian para muhadditsin
mulai terpusat pada persoalan sanad hadits ini tak terlepas dari ditemukannya
hadits palsu yang dikemukakan oleh orang-orang zindik yang dilatarbelakangi
oleh berbagai kepentingan baik kepentingan bisnis, politik, maupun karena
faktor kefanatikan pada mazhab atau aliran tertentu. Yang semuanya mengemukakan
hadits palsu untuk meletigimasi tindakan dan kepentingan masing-masing.
Versi lain mengemukakan
bahwa kegiatan kritik sanad hadits ini bermula sejak peristiwa terbunuhnya
khalifah Utsman Bin Affan oleh pemberontak. Maka terjadi perpecahan aliran
politik dan firqah dalam tubuh ummat Islam. Dengan demikian bermunculan
hadits-hadits amatiran (palsu) untuk melegitimasi masing-masing kelompok
tersebut. Sehingga proses transmisi hadits (sanad) secara eksternal itupun mulai
berlaku untuk memverifikasi tingkat keotentikan hadits-hadits yang dikeluarkan
oleh para perawi.
Sebagaimana pernyataan
Abdullah bin Al-Mubarak (w.181 H.): “sistem sanad itu merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari agama Islam, bahkan sistem sanad itu merupakan salah satu sisi
keistimewaan umat Islam, yang tidak dimiliki oleh non muslim.
Dengan demikian seandainya
umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah al-Qur’an dan ajaran-ajaran
yang dibawa oleh Rasulullah SAW. sudah mengalami nasib tragis seperti ajaran
Nabi sebelumnya yang mengalami banyak perobahan. Dengan kata lain dapat
disimpulkan bahwa disinilah letak nilai utama dan urgensi sanad dalam Islam.
Urgensi sanad ini akan
lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadits yang membentuk sanad itu
sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui apakah silsilah rawi-rawi
itu bersambung kepada Nabi SAW atau tidak. Sehingga dapat diketahui kualitas
hadits yang diriwayatkan itu apakah tergolong hadits sahih, hasan atau dhaif
(lemah) atau bahkan hadits palsu.
Secara umum faktor-faktor
yang melatarbelakangi pentingnya penelitian (kritik) sanad yaitu beberapa
kenyataan berikut, diantaranya yaitu:
Pada zaman Nabi tidak
seluruh hadits tertulis
Sesudah zaman Nabi telah
berkembang pemalsuan hadits;
Proses penghimpunan
(tadwin) hadits secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan
hadits.[11]
C. Kritik Sanad dikalangan
Muhadditsin
Para ulama hadits
(muhadditsin) pada periode awal sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan menyalin
suatu hadits, hal ini karena mereka menyadari bahwa kapasitas sunnah itu
sendiri sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang akan dijadikan pedoman
oleh ummat sepanjang masa, maka dengan demikian mereka memandang bahwa sangat
diperlukan kritik[12] (penelitian) terhadap suatu riwayat dengan
sungguh-sungguh.[13] Secara garis besar ada empat faktor penting yang mendorong
ulama hadits (muhadditsin) untuk melakukan kritik sanad (kritik eksternal),
yaitu:
1. Hadits sebagai salah
satu sumber ajaran Islam.
Telah menjadi suatu
kesepakatan ulama bahwa kedudukan hadits sebagai salah satu sumber ajaran Islam
(yaitu sumber kedua setelah Al-Quran), meskipun tak dapat dipungkiri juga bahwa
dalam sejarah tercatat ada sekelompok kecil umat Islam[14] yang menolak otoritas
hadits (sunnah) sebagai sumber hukum Islam yang dikenal dengan sebutan Inkar
al-Sunnah.[15]
Berkenaan dengan kedudukan
hadits dalam proses penetapan hukum Islam sangat jelas ditegaskan dalam oleh
Allah SWT dalam Al-Quran, hal ini bisa didapatkan dalam banyak tempat (ayat),
diantaranya yaitu Al-Quran surat Ali-Imran ayat: 32 yaitu:
ö@è% (#qãè‹ÏÛr& ©!$#
š^qß™§9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä† tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌË
Artinya :katakanlah
ta’atilah Allah SWT dan Rasul-Nya, maka jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah SWT tidak menyukai orang-orang kafir (ingkar) (QS. Ali-Imran: 32).[16]
Ayat diatas menegaskan
kepada kita bahwa orang-orang yang tidak mengikuti perintah Allah SWT
(Al-Quran) dan Rasul-Nya (Al-hadits atau sunnah) termasuk orang yang ingkar
(kafir), jadi mengikuti Al-Quran dan Al-hadits (sunnah) merupakan dua hal yang
tidak ada bedanya dalam menjalankan agama (syari’at) Allah SWT termasuk dalam
mengistimbath hukum. Dan masih banyak ayat-ayat lainnya yang mengutarakan hal
yang senada dengan ayat ini.
Karenanya kritik terhadap
sanad hadits adalah upaya mengangkat (mempertegas kapasitas) derajat hadits
sebagai sumber kebenaran ajaran Islam secara proporsional dari keterpurukan
pemahaman kelompok inkar al-sunnah terhadap hadits.
2. Tidak seluruh hadits
tertulis pada zaman Nabi.
Periwayatan hadits pada
era Nabi hanya sebagian kecil saja yang berlangsung secara mutawatir dan
periwayatan hadits yang terbanyak berlangsung secara ahad. Hal ini tidak
terlepas dari beberapa faktor berikut ini yaitu : proses penyampaian hadits
tidak selalu dihadapan sahabat Nabi yang pandai menulis. Fokus perhatian Nabi
sendiri dan para sahabat lebih tertuju pada pemeliharaan al-Qur’an.
Selain itu para sahabat
yang menjadi sekretaris Nabi hanya menulis wahyu yang turun dan surat-surat
Nabi dan sangat sulit seluruh
pernyataan, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal seseorang yang masih hidup dapat
langsung dicatat oleh orang lain dengan peralatan yang serba sederhana,
sehingga periwayatan hadits lebih banyak berlangsung secara lisan dari pada
secara tertulis.
3. Munculnya Pemalsuan
Hadits.
Berkenaan dengan kapan
pastinya awal mula kemunculan pemalsuan hadits, namun ada yang mengatakan hal
ini baru berkembang pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib (jumhur ulama)[17], walaupun
tidak mustahil terjadi sebelum itu, karena sejatinya pertentangan politik
antara sesama umat Islam sudah terjadi ketika nabi baru saja wafat.
Pemalsuan[18] hadits tersebut diantaranya dilatar belakangi oleh kepentingan
politik, teologi, mazhab fiqih, bahkan ada yang hanya dilatar belakangi oleh
tujuan yang sungguh sangat tidak bisa ditolerir yaitu untuk menyesatkan orang
lain yang mengikuti hadits tersebut.
4. Proses Pentadwinan
(Penghimpunan) Hadits.
Pasca berakhirnya periode
Umar bin Khattab[19], tidak ada khalifah yang memberi kebijakan untuk
pentadwinan hadits Rasulullah SAW, terkecuali khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz’
(w.101 H/720 M). Namun demikian hal ini tidak dengan serta merta
mengindikasikan bahwa masa sebelum Umar bin Abdul Aziz tidak ada pencatatan
hadits, akan tetapi pencatatan itu masih bersifat pribadi-pribadi (personal),
barulah pada masa ‘Umar bin ‘Abdul Azis pembukuan hadits dilakukan secara
massal.[20] Lagi pula baik kalangan sahabat dan al-thabi’in tetap bertumpu pada
metode penghafalan, bahkan lebih jauh dikatakan bahwa sebagian dari mereka
mencela penulisan hadits, hal ini tak terlepas dari kontroversi mengenai boleh
atau tidaknya penulisan hadits atau secara lebih tegas penulisan hadits
dilarang atau dianjurkan.[21]
Keempat faktor di atas
inilah yang mendorong ulama untuk mengadakan peneleitian sanad hadits. Hal ini
dilakukan oleh para ulama hadits karena sanad adalah bagian yang menentukan
dari pengetahuan hadits, dan dalam praktiknya sanad hadits selalu menjadi
perhatian khusus para ulama hadits.
D. Kritik Orientalis
Terhadap Sanad dan Balasan kritikan dari beberapa pakar kontemporer terkemuka,
semisal Fazlurrahman dan M.M.Azami
Pembukuan hadits secara resmi baru dilakukan
pada masa Umar Bin Abdul Aziz (khalifah Bani Umayyah ke-8), jauh setelah Nabi
wafat. Panjangnya rentang waktu ini, bagi orientalis merupakan peluang terbesar
untuk mengkritik hadits.[22]
Perhatian orientalist terhadap
peradaban Timur terutama Islam amat besar. Perhatian itu tidak hanya berkaitan
dengan kepentingan ilmu tetapi juga mempelajari kekuatan Islam ketika mereka (barat) kalah dalam perang
salib. Pusat perhatian utama mereka adalah
Al-Quran kemudian pada al-Hadits. Intinya mereka umumnya menyatakan
bahwa keotentikan Al-hadits diragukan sebagai sabda Rasulullah SAW[23], karena
panjangnya rentang waktu pengondifikasiannya. Terlebih lagi, ketika masih
Hidup, Nabi pernah melarang penulisan hadits oleh para sahabat.[24]
Ignaz Goldzhier merupakan
orientalist pertama yang mengkritik hadits dan ilmu hadits secara sistematis
dengan metode ”Historical Criticism”-nya, sedangkan Joseph Schacht (JC)
merupakan penerus Goldziher (GZ) dengan kritik yang lebih canggih dan merupakan
peletak fondasi bagi hampir seluruh kajian Al-Hadits orientalist masa
sesudahnya.
Diantara statemen Ignaz
Goldziher[25] berkaitan dengan hadits yaitu Hadits menurutnya tidak lebih
kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa
sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua
generasi pembuat Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi. Pendapat
Goldziher (GZ) ini tertulis dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang kemudian
dijadikan “kitab suci” oleh para orientalist berikutnya, dimana para
orientalist berkiblat padanya.
Untuk menjawab anggapan
miring tersebut M.M Azami dalam bukunya Studies In Early “Hadith” Literature
sebagaimana yang dinukilkan oleh Nawir Yuslem dalam karyanya yang berjudul
Ululmul Hadis, membagi periodisasi pengumpulan hadits kedalam empat fase yaitu:
Periode pengumpulan dan
penulisan hadits oleh para sahabat.
Pada fase ini lebih kurang
tercatat yang mencatat hadits yang diterima dari Rasulullah SAW, diantara
sahabat tersebut yaitu abu Bakar as-Siddiq, Abdullah bin Umar bin Khattab,
Abdullah bin Mas’ud, dan lain-lain.
Periode pengumpulan dan
penulisan hadits oleh para tabi’in ( Abad I Hijriyah)
Pada fase ini menurut
Azami kurang lebih terdapat 49 tabi’in yang menuliskan hadits Rasulullah SAW,
antara lain yaitu Abdurrahman Bin Abdullah Bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz,
Urwah bin Zubair, dan lain-lain.
Periode pengumpulan dan
penulisan hadits pada akhir abad I dan awal abad ke II Hijriyah.
Pada fase ini tercatat
80-an lebih tabi’in dan tabi’ tabi’in yang yang menulis hadits Rasulullah SAW,
diantaranya yaitu Amru bin Dinar, Muhammad ibn Muslim bin Syihab az-Zuhri, dan
lain-lain.
Periode pengumpulan dan
penulisan hadits pada abad ke-II Hijriyah
Pada periode ini Azami
menyatakan bahwa terdapat 251 ulama yang menulis hadits Rasulullah SAW,
diantaranya yang paling masyhur yaitu Malik bin Anas, Abu Hanifah dan
lain-lain.[26]
Jadi menurut Azami sangat tidak beralasan
jika para orientalis tersebut meragukan keotentikan hadits Rasulullah SAW hanya
dengan alas an bahwa hadits baru dikodifikasikan pada abad ke dua hijriyah,
yang masanya sangat jauh dari masa Rasulullah SAW sehingga tidak terjamin lagi
keotentikannya, apa lagi dengan tuduhan bahwa hadits menurutnya tidak lebih
kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa
sahabat dan tabi’in. Dengan kata lain, para sahabat dan tabi’in adalah dua
generasi pembuat Hadits yang kemudian dinisbahkan kepada Nabi.
Alasan lain yang dia
kemukakan yaitu: “Jumlah hadits pada koleksi yang kemudian jauh lebih banyak
daripada koleksi sebelumnya dan juga hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang
lebih muda jauh lebih banyak dibandingkan yang diriwayatkan sahabat yang tua.
Bukankah ini menunjukkan bahwa keaslian (keotentikan) Hadits harus
dipertanyakan?”
Untuk merespon hal itu,
sebagaimana disampaikan Dr. Ugi Suharto bahwa: pengumpulan hadits secara
besar-besaran terjadi apabila para ahli hadits melakukan rihlah (perjalanan)
mencari Hadits. Dengan begitu maka Hadits akan banyak yang berulang matannya
karena bertambahnya isnad Hadits tersebut. Lebih jauh M.M Azami menjelaskan
bahwa mengembangnya jumlah isnad hadits tidak terlepas dari metode yang
ditempuh oleh ulama hadits dalam upaya mengumpulkan hadits diman seorang menyampaikan
hadits yang diterima oleh lebih dari satu murid, dia mencontohkan Abu Hurairah
dalam menyampaikan sebuah hadits diterima oleh belasan muridnya yang terdiri
dari 8 0rang yang berasal dari madinah, 1 orang dari kufah, 2 orang dari
bashrah dan 1 orang dari yaman, serta 1 orang dari siria. [27]
Dan juga dengan banyaknya
sahabat muda dalam meriwayatkan hadits dibanding sahabat tua justru membuktikan
bahwa hadits yang ada bukan dari hasil pemalsuan. Sahabat muda lebih terekspos
pada generasi tabi’in yang memerlukan hadits untuk menyelesaikan masalah.
Hadits yang pada awalnya dalam simpanan hati para sahabat, kini mulai keluar
untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Dalam kacamata Islam,
teramat disayangkan apabila ilmuwan sekaliber Goldziher (GZ) tidak menelorkan
pemikiran-pemikiran yang positif, tetapi justru semakin memperdalam kubangan
“neraka”nya. Terlalu ironis kalau dikatakan bahwa ia tidak tahu akan kegiatan
penulisan dan pemeliharaan hadits pada masa awal, kekuatan hafalan orang-orang
Arab pada waktu itu, daya kritis para sahabat ketika datang/diajukan padanya
sebuah hadits. Pada masa tabi’in, kegiatan tulis menulis Hadits masih tetap
berlangsung sebagaimana pada masa sahabat. Pada masa ini, ada sebagian tabi’in
yang hidup semasa dengan sebagian usia para sahabat, kemudian dari merekalah
mereka (tabi’in) mendapatkan hadits. Dengan demikian, kritik Goldziher (GZ)
tentang ke-historis-an hadits tidak dapat diterima secara ilmiah.
Lebih jauh dari itu para
orientalis secara lebih mendalam mempertanyakan kapasitas hadits Rasulullah SAW
ditinjau dari aspek sanadnya, salah satu orientalis yang sangan fokal dalam
masalah ini yaitu Prof. Schacht[28] yang secara khusus mengkritik sanad
hadits-hadits fiqh, ia berpendapat bahwa isnad merupakan sesuatu yang “diada-adakan’’
dalam hadits Rasulullah SAW, menurutnya hadits itu dikembangkan oleh
kelompok-kelompok yang berbeda-beda yang mengaitkannya dengan kpd tokoh-tokoh
terdahulu.
Pendapat Schacht ini
diperkuat oleh orientalist lainnya yang bernama Robson, menurut Robson sangat
beralasan, dia mengatakan bahwa isnad baru terdapat pada masa belakangan (jauh
setelah hadits itu berkembang).[29]
Lebih jauh Schacht juga mengomentari
pernyataan seorang muhadditsin dari kalangan tabi’in yaitu Ibnu Sirin, diman
Ibnu Sirin menyetakan bahwa usaha untuk memertanyakan (meneliti) sanad hadits
Rasulullah SAW telah dimulai semenjak terjadinya “Fitnah’’ ditengah ummat
Islam, dimana ketika itu orang tidak lagi dapat dipercaya dengan serta merta,
tanpa mengadakan penelitian (pembuktian) terlebih dahulu. Dalam mengomentari
hal ini Schacht menafsirkan bahwa fitnah yang dimaksud dalam pernyataan Ibnu
Sirin adalah peristiwa terbunuhnya Al-Walid (w126 H) ketika pemerintahan bani
Umayyah. Sementara Ibnu sirin sendiri wafat pada tahun 110 H.[30] Jadi dari
fakta ini terbukti bahwa pernyataan Schacht sangat tidak mendekati kebenaran.
Selain itu apa yang ditafsirkan
oleh Schacht bahwa fitnah dalam pernyataan ibnu sirin adalah terbunuhnya
Al-Walid juga sangat tidak mendasar, karena dalam catatan tarikh Islam yang
dikenal dengan fitnah itu adalah peristiwa perang saudara yang terjadi antara
Ali dan Mu’awiyah yang implikasinya masih sangat kentara sampai sekarang. Hal
ini juga didukung oleh kenyataan sejarah bahwa pemalsuan hadits (yang merupakan
salah satu alasan ulama hadits meneliti sanad) ditengah-tengah umat islam
kebanyakan terjadi dilatar belakangi oleh kepentoingan politik dan dalam hal
ini sangat erat kaitannya dengan perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah
dimana masing-masing kelompok ditengarai menggunakan hadits untuk
menjustifikasi kelompoknya masing-masing.[31]
Selain itu menurut M.M.Azami,
Schacht tidak menggunakan metode yang tepat dalam melakukan penelitian hadits,
dia lebih tertuju pada hadits hadits fiqh yang terdapat dalam kitab fiqh dengan
kata lain dia tidak merujuk pada sumber aslinya (kitab hadits). Hal ini bisa
dilihat dari kebanyakan (bahkan secara umum bisa dikatakan) hadits yang menjadi
objek kritikan Schacht adalah hadit-hadits fiqh dimana menurut Schacht para
ulama fiqh dalam menuklilkan hadits tidak dilengkapi dengan sanad yang lengkap,
bahkan secara lebih detil Schacht menyimpulkan setalah mepelajari kitab-kitab
fiqh karangan Imam Malik (Al-Muwattha), karangan Imam Syafi’i (Al-Umm) dimana
didalamnya tercantum hadits-hadits yang tidak dilengkapi dengan sanadnya secara
lengkap.
Menanggapi hal ini
M.M.Azami beranggapan bahwa pada dasarnya Schacht selain menggunakan metode dan
objek yang salah dalam mengkaji (sanad) hadits, dimana ia (Schacht) tidak
merujuk pada sumber yang seharusnya, Schacht sendiri tidak “menyadari’’ bahwa
metode ulama-ulama fiqh menukilkan hadits (dalam kitab fiqh) berbeda dengan
metode yang digunakan oleh ulama hadits sendiri (dalam kitab hadits). Dalam
menukilkan hadits-hadits fiqh para fuqaha tidak “mesti semuanya’’ menyebutkan
sanad (sumber) secara lengkap, tapi kebanyakan hanya dengan perawi pertamanya
saja, atau disebutkan tapi tidak secara lengkap, atau bahkan ada juga yang
disebut secara lengkap sampai ke Rasulullah SAW.[32]
Jadi jelaslah bahwa kitab selain
kitab hadits (termasuk kitab fiqh) tidak tepat apabila dijadikan sebagai objek
kajian untuk meneliti sanad hadits Rasulullah SAW, krn meneliti hadits diluar
sumbernya yang asli akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat, oleh karena
itu penelitian (kritik sanad) yang dilakukan oleh orientalist seperti Schacht
adalah penelitian yang tidak menggunakan metode dan objek kajian yang tidak
tepat
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Kritik sanad yaitu
penelitian, penilaian dan penelusuran sanad hadits tentang kepribadian perawi
dan proses penerimaan hadits dari perawi sebelumnya, dengan usaha menemukan
kekeliruan (kesalahan) dalam rangkaian sanad untuk menemukan kebenaran.
Penelitian atau kritik
sanad hadits dilakukan untuk memastikan dan mengetahui kualitas suatu hadits
berdasarkan tinjauan terhadap aspek sanad atau rentetan perawi yang
meriwayatkan hadits bersangkutan.
Secara umum faktor-faktor
yang melatarbelakangi pentingnya penelitian (kritik) sanad yaitu beberapa
kenyataan berikut, diantaranya yaitu:
Pada zaman Nabi tidak
seluruh hadits tertulis
Sesudah zaman Nabi telah
berkembang pemalsuan hadits;
Proses penghimpunan
(tadwin) hadits secara resmi dan massal terjadi setelah berkembangnya pemalsuan
hadits.
Para ulama hadits
(muhadditsin) pada periode awal sangat berhati-hati dalam meriwayatkan dan
menyalin suatu hadits, hal ini karena mereka menyadari bahwa kapasitas sunnah
itu sendiri sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang akan dijadikan
pedoman oleh ummat sepanjang masa, maka dengan demikian mereka memandang bahwa
sangat diperlukan kritik (penelitian) terhadap suatu riwayat dengan
sungguh-sungguh.
Perhatian orientalis pada
masalah hadits juga sangat besar diantara statemen Ignaz Goldziher berkaitan
dengan hadits yaitu Hadits menurutnya tidak lebih kecuali hanya sebagai produk
perkembangan keadaan sosio-politik Islam pada masa sahabat dan tabi’in.
Menurut Azami sangat tidak
beralasan jika para orientalis tersebut meragukan keotentikan hadits Rasulullah
SAW hanya dengan alas an bahwa hadits baru dikodifikasikan pada abad ke dua
hijriyah, yang masanya sangat jauh dari masa Rasulullah SAW sehingga tidak
terjamin lagi keotentikannya, apa lagi dengan tuduhan bahwa hadits menurutnya
tidak lebih kecuali hanya sebagai produk perkembangan keadaan sosio-politik
Islam pada masa sahabat dan tabi’ini.
Penelitian (kritik sanad)
yang dilakukan oleh orientalist seperti Schacht adalah penelitian yang tidak
menggunakan metode dan objek kajian yang tidak tepat. Karena kitab selain kitab
hadits (termasuk kitab fiqh) tidak tepat apabila dijadikan sebagai objek kajian
untuk meneliti sanad hadits Rasulullah SAW, karena meneliti hadits diluar
sumbernya yang asli akan menghasilkan kesimpulan yang tidak tepat, karena cara
fuqaha dan muhadditsin menukilkan hadits adalah dengan menggunakan metode yang
berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Bustami M.Isa H.A. Salam,
Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2004
Depag, Alquran dan
terjemahan, Surabaya: Mahkota,1989
http//google.co.id
M.M Azami, Hadits Nabi dan
sejarah kodifikasinya (Penerjemah Ali Mustafa Yaqub), Jakarta: Pustaka Firdaus,
2004
M.M Azami, Memahami Ilmu
Hadits: Tela’ah Metodologi Dan Literature Hadis (penerjemah Meth Kieraha), Jakarta: Lentera, 2003, cet.ke-3
Muhammad Al-Ghazali,
Sunnah Nabi dalam Pandangan Ahli Fikih dan Ahli Hadits, Jakarta: Khatulistiwa
Press, 2008
Nawir Yuslem, ULUMUL
HADIS, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001
Nuraini, Otensitas Sunnah,
Analisis Pemikiran Fazlurrahman, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006
Ramli Abdul Wahid, Studi
Ilmu Hadis, Bandung: Citapustaka Media, 2005
[1] Lima kaidah kesahihan hadits itu
adalah:
a. Sanadnya bersambung.
b. Seluruh periwayatan dalam sanad
bersifat adil.
c. Seluruh periwayat dalam sanad bersifat
dhabith.
d. Terhindar dari syadz (kejanggalan).
e. Terhindar dari illat (cacat).
Lebih lanjut baca: Bustami
M.Isa H.A. Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2004,
hal.24
[2] M.M Azami, Memahami
Ilmu (penerjemah Meth Kieraha),
Jakarta: Lentera, 2003, cet.ke-3,
hal.86
[3] تمييز الدراهم واخراج الزيف منها (Nawir Yuslem, ULUMUL
HADIS, Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 2001, hal.329)
[4] Bustami M.Isa H.A.
Salam, Metodologi Kritik Hadits, Jakarta: Rajawali Pers, 2004, hal.5
[5] Memahami..., hal.70
[6] Metodologi…, hal.7
[7] Berkenaan dengan
ancaman terhadap orang yang tidak berhati-hati dalam meriwayatkan suatu hadits,
dalam suatu riwayat dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “jika seseorang
secara sengaja menisbahkan kepadaku (Hadits) apa yang tidak aku katakan,
hendaklah ia yakin bahwa tempatnya di neraka jahannam’’ (HR.Bukhari) lebih
lanjut baca : Memahami...hal.84
[8] Metodologi..., hal.7
[9] Namun jika yang
dimaksudkan dengan kritk disini hanya dalam ruang lingkup yang sederhana maka
kegiatan Naqd itu sudah ada semenjak masa Rasulullah SAW, tapi hanya sebatas
mendatangi Rasulullah SAW dalam membuktikan kebenaran suatu riwayat (dalam tahapan
ini lebih tepat dikatakan dengan kegiatan konfirmasi).
(lihat: Ulumul Hadits...,
hal.330)
[10] Metodologi..., Hal.7
[11] Metodologi..., hal.10
[12] Jika kritik yang
dimaksudkan hanya sekedar untuk membedakan yang benar dari yang salah dapat
dikatakan bahwa hal tersebut telah dimulai sejak masa Rasulullah SAW, namun
pada tahap ini kritik hanya dilakukan tidak lebih dari menemui Rasulullah SAW
jika seorang sahabat menerima suatu periwayatan mengenai Hadits. Atau lihat
foot note no.9 (lebih lanjut baca : Memahami …, hal.87)
[13] Memahami …, hal.84
[14] Dalam suatu riwayat
dikatakan bahwa sejak masa al-Syafi’iy (w. 204 H/820 M), paham ini (ingkarus
sunnah) telah timbul, sehingga Imam Syafi’iy menulis bantahan terhadap
argumen-argumen mereka dan membuktikan keabsahan hadits sebagai salah satu
sumber ajaran Islam. Tindakan preventif al-Syafi’iy ini membuat ia digelari
sebagai “pembela hadits” (nashir al-hadits).
[15] Metodologi…, hal.12
[16] Al-Quran dan…, hal.
[17] Metodologi…, hal.19
[18] Menurut M.M Azami
penisbahan (pemalsuan hadits) Rasulullah
SAW dapat dibedakan kepada dua katagori yaitu:
a. Pemalsuan yang dilakukan
secara sengaja, hal ini disebut dengan hadits Maudhu’
b. Pemalsuan yang dilakukan
secara tidak sengaja atau karena kekeliruan baik yang dilatar belakangi oleh
kecerobohan, maupun yang dilakukan secara hati-hati, hal ini disebut dengan
hadits Bathil. (Lebih lanjut bacalah : Memahami…, hal.118)
[19] Berkenaan dengan hal
ini dikatakan bahwa Umar dan Abu Musa al-Asy’ari menghafal hadits dari malam
sampai pagi, begitu juga dengan sahabat-sahabat lainnya seperti Ibnu ‘Abbas dan
Zaid Bin Arqam. (lebih lanjut bacalah : Memahami …, hal.42)
[20] Metodologi…, Hal.22
[21] Diantara hadits nabi
yang melarang itu adalah:
عن ابي سعيدالحذري انّه قال: قال رسول الله صلعم: لا تكتبوا عنّي شياء إلاّ القرأن ومن كتب غيرالقرأن فليمسحه... )رواه مسلم(
Artinya : “janganlah kamu
menuliskan sesuatu dari ku kecuali Al-Quran dan barang siapa yang menulis
selain Al-Quran maka hapuslah!...(Hr.Muslim)
Namun, di hadits lain,
nabi membolehkan atau bahkan memerintahkan untuk menulis hadits. Misalnya pada
hadits
اكتب فوالذي نفسي بيده ما يخرج منه إلاّالحق
Artinya : “Tulislah yang
berasal dari ku tidak ada sesuatu dari ku kecuali yang benar (haq)
Lebih lanjut baca… (Lebih
lanjut baca: Ulumul hadits..., hal.95-100
[22] Kata “ORIENTALIST”
berasal dari kata orient yang berarti –salah satunya- adalah Asia Timur; atau
berasal dari kata oriental yang berarti orang Timur atau Asia. Karena itu, ORIENTALIST
bisa juga diartikan orang yang ahli dibidang ketimuran. Berdasarkan letak
geografis, memang benua Asia berada disebelah Timur benua Eropa. Tetapi
konotasi yang diberikan oleh Barat tentang Timur adalah orang-orang Islam.
[23] Meskipun terdapat berbagai
data pendukung yang kuat bahwa hadits Nabi telah dipelihara semenjak periode
awal (sahabat), para ORIENTALIST terus saja mencari-cari peluang untuk
menyalahkannya. Mereka menyatakan, hadits Nabi tidak pernah dibukukan sampai
pada awal abad ke-2 H. Atas dasar ini, mereka berkesimpulan, bahwa pada kurun
waktu yang panjang ini, keberadaan Hadits tersia-sia. Alasannya karena hadits
belum ditulis dalam artian dibukukan. Implisitnya, keotentikan hadits Nabi
sangat diragukan dan cenderung ditolak, lebih jauh, hadits tidak mungkin dapat
dijadikan hujjah atau sumber hukum.
[24] Lihat foot note no.21
(Lebih lanjut baca: Ulumul Hadits…, hal. 95-100)
[25] Ia adalah anak
seorang Yahudi yang dilahirkan di sebuah kota di Hongaria pada 22 Juni 1850 dan
meninggal pada 13 November 1921
[26] Ulumul Hadis…, hal.
83-84
[27] Memahani ilmu…, hal.72
[28] Yang lebih tepat
dikatakan sebagai kritikus hadits fiqh bukan hadits Rasulullah SAW secara umum.
[29] M.M Azami, Hadits
Nabi dan sejarah kodifikasinya (Penerjemah Ali Mustafa Yaqub), Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2004…, hal. 534
[30] M.M Azami, Hadits
Nabi …, hal. 535
[31] M.M Azami, Hadits
Nabi…, hal.536
[32] M.M Azami, Hadits
Nabi …, hal. 538-547