BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk yang
paling sempurna diantara makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya, manusia diberi
oleh Tuhan beberapa kelebihan yang tidak
dimiliki oleh makhluk lainnya, yaitu akal dan daya nalar. Kemampuan manusia
untuk berfikir dan bernalar itu dimungkinkan pada manusia karena ia memiliki
susunan otak paling sempurna dibandingkan otak berbagai jenis makhluk hidup
lainnya. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu terus
berusaha untuk menambah dan mengumpulkan ilmu pengetahuannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan manusia dalam ilmu
pengetahuan?
2. Bagaimana
hakikat ilmu pengetahuan dalam filsafat pendidikan islam?
3. Bagaimana kedudukan ilmu pengetahuan
dalam filsafat pendididkan islam?
4. Bagaimana perintah Al-Qur’an dalam
mencari ilmu?
5. Bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan dalam filsafat pendidikan islam?
6. Apakah sumber dan fungsi pengetahuan
dalam islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan manusia.
2. Untuk mengetahui hakikat ilmu
pengetahuan.
3. Untuk mengetahui kedudukan ilmu
pengetahuan.
4. Untuk mengetahui perintah Al-Qur’an dalam
mencari ilmu.
5. Untuk mengetahui cara memperoleh ilmu
pengetahuan.
6. Untuk mengetahui sumber dan fungsi ilmu
pengetahuan.
BAB II
PEMBAHASAN
Kedudukan Manusia dan
Pengetahuan dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
A. Kedudukan Manusia
Kesatuan wujud manusia
antara fisik dan psikis serta didukung oleh potensi-potensi yang ada
membuktikan bahwa manusia sebagai ahsan at-taqwin dan menempatkan manusia pada
posisi yang strategis yaitu: Hamba Allah (‘abd Allah) dan Khalifah Allah
(Khalifah fi al-ardh).
1. Manusia sebagai Hamba Allah (‘abd Allah)
Musa Asy’arie mengatakan
bahwa esensi ‘abd adalah ketaatan, ketundukan dan kepatuhan yang kesemuanya itu
hanya layak diberikan kepada Tuhan. Ketundukan dan ketaatan pada kodrat alamiah
senantiasa berlaku baginya. Ia terikat oleh hukum-hukum Tuhan yang menjadi
kodrat pada setiap ciptaannya, manusia menjadi bagian dari setiap ciptaannya,
dan ia bergantung pada sesamanya. Sebagai hamba Allah, manusia tidak bisa
terlepas dari kekuasaannya. Sebab, manusia mempunyai fitrah (potensi) untuk
beragama. Mulai dari manusia purba sampai kepada manusia modern sekarang yang
mengakui bahwa diluar dirinya ada kekuasaan transendental.
Hal ini disebabkan karena
manusia adalah makhluk yang memiliki potensi untuk beragama sesuai dengan
fitrahnya. Pada masa purba manusia mengasumsikannya lewat mitos yang melahirkan
agama animisme dan dinamisme.[1] Meskipun dengan pemikiran dan kondisi yang
cukup sederhana, manusia dahulu telah
mengakui bahwa diluar dirinya ada zat yang lebih berkuasa dan menguasai
seluruh kehidupannya. Namun mereka tidak mengatahui hakikat zat yang berkuasa.
Mereka aplikasikan apa yang mereka yakini dengan berbagai bentuk upacara ritual
seperti pemujaan terhadap batu besar, gunung, matahari dan roh nenek moyang
mereka. Kesemuanaya itu menjadi bukti, bahwa ia adalah makhluk yang memiliki
potensi untuk beragama. Allah SWT berfirman:
Artinya: Maka hadapkanlah
wajahmu kepada agama (Allah), tetaplah pada fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah (agama) itu ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. 30 : 30)
Berdasarkan ayat diatas,
jelaslah bahwa bagaimanapun modernnya atau primitifnya suatu suku bangsa
manusia, mereka akan mengakui adanya Zat Yang Maha Kuasa di luar dirinya.
Selanjutnya Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. 51: 56)
Berdasarkan ayat tersebut
terlihat bahwa seluruh tugas manusia dalam hidup ini berakumulasi pada tanggung
jawab mengabdi (beribadah) kepada-Nya. Pengakuan manusia akan adanya Tuhan
secara naluriah menurut informasi Al-Qur’an disebabkan telah terjadinya dialog
antara Allah dan roh manusia takkala berada di alam arwah.
Firman Allah SWT :
Artinya: “Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : “Bukankah
Aku ini Tuhanmu?”. Mereka (anak-anak Adam menjawab: “Betul (Engkau Tuhan Kami)
Kami menjadi saksi....” (QS. 7 : 172)
Dengan demikian,
kepercayaan dan ketergantungan manusia dengan Tuhannya, tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia. Karena manusia telah berikrar sejak alam (mitsaq),
sejak alam arwah bahwa Allah SWT adalah Tuhannya. Kepercayaan manusia kepada
Zat Maha Agung yang ada diluar dirinya juga diiringi oleh Realisme Instinktif
yang tunduk dan patuh kepada-Nya. Kepatuhan tersebut kemudian
dimanifestasikannya lewat peribadatan-peribadatan ritual, sehingga manusia memiliki
beban dan tugas sebagai makhluk pengabdi kepada Tuhannya. Dengan demikian, rasa
tunduk dan kepatuhan manusia kepada Zat Yang Maha Agung merupakan tabiat asli
(fitrah) manusia yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai nilai ubudiyah
kepada-Nya. Pengenalan dan pengabdian yang dilakukan manusia sebagai realisasi
kepada Tuhannya pada mulanya mereka melakukan sesuai dengan keterbatasan
akalnya. Allah tidak ingin manusia berada selalu dalam kesesatan. Untuk itu,
Allah SWT memperkenalkan kepada manusia cara melakukan pengabdian. Dengan
pendekatan dan kemampuan yang dimilikinya mengantarkan manusia mampu
melaksanakan pengabdiannya sesuai aturan yang dikehendaki Allah.
Dalam konsep animistik
misalnya, manusia merasakan ketidakmampuannya dan ingin mendapatkan perlindungan
dan pertolongan kepada Zat Yang Maha Agung. Namun, keterbatasan akalnya manusia tidak bisa menemukannya. Akhirnya
manusia purba mengkultuskan benda-benda alam yang dianggapnya mempunyai
kekuatan gaib (mana) dan selanjutnya dilakukan penyembahan kepada benda-benda
tersebut.
Untuk itu, Allah mengutus
para Rasul-Nya sebagai pemberi petunjuk kepada manusia, mana yang harus mereka
sembah sebenarnya. Lewat inisiatif pengakuan akan adanya Zat Yang Menguasainya,
lewat bimbingan wahyu (ajaran agama) yang disampaikan dengan perantaraan Rasul,
diharapkan manusia akan mampu mengenal khalidnya lewat pengabdian yang
ditunjukkannya dalam kehidupan.
2. Manusia sebagai Khalifah Allah fi al-ardh
Bila ditinjau, kata
khalifah berasal dari madli khalafa yang berarti “mengganti dan melanjutkan”.
Bila pengertian tersebut ditarik pada pengertian khalifah, maka dalam konteks
ini artinya lebih cenderung kepada pengertian mengganti yaitu proses
penggantian antara sat individu dengan individu yang lain.
Menurut Quraish Shihab,
istilah khalifah dalam bentuk mufrad (tunggal) berarti penguasa politik dan
religius. Istilah ini digunakan unutk nabi-nabi dan tidak digunakan untuk
manusia pada umumnya. Sedangkan untuk manusia biasa digunakan khala’if yang
didalamnya mengandung makna yang lebih luas yaitu bukan hanya sebagai penguasa
dalam berbagai bidang kehidupan. Dalam hubungan pembicaraan dengan kedudukan
manusia dialam ini, nampaknya istilah khala cocok digunakan dibandingkan kata
khalifah. Namun demikian yang terjadi dalam penggunaan sehari-hari adalah
manusia sebagai khalifah dimuka bumi. Pendapat yang demikian memang tidak ada
salahnya karena dalam istilah khala’if sudah terkandung makna istilah khalifah.
Sebagai seorang khalifah, manusia berfungsi menggantikan orang lain dan
menempati tempat serta kedudukan-Nya. Ia menggantikan kedudukan orang lain
dalam aspek kepemimpinan atau kekuasaan.[2]
Untuk lebih menegaskan
fungsi kekhalifahan manusia di alam ini, dapat dilihat misalnya dalam ayat-ayat
dibawah ini:
Artinya: “dan dialah yang
menjadikan kamu penguasa-penguasa dibumi dan dia meninggikan sebagian kamu atas
sebagian (yang lain) beberapa derajat”. (QS. Al-An’am: 165)
Artinya: “Dialah yang
menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barang siapa yang kafir, maka
(akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. (QS. Fathir : 39)
Artinya: “Dan ingatlah
oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti
(yang berkuasa) sesudag lenyapnya Nuh, dan Tuhanmu telah melebihkan kekuatan
tubuh dan perwakanmu (dari pada kaum nuh itu). (QS. Al-A’raf: 69).
Ayat-ayat tersebut di
atas, di samping menjelaskan kedudukan manusia di dalam raya sebagai khalifah
dalam arti yang luas juga memberi isyarat tentang perlunya sikap moral atau
etika yang harus ditegakkan dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraisy
Shihab mengatakan bahwa hubungan antara manusia dengan alam atau hubungan
manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubungan antara penakluk dengan
ditaklukkan, atau antara tuan dengan hamba tetapi hubungan kebersamaan dalam
ketundukan kepada Allah SWT. Sebab, meskipun manusia mampu mengelola
(menguasai) namun hal tersebut bukan akibat kekuatan yang dimilikinya, tetapi
akibat Tuhan menundukkannya untuk manusia. Oleh karena itu, manusia dalam visi
kekhalifahannya bukan saja sekedar menggantikan, namun dengan arti yang luas ia
harus senantiasa mengikuti perintah yang digantikan (Allah).
Untuk melaksanakan
tugasnya sebgai khalifah, Allah telah memberikan kepada manusia seperangkat potensi (fitrah) berupa aql,
qalb, dan nafs. Namun demikian, aktualisasi fitrah tersebut tidak otomatis
berkembang, melainkan tergantung pada manusia itu sendiri mengembangkannya.
Untuk itu, Allah menurunkan wahyu-Nya kepada para Nabi agar menjadi pedoman
bagi manusia dalam mengaktualisasikan fitrahnya secara utuh dan selaras dengan
tujuan penciptaannya. Dengan pedoman ini manusia akan dapat tampil sebagai
makhluk Allah yang tinggi martabatnya. Jika tidak manusia akan tidak berbeda
esensinya dengan hewan.
Dengan kedudukan, fungsi,
dan kelebihan yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya melebihi makhluk lain,
memiliki konsekuensi nilai moral religius. Untuk itu, manusia harus
mempertanggung jawabkan semua aktifitas perbuatannya di hadapan khaliknya. Hal
ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah SAW:
Dari Ibn Umar ra. Berkata:
“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya terhadap apa yang
dipimpinnya...” (HR. Mutafaq’Alaih).
Selanjutnya Ahmad Hasan
Firhat[3], membedakan kedudukan kekhalifahan manusia pada dua bentuk, yaitu:
Pertama, khalifah
kauniyat. Dimensi ini mencakup wewenang manusia secara umum yang telah
dianugerahkan Allah SWT untuk mengatur dan memanfaatkan alam semesta beserta
isinya bagi kelangsungan kehidupan umat manusia dimuka bumi. Pemberian wewenang
Allah SWT kepada manusia dalam konteks ini, meliputi pemaknaan yang bersifat
umum tanpa dibatasi oleh agama apa yang mereka yakini. Artinya, label
kekhalifahan yang dimaksud diberikan keada semua manusia sebagai penguasa alam
semesta. Bila dimensi ini dijadikan
standard dalam melihat predikat manusia sebagai khalifah fi al-ardh,
maka akan berdampak negatif bagi kelangsungan kehidupan manusia dan alam
semesta. Manusia dengan kekuatannya akan mempergunakan alam semesta sebagai
konsekuensi kekhalifahannya tanpa kontrol dan melakukan
penyimpangan-penyimpangan dari nilai Ilahiyah. Akibatnya, keberadaannya di muka
bumi bukan lagi sebagai pembawa kemakmuran, namun cenderung berbuat mafsadah
dan merugikan makhluk Allah lainnya. Ketiadaan nilai kontrol inilah yang
dikhawatirkan malaikat tatkala Allah mengutarakan keinginan-Nya menciptakan
makhluk yag bernama manusia.
Kedua, khalifah syariyah.
Dimensi ini merupakan wewenang Allah yang diberikan kepada manusia untuk
memakmurkan alam semesta. Hanya saja, untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawab ini, predikat khalifah secara khusus ditujukan kepada orang-orang mukmin.
Hal ini dimaksudkan agar dengan keimanan yang dimilikinya mampu menjadi pilar
dan kontrol dalam mengatur mekanisme alam semesta, sesuai dengan nilai-nilai
ilahiyah yang telah digariskan Allah lewat ajaran-Nya. Dengan prinsip ini,
manusia akan senantiasa berbuat kebaikan dan memanfaatkan alam semesta demi
kemaslahatan umat manusia.
B. Hakikat Ilmu Pengetahuan
Menurut Quraish Shihab,
kata ilmu dalam bebrbagai bentuk terdapat 854 kali dalam Al-Qur’an. Kata ini
digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti
kejelasan. Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentag sesuatu.
Pengetahuan yang tidak jelas dari segi ontology, epistimologi maupun aksiologi
di dalam Islam tidak dianggap sebagai ilmu walaupun orang menyebutnya ilmu
juga.
Persoalan hakikat ilmu
pengetahuan atau apa sebenarnya pengetahuan (ontology) telah menjadi perdebatan
antara kaum materialis dan kaum idealis. Kaum materialis hanya mengenal
pengetahuan yang bersifat empiris dengan pengertian bahwa pengetahuan hanya
diperoleh dengan menggunakan akal atau indera yang bersifat empiris dan
terdapat di alam materi yang ada di dunia ini. Sedangkan menurut kaum idealis,
termasuk Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya diperoleh dengan perantaraan akal
dan indera yang bersifat empiris saja¸ tetapi juga ada pengetahuan yang
bersifat immateri, yaitu ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah sebagai
Khalid (Pencipta) pengetahuan tersebut.[4]
Beberapa pandangan yang
berbeda tentang pengetahuan yakni: pandangan aliran realisme, idealisme, dan
pragmatisme.[5]
1. Realisme.
Secara umum, aliran
filsafat realisme berpendapat bahwa dunia material merupakan dunia yang riil
(nyata) dan bukan sesuatu yang maya. Dunia material seperti meja, kursi,
tumbuh-tumbuhan, binatang, manusia dan lainnya dalam pikiran manusa, melainkan
wujud itu sendiri.
2. Idealisme
Idealisme secara umum merupakan
aliran filsafat yang berpendapat bahwa sesungguhnya yang riil (nyata) itu
bersifat ruhani, dan itu adalah ide (gagasan dan kesadaran) yang ada dalam
subyek. Keberadaan dan arti benda-benda material tergantung kepada subjek yang
mengamati dan memahaminya dengan akal budi.
3. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan
aliran filsafat yang muncul dan berkembang di Amerika Serikat dan dipelopori
oleh tokoh-tokohnya seperti Carles S. Pierce, Jhon Dewey dan Wiliam James. Ilmu
pengetahuan modern amat berpengaruh pada metode dan bangunan filsafat mereka.
Seperti halnya idealisme, pragmatisme berpendapat bahwa akal budi manusia itu
aktif mencari pengetahuan dan bukan hanya pasif menerima saja apa yang
diberikan dari luar. Pengethauan
merupakan hasil interaksi atau transaksi dengan lingkungan.
C. Kedudukan Ilmu Pengetahuan
Ilmu menempati kedudukan
yang sangat penting dalam ajaran islam. Hal ini banyak terlihat dari banyaknya
ayat Al-Qur’an yang memandang orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulia
disamping hadis-hadis nabi yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk
terus menuntut ilmu.
Didalam Al-Qur’an, kata
ilmu digunakan lebih dari 780 kali, ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana
tercermin dari Al-Qur’an sangat kental dengan nuansa yang berkaitan dengan
ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari agama Islam sebagaimana
dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani sebagai berikut: “Salah satu ciri yang
membedakan Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu
(sains), Al-Qur’an dan Al-Sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan
mendapatkan ilmu dan kearifan, serta menempatkan orang-orang yang pengetahuan
pada derajat tinggi”.
D. Perintah Al-Qur’an untuk mencari, menemukan
dan mempelajari ilmu.
Perintah Al-Qur’an untuk
mencari ilmu dapat dipahami dari dua aspek:
1. Al-Qur’an menyuruh manusia menggunakan
akal.
Ratio (akal) adalah
merupakan salah satu dari perangkat anugerah (hidayah) yang diberikan oleh
Tuhan kepada manusia.
2. Al-Qur’an menyuruh manusia meneliti alam
semesta.
alam semesta (universum,
kosmos, al-kaun) merupakan realitas yang dihadapi manusia yang sampai kini baru
sebagian kecil yang dapat diketahui dan diungkap oleh manusia. Bagian terbesar
masih merupakan suatu misteri, yang tidak dikenal oleh manusia betapapun
kemajuan yang telah mereka capai dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
E. Cara memperoleh pengetahuan
Dalam filsafat ilmu cara
mendapatkan pengetahuan ilmu dinamakan epistimologi. Dalam epistimologi Islam,
pengetahuan diperoleh melalui dua cara yaitu: melalui usaha manusia dan yang
diberikan oleh Allah SWT.
Pengetahuan yang diperoleh
melalui manusia usaha manusia, ada 4 jenisnya yaitu:
1. Pengetahuan empiris yang diperoleh
melalui indera.
2. Pengetahuan sains yang diperoleh melalui
indera dan akal.
3. Pengetahuan filsafat yang diperoleh
melalui akal.
4. Pengetahuan intuisi yang diperoleh
melalui qalb (hati).
Sedangkan pengetahuan yang
diberikan oleh Allah SWT, berupa:
1. Wahyu yang disampaikan kepada para Rasul.
2. Ilham yang diterima oleh akal manusia
3. Hidayah yang diterima oleh qalb manusia.
F. Sumber dan Fungsi Pengetahuan
Sumber utama dari ikmu
pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur’an. Al-Qur’an adalah kebenaran yang
langsung disampaikan Tuhan kepada salah seorang hamba-Nya, yang dipilih-Nya,
yang di sebut Rasul atau Nabi.
Al-Qur’an disamping
mengandung petunjuk-petunjuk dan tuntunan-tuntunan yang bersifat ubudiyah dan
akhlaqiyah (moral), juga mengandung petunjuk-petunjuk yang dapat dipedomani
manusia untuk mengolah dan menyelidiki
alam semesta, atau untuk mengerti gejala-gejala dan hakekat hidup yang
dihadapinya dari masa ke masa. Oleh karena itu, manusia berkewajiban untuk
mencari dan menggali dari prinsip-prinsip dasar dalam Al-Qur’an dengan
menggunakan kemampuan-kemampuan ijtihad dan daya analisis yang terdapat dalam
diri manusia. Al-Qur’an merupakan ayat Allah beriringan dan berdampingan dengan
Sunnatullah yang menjadi dasar pergerakan dan perjalanan alam ini. Sehingga
antara alam dan Al-Qur’an tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena keduanya
saling menafsirkan dan saling memberi petunjuk kepada manusia mengenai jalan
yang harus ditempuh untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.
Adapun fungsi ilmu
pengetahuan secara umum adalah : untuk berubudiyah kepada Allah, untuk dapat
membedakan antara hak dan yag bathil, yang salah dan dan yang benar, serta
sebagai modal untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Rasulullah SAW telah bersabda:
Artinya: “Siapa yang
bermaksud untuk urusan di dunia maka harus dengan ilmu, siapa yang bermaksud
untuk keduanya harus dengan ilmu”. (HR. Muslim)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan.
Kemampuan manusia dalam
mengembangkan kemampuan tidak lepas dari kemampuan menalar. Manusia satu-satunya
yang mengembangkan pengetahuan secara sungguh-sungguh. Pengetahuan adalah suatu
hasil dari pengamatan dan juga pengalaman yang dirasakan oleh panca indera,
sehingga kita menjadi tahu, dan bagian
dari pengetahuan adalah ilmu. Ilmu adalah hasil dari proses berfikir dengan
pertanyaan “bagaimana hal itu bisa terjadi?”, dengan pertanyaan itu maka
manusia akan berusaha untuk melakukan sebuah penelitian sehingga akan
mendapatkan kesimpulan, ilmu adalah pengetahuan yang didapat melalui proses
tertentu.
DAFTAR RUJUKAN
1. Ramayulis dan Nizar,
Samsul. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
2. Hasan, Ahmad. 1992.
Khilafah Fi Al-Ardh Pembahasan Kontekstual. Jakarta: CV Cakrawala Persada.
3. Thoib, Ismail. Meretas
Filsafat Pendidikan Islam.
[1] Ramayulis dan Nizar,
Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2009). Hal. 57
[2] Ibid. Filsafat
Pendidikan Islam. Hal. 60
[3] Hasan, Ahmad. Khilafah
fi al-Ardh Pembahasan Kontekstual. (Jakarta: CV Cakrawala Persada, 1992). Hal.
50
[4] Ramayulis dan Nizar,
Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Kalam Mulia, 2009). Hal.75
[5] Thoib, Ismail. Meretas
Filsafat Pendidikan Islam. Hal. 115