BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berqurban adalah suatu syiar yang diajarkan Allah kepada manusia untuk manusia demi terjalinnya hubungan silaturahmi antar manusia, sehingga menimbulkan sikap solidaritas antar sesama. Berqurban biasanya dilakukan dengan bentuk hewan, baik itu Unta, Sapi, Kerbau dan lain sebagainya, yang merupakan binatang yang dihalalkan oleh Allah dan dianjurkan oleh Rasul-Nya.
Dengan perkembangan jaman cara berqurban sangat banyak bentuknya, pada permasalahan sekarang ada sebuah kasus dimana ketika seseorang hendak berqurban namun tidak bisa memilih dan menentukan manakah hewan kurban yang baik untuk diqurbankan, maka ada inisitif untuk berqurban mengunakan uang. Lalu timbullah pertanyaan bolehkah seseorang berqurban dengan uang? Sedangkan pada jaman Rasulullah SAW tidak ada bentuk qurban dengan uang. Inilah yang menjadi pokok masalah dalam pembahasan pada makalah ini.
Namun sebelum membahas lebih jauh lagi mengenai hewan berqurban dengan uang, hendaknya kita memahami apa itu qurban dan waktu serta syarat berkurban itu sendiri.
Rumusam Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka muncul rumusan masalah sebagai berikut:
Bagaimana pengertian kurban dan penjelasannya?
Bagaimana hukum berkurban dengan uang?
Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini yaitu sebagai berikut:
Untuk mengetahui pengertian dari kurban dan penjelasannya.
Untuk mengetahui hukum berkurban dengan uang.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Dan Penjelasan Tentang Kurban
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar) Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Kurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari Idul Adha untuk menyemarakkan hari raya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Berkurban merupakan salah satu syiar Islam yang disyariatkan berdasarkan dalil Al Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW dan Ijma’ (kesepakatan hukum) kaum muslimin.
فصلّ لربكّ وانحر
“Maka shalatlah karena rabbmu dan sembelihlah qurban!”(QS. Al Kautsar: 2)
قل إنّ صلا تى ونسكى ومحياي ومماتى للّه ربّ العالمين لاشريك له وبذلك أمرت وأناأوّل المسلمين
“Katakanlah (wahai Muhammad): Sesungguhnya shalatku, nusuk/ibadah qurbanku, hidup dan matiku hanya untuk Allah rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, aku diperintahkan seperti itu dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri.” (QS. Al An’am: 162)
Hukum berkurban menurut para ulama:
Pendapat Imam Maliki, Syafi’I, Hambali dan para ulama pengikut Hanafi: Qurban hukumnya adalah sunnah Mu’akkadah.
Pendapat Imam Hanafi: Hukum berqurban adalah wajib atas penduduk kota-kota besar, yaitu orang yang telah memiliki harta satu nisab.
Adapun waktu penyembelihan hewan kurban menurut para ulama adalah:
Imam Syafi’I berpendapat: Waktu penyembelihan hewan kurban adalah sejak terbit matahari pada hari nahar (Idul Adha) dan telah berlalu kadar waktu shalat hari raya Idul Adha dan dua Khutbahnya, baik imam sudah shalat maupun belum.
Imam Maliki dan Hambali berpendapat: waktu penyembelihan hewan kurban adalah sesudah imam shalat dan berkhutbah.
Imam Hanafi berpendapat: waktu penyembelihan hewan kurban adalah ketika telah terbit fajar kedua.
Menurut ‘Atha adalah masuknya waktu berqurban adalah dengan terbitnya matahari pada Idul Adha.
Jadi, waktu pelaksanaan kurban yaitu setelah sholat Idul Adha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adha. Sabda Nabi SAW yang artinya: “Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban).
Tempat penyembelihan qurban diutamakan di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan.
Syarat-syarat hewan yang boleh dijadikan qurban yaitu:
Sudah cukup umur
Untuk kambing, sudah berumur 1 tahun dan masuk tahun kedua. Untuk sapi, sudah berumur 2 tahun dan masuk tahun ketiga. Untuk unta, sudah berumur 4 tahun dan masuk tahun kelima. Rasulullah SAW bersabda :
ﻻﺗﺬﺒﺤﻮﺍ ﺇﻻﻤﺴﻧﺔ ﺇﻻ ﺍﻦﻴﻌﺴﺮﻋﻠﻴﻜﻢ ﻔﺘﺬﺒﺤﻮﺍ ﺠﺬﻋﺔ ﻤﻦ ﺍﻠﻀﺄﻦ. (ﺮﻮﺍﻩ ﻤﺴﻠﻢ)
“Janganlah menyembelih kecuali kambing berumur satu tahun masuk tahun kedua, kecuali jika kalian kesulitan untuk mendapatkannya, maka kalian boleh menyembelih domba umur enam bulan sampai satu tahun”(HR. Muslim).
Selamat (bebas) dari cacat
Hewan yang cacat matanya, pincang, yang terpotong tanduk atau telinganya, hewan yang sakit, dan hewan yang kurus, maka hewan-hewan tersebut tidak boleh dijadikan sebagai hewan kurban. Rasulullah SAW bersabda :
ﺃﺮﺒﻊ ﻻ ﺗﺠﻮﺰ ﻔﻲ ﺍﻷﻀﺎﺣﻲ : ﺍﻠﻌﻮﺮﺍﺀ ﺍﻠﺒﻴﻦ ﻋﻮﺮﻫﺎ ﻮﺍﻠﻌﺮﺠﺎﺀ ﺍﻠﺒﻴﻦ ﻆﻠﻌﻬ ﺎﻮﺍﻠﻜﺴﻴﺮﺓ ﺍﻠﺘﻲ ﻻ ﺘﻨﻗﻰ ﻮ ﺍﻠﻣﺮﻴﻀﺔ ﺍﻠﺒﻴﻦ ﻤﺮﻀﻬﺎ (ﺮﻮﺍﻩﻣﺴﻠﻢﻮﺃﺤﻣﺩﻮﻏﻴﺮﻫﻤﺎ)
“Empat hewan tidak boleh dijadikan sebagai hewan kurban yaitu hewan yang cacat matanya dengan cacat yang jelas; hewan yang pincang dengan pincang yang jelas; hewan yang kurus kering, yang tidak dapaat digemukkan lagi dan hewan yang sakit dan jelas sakitnya” (HR. Muslim, Ahmad dan lain-lain).
Hewan tersebut adalah hewan yang paling baik
Karena Allah adalah maha Thayyib (Baik, Suci), maka Allah tidak menerima kecuali yang baik-baik saja. Dan hewan yang paling baik untuk dijadikan kurban adalah domba / gibas yang bertanduk, jantan, dan berwarna putih dengan daerah di sekitar kedua matanya berwarna hitam dan keempat kakinya berwarna hitam. Karena kambing dengan ciri-ciri semacam inilah yang dipilih oleh rasulullah SAW untuk berkurban, berdasarkan pada haris riwayat Aisyah, yang artinya : “Rasulullah SAW berkurban seekor domba dengan keempat kakinya berwarna hitam dan daerah sekitar matanya juga berwarna hitam “ (HR. abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’I dan Ibnu majah).
Keutamaan Ibadah Kurban yaitu Dari Aisyah ra, Nabi saw bersabda, “Tidak ada suatu amalan pun yang dilakukan oleh manusia pada hari raya Kurban yang lebih dicintai Allah SWT dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu kelak pada hari kiamat akan datang beserta tanduk-tanduknya, bulu-bulunya dan kuku-kukunya. Dan sesungguhnya sebelum darah Kurban itu menyentuh tanah, ia (pahalanya) telah diterima di sisi Allah, maka beruntunglah kalian semua dengan (pahala) Kurban itu.” (HR Tirmidzi).
Kami menyarankan mereka yang ingin melangsungkan ibadah kurban untuk memastikan integritas lembaga atau panitia kurban yang membuka penerimaan ibadah kurban melalui transfer ke rekening tertentu. Kami juga menyarankan orang yang ingin berkurban untuk mengetahui di mana hewan kurbannya dititipkan dan disembelih.dan sebaiknya orang yang berkurban mendatangi tempat penyembelihan hewan kurbannya pada hari H. Semoga Allah menerima segenap amal ibadah kurban kita tahun ini. Amiiin. Wallahu a‘lam.
Hukum Berkurban Dengan Uang
Kurban dengan uang ini bisa dipahami sebagai ibadah kurban dengan bersedekah uang seharga hewan ternak dan bisa juga dipahami sebagai ibadah kurban dengan menitipkan uang seharga hewan ternak kepada lembaga, institusi, panitia kurban, atau takmir masjid yang melayani penitipan dan penyaluran kurban.
Kalau yang dimaksud praktik kurban dengan uang ini adalah bersedekah uang seharga hewan ternak tanpa membeli dan menyembelih hewan ternak, maka ibadah kurban ini tidak sah. Dengan kata lain, orang yang berkurban dengan praktik seperti ini tidak mendapatkan pahala atau keutamaan ibadah kurban sebagaimana yang dimaksud dalam syariat Islam. Meskipun demikian, orang yang bersangkutan hanya mendapatkan pahala atau keutamaan sedekah biasa.
Praktek seperti ini tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk ibadah yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak sebagaimana ditegaskan di dalam QS. Al-Hajj: 34
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka" (Al-Hajj: 34)
Walaupun tidak sah sebagai kurban, tetapi tidaklah sia-sia dan tidaklah termasuk bid'ah meskipun secara implisit Rasulullah SAW tidak pernah melaksanakan, melegitimasi, dan mengakuinya.
Dalam logika atau nalar fikih uang yang dibagikan dengan niat kurban itu menjadi shadaqah atau sedekah. Adapun keutamaan sedekah mengenai beberapa nashnya sudah cukup jelas. Akan tetapi, betapa sayang bila kurban sebagai ibadah tahunan yang kita laksanakan itu tidak diterima sebagai kurban karena kita melaksanakannya dalam bentuk pembagian uang.
Bertolak dari ayat di atas, ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Ulama' Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk kurban.
Masalah ini pernah diangkat dalam Forum Bahtsul Masail di Situbondo pada Muktamar Ke-27 NU 1984 M. Para kiai peserta Forum Bahtsul Masail yang ketika itu dipimpin oleh KH Ali Yafie memutuskan bahwa kurban tidak boleh dengan nilai uang, tetapi dengan hewan ternak yang sifatnya ditentukan di dalam kitab-kitab fiqih.
Forum Muktamar NU di Situbondo pada 1984 M ini mengutip Kitab Riyadhul Badi’ah karya Syekh M Nawawi Al-Bantani yang kami kutip sebagai berikut:
لاَ تَصِحُّ التَّضْحِيَّةُ إِلاَّ بِاْلأَنْعَامِ وَهِيَ اْلإِبِلُ وَالْبَقَرُ اْلأَهْلِيَّةُ وَالْغَنَمُ لأَنَّهَا عِبَادَةٌ تَتَعَلَّقُ بِالْحَيَوَانِ فَاخْتُصَّتْ بِالنَّعَمِ كَالزَّكَاةِ فَلاَ يُجْزِئُ بِغَيْرِهَا
“Kurban tidak sah kecuali dengan hewan ternak, yaitu unta, sapi, atau kerbau dan kambing. Hal ini, karena kurban itu terkait dengan hewan, maka dikhususkan dengan ternak sama seperti zakat, sehingga tidak sah selain dengan hewan ternak”.
Dalam hal ini, Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk penyembelihan. Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah.
Lebih jauh ia menyatakan, bahwa penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan mengandung makna atau esensi yang tidak dapat digambarkan kemuliaannya. Adapun penggalan kalimatnya sebagai berikut:
فَكَانَ اْلمُعْتَبَرُ فِي حَقِّهِمْ أَنَّهُ مَحَلٌّ صَالِحٌ لِكِفَايَتِهِمْ حَتَّى تُتَأَدَّى بِالْقِيْمَةِ بِخِلَافِ الهِدَايَا وَالضَّحَايَا فَإنَّ الْمُسْتَحِقُ فِيْهَا إرَاقَةَ الدَّمِ حَتَّى وَلَوْ هَلَكَبَعْدَ الذَّبْحِ قَبْلَ نَظِيْرٍ بِهِ لَمْ يَلْزِمهُ شَيْءٌ وَإرَاقَةُ الدَّمِ لَيْسَ بِمُتَقَوِّمٍ وَلَا مَعْقُوْلٍ الْمَعْنَى
"Adapun apa yang diakui menjadi hak para mustahiq zakat adalah aspek kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga boleh diberikan berupa harganya. Hal ini berbeda dengan hadyu dan kurban yang esensinya adalah aliran darah (penyembelihan), sehingga seandainya setelah hewan kurban itu disembelih binasa sebelum dibagikan, maka tidak ada kewajiban sedikit pun yang dibebankan kepada orang yang kurban. Penyembelihan kurban itu tidak dapat diukur dengan harga, dan tidak dapat dirasionalkan makna kemuliaannya ".
Demikian pula hal yang senada dinyatakan oleh Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Bakr (926-970 H). Adapun sedikit kutipan kalimatnya sebagai berikut:
قَيَّدَ الْمُصَنِّفُ بِالزَّكَاةِ لِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ الضَّحَايَا وَالْهَدَايَا وَالْعِتْقِ لِأنَّ مَعْنَى الْقُرْبَةِ إرَاقَةِ الدَّمِ وَذَلِكَ لَا يَتَقَوَّمُ
“Penyusun Kanz ad-Daqaiq membatasi (pembahasan mengenai boleh memberikan berupa harga) dalam kewajiban zakat. Persoalannya, tidak boleh memberikan dalam bentuk harga atas kurban, hadyu dan memerdekakan budak karena esensi kurban adalah aliran darah (penyembelihan) yang tidak dapat diukur dengan harga”.
Berikut pernyataan ulama yang menyatakan qurban itu khusus pada binatang ternak:
Imam an-Nawawi: “tidak sah qurban kecuali unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri”.
Zakaria al-Anshary: “Syarat qurban adalah binatang ternak, yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa atau jantan, meskipun yang sudah dikebiri.
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, berkata: “Allah Ta’ala mengabarkan, senantiasa penyembelihan qurban dan ihraqah dam (mengalirkan darah) atas nama Allah menjadi syari’at pada semua agama Allah”.
Bertolak dari ayat di atas dengan penafsiran Ibnu Katsir tersebut, dapat dipahami bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih tegas lagi apabila kita memperhatikan hadits yang artinya : “Tidak ada sebuah amalan pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta kepada Allah melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya”. (H.R. at-Turmidzi).
Ulama Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk qurban. Dalam hal ini, Muhammad bin Abi Sahl As-Sarkhasy salah seorang ulama besar Hanafiyah dalam Al-Mabsuth, menyatakan bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk ihraqah dam (mengalirkan darah / penyembelihan). Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah. Hal ini karena ihraqah dam adalah tidak dapat diukur dengan dihargakan dan bukan sesuatu yang ma’qul makna.
Fatwa ulama-ulama kita di atas, sesuai pula dengan i’tiqad kaum muslim bahwa syari’at penyembelihan qurban adalah karena mengikuti sunnah Nabi Ibrahim yang menyembelih kurban sebagai ganti penyembelihan Nabi Ismail yang diperintah Allah kepadanya, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad bin Hanbal, yaitu:
قالو يا رسول الله ، ما هذه الأضاحي ؟ قال : "سنة أبيكم إبراهيم
Para sahabat bertanya : “ya Rasulullah, apa qurban ini ?”, jawab Rasulullah: “dia adalah sunnah bapakku, Ibrahim”.
Kalau kita mengikuti perkataan orang yang membolehkan qurban dalam bentuk uang, tentunya pada ujungnya kaum muslimin ini dikuatirkan akan lupa sejarah kenapa disyari’atkan qurban itu sendiri. Untuk menutup kemungkinan itu maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan qurban dalam bentuk uang. Ini sesuai dengan salah satu sumber hukum dalam Islam, yaitu saad al-zara-i’.
Menyembelih qurban lebih utama daripada sedekah uang senilai harga hewan qurbannya, karena beberapa alasan:
Menyembelih qurban merupakan amal Nabi SAW dan para sahabat.
Menyembelih qurban merupakan salah satu syiar Allah Ta’ala. Oleh karena itu jika orang lebih memilih untuk bersedekah niscaya syiar ini akan hilang.
Jika bersedekah seharga hewan qurban lebih utama daripada menyembelih hewan qurban tentu Nabi SAW telah menjelaskan kepada umatnya dengan perkataan atau perbuatan beliau, karena Nabi selalu menjelaskan hal-hal yang terbaik untuk umatnya.
Bahkan jika bersedekah itu keutamaannya sama dengan berqurban, tentu hal ini juga telah dijelaskan oleh Nabi, karena bersedekah jauh lebih mudah daripada menyembelih qurban. Sebagaimana diketahui Nabi SAW tidak akan lalai untuk menjelaskan amal yang lebih ringan dilakukan oleh umatnya namun memiliki keutamaan yang sama dengan amal yang lebih berat.
Menganggap bahwa tujuan qurban itu hanya untuk memberi makan orang miskin yang kelaparan. Kita tahu bahwa tujuan seperti ini penting.
Namun, Allah Ta’ala berfirman:
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS. Al Hajj: 37)
Jika memang engkau ingin bersedekah dengan beribadah qurban, engkau ingin saudaramu yang muslim di tempat lain juga mendapatkan manfaat dari qurbanmu, maka sembelihlah qurban tersebut di negerimu. Lalu kalau mau memberi manfaat pada mereka, kirimlah beberapa dirham, makanan, pakaian ke tempat lain (bukan mentansfer untuk qurban).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari Idul Adha untuk menyemarakkan hari raya dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Berkurban merupakan salah satu syiar Islam yang disyariatkan berdasarkan dalil Al Qur’an, Sunnah Rasulullah SAW dan Ijma’ (kesepakatan hukum) kaum muslimin.
Para ulama Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, dan Hanabilah menyatakan, bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Dengan kata lain, orang yang berkurban dengan praktik seperti ini tidak mendapatkan pahala atau keutamaan ibadah kurban sebagaimana yang dimaksud dalam syariat Islam. Meskipun demikian, orang yang bersangkutan hanya mendapatkan pahala atau keutamaan sedekah biasa.
Saran
Demikianlah Penyusunan makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua terutama bagi kelompok III. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi penyempurna dalam penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 250
Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. V, Hal. 424
http://jasmencomputer.blogspot.com/2016/01/contoh-makalah-tentang-qurban.html
https://inspiring.id/pengertian-qurban/
Muhammad As-Sarkhasy, Al-Mabsuth, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz II, Hal. 157
Muhammad ibn Abi Sahl As-Sarkhasiy (Wafat 490 H.) di dalam Al-Mabsuth; juz II, h.157
Prof. Dr. Muhibuddin Waly, Penggalian Hukum dari Masa ke-Masa, Hal. 48-49
Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, hlm. 476
Syaikh al-Allamah Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi, Bandung, Hal. 186
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, Fatawa Liqho’at Al Bab Al Maftuh, kaset no. 24/32, Asy Syamilah
Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani, Riyadhul Badi’ah. Mesir, Al-Amiratus Syarafiyah: 1326 H], jilid IV, halaman 695.
Zain ibn Ibrahim ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Bakr (926-970 H) di dalam Al-Bahr ar-Raiq, jilid II, h.238.