BAB I
PENDAHULUAN
Di dalam
mengklasifikasikan hadîts, ulama hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan jumlah
macam-macam hadîts. Ibn Taimiyah mengungkapkan, “secara umum, berdasarkan
keadaan Perawi dan keadaan matan hadits sangat banyak macamnya. Menurut Imam
Al-Nawâwiy pembagian hadîts mencapai 65 macam, menurut Al-Suyûtiy pembagian
hadîts mencapai 82 macam, menurut Ibn Katsîr sebanyak 65 macam dan Abu Fadhl
al-Jizâwiy di dalam kitab Al-Turas- membaginya menjadi 63 macam.
Hal ini terjadi karena
mereka melihat klasifikasinya secara umum, dengan tidak melihat dan menggunakan
tipologi yang jelas. Untuk memudahkan pemahaman dan pengenalan hadîts nabi
beserta istilah-istilah yang terkait dengannya, maka pemakalah akan menjabarkannya
di dalam makalah singkat yang berjudul “Klasifiksi Hadîts Ditinjau Dari
Berbagai Aspek”. Pembahasannya meliputi: Pembagian hadîts berdasarkan bentuk
asal, pembagian hadîts berdasarkan sifat asal, pembagian hadîts berdasarkan
Jumlah periwayat, pembagianhadîts berdasarkan kwalitas serta pembagian hadîts
berdasarkan penisbatan.
BAB II
PEMBAHASAN
v Klasifikasi Hadîts Nabi Ditinjau Dari
Berbagai Aspek
Untuk mengklasifikasikan
Hadîts Nabi Muhammad SAW, dapat dilihat dari berbagai segi, di antaranya adalah:
A. Berdasarkan Bentuk Asal
Khusus mengenai
klasifikasi hadîts ditinjau dari aspek ini, tidak banyak buku yang merincinya.
Penulis berasumsi bahwa pembagian ini ditarik langsung dari defenisi hadîts
yang diberikan oleh ulama hadîts. Sebagaimana yang masyhûr, ulamahadîts
mendefenisikan hadîts dengan
ما اضيف إلى النبى صلى الله عليه وسلم من قول او فعل او تقرير او صفة
“Segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik perkataan, perbuatan, ketetapan maupun
sifatnya”[[1]]
Adapun pembagian hadîts ditinjau
bentuk asal –sesuai dengan defenisi hadîts di atas- adalah:
1. Hadîts Qawlîy
Hadîts Qawlîy adalah
hadîts-hadîts yang beliau ucapkan berkenaan dengan berbagai tujuan pada
berbagai kesempatan.[[2]] Adapun contoh darihadîts ini adalah:
حدثنا آدم بن أبي أياس قال حدثنا شعبة عن عبد الله بن أبي السفر وإسماعيل عن الشعبي عن عبد الله بن عمرو رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه[[3]]
Artinya:“Telah
meriwayatkan kepada kami Adam ibn abiy Iyâs dia berkata, telah meriwayatkan
kepada kami Syu’bah dari Abd Allâh ibn Abi Safar dan Ismâ’îl dari al-Sya’bîy
dari ‘Abd Allâh ibn ‘Amru dari Nabi SAW, Beliau bersabda:”orang Muslim adalah
orang yang selamat muslim yang lain dari lidah dan tangannnya, Sedangkan orang
yang hijrah adalah orang yang menjauhi apa yang dilarang Allâh terhadapnya”
2. Hadîts Fi’lîy
Hadîts fi’lîy adalah
Perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW yang disampaikan kepada kita oleh para
sahabat.[[4]] Adapun contoh dari hadîts ini adalah:
عن محمد بن المنكدر قال : رأيت جابر بن عبد الله يصلي في ثوب واحد وقال رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في ثوب
Artinya: “Hadîts dari
Muhammad ibn Munkadir, beliau berkata: Saya melihat Jâbir Ibn ‘Abd Allâh Shalat
dengan sehelai kain, dan ia berkata:”Saya melihat Rasul Allâh shalat dengan
memakai sehelai kain”
Hadîts fi’lîy dibagi
menjadi dua yaitu: Hadîts fi’lîy yang diiringi dengan perkataan Nabi, dan yang
tidak diiringi dengan perkataan Nabi.[[5]]
Contoh yang diiringi
dengan perkataan Nabi/Hadîts Qaulîy adalah hadîts tata cara shalat nabi yang
diiringi dengan hadîts Hadîts Qaulîy berikut
صلوا كما رأيتموني أصلي[[6]]
Artinya: “Shalatlah kamu
seperti bagai mana kamu melihatku melaksanakan shalat”
Hadits ini merupakan
Hadits utama yang dikutip Nasiruddin Al-Baniy ketika memulai tulisannya di
dalam kitab Sifat Shalat Nabi,
Khusus mengenai Hadîts
fi’lîy yang tidak diiringi dengan perkataan nabi ini terdapat beberapa
pembahasan penting yang menjadi sorotan para ulama terutama ulama Ushul. Mereka
mempertanyakan muatan hukum yang terdapat di dalamnya, apakah wajib diikuti
atau tidak. Setidaknya mengenai hal ini ulama Ushul membaginya kepada tiga
bentuk, yaitu:
1) ( افعال الجبلية )
Perbuatan yang muncul dari Rasul Allâh sebagai manusia biasa, seperti makan,
minum, tidur dan berdiri. termasuk juga di dalam hal ini pengalaman hidup
beliau di dalam urusan dunia seperti perdagangan, pertanian dan peperangan
serta pengobatan.
2) (افعال التي ثبت كونها مخصص لنبي )
Perbuatan Rasul yang telah ditetapkan sebagai perbuatan yang khusus untuk
dirinya, seperti tahajud yang ia lakukan setiap malam, tidak menerima sedekah
serta memiliki istri lebih dari empat.
3) Perbuatan yang berkaitan dengan hukum,
dan ada alasannya yang jelas. Atau perbuatan nabi yang tidak ada diikuti oleh
indikasi-indikasi sebagaimana pada poin satu dan dua[[7]]
Tentang macam yang pertama
dan kedua menurut ulama ushul tidak mengandung muatan hukum, sedangkan yang
terakhir menjadi syariat bagi umat Islam.
3. Taqrîrîy
Hadîts Taqrîrîy adalah
Segala sesuatu yang muncul dari sementara sahabat yang diakui keberadaannya
oleh Rasul Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan, dengan cara diam tanpa
pengingkaran atau persetujuan dan keterus terangan beliau menganggapnya baik
bahkan menguatkannya.[[8]] Seperti Nabi membiarkan atau mendiamkan apa yang
dilakukan oleh sahabat-Nya tanpa memberi penegasan atau pelarangan. Sikap Nabi
seperti ini dijadikan hujjahatau mempunyai kekuatan hukum untuk menetapkan
suatu kepastian hukum. Adapun contoh dari hadîts ini adalah: sikap Beliau
terhadap ijtihâd sahabat berkenaan dengan shalat Ashr sewaktu perang melawan
Bani Quraidzah. Yakni ketika beliau bersabda:
لا يصلين احد العصر الا في بني قريظة[[9]]
Janganlah sekali-kali
salah seorang di antara kalian shalat Ashr, kecuali di kampung Bani Quraidzah.
Sebagian Sahabat memang
tidak melakukan shalat kecuali setelah sampai di Kampung Bani Quraidzah,
sehingga mereka mentakhirkan hingga waktu Maghrib. Sedangkan yang lain justru
tetap shalat di perjalanan, karena mereka memahami hadîts tersebut dengan makna
perintah Rasul Allah untuk mempercepat perjalanan agar sampai di Bani Quraidzah
sebelum waktu Maghrib. Berita kedua kelompok sahabat ini sampai kepada Nabi,
tetapi Nabi mengakui keduanya, tanpa mengingkari salah satunya.
4. Hadîts Shifatîy
Hadîts Shifatîy adalah
hadîts yang berupa sifat atau kepribadian Nabi serta keadaan fisiknya.[[10]]
Hadîts Shifatîy biasa disebut juga dengan Hadîts Ahwâliy. Jadi Hadîts Shifatîy
ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu yang terkait dengan kepribadian Nabi dan
bentuk fisik Nabi. Contoh hadîts tentang sifat/kepribadian Nabi
حدثنا أنس بن مالك قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحسن الناس خلقا[[11]]
Artinya: ”Anas ibn Mâlik
meriwayatkan kepada kami, beliau berkata: Rasul Allah SAW adalah orang yang
paling baik akhlaknya”
Contoh hadîts tentang sifat fisik nabi di antaranya
adalah:
حدثني أبي عن بديل عن شهر بن حوشب عن أسماء قالت : كان يد قميص النبي صلى الله عليه وسلم إلى أسفل من الرصغ
Artinya: Telah
meriwayatkan kepadaku bapakku, dari Bâdil dari Syahr ibn Husab dari Asma’,
beliau berkata:”Lengan baju nabi adalah sampai ke pergelangan tangannya.”
B. Berdasarkan Sifat Asal/ Makna Yang Di
Kandungnya
1. Hadîts Qudsîy
1) Pengertian Hadîts Qudsîy
Secara bahasa al-Hadîts
al-Qudsîy berasal dari dua kata yaitu al-Hadîts dan al-Qudsîy. Al-Qudsîy
merupakan nisbah dari kata القدس
(al-qudsu) bermakna الطهر
(al-thuhru). الطاهر المنزه عن العيوب والنقايص (Zat
yang Maha Suci yang jauh dari ‘aib dan kekurangan). Jadi secara bahasa dapat
diartikan Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disandarkan/dinisbahkan kepada Zat
Yang Maha Suci /Allah.[[12]]
Menurut lughat lafadz
qudsi artinya suci. Berarti hadits qudsi artinya hadits yang suci[[13]]
Sedangkan secara istilah
Hadîts Qudsîy adalah hadîts yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammad SAW
yang sanadnya disandarkan kepada Allah SWT. Defenisi ini penulis tarik dari
beberapa defenisi yang ada di dalam beberapa kitab Ilmu Hadîts, seperti defenisi-defenisi
berikut ini:
Ø Defenisi yang ditulis Oleh Nuruddîn Itr
adalah
هو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم واسنده الى ربه عز وجل[[14]]
“Dia (Hadîts Qudsîy)
adalah Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, yang sanadnya atau
penisbatannya kepada Allah ‘Azza wa Jalla”
Ø Defenisi yang ditulis Oleh Mahmûd Thahân
adalah
هو ما نقل الينا عن النبي صلى الله عليه وسلم مع اسناده اياه الى ربه عز وجل[[15]]
“Apa-apa yang disampaikan
kepada kita dari Nabi SAW, yang sanadnya disandarkan kepada Tuhan-nya (Allah
‘Azza wa Jalla) ”
Ø Menurut istilah Muhadditsin hadits qudsi
ialah sesuatu yang dikhabarkan oleh Allah Ta’ala kepada NabiNya dengan jalan
ilham ataupun impian, kemudian nabi menyampaikan makna atau impian itu dengan
ungkapan kata beliau sendiri[[16]]
2) Perbedaan Antara Hadîts Qudsîy dengan
Al-Qur’ân
Terkait dengan perbedaan
antara Hadîts Qudsîy dengan al-Qur’ân terdapat perbedaan di kalangan ulama. Di
antara yang paling jelas adalah antara pendapat Abu al-Baqâ’ al-‘Ukbûrîy dan
Thayyibîy, sebagaimana yang dikutip oleh Nuruddîn Itr di dalam kitabnya. Beliau
mengungkapkan sebagai berikut:[[17]]
Abu al-Baqâ’ berkata : Sesungguhnya lafaz dan makna al-Qur’ân
berasal dari Allah melalui pewahyuan secara terang-terangan, sedangkan Hadîts
Qudsîy itu redaksinya dari Rasul Allah dan maknanya berasal dari Allah melalui
pengilhaman atau mimpi.
Al-Thayyibîy berkata:
Al-Qur’ân diturunkan melalui perantaraan malaikat kepada Nabi Muhammad SAW,
sedangkan Hadîts Qudsîy itu maknanya berisi pemberitaan Allah melalui ilham
atau mimpi, lalu nabi Muhammad memberitakan kepada umatnya dengan bahasa
sendiri.
Al-Qur’ân memiliki
keistimewaan yang tidak terdapat di dalam Hadîts Qudsîy, di antaranya adalah:
a. Al-Qur’ân itu lafaz dan maknanya
dari Allah, sedangkan Hadîts Qudsîy
maknanya dari Allah dan redaksinya dari Nabi.
b. Membaca Al-Qur’ân termasuk ibadah dan
mendapat pahala, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak demikian.
c. Semua lafaz Al-Qur’ân adalah mutawâtir,
terjaga dari perubahan dan pergantian karena ia mukjizat, sedangkan Hadîts
Qudsîy tidak demikian.
d. Membaca Al-Qur’ân disunatkan di dalam
shalat sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
e. Ada larangan menyentuh mushaf Al-Qur’ân
bagi orang yang ber-hadas, sedangkan Hadîts Qudsîy tidak.
2. Hadîts Nabawîy
Hadîts Nabawîy adalah Apa
yang dinisbahkan kepada Rasulullah dan diriwayatkan dari beliau.[[18]] Jadi
Hadîts Nabawîy adalah segala Hadîts Nabi yang dipahami secara umum yang bukan
Hadîts Qudsîy. Maka ketika kita telah dapat mengetahui sesuatu hadîts adalah
bukan Hadîts Qudsîy, secara otomatis yang demikian adalah Hadîts Nabawiy.
C. Berdasarkan Jumlah Periwayat
1. Hadîts Mutawâtir
a. Defenisi Hadîts Mutawâtir
Secara Bahasa Mutawâtir
merupakan ism fa’il musytaq dari التواتر berarti التتابع(berturut-turut/lebat).[[19]]
Sedangkan secara istilah
terdapat beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya: Menurut Nuruddîn Itr Hadîts Mutawâtir adalah:
هوالذى رواه جمع كثير يؤمن تواطؤهم على الكذب عن مثلهم, الى انتهاء السند وكان مستندهم الحس[[20]]
“Hadîts mutawâtir adalah
hadîts yang diriwayatkan oleh perawi yang banyak yang diyakini tidak akan
sepakat berbuat dusta dari perawi yang semisalnya, dari awal sanad hingga
akhirnya. Yang periwayatannya disandarkan kepada pengamatan indrawi”
Sedangkan ‘Ajjaj al-Khâtib
mendefenisikan Hadîts Mutawâtir seperti berikut ini:
ما رواه جمع تحيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السند الى منتهاه على ان لا يختل هذا الجمع في اي طبقة من طبقة السند [[21]]
“Hadîts yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak mungkin mereka sepakat untuk
berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal sanad sampai akhirnya,
dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada tiap tingkatan sanadnya ”
Dari defenisi-defenisi di
atas dapat ditarik beberapa syarat sebuah hadîts dikatakan Mutawâtir yaitu:
1) Hadîts tersebut pada setiap tingkatan
sanadnya diriwayatkan oleh periwayat yang banyak dari awal hingga akhir.
2) Kondisi mereka tidak mungkin akan
berdusta, seperti semua mereka bukan orang satu keluarga.
3) Hendaklah keyakinan mereka didasarkan
kepada sesuatu yang dapat diterima panca indra, atau hadîts tersebut menyangkut
dengan nabi yang bisa ditangkap secara indrawi. Seperti sikap dan perbuatan
Nabi yang dapat dilihat atau perkataan beliau yang dapat didengar.
4) Hendak perawi yang meriwayatkan hadîts
tersebut meyakini keabsahanhadîts tersebut (bukan berasal dari
dugaan)[[22]]
b. Pembagian Hadîts Mutawâtir
Ulama Hadîts membagi
Hadîts Mutawâtir menjadi tiga yaitu Hadîts Mutawâtir Lafzhîy, Hadîts Mutawâtir
Ma’nâwîy, dan Hadits Mutawatir Amaliy.
1) Hadîts Mutawâtir Lafzhîy
Hadîts Mutawâtir Lafzhîy
adalah Hadîts yang periwayatannya Mutawâtir dengan lafadz yang sama oleh
seluruh perawi.[[23]] Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib,
seperti berikut ini
ما رواه بلفظه جمع عن جمع عن جمع لا يتوهم تواطؤهم على الكذب من اول السند الى منتهاه[[24]]
“Hadîts yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi dari sejumlah perawi, dari sejumlah perawi, dengan lafaz yang sama, -yang tidak
dimungkinkan mereka sepakat untuk berdusta- dari awal hingga akhir sanad”
Muhadditsin memberikan
pengertian hadits Mutawatir lafdzi adalah suatu (hadits) yang sama (mufakat) bunyi
lafadh para rawi padanya, dan demikian juga pada hukum dan maknanya
Contoh:
من كذب علي متعمدافليتبوا مقعده من النار
“Siapa yang berdusta atas
diriku dengan sengaja maka hendaklah mempersiapkan tempatnya di neraka”
2) Hadîts Mutawâtir Ma’nâwîy
‘Ajjâj al-Khâtib
mendefenisikan dengan:
ما اتفق نقلته على معناه من غير مطابقة في اللفظ
“Hadîts yang diriwayatkan
oleh para perawi dengan makna yang sama, tetapi dengan lafaz yang berbeda”
Ini sejalan dengan yang
disampaikan oleh Nuruddîn Itr yang mendefenisikannya dengan Hadîts yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat melakukan
kedustaan dengan memakai matan yang berbeda-beda, namun memiliki maksud atau
makna yang sama.[[25]]
مااختلفوافى لفظه ومعناه مع رجوعه لمعنى كلى
Hadits mutawatir maknawi
adalah hadits yang berlainan bunyi lafadh dan maknanya tetap dapat diambil dari
kesimpulannya satu makna yang umum
Jadi hadits mutawatir
maknawi adalah hadits mutawatir yang para rawinya berbeda dalam menyusun
redaksi hadits tersebut, namun walaupun berbeda lafadh atau redaksinya tetap
terdapat persesuaian atau kesamaan dalam maknanya[[26]]
Contohnya adalah seperti
hadîts tentang syafa’ah, ru’yah, mengucurnya air dari jari-jemari Rasul Allah
SAW.
3) Hadits Mutawatir Amaliy
Hadits mutawatir amaliy
adalah:
ماعلم من الدين بالضّورة وتواتربين المسلمين أنّ النبي ص.م فعله أو أمربه أوغيرذالك
Sesuatu yang dengan mudah
dapat diketahui bahwa hal itu berasal dari agama dan telah muawatir diantara
kaum muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk melakukannya
atau serupa dengan itu[[27]]
2. Hadîts Ahâd
a. Pengertian Hadits Ahad
Secara bahasa ahâd
merupakan jama’ dariاحد dengan arti الواحد (satu). Maka Hadîts Ahâd merupakan hadîts yang diriwayatkan
oleh seorang perawi.[[28]] Sedangkan secara istilah, ulama memberikan defenisi
yang berbeda-beda, namun dengan maksud yang sama di antaranya adalah:
Ø Khatib al-Baghdâdîy memberi defenisi sebagai
berikut:
فهو ما قصر عن صفة التواتر[[29]]
“Yaitu Apa-apa (Hadîts)
yang tidak cukup (kurang) syarat atau sifat Mutawâtir”
Ø ‘Ajjâj al-Khâtib memberi defenisi sebagai
berikut:
فهو ما رواه الواحد او الاء اثنان فاكثر مما لم تتورفيه شروط المشهور او المتواتر ولا عبرة للعدد فيه بعد ذالك[[30]]
“Yaitu Apa-apa (Hadîts)
yang diriwayatkan oleh satu atau dua orang perawi atau pun lebih, yang tidak
memenuhi syarat-syarat Masyhûr ataupun Mutawâtir, dan tidak diperhitungkan lagi
perawi setelah itu (tingkatan berikutnya)”
b. Pembagian hadits ahad ditijau dari segi
kuantitas perawinya
1) Hadîts Masyhûr
Secara Bahasa Masyhûr
merupakan ism mafûl dari اشهرت dinamakan dengan Masyhûr
mungkin karena kejelasannya. [[31]] Sedangkan secara istilah terdapat
beberapa defenisi yang diberikan ulama, di antaranya Menurut ulama
Ushuliyyin, Hadîts Masyhûr adalah:
فهو ما رواه من الصحابة عدد لا يبلغ حد التواتر ثم تواتر بعد الصحابة ومن بعدهم[[32]]
“Hadîts yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi dari golongan sahabat yang tidak mencapai batas Mutawâtir,
kemudian setelah sahabat hingga berikutnya mencapai jumlah Mutawâtir”
Adapun Hadîts Masyhûr
menurut Ibn Hajar sebagaimana yang dikutip Nuruddîn Itr adalah ما له طرق محصورة باكثر مناثنين[[33]] (Hadîts yang memiliki jumlah jalur yang
terbatas dan lebih dari dua)
Menurut istilah Muhaditsin
ialah:
مارواه الثلاثة فأكثرولم يصل درجة التواتر
Hadits yang diriwayatkan
oleh tiga orang rawi atau lebih, akan tetapi tidak mencapai derajat hadis
mutawatir[[34]]
Ada juga yang menta’rifkan
sebagai berikut
مااشتهربين الناس وكان أوّله منقولا عن الواحد أوالأثنين, فإن لم يكن له أصل, فلا يسمّى مشهورا
Hadits yang telah masyhur
diantara manusia, padahal asalnya dari seseorang atau dua orang saja, maka
apabila hadits yang telah tersiar itu tiada berasal, tiadalah ia dinamai denga
masyhur[[35]]
2) Hadits Aziz
Menurut lughat, aziz
semakna dengan asy-syarif yang berarti mulia
Sedangkan menurut istilah
Muhadditsin ialah:
مارواه اثنان ولوكانا فى طبقة واحدة ثم رواه بعدذالك جماعة
Hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang rawi, meskipun dua perawi tersebut hanya terdapat pada satu
thabaqat (lapisan), kemudian setelah itu diriwayatkan oleh orang banyak.[[36]]
3) Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa
berarti asing
Menurut istilah Muhaditsin
adalah :
ماانفردبروايته نخص فى اي موضع وقع التفرد به من السند
Hadits yang dalam
periwayatannya ada perawi yang menyendiri, di (thabaqat) mana saja penyendirian
itu terjadi dalam sanad
Maksud daripada
penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits, bisa berarti :
- Mengenai personnya, yakni tidak ada
orang lain yang meriwayatkan selain dia sendiri
- Mengenai sifat atau keadaan perawi,
yakni sifat atau keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi
lain yang juga meriwayatkan hadits itu.
D. Berdasarkan Kwalitas
1. Hadits maqbul
a. Hadîts Shahîh
Secara bahasa Shahîh merupakan lawan dari سقيم (sakit). Istilah Shahîh
pada dasarnya dipakaikan untuk menyebutkan keadaan fisik, dan terhadap
hadits ini merupakan bentuk majazy/maknawiy.[[37]]
Secara istilah terdapat
beberapa defenisi yang dirumuskan oleh ulamahadîts di antaranya:
1) Ibn Shalah:
هو المسند الذي يتصل اسناده بنقل العدل الضبط عن العدل الضبط الى منتهاه ولا يكون شاذا ولا معللا
“Adalah musnad yang
sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang
yang adil lagi dhabit pula sampai ke ujungnya, tidak sadz dan tidak pula
terkena ilat”[[38]]
2) Imam Nawawiy:
هوما اتصل سنده بالعدول الضابطون من غير شذوذ ولا علة
“Adalah Hadîts yang
sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang adil lagi dhabit dari orang
yang adil lagi dhabit tanpa adanya sadz dan
ilat”[[39]]
3) ‘Ajjâj al-Khâtib:
هوما اتصل سنده برواية الثقة من الثقة من اوله الى منتهاه من غير شذوذ ولا علة
“Adalah hadîts yang
sanadnya bersambung melalui periwayatan orang yang tsiqah dari orang tsiqah
tanpa adanya sadz dan ilat”
Dari defenisi-defenisi
yang disampaikan oleh para ulama di atas setidaknya dapat disimpulkan
syarat-syarat hadîts Shahîh, sebagai berikut:
Ø Ittishal al-sanad (Bersambung sanadnya),
maksudnya antara satu perawi dengan perawi sesudah dan sebelumnya dimungkinkan
untuk bertemu. Sehingga dengan syarat ini dikecualikan hadîts munqati’,
mu’dhal, mu’allaq, dan mudallas.[[40]]
Ø Diriwayatkan oleh perawi yang ‘âdil
Adapun yang dimaksud dengan
perawi ‘âdil adalah perawi yang memiliki integritas agama, akhlak yang baik
serta terhindar dari perbuatan fasik dan hal-hal yang menjatuhkan muru’ah-nya.
Sebagai mana yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib sebagai berikut:
عدل: هو من استقام دينه, وحسن خلقه, وسلم من الفسق وخوارم المروءة
Ø Diriwayatkan oleh perawi yang dhâbit
Adapun dhâbit sebagaimana
yang ditulis oleh ‘Ajjâj al-Khâtib adalah:
ضابط: هو تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه, وحفظه لذالك من وقت التحمل الى وقت الأداء
Maksudnya seorang perawi
menyadari hadits tersebut ketika mendengarnya, memahami maknanya ketika
menyampaikan, dan menghafal/memahami hadîts mulai dari waktu menerima hingga
menyampaikannya
Ø Tidak terdapat Syuzûz
Tidak terdapat syuzûz
maksudnya adalah bahwa riwayat tersebut tidak bertentangan dengan periwayatan
yang lebih tsiqah darinya. Ini sesuai dengan apa yang ditulis oleh ‘Ajjâj
al-Khâtib:
الشذوذ: مخالفة الثقة من هو ارجح من
Ø Tidak terdapat ‘ilat
‘ilat yaitu sifat
tersembunyi yang mencemari keshahihan hadîts, baik yang terdapat pada sanad
maupun pada matan, Seperti: me-mursal-kan yang maushûl, me-muttashil-kan yang
munqati’ atau me-marfu’-kan yang mauquf, dan bentuk bentuk sejenis lainnya.
Hadîts Shahîh dapat dibagi
menjadi dua macam yaitu Hadîts Shahîh li dzâtihi dan Hadîts Shahîh li ghairihi.
1) Hadîts Shahîh li dzâtihi yaitu Hadîts
Shahîh yang sesuai dengan kriteria Hadîts Shahîh sebagaimana yang disebutkan di
dalam defenisi di atas.
2) Hadîts Shahîh li ghairihi yaitu: hadits
yang ke-shahîh-annya dikarenakan faktor lain. Seperti Hadîts Hasan yang menjadi
Shahîh dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang menguatkan.
b. Hadîts Hasan
Pada awal perkembangan
ilmu hadîts, pembagian hadîts berdasarkan kwalitas ini hanya di bagi menjadi
dua yaitu hadits Shahîh dan hadits Dha’îf. Adapun yang mempopulerkan istilah
hadîts Masyhûr ini untuk pertama kalinya adalah Abu ‘Îsa al-Tirmîdziy.
1) Pengertian Hadîts Hasan
Secara bahasa Hasan
merupakan Sifat Musyabahah dari الحسن dengan makna الجمال
[[41]]
Menurut istilah Hadîts
Hasan yaitu Hadîts yang memiliki sanad bersambung, diriwayatkan oleh perawi
yang ‘âdil yang lebih rendah ke-dhâbit-annya, tanpa adanya Syâdz dan
‘illat.[[42]]
2) Macam-Macam Hadîts Hasan
Sebagaimana hadîts Shahîh,
hadîts Hasan dibagi juga menjadi dua
macam yaitu hadîts Hasan li dzâtihi dan hadîts Hasan li ghairihi.
Hadîts Hasan li dzâtihi
yaitu Hadîts Hasan yang sesuai dengan kriteria hadîts Hasan sebagaimana yang
disebutkan di dalam defenisi di atas.
Hadîts hasan li ghairihi
yaitu: hadits dha’if yang menjadi hasan
di karenakan faktor lain. Seperti hadîts Dha’if
yang menjadi hasan dikarenakan oleh adanya jalur-jalur lain yang
menguatkan, dengan syarat dha’if
tersebut bukan dikarenakan perawinya banyak sekali lupa, banyak salah,
tertuduh melakukan dusta ataupun fasiq.
2. Hadits Mardud
a. Hadîts Dha’îf
1) Pengertian dan Pembagian Hadîts
Dha’îf
Secara bahasa dha’îf merupakan lawan dari kata القوي (kuat).[[43]] Sedangkan
secara Istilah Hadîts Dha’if yaitu
hadîts yang tidak memenuhi syarat-syarat Maqbul, atau hadîts yang tidak
memenuhi syarat-syarat hadits Shahîh ataupun hadits Hasan
hadits Dha’îf di bagi menjadi dua yaitu Dha’îf yang disebabkan oleh ketidak bersambungan
sanad dan yang disebabkan cacat pada matan.
2) Hukum beramal dengan Hadîts Dha’îf
Mengenai beramal dengan
hadîts Dha’îf ini terdapat tiga pendapat ulama yang
berbeda-beda, di antaranya:
a) Menurut Yahya ibn Mâ’in, Ibn Hazm,
al-Bukhâriy dan Muslim hadîts Dha’îf
tidak dapat diamalkan secara mutlak.
b) Menurut
Abu Daud dan
Imam Ahmad hadîts
Dha’îf dapat diamalkan secara
mutlak. Menurutnya beramal dengan hadîts Dha’îf
lebih baik dari pada memakai ra’yu
c) Hadîts Dha’îf dapat digunakan di dalam masalah fadh-il al-a’mal dan mawâ’iz jika memenuhi
syarat berikut:
Ø Ke-Dha’îf -annya tidak bersangatan. Yaitu
perawi tersebut bukan orang yang tertuduh berdusta atau terlalu sering
melakukan kesalahan.
Ø Hadîts Dha’îf
tersebut masuk cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan
Ø Ketika mengamalkannya tidak meyakini bahwa ia
berstatus kuat, tetapi sekedar untuk kehati-hatian.
E. Pembagian Berdasarkan Penisbatan
1. Hadîts Marfû’
Menurut bahasa marfû’
merupakan isim maf’ûl dari رفع yang
merupakan lawan dari kata وضع(rendah). Dipakainya istilah marfû’dikarenakan penisbahannya
kepada nabi Muhammad SAW sebagai seorang sosok yang mulia, yang memiliki
derajat yang tinggi.[[44]]
Sedangkan menurut
Nuruddîn Itr Hadîts Marfu’ adalah:
وهو ما اضيف إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم خاصة من قول او فعل اوتقرير او وصف[[45]]
Defenisi ini sama dengan
defenisi mayoritas ulama Hadîts termasuk ‘Ajjâj al-Khâtib, hanya saja ‘Ajjâj
al-Khâtib menambahkan dengan kalimat “baik hadîts itu muttasil maupun munqati’.
Dan penulis memandang hal itu wajar karena Nuruddîn Itr meletakkan pembahasan marfu’ sejalan
dengan mauquf dan maqtu’, sementara ‘Ajjâj al-Khâtib meletakkannya sejalan
dengan pembahasan musnad dan muttashil.[[46]]
Muttashil adalah hadits
yang bersambung sanad-nya baik yang marfû
kepada Rasul Allah maupun mauqûf.
Hadits Musnad adalah hadits yang bersambung sanadnya dari awal hingga
akhir, Yang biasanya dipahami sebagai hadits marfû’ lagi muttashil
Berbeda dengan mayoritas
ulama, Al-Khatib al-Baghdâdîy membatasinya dengan sesuatu yang dikhabarkan oleh
sahabat dari Rasul Allah SAW, baik perkataan maupun perbuatan. Dan jika kita
amati defenisi Hadîts Mursal tidak termasuk ke dalam Hadîts marfu sesuai dengan defenisi ini.
2. Hadîts Mauquf
Menurut bahasa mauqûf’
merupakan isim maf’ûl dari الوقف (berhenti). [[47]] Jadi secara bahasa hadîts
mauqûf yaitu hadîts yang para perawinya berhenti hanya sampai tingkatan
sahabat, dan tidak meneruskannya sampai ke ujung sanad yang tersisa.
Secara istilah Hadîts
Mauquf adalah sesuatu yang diriwayatkan dari sahabat. Defenisi ini penulis
ambil setelah melihat beberapa defenisi yang diberikan ulama Hadîts, di
antaranya:
v Nuruddîn
Itr
وهو ما اضيف إلى الصحابة رضوان عليهم[[48]]
v Ibn Shalah
وهو ما يروى عن الصحابة من أقوالهم وأفعالهم ولا يتجاوز به إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم[[49]]
Fuqaha’ Kurasan, menyebut
yang mauqûf ini dengan atsar, dan yang
marfû’ dengan khabar. Namun mayoritas
ulama menyebut keduanya dengan istilah Atsar.
Menurut mayoritas ulama
Hadîts mauqûf tidak berstatus marfû’,
kecuali ada indikasi yang menunjukkan ke-marfû’-annya. Seperti Ucapan sahabat:
“Kami melakukan begini di masa Rasul Allah SAW” atau pernyataan sahabat terkait
dengan kesaksiannya menyaksikan turunnya wahyu kepada Rasul Allah.
3. Maqtu’
Yang dimaksud dengan maqtu’
adalah sesuatu yang diriwayatkan dari tabi’in. Ini sesuai dengan defenisi yang
disampaikan oleh Nuruddîn itr
وهو ما اضيف إلى التابعى[[50]]
Satu hal yang mesti di
garis bawahi terkadang ada yang memakai istilahmaqtu’ ini untuk menyebutkan
Hadîts yang terputus sanadnya. Dan hal ini biasanya terjadi sebelum
dibakukannya defenisi mauquf dan maqtu’ ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Di dalam ilmu Mustalah
al-hadîts, hadîts di bagi berdasarkan beberapa tipologi. Pertama berdasarkan bentuk
asal, hadîts dibagi menjadi empat yaitu: hadîts Qauliy, hadîts fi’liy, hadîts
Taqrîriy dan hadîts Shifatiy. Kedua berdasarkan sifat asal, hadîts dibagi
menjadi dua yaitu: hadîts Qudsiy dan hadîts Nabawiy. Ketiga berdasarkan jumlah
periwayat, hadîts dibagi menjadi dua yaitu: hadîts Mutawâtir dan hadîts Ahad
(Meskipun Hanafiyah membaginya menjadi tiga). Keempat berdasarkan kwalitas,
hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts Shahîh, hadîts Hasan dan hadîts Dha’îf
. Terakhir berdasarkan penisbatan, hadîts dibagi menjadi tiga yaitu: hadîts
Marfû’, hadîts Mauqûf dan hadîts Maqtû’.
B. Sara-saran
Dikarenakan para ulama
hadîts berbeda-beda di dalam menetapkan pembagian hadits, dan perbedaan itu
adalah suatu yang wajar, selagi dengan tipologi dan alasan yang jelas, maka
ketika membahas macam-macam hadîts perlu diketahui pembagian tersebut menurut
siapa dan berdasarkan hal apa. Sehingga tidak menimbulkan ketimpangan di dalam
pembahasan yang terkait dengan pembagian hadîts ini
DAFTAR PUSTAKA
Darodji, Ahmad, dkk,
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, 1986
_______, Fattah Al-Qur’an
Hadits kelas VII: Putra Nugraha
http://rho-mieth.blogspot.com/2011/11/klasifiksi-hadits-ditinjau-dari.html
https://b3npani.wordpress.com/tugas-kuliah/92-2/
http://iwansetiawan13.blogspot.com/2013/01/pembagian-hadits-ditinjau-dari-segi_989.html
http://jungpasir27.blogspot.com/2013/10/makalah-ulumul-hadits-sistematika.html
[1] Thahân, Taisîr Musthalah al-Hadîts,
(Surabaya: Serikat Bangkul Indah, 1985), h. 15
[2] Muhammad ‘Ajjâj al-Khâtib (selanjutnya
ditulis dengan ‘Ajjâj al-Khâtib), Ushûl al-Hadîts Ulûmuhu wa Mustalahuhu, (
Beirut: Dar al-Fikr, 2006), h. 14
[3] Imam Haramain Abi al-Ma’âliy abd al-Malik
ibn ‘Abd Allâh ibn Yusuf al-Juwaini, Al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar
Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), h. 182-183
[4] ‘ Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 15
[5] Imam Haramain Abi al-Ma’âliy abd al-Malik
ibn ‘Abd Allâh ibn Yusuf al-Juwaini, Al-Burhân fi Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar
Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), h. 182-183
[6] Muhammad Nasiruddin Al-Baniy, Shifat Shalat
nabi SAW min al-takbir ila Taslim ka annaka tarhaha, (Riyadh: Maktabah
Al-Ma’arif, [t.th]), h.35
[7] Wahbah Al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islâmiy,
(Damaskus: Dar al-Fikr, 2006), h. 458, atau Muhammad Sa’id Ramadhân al-Buthi,
Mabahits al-Kitab wa al-Sunnah min Ilmi al-Ushul, (Damaskus: maktabah
al-Ta’âwûniyah, 1974) h. 19- 21.
[8] ‘Ajjâj al-Khâtib, Loc Cit
[9] Al-Bukhâriy, Op Cit, Jld. I, h.321, Hadits
ini Juga diriwayatkan Oleh Imam Muslim, Lihat. Muslim Ibn Hajjâj abu Husain
al-Qursyiy al-Naisabûriy (Selanjutnya ditulis dengan Muslim), Shahîh Muslim,
(Beirut: Dar al-Ihyâ’
Munzier Suparta, Ilmu
Hadits, (Jakarta: Raja Grafindo, 2002), h. 22
[10] al-Turâts al-‘Arabiy,
[t.th]) Jld III, hadits No. 1391
[11] Abd Allah ibn
Muhammad abu Bakr al-Qursyiy (Ibn Abi Dunya), al-Tawadu’ wa al-Khumul, (Beirut
Dar al-Kutub al-Ilmiayah, 1989), Juz I, h. 205
[12] Ibn Manzur. Lisan
al-‘Arab, (Beirut: Dar Ihyâ’ al-Turas, 1992), Jld. VII, h. 226
[13] Ahmad Daradji, Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang, 1986. Hal 64
[14] Mahmûd Thahân, Op
Cit, h. 127
[15] Mahmud Thahan, Loc
Cit
[16] Ahmad Daradji,
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, 1986. Hal 64
[17] Nuruddîn Itr, Op cit,
h. 324-325
[18] ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 21
[19] Mahmud Thahan, Op
Cit, h. 19
[20] Nuruddîn Itr, Op Cit,
h. 404
[21] ‘Ajjâj al-Khâtib, Op
Cit, h. 197
[22] Nasiruddîn al-Bâniy,
Al-Hadîts Hujjatun bi Nafsihi fi al-‘Aqâ’id wa al-Ahkâm, Terj. Oleh Mohammad
Irfan Zein (Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), h. 19
[23] Nuruddîn Itr, Op Cit,
h. 406
[24] ‘Ajjâj al-Khâtib, Loc
Cit
[25] Nuruddîn Itr, Op Cit, h. 404
[26] Ahmad Daradji, Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang, 1986. Hal 73
[27] Ahmad Daradji, Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang, 1986. Hal 74
[28] Mahmud Thahan, Op
Cit, h. 22
[29] Khâtib al-Baghdâdîy,
Loc Cit
[30] Khâtib al-Baghdadiy,
Loc Cit
[31] Mahmud Thahân, Op
Cit, h. 23
[32] ‘Ajjâj al-Khâtib, h. 198
[33] Nuruddîn Itr, Op
Cit, h. 409 , Lebih lanjut lihat
Muhammad Ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Muhammad ibn abiy Bakr Ibn Usmân al-Sakhâwiy,
Al-Taudhîh al-Abhâr li Tadzkirati ibn Mulqin fi ilmiy al-Âtsâr, (Su’udiyah:
Maktabah Ushûl al-Salâf), 1418 H, h. 49
[34] Ahmad Daradji,
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, 1986. Hal 76
[35] Ahmad Daradji, Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang, 1986. Hal 76
[36] Ahmad Daradji,
Pengantar Ilmu Hadits, Semarang, 1986. Hal 81
[37] Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 24
[38] Al-Imam abiy ‘Amrû ‘Usmân ibn ‘Abd
al-Rahmân al-Syahrazûriy (Selanjutnya ditulis dengan Ibn Shalâh), Muqaddimah
ibn Shalâh fi Ulûm al-Hadîts, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), h.
15-16, atau Zainuddîn abd al-Rahîm ibn Husain al-‘Irâqiy, Al-Taqyîd wa al-Îdhah
lima Utliqa wa Ughliqa min Muqaddimah ibn shalâh, (Beirut: Dar al-Kutb
al-‘Ilmiyyah, 1996), h 20
[39] Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Rahmân Ibn abiy Bakr
al-Suyûtiy, Tadrîb al-Râwiy fi Taqrîb al-Nawâwiy, (Beirut: Dar Kutub
al-Ilmiyah, 1996),
[40] Ajjâj al-Khâtib, Op Cit. h. 200
[41] Mahmûd Thahân, Op
Cit, h. 45
[42] Ajjâj al-Khâtib,
Op.cit. h. 218
[43] Mahmûd Thahân, Op
Cit, h. 63
[44] Mahmûd Thahân, Op Cit, h. 128
[45] Nuruddîn Itr, h. 325
[46] ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit, h. 234
[47] Mahmûd Thahân, Op
Cit, h. 130
[48] Nuruddîn Itr, h.326
[49] Ibn Shalâh, Op Cit,h.
42, atau Badruddîn abiy Abd Allâh Muhammad ibn Jamâluddîn abd Allâh ibn
Bahâdir, Al-Naktu ‘ala Muqaddimah Ibn shâlah, (Riyad: Adwal al-Salâf, ([tt]),
Jld. I, h 213
Atau lihat ‘Ajjâj al-Khâtib, Op Cit. h.
250
[50] Nuruddîn Itr, h 327, Atau lihat ‘‘Ajjâj
al-Khâtib, Op Cit. h. 251