BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
al-Qur’an merupakan
mukjizat yang paling besar yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW. Segala yang
ada di dalamnya tidak ada sama sekali keraguan. Hal tersebut terjadi karena
Allah telah berjanji akan menjaga isi kandungan al-Qur’an hungga hari kiamat.
Oleh karena itu kita
sebagai umat Muslim dianjurkan untuk membacanya. Bukan hanya sekedar membacanya
saja, tapi juga harus mengetahui isi kandungannya. Dan untuk dapat menafsirkan
al-Qur’an dengan baik dan benar maka kita harus mempelajari Ulumul Qur’an
terlebih dahulu.
Ulumul Qur’an sendiri
berasal dari dua kata yakni, ulum dan al-Qur’an. Ulum berarti ilmu, sedangkan
al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam yang tidak akan berubah isi kandungannya
hingga akhir zaman.
Sehingga secara umum
al-Qur’an dapat diartikan sebagai ilmu yang mmpelajari keseluruhan dari kitab
suci al-Qur’an. Bukan hanya itu juga, ulumul Qur’an juga mempelajari tentang
ilmu-ilmu agama Arabiah yakni Islam.
Dalam Ulumul Qu’an juga
dibahas tentang Ilmu Munasabah. Dan Ilmu Munasabah merupakan ilmu yang
mempelajari tentang hubungan satu ayat dengan ayat yang berikutnya baik yang
terlihat jelas maupun yang tidak jelas.
Oleh karena itu, kami akan
membahas tentang Ilmu Munasabah dalam makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa pengertian dari Ilmu Munasabah?
1.2.2 Bagaimana sejarah dan perkembangan Ilmu
Munasabah?
1.2.3 Bgaimana Urgensi dari Ilmu Munasabah?
1.2.4 Apa saja macam dari Ilmu Munasabah?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Menurut As-Suyuthi, kata
munasabah secara etimologis dapat diartikan dalam dua kata yakni, al-musyakalah
(keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Istilah munasabha digunakan dalam
‘illat dalam bab qiyas, dan bereti Al-wash Al-muqarib li Al-hukm (gambaran yang
berhubngan dengan hukum) dikutip dari buku karya Badr A-Din Muhammad bin
‘AbdillahAz-Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul Al-Burhan fi “Ulum Al-Qur’an.
Istilah munasabah diungkapkan pula dengan kata rabth (pertalian).[1]
Berikut adalah beberapa
definisi munasabah secara termologi:
1. Menurut Manna’ Al-Qaththan
وَجْهُ اْلإِرْتِبَاطِ بَيْنَ الْجُمْلَةِ وَالْجُمْلَةِ فِى اْلأَيَةِ الْوَاحِدَ ةِ أَوْبَيْنَ اْلأَيَةِوَاْلأَيَةِ فِى اْلأَيَةِ الْمُتَعَدِّدَةِأَوْبَيْنَ السُّوْرَةِوَالسُّوْرَةِ.
Artinya:
“Munasabah adalah sisi
keterkaitan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antarayat pada
beberapa ayat, atau antar surat (di dalam al-Qur’an).”
2. Menurut Ibn Al-‘Arabi
إِرْتِبَاطُ أَيِّ الْقُرْآنِ بَعْضِهَابِبَعْضٍ حَتَّى تَكُوْنَ كَا لْكَلِمَةِ الْوَاحِدَةِمُتَّسِقَةِ الْمَعَانِيْ مُنْتَظِمَةِ الْمَبَانِيْ,عِلْمٌ عَظِيْمٌ.
Artinya:
“Munasabah adalah
keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan
yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu
yang sangat agung.”
3. Menurut Al-Biqa’i
“Munasabah adalah suatu
ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan
bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.”
Dalam Ulumul Qur’an,
munasabah berarti menjelaskan kolerasi makana antarayat atau antarsurat, baik
kolerasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy),
atau imajinatif (khayali); tau kolerasi berupa sebab-akibat, ‘llat dan ma’lul,
perbandingan, dan perlawanan dikutip dari buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
karya Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki Al-Husni.
2.2 Sejarah dan Perkembangan Ilmu Munasabah
Kitab suci Al-Qur’an
diturunkan selama 22 tahun lebih beberapa bulan. Kitab inin berisi berbagai
macam petunjuk yang di syari’atkan karna beberapa sebab dan hikmah yang
bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang
membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surat-suratnya ditertibkan sesuai dengan
yang terdapat dalam lauh mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara
ayat yang satu dengan yang lain yang antara surat yang satu dengan surat yang
lainnya.
Lahirnya pengetahuan
tentang teori korelasi(munasabah) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa
sistematika al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam mushaf Usmani sekarang tidak
berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf
berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam al-Qur’an. Segolongan dari
mereka berpendapat bahwa hal itu di dasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW.
Golongan lain berpendapat bahwa hal itu di dasarkan atas ijtihad para sahabat
setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adalah tauqifi.
Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat
al-Anfal(8) dan Bara’ah(9) yang dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama diatas di
dukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakar Ibn
Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua di dukung oleh Malik,
Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan
pendapat ketiga di anut oleh Al-Baihaqi. Salah satu penyebab perbedaan pendapat
ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya.
Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang
di mulai dengan ayat Iqra’, kemudian mushaf Ibn Mas’ud di mulai dengan surat
Al-Baqarah(2), An-Nisa’(4) lalu surat Al-Imran(3) dikutip dari Jalaluddin
As-Suyuthi dari bukunya yang berjudul Asrar Tartib Al-Qur’an.
Atas dasar perbedaan
pendapat tentang sistematika ini, wajarlah jika masalah teori korelasi
al-Qur’an kurnag mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum
al-Qur’an. Ulama yang pertama kali menaruh perhatian pada masalah ini, menurut
as-Suyuthi, adalah Syekh Abu Bakar An-Naisaburi (324 H), kemudian menyusul
beberapa Ulama ahli tafsir seperti Abu Ja’far bin Jubair dalam kitabnya Tartib
As-Suwar al-Qur’an, Syekh Burhanuddin Al-Biqa’i dengan bukunya Nazhm Ad-Durar
fi Tanasub Al-Ayyi wa As-Suwar, As-Suyuthi sendiri dalam bukunya Asrar
Al-Tartib al-Qur’an dikutip dari buku karya Jalaluddin As-Suyuthi yang berjudul
Asrar Tartib Al-Qur’an. Di antara ulama lain yang menulis dalam bidang ini
adalah Abu Ja’far Ahmad bin Ibrahim bin Al-Zubair Al-Andalusi(807 H) dalam
karyanya Al-Burhan fi munasabah tartib suwar al-Qur’an. Dalam konteks ini,
Tafsir Al-Kabir yang ditulis oleh Fakr Ar-Razy merupakan sebuah kitab tafsir
yang banyak mengemukakan sisi munasabah dalam al-Qur’an.
2.3 Urgensi Ilmu Munasabah
Sebagaimana asbab dan
an-nuzul, munasabah berperan dalam memahami al-qur’an. Muhammad ‘Abdullah
Darraz berkata:”sekalipun permasalahan-permasalahan yang diungkapkanoleh
surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal
dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika
surat semestinyalah ia memerhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga
memerhatikan segala permasalahannya.” Dikutip dari buku karya ‘Abdullah
Ad-Darraz yang berjudul An-Naba’ Al-‘Azhim, Dar Al-‘Urubah.
Disamping itu, para ulama
bahwa Al-qur’an ini, yang diturunkan dalam tempo 20 tahun lebih dan mengandung
bermacam-macam hukum karena sebab yag berbeda-beda, sesungguhnya memiliki
ayat-ayat yang mempunyai hubungan erat, hingga tidak perlu lagi mencari asbab
nuzulnya, karena pertautan satu ayat dengan ayat lainnya sudah bisa
mewakilinya. Berdasarkan prinsipiyu pulalah, Az-Zarkasyi mengatakan bahwa jika
tidak ada asbab an-nuzul, yang lebih utama adalah mengemukakan munasabah.
Lebih jauh lagi, kegunaan
mempelajari ilmu Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut (dikutip dari buku
Abdul Djalal dengan judul Ulumul Quran):
1. Dapat mengembangkan bagian anggapan
orang bahwa tema-tema Al-qur’an kehilangan nya antara satu bagian dan bagian
yang lainnya. Contohnya terhadap firman Allah dalam surat Al-baqarah [2] ayat
189:
يَسْئَلُوْ نَكَ عَنِ الْاَهَلَّةِ. قُلْ هِيَ مَوَاقِيْتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ. وَلَيْسَ الْبِرُّبِاَنْ تَأْتُواالْبُيُوْتَ مِنْ ظُهُوْرِهَاوَلَكِنَّ الْبِرَّمَنِ اتَّقَى. وَأْتُواالْبُيُوْتَ مِنْ اَبْوَابِهَاوَاتَّقُوااللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ.
Artinya:
“Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: “ bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu
bagi mnausia dan (bagi ibadat); Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertaqwa. Dan
masuklah kerumah-rumah itu dari pintunya; dan bertaqwalah kepada Allah agar
kamu beruntung.”(Q.S Al-Baqarah:189).
Orang yang membaca ayat tersebut akan
bertanya-tanya: Apakah kolerasi antara pembicaraan bulan sabit dengan
pembicaraan mendatangi rumah. Dalam menjelaskan munasabah antara kedua
pembicaraan itu, Az-zarkasy menjelaskan:
“ Sudah diketahui bahwa
ciptaan Allah mempunyai hikmah yang jelas dan mempunyai kemaslahatan bagi
hamba-hamba-Nya, maka tinggalkan pertanyaan tentang hal itu, dan perhatikanlah
sesuatu yang engkau anggap sebagai kebaikan, padahal sama sekali bukan
merupakan sebuah kebaikan.” Dikutip dari pendapat Al-Zarkasyi.
2. Mengetahui atau persambungan/hubungan
antara bagian Al-qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar
surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab
Al-qur’an dan memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.
3. Dapat diketahui mutu dan tingkat
ke-balaghah-an bahasa Al-qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan
yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
4. Dapat membantu dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-qur’an setelah diketahui huungan suatu kalimat atau ayat dengan
kalimat atau ayat yang lainnya.
2.4 Macam-Macam Ilmu Munasabah
Di dalam kitab suci umat
Islam Al-Qur’an sekurang-kurangnya ada tujuh macam munasabah, yakni:
1) Munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan
bahwa munasabah antarsatu surat dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan
atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumnya.[2]
Salah satu contohnya yakni
pada surat Al- Fatihah ayat 1 dimana terdapat ungkapan Alhamdulillah. Di surat
lain juga ada ungkapan Alhamdulillah tersebut untuk berkolerasi dengan
ayat sebelumnya yakni dalam surat Al-
Baqarah ayat 152 dan 186:
فَاذْكُرُوْنِي اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْلِيْ وَلاَتَكْفُرُوْنِ.(البقرة:152)
Artinya:
“Karena itu, ingatlah kamu
kepada-ku niscaya aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 152)
وَاِذَاسَآَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ.اُجِيْبُ دَعْوَةَالدَّاعِ اِدَعَانِ فَلْيَسْتَجِيْبُوْالِيْ وَلْيُؤْمِنُوْابِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ. (البقرة: 186)
Artinya:
“Dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya,’Aku
adalah dekat’. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, makahendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah
mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al-
Baqarah: 186)
Contoh lainnya adalah
terdapat dalam Surat Al- Fatihah yakni ungkapan “rabb al-alamin” yang kolerasi
dengan Surat Al- Baqarah ayat 21-22:
يَآيُّهَاالنَّاسُ اعْبُدُوْارَبَّكُمُ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ وَالَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ~ الَّذِيْ جَعَلَ لَكُمُ اْلاَرْضَ فِرَاشًاوَالسَّمَآءَبِنَآءً,وَاَنْزَلَ مِنَ السَّمَآءِمَآءًفَاَخَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًالَّكُم. فَلاَتَجْعَلُوْالِلَّهِ انْدَادًاوَّاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ.(البقرة:22-21)
Artinya:
“Hai manusia, sembahlah
Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelumnya, agar kamu
bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit
sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan)dari langit, lalu Dia menghasilkan
dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu, karena itu
janganlah kamu mengada-adakan sekutu-sekutubagi Allah, padahal kamu
mengetahui.” (QS. Al- Baqarah: 21-22)
Nasr Abu Zaid mengemukakan
pendapat yang berkaitandengan munasabah yang macam ini. Dimana ia menjelaskan
bahwa adanya hubungan khusus antara surat al- Fatihah dengan surat al- Baqarah
adalah bagian dari hubungan stilistika kebahasaan. Hal ini terjadi karena dalam
akhir surat al- Fatihah menyatakan adanya arti do’a. Sedangkan pada awal surat
al- baqarah diterangkan tentang jawaban dari do’a tersebut. Sehinggga terjadi
kesinambungan antara keduanya.
2) Munasabah antar nama surat dan tujuan
diturunnya
Setiap surat memiliki tema
pembicaraan yang menonjol, hal tersebut tercermin dalam nama-nama surat berikut
ini: surat al- Baqarah, surat an- Naml, surat Yusuf, dan surat Al- Jinn.berikut
adlah surat al-Baqarah ayat 67-71:
وَاِذْقَالَ مُوْسَى لِقَوْمِهِ اِنَّ اللَهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تَذْ بَحُوْابَقَرَةً. قَالُوْآاَتَتَّخِذُنَاهُزُوًا. قَالَ اَعُوْذُبِا اللَهِ انْ اَكُوْنَ مِنَ الْجَهِلِيْنَ. قَالُواادْعُ لَنَارَبَّكَ يُبَيٍّنْ لَّنَامَاهِيَ. قَالَ اِنَّهُ يَقُوْلُ اِنَّهَابَقَرَةٌلاَّفَارِضٌوَّلاَبِكْرٌ. عَوَانٌ بَيْنَ ذَالِكَ. فَافْعَلُوْامَاتُؤْمَرُوْنَ. قَالُواادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَّنَامَالَوْنُهَا. قَالَاِنَّهُ يَقُوْلُاِنَّهَابَقَرَةٌصَفْرَآءُفَاقِعٌ لَوْنُهَاتَسُرُّالنَّاظِرِيْنَ.قَالُواادْعُ لَنَارَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَامَاهِيَ اِنَّالْبَقَرَتَشَبَهَ عَلَيْنَا. وَاِنَّآاِنْشَآءَاللَهُ لَمُهْتَدُوْنَ. قَالَ اِنَّهُ يَقُول اِنَّهَابَقَرَةٌلاَّذَلُوْلٌ تُثِيْرُالاَرْضَ وَلاَتَسْقِى الْحَرْثَ. مُسَلَّمَةٌ-لاَّشِيَةَ فِيْهَا. قَالُوْاالْئَنَ جِئْتَ بِالْحَقِّ فَذَبَحُوْهَاوَمَاكَادُوْايَفْعَلُوْنَ. (البقرة:
71-67)
Artinya:
“Dan (ingatlah), ketika
Musa berkata kepada kaumnya, ‘sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih
seekor sapi betina.’ Mereka berkata, ‘Apakah kamu hendak menjadikan kami buah
ejekan?’ Musa menjawab, ‘Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah
seorang daroi orang-orang yang jahil’. Mereka menjawab,’ Mohonkanlah kepada
Tuhanmu untuk kami agar Dia mnerangkan kepada kami apa warnanya’. Musa
menjawab, ‘Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adlah sapi betina
yang kuning tua warnanya, lagi menyenangkan orang-orang yang memandangnya.’
Mereka berkata, ‘Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami agar Dia menerangkan
kepada kami bagaimana hakikat sapi betina itu, karena sesungguhnya sapi itu
(masih)samar bagi kami dan sesungguhnya kami insya Akan mendapat petunjuk
(untuk memperoleh sapi sapi itu).’ Musa berkata, ‘Sesungguhnya Allah berfirman
bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk
membajak sawah dan tidak pula untuk mengairi tanaman, tidak becacat, tidak ada
belangnya’ Mereka berkata, ‘Sekarang barulah kami menerangkan hakikat sapi
betina yang sebenarnya.’ Kemudian, mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka
tidak melaksanakan perintah itu.” (QS. Al-Baqarah: 67-71)
Inti pembicaraan tentang sapi
betina pada surat Al- baqarah di atas yakni kekuasaan Tuhan membangkitkan orang
mati. Jadi, tujuan surat ini adalah tentang kekuasaan Allah SWT dan iman
terhadap hari kiamat dan kehidupan setelahnya.
3) Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah macam ini sering
berbentuk pola munasabah Al- Tandhadat (perlawanan). Hal tersebut dapat dilihat
pada firman Allah yang berbunyi:
هُوَالَّذِيْ خَلَقَ السَّمَوَتِ وَالْاَرْضَ فِيْ سِتَّةِاَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَاى عَلَى الْعَرْشِ. يَعْلَمُ مَايَلِجُ فِى الْاَرْضِ وَمَايَخْرُجُ مِنْهَاوَمَايَنْزِلُ مِنَ السَّمَآءِوَمَايَعْرُجُ فِيْهَا. وَهُوَمَعَكُمْ اَيْنَ مَاكُنْتُمْ. وَاللَه بِمَاتَعْمَلُوْنَ بَصِيْرٌ. (احديد: 4)
Artinya:
“Dialah yang menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian, Dia bersemayam di atas Arsy Dia
mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya dan apa
yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu diman
a saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-
Hadid: 4)
Antara kata “yaliju”
(masuk) dengan kata “yakhruju” (keluar),
serta kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju” (naik) terdapat kolerasi
perlawanan. Contoh lainnya adalah kata “Al-‘adzab” dan “Ar-rahmah” dan janji
baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat dijumpai dalam surat Al-
Baqarah, An-Nisa, dan surat Al- Maidah.[3]
4) Munasabah antarayat yang letaknya
berdampingan
Munasabah jenis ini ada
yang terlihat jelas namun ada juga yang tidak. Munasabah antarayat yang
terlihat dengan jelas umumnya menggunakan pola ta’kid (penguat), tafsir
(penjelas), i’tiradh (bantahan), dan tasydid (penegasan).[4]
Yang menggunakan pola ta’kid apabila
ayat disampingnya diterangkan dan diperkuat maknanya oleh salah satu ayat
maupun bagian ayat. Dengan kata lain suatu ayat menguatkan isi kandungan ayat
lainnya.[5] Berikut adalah firman Allah SWT yang berbunyi:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبَّ الْعَلَمِيْنَ. (الفاتحة: 2-1)
Artinya:
“dengan menyebut nama
Allah yang Maha Pengaih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan
semesta Alam.” (QS. Al- Fatihah: 1-2)
Sedangkan yang menggunakan
pola tafsir yakni apabila terdapat ayat atau salah satu bagian ayat yang ada di sampingnya menafsirkan makna ayat
tersebut. Contoh firman Allah SWT:
ذَلِكَ الْكِتَبُ لاَرَيْبَ"فِيْهِ"هُدً ى لِلْمُتَّقِيْنَ. الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلَوةَ وَمِمَّارَزَقْنَهُمْ يُنْفِقُوْنَ. (البقرة: 3-2)
Artinya:
“Kitab Al- Qur’an ini
tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (yaitu) mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian
rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” (QS. Al- Baqarah: 2-3)
Makna “muttaqin” pada ayat
kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demikian, orang yang beriman adalah
orang yang beriman pada hal-hal ghaib, mengerjakan sholat, dan seterusnya.[6]
Yang dimaksud dengan pola
i’tiradh yakni apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya
dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua
kalimat yang berhubungan maknanya. Sebagai contoh adalah firman Allah yang
bunyinya:
وَيَجْعَلُوْنَ لِلَّهِ الْبَنَتِ سُبْحَنَهُ وَلَهُمْ مَايَشْتَهُوْنَ. (النحل: 57)
Artinya:
“Dan mereka menetapkan
bagi Allah anak-anak perempuan. Mahasuci Allah, sedang untuk mereka sendiri
(mereka tetapkan) apa yng mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki).” (QS.
An-Nahl :57)
Kata “subhanallah” pada
ayat di atas merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata
itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak
perempuan bagi Allah.[7]
Munasabah antarayat yang
selanjutnya yakni dengan polatasydid dimana suatu ayat berfungsi mempertegas
suatu ayat yang ada di sampingnya. Salah satu contohnya ada di surat Al-
Fatihah ayat 6-7:
اِهْدِنَاالصِّرِاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ انْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلاَالضَّآلِّيْنَ. (الفاتحة:
7-6)
Artinya:
“Tunjukilah kami jalan
yang lurus,( yaitu) jalan orang-orang yangtelah Engkau beri nikmat kepaada
mereka. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang
sesat. (QS. Al- Fatihah: 6-7)
Pada kata “Ash-shirath Al-mustaqim
dipertegas oleh ayat selanjutnya yang berbunyi “shirathalladzina....”. kedua
ungkapan tersebut saling memperkuat ditandai huruf athaf (langsung ) maupun
tanpa huruf athaf (tidak langsung).
Sedangkan munasabah
antarayat yang tidak jelas bisa diketahui melalui qara’in ma’nawiyyah (hubungan
makna) yang dapat dilihat pada keempat pola munasabah.
Pola pertama yakni
At-tanzir (perbandingan), yakni antara ayat yang berdampingan tersebut terlihat
perbandingannya. Seperti yang da dlam firman Allah berikut ini:
اُولَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَحَقَّا. لَهُمْ دَرَجَتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌوَّرِزْقٌ كَرِيْمٌ. كَمَآاَخْرَجَكَ رَبُّكَ مِنْ بَيْتِكَ بِا لْحَقِّ وَاِنَّ فَرِيْقًامِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ لَكَرِهُوْنَ. (الانفال: 5-4)
Artinya:
“itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka
akan memperoleh bebrapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana
Tuhanmu menyuruhmu pergi dan rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya
sebagian dari orang-orang yang beriman itu idak menyukainya.” (QS. Al- Anfaal:
4-5)
Pada ayat yang kelima
disebutkan meski para sahabat Rasul tidak menyukainya namun Allah menyuruh
Rasul untuk tetap melaksanakannya. Sedangkan pada ayat yang keempat Allah
memerintahkan untuk pergi keluar rumah untuk berperang. Dalam kedua ayat ini
terdapat perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap ketidaksukaan
mereka untuk berperang serta pembagian ghanimah oleh Rasul.
Selanjutnya adalah munasabah
pola al- mudharat, yaitu dua ayat berurutan yang memperbincangkan dua hal yang
berlawanan seperti surga dan mereka dan neraka serta kafir dan iman.[8] Seperti
yang ada dalam surat An- Nisa’ ayat 150-152:
إِنَّ آلَّذِيْنَ يَكْفُرُوْنَ بِآللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يُفَرِّقُوْابَيْنَ آللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَيَقُوْلُوْنَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُبِبَعْضٍ وَيُرِيْدُوْنَ أَنْ يَتَّخِذُواْبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً. أُوْلَىَئِكَ هُمُ آالْكَفِرُوْنَ حَقًا. وَأَعْتَدْنَالِلْكَفِرِيْنَ عَذَابًامُّهِيْنًا. وَآلذِّيْنَءَامَنُواْبِآللَّهِ وَرُسُلِهِ. وَلَمْ يُفَرِّقُوأبَيْنَ أَحَدٍمِّنْهُمْ أُولَىَئِكَ سَوْفَ يُؤْتِيهِمْ أُجُوْرَهُمْ. وَكَا نَ آللَّهُ غَفَرُورًارَّحِيمًا.
Artinya:
“Sesunggunhnya orang-orang
yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulnya-Nya, dan bermaksud memperbedkan
antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “kami
beriman kepada yang sebagian dan Kami kafir terhadap yang sebagian (yang
lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah)di antara
yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir
sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu
siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para
rasul-nya dan tidak membedakan-membedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan
kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.”
Sebenarnya apabila dikaji
melalui zhahirnya sama seklai tidak ada hubungan antar ayat-ayat di atas.
Keduanya juga tidak dihubungkan oleh waw ‘athaf. Namun, apabila dikaji lebih
jauh akan terlihat hubungannya dimana dalam Al- Qur’an disebutkan mengenai iman
dan taqwa dan sering didampingi oleh kafir. Hal tersebut sebagai motivasi agar
orang yang beriman tidak terjerumus menjadi orang kafir. Oleh karena itu
munasabah pola ini disebut berlawanan. Dalam contoh kali ini adalah iman dan
kafir.
Pola munasabah selanjutnya
adalah istishrad (sampai), yakni perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah
sampai kepada hal lain yang tidak berkaitanlangsung dengan masalah yang sedang
diperbincangkan,tetapi hukumnya sama dengan hal yang diperbincangkan itu.[9]
Berikut adalah contoh dari pola munasabah ini (surat Al-A’raf: 26):
يَبَنِيْ آدَمَ قَدْاَنْزَلْنَاعَلَيْكُمْ لِبَاسًايُّوَارِيْ سَوْاَتِكُمْ وَرِيْشًا. وَلِبَاسُالتَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُوْنَ. (الاعراف: 56)
Artinya:
“Hai anak Adam,
sesunggunhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan
pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang
demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan
mereka selalu ingat.”
Ungkapan “walibaasut
taqwa” tidak ada hubungannya dengan kalimat sebelumnya dalam ayat tersebut.
Sebab kalimat sebelumnya menjelaskan tentang pakaian penutup aurat secara fisik
sedangkan yang selanjutnya menjelaskan tentang pakaian taqwa (bukan pakaian
fisik). Namun hubungannya terlihat bahwa pakaian sebagai penutup aurat
merupakan bagian dari ketaqwaan seseorang.
Munasabah antar ayat
terakhir yang hubungannya tidak jelas yakni munasabah takhallush. Munasabah
pola ini dapat dilihat pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud
tertentu secara halus. Misalnya, dalam surat A- A’raf, mula-mula Allah
berbicara tentang para nabi dan umat terdahulu, kemudian tentang Nabi Musa dan
para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang nabi Muhammad dan
umatnya.[10]
5) Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan
kelompok ayat di sampingnya
Dalam surat Al- Baqarah
ayat 1 sampai ayat 20, misalnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran
dan fungsi Al- Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat
berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka yang
berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.[11]
6) Munasabah antarfashilah (pemisah) dan
isi surat
Munasabah ini mnegandung
beberapa tujuan tertentu seperti, menguatkan makna yang terkandung dalam suatu
ayat. Hal ini dapat dilihat dalam surat Al- Ahzab ayat 25:
وَرَدَّاللَّه الَّذِيْنَ كَفَرُ وْابِغَيْظِهِمْ لَمْ يَنَالُوْاخَيْرًا. وَكَفَى اللَّهُ الْمُؤْمِنِيْنَ الْقِتَا لَ. وَكَانَ اللَّهُ قَوِيًّا عَزِيْزًا. (الاحزاب:25)
Artinya:
“Dan Allah menghalau orang
-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka
tidak memperoleh keuntungan apapun. Dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin
dari peperangan. Dan adalah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.(QS. Al- Ahzab:
25)
Dalam surat ini dijelaskan
bahwa umat muslim dihindarkan oleh Allah dari sebuah peperangan bukan karena
umat muslim lemah namun karena Allah Maha Kuat lagi Maha Kuasa.
Tujuan selanjutnya
munasabah jenis ini adalah memberi penjelasan tambahan. Misalnya dalam surat
An- Naml ayat 80:
اِنَّكَ لاَتُسْمِعُ الْمَوْتَى وَلاَتُسْمِعُ الصُّمَّ الدُّعَآءَاِذَاوَلَّوْامُدْبِرِيْنَ. (النمل: 80)
Artinya:
“Sesungguhnya kamu tidak
dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan
orang-orang yang tuli mendengar panggilan apabila mereka telah berpaling
membelakang.” (QS. An- Naml:80)
Kalimat “idza wallau
mudbirin” merupakan penjelasan tambahan terhadap makna orang tuli.[12]
7) Munasabah antarawal surat dengan akhir
surat yang sama
Salah satu contohnya
terdapat pada surat Al- Qashas dimana dijelaskan tentang Nabi Musa yang
mengahadapi tekanan dari Raja Firaun yang akhirnya ia berhasil keluar dari
Mesir. Sedangkan pada akhir surat diterangkan bagaimana perjuangan Nabi
Muhammad mengalami tekanan (juga) saat melakukan dakwanya. Kesamaan kondisi
kedua Nabi inilah yang menjadi munasabah dalam surat ini.
8) Munasabah antar-penutup suatu surat
dengan awal surat berikutnya
Sekalipun tidak mudah
untuk menemukannya, setiap awal surat akan ada munasabah dengan akhir surat
yang sebelumnya. Berikut adalah contohnya dalam surat Al- Hadid ayat 1:
سَبَّحَ لِلَّهِ مَافِى السَّمَوَتِ وَالْاَرْضِ. وَهُوَالْعَزِيْزُالْحَكِيْمُ. (الحديد:1)
Artinya:
“Semua yang berada di
langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran
Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al- Hadid: 1)
فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيْمِ. (الواقعة: 96)
Artinya:
“Maka bertasbilah denganj
(menyebut) nama Rabbmu Yang Maha Besar.
Kedua ayat ini memiliki
hubungan dimana ayat terakhir dari surat Al- Waqiah memerintahkan untuk
bertasbih kepada Allah SWT. Begitu pula pada awal surat Al- Hadid.
2.5 Metode Menentukan Munasabah
Pengetahuan tentang
munasabah bersifat ijtihad, artinya pengetahuan tentang itu ditentukan
berdasarkan ijtihad para ulama. Nabi tidak menetapkan pengetahuan tersebut.
Oleh karena itu tidak ada kewajiban untuk mencari munasabah pada setiap ayat
atau surat. Walaupun tidak ada keharusan untuk menemukan munasabah, namun ada
empat langkah yang perlu diperhatikan bagi para peminat munasabah, yakni:
1. Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu
surat yang menjadi objek pencarian.
2. Memperhatikan uraian ayat-ayat yang
sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
3. Menentukan tingkatan uraian-uraian
tersebut, apakah ada hubungannya atau tidak.
4. Setelah kita memahami uraian-uraian
ayat, maka kita mulai menentukan tingkatan uraian-uraian tersebut sehingga
sampai pada kesimpulan bahwa ayat atau surat ini mempunyai atau tidak mempunyai
hubungan satu sama lain.
5. Dan yang terakhir, dalam mengambil
kesimpulannya, hendaknya memperhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar
dan tidak berlebihan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ilmu Munasabah berarti
menjelaskan kolerasi makana antarayat atau antarsurat, baik kolerasi itu
bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif
(khayali); tau kolerasi berupa sebab-akibat, ‘llat dan ma’lul, perbandingan,
dan perlawanan dikutip dari buku Mutiara Ilmu-Ilmu Al-Qur’an karya Muhammad bin
‘Alawi Al-Maliki Al-Husni.
Kegunaan mempelajari ilmu
Munasabah dapat dijelaskan sebagai berikut (dikutip dari buku Abdul Djalal
dengan judul Ulumul Quran):
5. Dapat mengembangkan bagian anggapan
orang bahwa tema-tema Al-qur’an kehilangan nya antara satu bagian dan bagian
yang lainnya.
6. Mengetahui atau persambungan/hubungan
antara bagian Al-qur’an, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar
surat.
7. Dapat diketahui mutu dan tingkat
ke-balaghah-an bahasa Al-qur’an dan konteks kalimat-kalimatnya yang satu dengan
yang lainnya, serta persesuaian ayat atau surat yang satu dari yang lain.
8. Dapat membantu dalam menafsirkan
ayat-ayat Al-qur’an setelah diketahui huungan suatu kalimat atau ayat dengan
kalimat atau ayat yang lainnya.
Sedangkan macam-macam Ilmu
Munasabah dibagi menjadi delapan, yakni:
1. Munasabah antarsurat dengan surat
sebelumnya
2. Munasabah antar nama surat dan tujuan
diturunnya
3. Munasabah antar bagian suatu ayat
4. Munasabah antarayat yang letaknya
berdampingan
5. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan
kelompok ayat di sampingnya
6. Munasabah antarfashilah (pemisah) dan
isi surat
7. Munasabah antarawal surat dengan akhir
surat yang sama
8. Munasabah antar-penutup suatu surat
dengan awal surat berikutnya
DAFTAR PUSTAKA
Djalal, Abdul. Ulumul
Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2013
Anwar, Rosihon. Ulum Al-
Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
https://dedikayunk.wordpress.com/2014/11/19/munasabah-dalam-al-quran/
(diakses tangal 12 April 2016 pukul 16:25 WIB)
M. Yusuf, Kadar. Studi Al-
Qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.
[1] Rosihon Anwar, Ulum
Al- Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 82.
[2] Ibid, hlm. 84.
[3] Ibid, 89.
[4] Ibid, 89.
[5] Kadar M. Yusuf, Studi
Al- Qur’an, (Jakarta: Amzah, 2012), 98.
[6] Rosihon Anwar, Op.
cit., hlm. 90.
[7] Ibid.
[8] Kadar M. Yusuf, Op.
cit., hlm. 101.
[9] Ibid, 102.
[10] Rosihon Anwar, Op.
cit., hlm. 92.
[11] Ibid.
[12] Ibid, 93.