MAKALAH ULUMUL QUR'AN "MAKKI DAN MADANI"

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    Latar Belakang

Al-Qur’anul Karim adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan oleh Allah kepada Rasulullah, Muhammad SAW. Untuk mengeluarkan manusia dari zaman yang dipenuhi kegelapan menuju zaman yang terang benderang, serta membimbing manusia kejalan yang lurus. Rasulullah SAW. Menyampaikan Al-Qur’an itu kepada para sahabatnya –orang-orang Arab asli– sehingga mereka dapat memahami isi Al-Qur’an berdasarkan naluri mereka. Apabila mereka mengalami kesulitan dalam memahami ayat Al-Qur’an, mereka dapat menanyakan langsung kepada Rasulullah SAW.

Ayat-ayat Al-Qur’an ada yang diturunkan dikota Makkah dan sekitarnya dan ada juga yang diturunkan dikota Madinah dan sekitarnya, sehingga dalam Al-Qur’an ada surah yang diberi nama surah Makkiyah dan ada pula surah yang diberi nama surah Madaniyah.

 

B.     Rumusan Masalah

1.    Apa definisi Makki dan Madani ?

2.    Apa macam-macam norma perbedaan antara Makki dan Madani ?

3.    Bagaimana ketentuan dan ciri khas dari Makki dan Madani ?

 

C.    Maksud dan Tujuan

1.    Mahasiswa mampu menjelaskan perihal definisi Makki dan Madani.

2.    Mahasiswa mampu memahami norma perbedaan antara Makki dan Madani.

3.    Mahasiswa mampu memahami dan mengetahui ketentuan dan ciri khas Makki dan Madani.

 

D.    Manfaat

1.    Untuk mengetahui definisi dari Makki dan Madani.

2.    Untuk mengetahui norma perbedaan antara Makki dan Madani.

3.    Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan dan ciri khas Makki dan Madani.

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Definisi Makki dan Madani

Disini ada empat hal yang perlu dicermati dalam mendefinisikan Makki dan Madani yaitu masalah ruang, waktu, subyek dan konten seperti yang dijadikan rujukan dan acuan oleh para Ulama’.

Bagi mereka yang mengartikannya mengacu pada ruang, mereka mengatakan:

Makkiyyah ialah surah-surah dan atau ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi SAW. ketika sedang berada di Makkah atau sekitarnya, baik sebelum beliau berhijrah ke Madinah atau sesudahnya, termasuk ke dalam kategori ini adalah ayat-ayat yang diturunkan saat beliau sedang berada di Mina, Arafah, Hudaibiyah, dan sebagainya. Sedangkan Madaniyyah ialah surah-surah atau ayat-ayat yang diturunkan di Madinah dan daerah di sekitarnya, termasuk dalam kelompok ayat ini adalah ayat-ayat yang diturunkan pada saat Nabi berada di Badar, Uhud dan sekitarnya.[1]

Bagi mereka yang mengacu pada periode waktu mengatakan bahwa:

Makkiyyah ialah surah-surah atau ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan sebelum Nabi SAW. berhijrah dari Makkah  ke Madinah meski ayat-ayat itu diturunkan di luar kota Makkah. Sedangkan Madaniyyah ialah ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan setelah Nabi SAW. berhijrah ke Madinah meski turunnya di Makkah atau daerah-daerah lainnya.[2]

Bagi mereka yang mengacu kapada al-Mukhathab yaitu: subyek dari surah-surah atau ayat-ayat yang diturunkan, sehingga mereka memberi batasan pemaknaan sebagai berikut:

Makkiyyah ialah surah-surah atau ayat-ayat yang ditujukan kepada penduduk Makkah. Ayat-ayat itu umumnya di mulai dengan lafal : “yâ ayyuha al-nâs”, “yâ ayyuha al-kâfirûn”, yâ banî âdam”. Diawalinya ayat-ayat Makkiyyah dengan lafal-lafal tersebut adalah karena kebanyakan dari penduduk Makkah saat itu terdiri dari orang-orang kafir dan musyrik. Sedangkan Madaniyyah ialah ayat-ayat al-Qur’an yang ditujukan kepada penduduk Madinah. Ayat-ayat tersebut biasanya diawali dengan lafal: “yâ ayyuha al-ladzîna âmanû”. Diawali-nya dengan lafal yang demikian itu karena mayoritas penduduk  Madinah itu adalah terdiri dari orang-oarang beriman, meski juga penduduk lainnya ikut terpanggil dalam ayat tersebut.[3]

Terakhir, bagi mereka yang mengacu pada konten memeknainnya sebagai berikut:

Makkiyyah ialah surah-surah dan atau ayat-ayat al-Qu’an yang menampilkan cerita-cerita mengenai para Nabi dan umat-umat terdahulu, baik menyangkut kejayaan maupun kehancuran (khususnnya bagi umat-umat itu). Sedangkan Madaniyyah ialah surah-surah dan atau ayat-ayat yang memuat mengenai berbagai ketentuan hukum seperti hudud, fara’idl dan lain dan sebagianya.[4]

Hal ini berdasarkan pada riwayat yang dinukil dari Hisyam dari ayahnya, yaitu al-Hakim yang mengatakan yang artinya sebagai berikut:

Setiap surah yang didalamnya disebutkan hukum-hukum, fara’idl adalah termasuk kategori Madaniyyah, dan setiap surah yang didalamnya disebut  kejadian-kejadian masa lalu maka ia adalah termasuk ayat-ayat Makkiyyah.[5]

Ø  Perhatian ulama terhadap ayat-ayat Makki dan Madani

Para ulama sangat antusias dalam  menyelidiki mengenai ayat-ayat Makkiyyah dan Madaniyyah. Mereka meneliti Al-Qur’an ayat demi ayat dan surah demi surah untuk ditertibkan sesuai dengan turunnya, dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat. Itu semua guna untuk memberikan suatu gambaran yang jelas terhadap peneliti mengenai kebenaran ilmiah tengtang ilmu makkiyah dan madaniyah.

Merupakan suatu kerja keras bila seorang peneliti menyelidiki turunnya wahyu dalam segala tahapannya, mengkaji ayat-ayat serta kapan dan dimana turunnya. Dengan bantuan tema surat atau ayat, lalu merumuskan kaidah-kaidah analogis terhadap struktur sebuah seruan itu, apakah ia termasuk Makki atau Madani, ataukah ia termasuk tema-tema yang menjadi titik tolak dakwah di Makkah atau di Madinah. Apabila terdapat suatu masalah masih kurang jelas bagi seorang peneliti karena terlalu banyak ragamnya, maka ia akan mengumpulkan, membandingkan dan mengklasifikasikannya mana yang turun di Makkah dan mana pula yang turun di Madinah.

Apabila ayat-ayat itu turun di suatu tempat, kemudian oleh salah seorang sahabat dibawa segera setelah di turunkan untuk disampaikan di tempat lain, maka para ulama pun akan menetapkan seperti itu. Mereka berkata: “Ayat ini dibawa dari Makkah ke Madinah, dan ayat ini dibawa dari Madinah ke Makkah.”

Abul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib An-Naisaburi menyebutkan dalam kitabnya At-Tanbih ‘Ala fadhli ‘Ulum Al-Qur’an, “Di antara ilmu-ilmu Al-Qur’an yang paling mulia adalah ilmu tentang nuzul Al-Qur’an dan wilayahnya; urutan turunnya di Makkah dan Madinah, tentang hukumnya yang diturunkan di Makkah tetapi mengandung hukum tentang hukumnya yang diturunkan di Madinah dan sebaliknya; serupa dengan yang diturunkan di Makkah, tetapi menyangkut penduduk Madinah dan sebaliknya; serupa dengan yang diturunkan di Makkah, tetapi pada dasarnya termasuk Madani dan sebaliknya. Juga tentang yang diturunkan di Juhfah, di Baitul Maqdis, di Tha’if atau di Hudaibiyah. Demikian juga yang diturunkan di waktu malam, di waktu siang; diturunkan secara bersama-sama.[6] atau yang turun secara tersendiri; ayat-ayat Makki dalam surah-surah Madani; yang dibawa dari Makkah ke Madinah dan sebaliknya;dan dari Madinah ke Habasyah;[7] yang diturunkan dalam bentuk global dan yang telah dijelaskan; serta yang diperselisihkan sehingga sebagian orang mengatakan Madani dan sebagian lagi mengatakan Makki. Orang yang tidak mengetahui dan tak dapat membeda-bedakannya, ia tidak berhak berbicara tentang Al-Qur’an.”[8]

Yang terpenting dalam obyek kajian para ulama dalam pembahasan ini adalah:

1.      Yang diturunkan di Makkah.

2.      Yang diturunkan di Madinah.

3.      Yang diperselisihkan.

4.      Ayat-ayat Makki dalam surah-surah Madani.

5.      Ayat-ayat Madani dalam surah-surah Makki.

6.      Yang diturunkan di Makkah namun hukumnya Madani.

7.      Yang diturunkan di Madinah yang hukumnya Makki.

8.      Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok Madani.

9.      Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalan kelompok Makki.

10.  Yang dibawa dari Makkah ke Madinah.

11.  Yang dibawa dari Madinah ke Makkah.

12.  Yang turun di waktu malam dan di waktu siang.

13.  Yang turun di musim panas dan musim dingin.

14.  Yang tutun di waktu menetap dan perjalanan.

Inilah macam-macam ilmu Al-Qur’an yang pokok, berkisar di sekitar Makkiyah dan Madaniyah. Oleh karena itu dinamakan sebagai “Ilmu Al-Makki wa al-Madani”(ilmu Makiyyah dan Madaniyah).

Ø  Contoh-contoh

Nomor 1, 2, dan 3 adalah pendapat yang paling mendekati kebenaran tentang jumlah surah-surah Makki dan Madani.

Adapun Madani ada dua puluh surah, yaitu:

 

 

1.      Al-Baqarah;

2.      Ali Imran;

3.      An Nisa’;

4.      Al Maaidah;

5.      Al Anfal;

6.       At Taubah;

7.      An Nur;

8.      Al Ahzab

9.      Muhammad

10.  Al Fath;

11.  Al Hujurat;

12.  Al Hadid

13.  Al Mujadilah;

14.  Al Hasyr;

15.  Al Mumtahanah;

16.  Al Jumu’ah;

17.  Al Munafiqun

18.  Ath Thalaq;

19.   At Tahrim dan

20.  An Nasr.

 

 

Sedangkan yang diperselisihkan ada dua belas surah, yaitu:

 

 

1.      Al Fatihah;

2.      Ar Ra’d;

3.      Ar Rahaman;

4.      Ash Shaff;

5.      At Taghabun;

6.      At-Tathhfif(Al Muthafifin);

7.      Al Qadr;

8.      Al Bayyinah;

9.      Az Zalzalah;

10.  Al Ikhlas;

11.  Al Falaq

12.  An Nas.

 

 

Kemudian sisanya adalah surah Makkiyah, yaitu ada delapan puluh dua surah. Maka, jumlah surah-surah dalan Al-Qur’an semuanya ada seratus empat belas surah.

4.         Ayat-ayat Makki dalam surah-surah Madani

Di antara sekian contoh ayat-ayat Makki dalam surah Madani, ialah surah Al-Anfal ayat 30 yang artinya:

وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ (٣٠)

“Dan (ingatlah) ketika orang kafir (Quraisy) membuat makar kepadamu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuh dan mengusirmu. Mereka membuat makar, tetapi Allah menggagalkan makar mereka. Dan Allah adalah sebaik-baik pembalas makar” (Al-Anfal: 30)

Mengenai ayat ini Muqatil mengatakan “Ayat ini diturunkan di Makkah; zahirnya menunjukkan demikian, sebab ia mengandung makna apa yang di lakukan oleh orang-orang musyrik di Darun Nadwah ketika mereka meremcanakan makar terhadap Rasulullah sebelum hijrah”.

Sebagian ulama juga mengecualikan ayat, “Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutinu menjadi penolongmu.” (Al-Anfal:64), berdasarkan hadist yang diriwayatkan Al-Bazzar dari Ibnu Abbas, bahwa ayat tersebut diturunkan ketika Umar bin Al-Khatthab masuk islam.

5.         Ayat-ayat Madani dalan surah Makki

Salah satu contoh ayat Madani dalam surah Makki adalah surah Al-An’am. Ibnu Abbas berkata,”Surah ini diturunkan sekaligus di Makkah, maka ia adalah Makki, kecuali tiga ayat yang diturunkan di Madinah, yaitu ayat 151-153.

“Katakanlah, ‘Marilah aku bacakan apa yang diharumkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu; janganlah kamu menyekutukan Dia dengan sesuatu, berbuat baiklah kepada kedua orangtuamu, dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin; Kami akan memberirezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak diantaranya maupun yang tersembunyi...“ dan seterusnya hingga akhir ayat 153.

Dan, surah Al-Hajj adalah Makki, tetapi ada tiga ayat yang Madani, yaitu ayat 19-21.

هَذَانِ خَصَمَان اخْتَصَمُواْ فِي رَبِّهِمْ...

“Inilah dua golongan yang bertengkar tentang Tuhan mereka...” hingga akhir ayat 21.

 

 

6.         Ayat yang diturunkan di Makkah namun hukumnya Madani

Contoh dari pernyataan diatas adalah surah Al-Hujurat ayat 13 yang artinya,

”Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu si sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha mengenal.“ (Al-Hujurat: 13)

Ayat ini diturunkan di Makkah pada hari penaklukan kota Makkah, tetapi sebenarnya Madani karena diturunkan sesudah hijrah.

7.         Ayat yang diturunkan di Madinah namun hukumnya Makki

Para ulama memberi contoh yaitu surah Al-Mumtahanah. Surah ini diturunkan di Madinah dilihat dari segi tempat turunnya, tetapi seruannya ditujukan kepada orang musyrik di Makkah. Juga seperti permulaan surah At-Taubah.

8.         Yang serupa dengan yang diturunkan di Makkah dalam kelompok Madani

Yang dimaksud para ulama disini, ialah ayat-ayat yang terdapat dalan surah Madani tetapi mempunyai gaya bahasa dan ciri-ciri umum seperti surah Makki. Contohnya adalah Al-Anfal ayat 32 yang artinya:

“Dan (ingatlah) ketika mereka –golongan musyrik- berkata. ‘Ya Allah, jika benar Al-Qur’an ini Engkau, hujaniah kami dengan batu dari langit, atau datangkanlah kepada kami adzab yang pedih.“ (Al-Anfal: 32)

Hal ini dikarenakan permintaan kaum musyrikin untuk disegerakan adzab adalah di Makkah.

9.         Yang serupa dengan yang diturunkan di Madinah dalam kelompok Makki

Contohnya adalah firman Allah dalam surah An-Najm ayat 32,

الَّذِينَ يَجْتَنِبُونَ كَبَآئِر الْإِثْمِ وَالْفَواحِشَ إِلاَّ اللَّمَمَ (32) [النجم: 32]

“(Yaitu) mereka yang menjauhi dosa-dosa besardan perbuatan kejiselain dari kesalahan-kesalahan kecil.” (An-Najm: 32)

Menurut As-Suyuthi, perbuatan keji ialah setiap dosa yang ada sanksinya. Dosa-dosa besar ialah setiap dosa yang mengakibatkan siksa neraka. Dan kesalahan-kesalahan kecil ialah apa yang terdapat diantara kedua batas dosa-dosa diatas. Sementara itu, di Makkah belum ada sanksi dan yang sepura dengannya.[9]

10.      Ayat yang dibawa dari Makkah ke Madinah

Contohnya ialah surah Al-A’la. HR. Al-Bukhari dari Al-Bara’ bin Azib yang mengatakan,”Orang yang pertama kali datang kepada kami di kalangan sahabat Nabi adalah Mush’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Keduanya membacakan Al-Qur’an kami. Sesudah itu datanglah Ammar, Bilal dan Sa’ad. Kemudian datang pula Umar bin Khattab sebagai orang yang kedua puluh. Baru setelah itu datanglah Nabi. Aku melihat penduduk Madinah gembira setelah aku membaca ‘Sabbihisma rabbikal a’la ‘ dari antara surah yang semisal dengannya.”

Pengertian ini cocok dengan Al-Qur’an yang dibawa oleh golongan Mujahirin, lalu mereka ajarkan kepada kaum Anshar.

11.      Ayat yang dibawa dari Madinah ke Makkah

Contohnya dari awal surah At-Taubah, yaitu ketika Rasulullah SAW. memerintahkan Abu Bakar untuk pergi haji pada tahun kesembilan. Ketika awal surah At-Taubah turun, Rasulullah memerintahkan Ali bin Abi Thalib membawa ayat tersebut pada Abu Bakar, agar ia sampaikan kepada kaum musyrikin. Maka, Abu Bakar pun membacakannya kepada mereka dan mengumumkan bahwa tahun ini tidak ada seorang musyrik pun yang boleh berhaji.

12.      Ayat yang turun di waktu malam dan di waktu siang

Kebanyakan ayat Al-Qur’an turun pada siang hari. Mengenai yang diturunkan pada malam hari, Abdul Qasim Al-Hasan bin Muhammad bin Habib An-Naisaburi telah menelitinya. Dia memberikan beberapa contoh, diantaranya adalah bagian-bagian akhir surah Ali-Imran. Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya, Ibnu Mundzir, Ibnu Mardawaih, dan Ibnu Abi Ad-Dunya, meriwayatkan dari Aisyah ra. bahwa Bilal datang kepada Nabi untuk memberitahu shalat subuh. Tetapi, ia melihat Nabi sedang menangis. Ia bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang menyebabkan engkau menangis?” Nabi menjawab, ”Bagaimana saya tidak menangis, sementara tadi malam diturunkan padaku (ayat),’Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang, terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang berakal?[10] Kemudian beliau bersabda, “Celakalah orang yang membacanya, tetapi tidak mentadabburinya!”

Contoh lain ialah tentang orang yang tidak ikut perang. Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim dijelaskan, hadits Ka’ab,”Allah menerima taubat kami pada sepertiga malam terakhir.”[11]

13.      Ayat yang turun dimusim panas dan di musim dingin

Para ulama memberi contoh ayat yang turun di musim panas dengan ayat tentang kalalah yang terdapat di akhir surah An-Nisaa’. Dalam Shahih Muslim, dari Umar, dikemukakan, “Tidak ada yang sering kutanyakan kapada Rasulullah tentang sesuatu seperti pertanyaanku mengenai kalalah. Dan beliau pun tidak pernah bersikap kasar tentang sesuatu urusan seperti sikapnya kepadaku mengenai soal kalalah ini. Sampai-sampai beliau menekan dadaku dengan jarinya sambil berkata,”Hai Umar, belum cukuplah bagimu satu ayat yang diturunkan pada musim panas yang terdapat di akhir surah An-Nasaa’?”[12]

Contoh lain ialah ayat yang turun dalam perang Tabuk. Perang Tabuk terjadi pada musim panas yang berat sekali, seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an.[13]

Sedangkan yang turun pada musim dingin, ialah ayat-ayat mengenai “tuduhan bohong” yang terdapat dalam surah An-Nur, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga...” sampai dengan “bagi mereka ampunkan dan rezeki yang mulia.” (An-Nur: 11-26)

Dalam hadist shahih dari Aisyah disebutkan, “Ayat-ayat itu di turunkan di hari yanng dingin.” Contoh lain adalah ayat-ayat yang turun mengenai perang Khandaq, dalam surah Al-Ahzab. Ayat-ayat itu turun pada hari yang amat dingin.

HR. Al-Baihaqi dalam Dala’il An-Nubuwwah, dari Hudzaifah, ia berkata,”Orang-orang meninggalkan Rasulullah pada malam peristiwa Ahzab, kecuali dua belas orang laki-laki. Lalu, Rasulullah datang kepadaku, dan berkata, ‘Bangkit dan berangkatlah ke medan Perang Ahzab!’ aku menjawab, ‘Wahai Rasulullah, demi Yang mengutus engkau dengan sebenarnya, aku mematuhi engkau karena malu, sebab hari dingin sekali.’ Lalu turun wahyu Allah, ‘Wahai orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah yang telah dikaruniakan kepadamu ketika datang kepadamu tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu lihat. Dan Allah Maha Melihat segala yang kamu kerjakan’.” (Al-Ahzab: 9)

14.      Yang turun di waktu menetap dan perjalanan

Mayoritas ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur’an turun pada saat Nabi dalam keadaan menetap. Akan tetapi, karena kehidupan Rasulullah tidak pernah lepas dari jihad dan peperangan di jalan Allah, maka wahyu pun turun juga dalam perjalanan tersebut. Imam As-Suyuti menyebutkan banyak contoh ayat yang turun dalam perjalanan. Di antaranya ialah awal surah Al-Anfal yang turun di Badar setelah selesai perang, sebagaimana yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Sa’ad bin Abi Waqqash.

Sedangkan surah At-Taubah ayat 34 yang artinya:

وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ...

 [التوبه: ٣٤]((٣٤

“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak mau menafkankannya ke jalan Allah...” (At-Taubah: 34)

Diriwayatkan Ahmad dari Tsauban, bahwa ayat tersebut turun ketika Rasulullah dalam salah satu perjalanan.

Juga awal surah Al-Hajj. At-Tirmidzin dan Al-Hakim meriwayatkan dari Imran bin Hushain yang menyatakan, ”Ketika turun kepada Nabi ayat, ‘Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya goncangan Hari Kiamat itu adalah kejadian yang sangat besar... sampai dengan ...tetapi adzab Allah sangat kerasnya,[14] beliau dalam sedang perjalanan.”

Begitu juga surah Al-Fath. Al-Hakim dan yang lain meriwayatkan, dari Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam, keduanya berkata, “Surah Al-Fath dari awal sampai akhir turun di antara Makkah dan Madinah berkaitan dengan masalah perdamaian Hudaibiyah.”

B.     Perbedaan Makki dan Madani

Untuk mengetahui dan menentukan Makki dan Madani para ulama bersandar pada dua cara utama:

1.      Simâ i naqli (pendengaran seperti apa adanya). Cara ini dilakukan berdasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat dan menyaksikan turunnya wahyu; atau dari para tabi’in yang menerima dan mendengar dari para sahabat bagaimana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan Makki dan Madani itu didasarkan pada cara pertama ini. Dan contoh-contoh diatas merupakan bukti paling baik baginya. Penjelasan tentang penentuan tersebut telah memenuhi kitab-kitab tafsir bi al-ma’tsur, kitab-kitab asbabul nuzul dan pembahasan-pembahasan mengenai ilmu Qur’an. Namun demikian, tentang hal tersebut tidak terdapat sedikitpun keterangan dari Rasulullah, karena ia tidak termasuk suatu kewajiban, kecuali dalam batas yang dapat membedakan mana yang nasikh dan mana yang mansukh.[15] Qadi Abu Bakar Ibnut Tayyib al-Baqallani dalam al-Intisâr menegaskan: “Pengetahuan tentang Makkiyyah dan Madaniyyah itu mengacu pada hafalan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada satupun keterangan yang dapat dari Rasulullah mengenai hal itu, sebab beliau tidak diperintahkan untuk itu, dan Allah tidak menjadikan ilmu pengetahuan itu sebagai kewajiban umat. Bahkan sekalipun sebagian pengetahuannya dan pengetahuan mengenai sejarah nasikh dan mansukh itu wajib bagi ahli ilmu, tetapi pengetahuan tersebut tidak harus diperoleh melalui nash dari Rasulullah SAW.”[16]

2.      Qiyâs ijtihâdi didasarkan pada hasil pengamatan terhadap ciri-ciri Makki dan Madani. Apabila dalam surah Makki itu terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Madani atau mengandung peristiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu Madani. Dan apabila dalam surah Madani terdapat suatu ayat yang mengandung sifat Makki atau mengandung peristiwa Makki, maka ayat tadi dikatakan sebagai ayat Makki. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri Makki, maka surah itu dinamakan surah Makki. Sebaliknya, bila dalam suatu surah terdapat ciri-ciri Madani, maka surah itu dinamakan surah  Madani. Inilah yang disebut qiyâs ijtihâdi.[17]Oleh karena itu, para ahli mengatakan: “setiap surah yang di dalamnya mengandung kisah para nabi dan umat-umat terdahulu, maka surah itu adalah Makkiyyah. Dan setiap surah yang di dalamnya mengandung kewajiban atau ketentuan, surah itu adalah Madaniyyah.[18] Dan begitu seterusnya.” Ja’bari mengatakan, “untuk mengetahui Makki dan Madani ada dua cara: simâ’i(pendengaran) dan qiyâsi (kias).” Sudah tentu simâ’i pegangannya berita pendengaran, sedang qiyâsi  berpegang  pada penalaran. Baik berita pendengaran maupun menalaran, keduanya merupakan metode pengetahuan yang valid dan metide penelitian ilmiah.

Ø  Perbedaan Makki dengan Madani

Untuk membedakan Makki dengan Madani, para ulama mempunyai tiga macam pandangan yang masing-masing mempunyai dasarnya sendiri.

Pertama; dari segi waktu turunnya. Makki adalah yang diturunkan  sebelum hijrah meskipun bukan di Makkah. Madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di Madinah. Yang turun sesudah hijrah sekalipun di Makkah dan Arafah, adalah Madani, seperti yang diturunkan pada tahun penaktukkan kota Makkah, misalnya surah An-Nisa’ ayat: 58

”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak...“ (An-Nisa’ ayat: 58)

Kedua; dari segi tempat turunnya. Makki adalah yang turun di Mekkah dan sekitarnya seperti di Mina, Arafah dan Hudaibiyah. Dan Madani adalah yang turun di Madinah dan sekitarnya seperti Uhud, Quba dan Sil’. Namun pendapat ini berkonsekuensi tidak adanya pengecualian secara spesifik dan batasan yang jelas. Sebab yang turun di perjalanan, di Tabuk atau di Baitul Maqdis tidak termasuk dalam salah satu bagiannya,17 sehingga ia tidak dinamakan Makki maupun Madani.

Ketiga; dari segi sasarannya. Makki adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Makkah dan Madani adalah yang seruannya ditujukan kepada penduduk Madinah. Berdasarkan pendapat ini, para pendukungnya menyatakan bahwa ayat Al-Qur’an yang mengandung seruan “ya ayyuhan-nas”(wahai manusi) adalah Makki. Sedangkan ayat yang mengandung seruan “ ya ayyuhal-ladzina amanu”(wahai orang-orang yang beriman) adalah Madani.

Namun kalau diteliti dengan seksama, ternyata kebanyakan kandungan Al-Qur’an tidak selalu dibuka dengan salah satu seruan itu. Penetapan ini juga tidak konsisten. Misalnya surah Al-Baqarah itu disebut surah Madani, tetapi didalamnya terdapat ayat yang artinya

“Wahai manusia, beribadahlah kepada Tuhan mu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agra kamu bertaqwa.” (Al-Baqarah:21)

Al-Qur’an adalah seruan Allah terhadap semua makhuk. Ia dapat saja menyeru orang yang beriman dengan sifat, nama atau jenisnya. Begitu pula orang yang tidak beriman dapat diperintah untuk beribadah, sebagaimana orang yang beriman diperintahkan konsisten dan menambah ibadahnya.

C.    Ketentuan dan Ciri Khas Makki dan Madani

Para ulama telah meneliti surah-surah Makki dan Madani; dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya, yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan-persoalan yang dibicarakan. Dari situ mereka dapat menghasilkan kaidah-kaidah dengan ciri-ciri tersebut.

Ketentuan Makki dan ciri khas temanya:

1.         Setiap surah yang didalamnya mengandung “ayat-ayat sajdah” maka surah itu Makki.

2.         Setiap surah yang mengandung lafal  “kallâ” berarti Makki. Lafal ini hanya terdapat dalam separuh terakhir dari Al-Qur’an. Dan disebutkan sebannyak tiga puluh tiga kali dalam lima belas surah.

3.         Setiap surah yang mengandung “yâ ayyuhan-nâs” dan tidak mengandung  “yâ ayyuhal-ladzîna âmanû”, berarti Makki, kecuali surah al-Hajj yang pada akhir surah terdapat yâ ayyuha al-ladzîna âmanûr-ka’û wasjudû. Namun demikian sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat tersebut adalah ayat Makki.

4.         Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah ayat Makki.

5.         Setiap surah yang mengandung kisah Adam dan Iblis adalah Makki kecuali surah Al- Baqarah.

6.         Setiap surah yang dibuka dengan huruf-huruf singkatan, seperti Alif Lâm Mim, Alif Lâm Râ, Hâ Mîm dan lain-lainya, adalah Makki, kecuali Al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Sedangkan surah Ra’d masih diperselisihakan.

Ini adalah dari segi karakteristik secara umum, sedangkan dari segi ciri tema dan gaya bahasa diringkas sebagai berikut:

1.         Ajakan kepada tauhid dan beribadah hanya kepada Allah, pembuktian mengebai risalah, kebangkitan dan hari pembalasan, hari kiamat dan kenegriannya, neraka dan siksaannya, surga dan nikmatnya, argumentasi terhadap orang musyrik dengan menggunakan bukti-bukti rasional dan ayat-ayat kauniyah.

2.         Peletakan dasar-dasar umum bagi perundang-undangan dan akhlak yang mulia yang dijadikan dasar terbentuknya suatu masyarakat; pengambilan sikap tegas terhadap kriminalitas orang-orang musyrik  yang telah banyak menumpahkan darah, memakan harta anak yatim secara zhalim, penguburan hidup-hidup bayi perempuan dan tradisi buruk lainnya.

3.         Menyebutkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu sebagai pelajaran, sehingga mengetahui nasib orang sebelum mereka yang mendustakan Rasul, sebagai hiburan bagi Rasulullah sehingga ia tabah dalam menghadapi gangguan mereka dan yakin akan menang.

4.         Kalimatnya singkat padat disertai kata-kata yang mengesankan sekali di telinga terasa menembus dan terdengar sangat keras, menggetarkan hati dan maknanya pun meyakinkan dengan didukung oleh lafazh-lafazh sumpah, seperti surah-surah yang pendek-pendek, kecuali sedikit yang tidak.

Ketentuan Madani dan ciri khas temanya

1.         Setiap surah yang berisi kewajiban atau sanksi hukum.

2.         Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik, kecuali surah Al-Ankabut. Ia adalah Makki.

3.         Setiap surah yang didalamnya terdapat dialog dengan Ahli Kitab.

Ini dari segi karakteristik secara umum. Adapun dari segi tema dan gaya bahasanya, sebagai berikut:

1.         Menjelaskan masalah ibadah, muamalah, had, kekeluargaan, warisan, jihad, hubungan sosial, hubungan internasional, baik di waktu damai maupun di waktu perang, kaidah hukum dan masalah perundang-undangan.

2.         Seruan terhadap Ahli Kitab dari kalangan Yahudi dan Nasrani, dan ajakan kepada mereka untuk masuk Islam, penjelasan mengenai penyimpangan mereka terhadap kitab-kitab Allah, permusuhan mereka setelah keterangan datang kepada mereka karena rasa dengki diantara sesama mereka.

3.         Menyingkap perilaku munafik, menganalisis kejiwaannya, membuka kedoknya dan menjelaskan bahwa ia berbahaya bagi agama.

4.         Suku kata dan ayatnya panjang-panjang dan dengan gaya bahasa yang memantapkan syariat serta menjelaskan tujuan dan syarianya.

 

 

BAB III

PENUTUP

Simpulan

Mempelajari dan memahami ayat Makki dan Madani sangatlah penting dalam Ulumul Qur’an, bukan hanya dari segi pengetahuan sejarah tetapi juga untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat yang bersangkutan tersebut.

Surah di dalam Al-Qur’an berisi ayat tentang dua periode tersebut dan banyak para ulama yang memiliki perbedaan pendapat dalam menentikan hal tersebut. Tetapi bagaimanapun juga hal tersebut sudah terbukti dengan hasil pembagian yang sudah mapan, dan sudah terlsebar luas secara ilu tafsir, dan dijabarkan dari bukti-bukti internal dari teks Al-Qura’an itu sendiri.

Pengertian Makkiyyah dan Madaniyyah menurut para ahli tafsir yaitu meliputi tentang masalah ruang, waktu, subyek dan konten. Dan kegunaan mempelajari ilmu ini antara lain dapat membedakan ayat-ayat nasikh dan mansukh, mengetahui ciri khas gaya bahasa makki dan madani dalam Al-Qur’an, dan untuk menjadi alat pembantu dalam penafsiran Al-Qur’an.

Saran

Kita sebagai umat beragama (Islam) yang memiliki kitab suci yaitu Al-Qur’an hendaknya menjaganya dengan baik. Menjaganya dengan baik di sini bermaksud kita supaya menjaga keaslian dari isi Al-Qur’an itu, yaitu dengan cara kita menghafalkannya, mengkajinya, agar ketika kita mengamalkannya itu adalah kebenaran yang mutlak tidak ada sangkut pautnya dengan sesuatu kebohongan yang bisa menjerumuskan ke jalan yang salah.

 

 

Daftar Puataka

1.      Thantawi, Muhammad Sayyid.2013.Ulumul Qur’an.Jogjakarta: IrciSoD.

2.      Usman.2009.Ulumul Qur’an.Yogyakarta:Teras.

3.      Al-Qaththan,Syaikh mana’.200.Pengantar Ilmu Studi Al-Qur’an.Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

4.      Sodiqin, Ali.2008.Antropologi Al-Qur’an.Jogjakarta:Ar-Ruzz Media.

5.      Al-Abyani Ibrahim.1996.Sejarah Al-Qur’an.Jakarta:Rineka Cipta.

6.      Anwar Rosihon.2013.Ulum Alquran.Bandung:cv pustaka setia.

 

 

 

 

[1]     Shubhi al-Shalih, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, (Beirut-Libanon: Dar al-‘Ilmi li al malayin, 1972), h.165

[2]     Soleh Muhammad Basalamah, pengantar Ilmu al-Qur’an, (Semarang: Dina Utama,1997), h. 25. Lihat juga Shubhi al-Shalih, ibid., h. 168.

 

[3]     Manna al-Qaththan, Mabâhits fi ‘Ulûûm al-Qur’an,(beirut: al-Syirkah al-Muttahidah li al-Tauzi’, 1973), h. 62. Bandingkan dengan Shubhi al-Shalih, Ibid., h. 167

[4]     Abdul Djalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 1998), h. 86.

[5]     ‘Abdullah Syihhatah, ‘Ulum al-Qur’an wa al-Tafsir, (Kairo: Dar al-I’tisham, 1982), h. 51.

[6]     Seperti yang di riwayatkan tentang beberapa surat dan ayat, misalnya surat al-an’am, al-fatihahn dan ayat kursi

[7]     Habasyah:nabesinis, atau ethopia sekarag (Edt.)

[8]     Lihat al-itqon fi ‘ulum al-qur’an oleh as-suyuthi, cet. Ke 3, Al-halabi

 

[9]     Ibid

[10]    QS. Ali Imran: 90.

[11]    “Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam kesulitan, setelah hati segolongan mereka hampir berpaling. Kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubatnya), hingga apabila bumi telah terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah terasa sempit (pula) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dai (siksa) Allah selain kepada-Nya. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dengan taubatnya. Allah Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang.” (At-Taubah: 117-118) Mereka itulah yang diterima alasannya untuk tidak ikut berperang ke Tabuk.

[12]    “Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah...” (An-Nisaa’: 176) Kalalah secara tekstual adalah seseorang yang mati tidak mempunyai anak, sedangkan ia mempunyai harta warisan.

[13]    Al-Qur’an menceritakan kata-kata kaum munafik, “Mereka berkata, ‘Janganlah berangkat perang dalam panas terik ini...” (At-Taubah: 81) Maka, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya untuk menjawab kata-kata nereka, “Katakanlah, ‘Api jahanam itu lebih panas lagi, jika mereka mengetahui.” (At-Taubah: 81)

[14]    QA. Al-Hajj: 1-2.

[15]    Manna’ al-Qaththan, op.cit., h. 61.

[16]    Al-Suyuthiy, op.cit., h. 9.

[17]    Manna’ al-Qaththan, op.cit., h. 62.

[18]    Badruddin al-Zarkasyi, al-Burhani fi ‘Ulum al-Qur’an, j. I, (Beirut-Libanon: Dar al-Ma’rifah, 1972), h. 189.

 

Artikel Terkait