BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kemajuan peradaban manusia
dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi
warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi. Proses pendidikan itu dapat
dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan pengalaman hidup manusia mulai
dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah sampai kepada masyarakat luas.
Hal ini berlangsung dalam semua tahapan perkembangan seseorang sepanjang
hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife education.
Dalam Islam pendidikan
tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan
sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd). Islam juga memotivasi pemeluknya
untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti segala sesuatu yang menjadi
fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya ini dalam rangka
meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya akan
meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan Islam tua atau
muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang sama dalam
menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi
saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan
urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak
dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.
Berbicara tentang
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang kegiatan belajar
mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan itu
sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting karena tanpa itu
proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan.
Maka pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang kewajiban belajar
mengajar dalam Q.S. Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah
ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu belajar dan mengajar
2. Apa hubungan ayat yang disebutkan di
latar belakang dengan belajar dan mengajar?
3. Bagaimana konsep pengimplmentasian
kewajiban belajar terhadap peserta didik?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi belajar dan
mengajar
2. Untuk mengetahui hubungan ayat yang di
sebutkan di latar belakang dengan belajar dan mengajar
3. Untuk mengetahui konsep pengimplementasian
kewajiban belajar terhadap peserta didik.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Belajar dan Mengajar
Belajar adalah suatu usaha
memperoleh kepandaian atau Ilmu.[1] Menurut Chaplin belajar adalah “Acquisition
of any relatively permanent change in behavior as a result of practice and
experience.” Belajar adalah perolehan perubahan tingkah laku yang relative
menetap atau permenen sebagai akibat latihan dan pengalaman.[2] Secara
sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu, berusaha memperoleh
ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan).[3]
Istilah yang lazim
digunakan dalam bahasa Arab tentang kata belajar adalah ta’allama yang secara harfiah dapat diartikan
mencari ilmu melalui pembelajaran hingga berpengaruh pada perubahan perilaku,
dan juga kara darasa artinya adalah belajar secara mandiri dan berbekas.[4]
Mengajar adalah suatu
kegiatan memberikan pelajaran yang dilakukan pendidik terhadap peserta
didik.[5] Mengajar adalah suatu kegiatan mentransfer ilmu pengetahuan dari guru
kepada murid.[6] Jadi belajar dan mengajar adalah suatu proses adanya interaksi
antara anak didik dengan pendidik dalam rangka transfer pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap dalam kegiatan pendidikan di kelas.[7]
B. Ayat-ayat dan Tafsir Al-Qur’an Tentang
Kewajiban Belajar dan Mengajar
Ada beberpa ayat Al-Qur’an
yang membahas tentang kewajiban belajar dan mengajar, diantaranya adalah Q.S.
Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran
ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Dan ayat-ayat tersebut akan dibahas
beserta dengan tafsirnya.
1. Qur’an Surah Al-Alaq
1-5
ù&tø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{
ÇÊÈ t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã
ÇËÈ ù&tø%$# y7š/u‘ur ãPtø.F{$#
ÇÌÈ “Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ
ÇÎÈ
(1) Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (2) Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, (4) Yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. (5) Dia mengajar kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya.
Tafsir:
Menurut Quraish Shihab,
kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, yang mana
melahirkan makna lain seperti, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti,
mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun yang tidak.
Wahyu pertama ini tidak menjelaskan hal spesifik tentang apa yang harus dibaca,
karena Al-Qur’an menghendaki ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi
Rabbik, dalam artian bermanfaat bagi manusia.
Sementara kata al-qalam
adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan
keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan
simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses
transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi
tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.
Selanjutnya, dapat
diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah
mengajar dengan pena sebagaimana yang telah diketahui manusia lain sebelumnya,
dan mengajar manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah
mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia dan cara kedua adalah
mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya
bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.[8]
Menurut Al-Maraghi ayat
ini memberika Isyarat tentang kewajiban memperdalam Ilmu agama serta menyiapkan
segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang
telah didirikan serta mengajarkannya pada manusia berdasarkan kadar yang
diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan bagi mereka sehingga tidak
membiarkan mereka mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus
diketahui oleh orang-orang yang beriman. Menyiapkan diri untuk memusatkan
perhatian dalam mendalami Ilmu agama dan maksud tersebut adalah termasuk
kedalam perbuatan yang tergolong mendapatkan kedudukan yang tinggi dihadapan
Allah, dan tidak kalah derajatnya dari orang-orang yang berjihad dengan harta
dan dirinya dalam rangka meninggikan kalimat Allah, bahkan upaya tersebut
kedudukannya lebih tinggi dari mereka yang keadaannya tidak sedang berhadapan
dengan musuh.[9]
Di dalam Tafsir Ibnu
Katsir dijelaskan bahwa ayat ini adalah rahmat yang pertama kali yang dengannya
Allah menyayangi hamba-hambaNya sekaligus sebagai nikmat pertama yang diberikan
kepada mereka. Di dalam ayat ini terdapat peringatan mengenai permulaan
penciptaan manusia dari segumpal darah. Dan diantara kemuliaan Allah adalah Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui manusia tersebut. Dengan
demikian Dia telah memuliakannya dengan Ilmu.
Terkadang ilmu berada di dalam fikiran dan terkadang juga berada dalam lisan,
juga terkadang berada dalam tulisan. Secara akal, lisan dan tulisan
mengharuskan perolehan Ilmu, oleh karena itu Allah Swt berfirman “Bacalah dan
Rabb-mulah yang paling pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaraan
kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Di dalam
sebuah atsar disebutkan فيدوا العلم بالكتابة
“Ikatlah ilmu itu dengan tulisan”. Dan selain itu di dalam atsar juga
disebutkan “barangsiapa yang mengamalkan apa yang dia ketahui, maka Allah akan
mewariskan kepadanya apa yang tidak diketahui sebelumnya”.[10]
2. Qur’an Surah
Al-Ghasiyyah 17-20
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ
’n<Î) È@Î/M}$# y#ø‹Ÿ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ
’n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø‹Ÿ2 ôMyèÏùâ‘ ÇÊÑÈ ’n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#ø‹x. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ ’n<Î)ur ÇÚö‘F{$# y#ø‹x. ôMysÏÜß™
ÇËÉÈ
(17) Maka Apakah mereka
tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan, (18) Dan langit, bagaimana
ia ditinggikan?, (19) Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?, (20) Dan bumi
bagaimana ia dihamparkan?
Tafsir:
Al-Maraghi mengatakan
bahwa pada ayat 17 dipaparkan dalam bentuk istifham (bertanya) yang mengandung
pengertian sanggahan terhadap keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan
celaan atas sikap keingkaran mereka kepada hari kebangkitan.
Sesungguhnya jika mereka
yang ingkar dan ragu mau menggunakan akalnya untuk memikirkan bagaimana perihal
penciptaan unta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan
bagaimana bumi dihamparkan, niscaya mereka
akan mengetahui bahwa semuanya diciptakan dan dipelihara oleh Allah. Kemudian
Allah mengatur dan memelihara makhluknya dengan patokan yang serba rapi dan
bijaksana.[11]
Ibnu Katsir menjelaskan
bahwa Allah memerintahkan kepada para hambanya untuk memperhatikan kepada
makhluk-makhluknya yang menunjukkan kepada kekuasaan dan keagungan-Nya, “apakah
mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Unta dikemukakan
karena dia merupakan ciptaan yang menakjubkan, susunan tubuhnya sungguh memikat
dan unta itu sendiri mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar biasa. “Dan
langit bagaimana ia ditinggikan?” yaitu Allah meninggikan langit dari bumi ini
merupakan peninggian yang sangat agung. “Dan gunung-gunung bagaiman ia
ditegakkan?” yaitu menjadikannya tertancap sehingga menjadi kokoh dan teguh
sehingga bumi tidak menjadi miring bersama penghuninya. “Dan bumi bagaimana ia
dihamparkan?” yaitu bagaimana dia dibentangkan, dipanjangkan, dan
dihamparkan.[12]
Allah sengaja memaparkan
semua ciptaan-Nya secara khusus, sebab bagi orang yang berakal tentunya akan
memikirkan apa yang ada disekitarnya. Seseorang akan melihat unta yang
dimilikinya. Pada saat ia mengangkat pandangannya ke atas, ia melihat langit.
Jika ia memalingkan pandangannya ke kiri dan kanan, tampak di sekelilingnya
gunung-gunung. Dan jika ia meluruskan pandangannya atau menundukkannya, ia akan
melihat bumi terhampar.
3. Qur’an Surah At-Taubah
122
* $tBur šc%x.
tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù
öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur óOßgtBöqs%
#sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ
(122) Tidak sepatutnya
bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tafsir:
Ayat ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum
yang menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama.
Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan
menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun
terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-sendi islam. Karena
perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyari’atkan kecuali
untuk menjadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan
oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.
Menurut riwayat Al Kalabi dari Ibnu Abbas, bahwa beliau
mengatakan, “Setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak
menyertai Rasul dalam peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang
tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat
selama-lamanya. Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendirian”, maka turunlah wahyu, “وما كان المؤمنون”
وما كان المؤمنون لينفروا كآفة…
Tidaklah patut bagi
orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat
menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena,
perang itu sebenarnya fardhu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh
sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ‘ain, yang wajib dilakukan
setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan
mengerahkan kaum mukmin menuju medan perang.[13]
Menurut Al-Maraghi ayat
tersebut memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta
menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu
negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan
kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan kepada mereka sehingga
tidak membiarkan mereka
Menurut Ibnu Katsir ayat ini
merupakan penjelasan dari Allah Swt ketika semua orang hendak berangkat menuju
perang Tabuk bersama Rasulullah. Ada segolongan ulama salaf yang berpendapat
bahwa setiap orang muslim harus ikut berangkat berperang jika Rasulullah
berangkat. Oleh karena itu Allah befirman “berangkatlah kalian baik dalam
keadaan merasa ringan maupun merasa berat.”
Dikatakan bahwa ayat tersebut telah
dinaskh (dihapus) oleh ayat berikut:
$tB tb%Ÿ2 È@÷dL{
ÏpuZƒÏ‰yJø9$# ô`tBur Oçlm;öqym z`ÏiB É>#{ôãF{$# br& (#qàÿ¯=y‚tGtƒ `tã
ÉAqß™§‘ «!$# Ÿwur (#qç7xîötƒ öNÍkŦàÿRr'Î/ `tã ¾ÏmÅ¡øÿ¯R 4 šÏ9ºsŒ óOßg¯Rr'Î/
Ÿw óOßgç6ÅÁムØ'yJsß Ÿwur Ò=|ÁtR Ÿwur ×p|ÁyJøƒxC ’Îû È@‹Î6y™ «!$# Ÿwur
šcqä«sÜtƒ $Y¥ÏÛöqtB àá‹Éótƒ u‘$¤ÿà6ø9$# Ÿwur šcqä9$uZtƒ ô`ÏB 5ir߉tã ¸xø‹¯R
žwÎ) |=ÏGä. Oßgs9 ¾ÏmÎ/ ×@yJtã ìxÎ=»|¹ 4 žcÎ) ©!$# Ÿw ßì‹ÅÒムtô_r&
tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊËÉÈ
(120) Tidaklah sepatutnya
bagi penduduk Madinah dan orang-orang Arab Badwi yang berdiam di sekitar
mereka, tidak turut menyertai Rasulullah (berperang) dan tidak patut (pula)
bagi mereka lebih mencintai diri mereka daripada mencintai diri rasul. yang demikian
itu ialah karena mereka tidak ditimpa kehausan, kepayahan dan kelaparan pada
jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu tempat yang membangkitkan amarah
orang-orang kafir, dan tidak menimpakan sesuatu bencana kepada musuh, melainkan
dituliskanlah bagi mereka dengan yang demikian itu suatu amal saleh.
Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.
ayat ini merupakan penjelasan
dari apa yang dimaksud oleh Allah Swt. sehubungan dengan keberangkatan semua
kabilah, dan sejumlah kecil dari tiap-tiap kabilah apabila mereka tidak keluar
semuanya (boleh tidak berangkat). Dimaksudkan agar mereka yang berangkat
bersama Rasul Saw. memperdalam agamanya melalui wahyu-wahyu yang diturunkan
kepada Rasul. Selanjutnya apabila mereka kembali kepada kaumnya memberikan
peringatan kepada kaumnya tentang segala sesuatu yang menyangkut musuh mereka
(agar mereka waspada). Dengan demikian, maka golongan yang tertentu ini memikul
dua tugas sekaligus. Tetapi sesudah masa Nabi Saw., maka tugas mereka yang
berangkat dari kabilah-kabilah itu tiada lain adakalanya untuk belajar agama
atau untuk berjihad, karena sesungguhnya hal tersebut fardu kifayah bagi
mereka.
Ali ibnu Abu Talhah telah
meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Tidak sepatutnya
bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). (At-Taubah:
122) Yakni tidaklah sepatutnya orang-orang mukmin berangkat semuanya ke medan
perang dan meninggalkan Nabi Saw. sendirian. Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap
golongan di antara mereka beberapa orang. (At-Taubah: 122) Yaitu suatu
golongan.
Makna yang dimaksud ialah
sepasukan Sariyyah (pasukan khusus) yang mereka tidak berangkat kecuali dengan
seizin Nabi Saw. Apabila pasukan Sariyyah itu kembali kepada kaumnya, sedangkan
setelah keberangkatan mereka diturunkan ayat-ayat Al-Qur'an yang telah
dipelajari oleh mereka yang tinggal bersama Nabi Saw. Maka mereka yang bersama
Nabi Saw. akan mengatakan kepada Sariyyah, "Sesungguhnya Allah telah
menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an kepada Nabi kalian dan telah kami
pelajari."
Selanjutnya Sariyyah itu
tinggal untuk mempelajari apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Nabi
mereka, sesudah keberangkatan mereka; dan Nabi pun mengirimkan Sariyyah
lainnya. Yang demikian itulah pengertian firman Allah Swt. “untuk memperdalam
pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)
Yakni agar mereka
mempelajari apa yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi mereka. Selanjutnya
mereka akan mengajarkannya kepada Sariyyah apabila telah kembali kepada
mereka.[14]
4. Qur’an Surah Ali Imran
191
tûïÏ%©!$# tbrãä.õ‹tƒ ©!$#
$VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4’n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtƒur ’Îû È,ù=yz
ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $uZ/u‘ $tB |Mø)n=yz #x‹»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß™
$oYÉ)sù z>#x‹tã Í‘$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
(191) (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.
Tafsir:
Pada ayat 191
mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya dan berpikir tajam (Ulul
Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang mau menggunakan pikirannya,
mengambil faedah, hidayah, dan menggambarkan keagungan Allah. Ia selalu
mengingat Allah (berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia
beridiri, duduk atau berbaring. Jadi dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab
yaitu orang-orang baik lelaki maupun perempuan yang terus menerus mengingat
Allah dengan ucapan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi.[15]
Ayat ini menyuruh kita untuk
berpikir tentang penciptaan alam ini sambil memuji Allah atas apa yang telah
Dia ciptakan dengan begitu sempurna. Syekh Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan,
"Sesungguhnya bila aku keluar dari rumahku, tiada sesuatu pun yang
terlihat oleh mataku melainkan aku melihat bahwa Allah telah memberikan suatu
nikmat kepadaku padanya, dan bagiku di dalamnya terkandung pelajaran."
Demikianlah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abud Dunia di dalam Kitabut
Tawakkul wal I'tibar. Diriwayatkan dari Al-Hasan Al-Basri bahwa ia pernah
mengatakan, "Berpikir selama sesaat lebih baik daripada berdiri salat
semalam."
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa
ia pernah mengatakan, "Dua rakaat yang lamanya pertengahan dengan
bertafakkur adalah lebih baik daripada berdiri salat sepanjang malam, sedangkan
hatinya lupa." Al-Hasan Al-Basri mengatakan, "Hai anak Adam, makanlah
(isilah) sepertiga perutmu dengan makanan, dan sepertiga lagi dengan minuman,
dan kosongkanlah sepertiga lainnya untuk memberikan udara segar dalam
bertafakkur."
Salah seorang yang bijak
mengatakan, "Barang siapa memandang dunia tanpa diiringi dengan pandangan
mengambil pelajaran, maka akan padamlah sebagian dari pandangan mata hatinya
sesuai dengan kelalaiannya." Bisyr ibnul Haris Al-Hafi mengatakan,
"Seandainya manusia bertafakkur merenungkan keagungan Allah Swt., niscaya
mereka tidak berani berbuat durhaka kepada-Nya."[16]
5. Qur’an Surah Al-Ankabut
19-20
öNs9urr& (#÷rttƒ
y#ø‹Ÿ2 ä—ωö7ムª!$# t,ù=y‚ø9$# ¢OèO ÿ¼çn߉‹Ïèム4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ ’n?tã «!$#
׎šo„ ÇÊÒÈ ö@è% (#rçŽÅ™ †Îû ÇÚö‘F{$#
(#rãÝàR$$sù y#ø‹Ÿ2 r&y‰t/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yムnor'ô±¨Y9$# notÅzFy$#
4 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« փωs% ÇËÉÈ
(19) Dan Apakah mereka
tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya,
kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah
bagi Allah. (20) Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka
perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian
Allah menjadikannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Tafsir:
Dalam tafsir pada surat
Al-Ankabut ayat 19 adalah Sebenarnya menciptakan pertama kali, sama saja bagi
Allah dengan menghidupkan kembali. Keduanya adalah memberi wujud terhadap
sesuatu, kalau pada penciptaan pertama yang wujud belum pernah ada, dan
ternyata dapat wujud maka penciptaan kedua juga memberi wujud dan ini dalam
logika manusia tertentu lebih mudah serta lebih logis daripada penciptaan
pertama itu.
Dikali pertama Allah mampu menciptakan manusia
tanpa contoh terlebih dahulu. Maka kini setelah kalian menjadi tulang atau
bahkan natu atau besi pun Allah akan mampu. Bukankah menurut logika kalian
lebih mudah menciptakan sesuatu yang telah ada bahannya dan ada juga pengalaman
melakukannya, daripada menciptakan pertama kali dan tanpa contoh terlebih
dahulu.
Kemudian tafsir surat
Al-Ankabut ayat 20 adalah pengarahan Allah swt untuk melakukan riset tentang
asal-usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti ketika mengetahuinya
tentang keniscayaan kehidupan akhirat. Dalam Al-Qur’an surat ini memberi
arahan-arahannya sesuai dengan kehidupan manusia dalam berbagai generasi, serta
tingkat, konteks, dan sarana yang meraka miliki. Masing-masing menerapkan
sesuai dengan kondisi kehidupan dan kemampuannya dan dalam saat yang sama
terbuka peluang bagi peningkatan guna kemaslahatan hidup manusia dan
perkembangannya tanpa henti.[17]
C. Implementasi Konsep
Kewajiban Belajar Dalam Proses Pembelajaran
Berdasarkan penjelasan
diatas, maka ada beberapa ayat al-qur’an yang menyinggung tentang kewajiban
belajar mengajar diantaranya adalah Q.S. Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat
17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat
19-20. Maka sesuai dengan ayat al-qur’an yang telah kami jelaskan tersebut,
maka implementasinya dalam proses pembelajaran di kelas adalah :
1. Anak didik maupun pendidik haruslah mampu
membaca atau mengkaji. Guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi
segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah
dengan bismi rabbika. (Q.S. Al-alaq ayat 1-5)
2. Guru mengajak anak didik untuk melihat
keagungan Dan kebesaran ciptaan Allah SWT. Agar kita selalu bersyukur Dan tidak
ingkar kepada allah. (Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20)
3. Hendaknya Seorang guru Dan seorang anak
didik memperdalam ilmunya baik ilmu umum
maupun ilmu agamanya. Seorang guru mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa
mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan berguna bagi anak didiknya. (Q.S At-taubah
ayat 122)
4. Hendaknya pendidik mengajarkan dan
mengingatkan anak didik untuk selalu dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha,
berserah dan mengakui kelemahan diri. Menghindarkan diri dari sombong. agar
pembelajaran berjalan terarah hendaklah tetap mengingat kebesaran Allah SWT.
Allah SWT lah yang berhak sombong karna Dia lah yang memiliki ilmu. (Q.S
Ali-Imran ayat 191)
5. Guru Dan anak didik melakukan riset atau
observasi lapangan guna untuk mendapatkan bukti-bukti yang konkret yang
mendukung pembelajaran. (Q.S Al-Ankabut ayat 19-20).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Belajar adalah perolehan
perubahan tingkah laku yang relative menetap atau permenen sebagai akibat
latihan dan pengalaman. Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui
sesuatu, berusaha memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan).
Mengajar adalah suatu kegiatan memberikan pelajaran yang dilakukan pendidik
terhadap peserta didik. Mengajar adalah
suatu kegiatan mentransfer ilmu pengetahuan dari guru kepada murid. Jadi belajar dan mengajar adalah suatu proses
adanya interaksi antara anak didik dengan pendidik dalam rangka transfer pengetahuan,
nilai-nilai dan sikap dalam kegiatan pendidikan di kelas.
Jadi hubungan materi
belajar dan mengajar dengan ayat-ayat yang telah disebutkan (Q.S. Al-alaq ayat
1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191
Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.) adahal beberapa ayat tersebut mengajak kita
untuk berfikir, mengajak kita untuk belajar, mengamalkan dan mengajarkan ilmu
yang kita miliki kepada orang yang tidak tau, karena dalam sebuah atsar
disebutkan di dalam atsar juga disebutkan “barangsiapa yang mengamalkan apa
yang dia ketahui, maka Allah akan mewariskan kepadanya apa yang tidak diketahui
sebelumnya”.
DAFTAR PUSTAKA
al-Maraghi, Ahmad Mustafa.
Tafsir al-Maraghi jilid 4. Beirut: Darl Fikr.
al-Maraghi, Ahmad Musthafa,
Tafsir al-Maraghi jilid 2. Mesir: Darl Fikr.
Katsir, Ibnu.1994. Tafsir
Ibnu Katsir jilid 2. Kairo: Muassasah Darul Hilal.
Katsir, Ibnu.1944 Tafsir
Ibnu Katsir jilid 4. Kairo: Muassasah Darul Hilal.
Katsir, Ibnu. 1994. Tafsir
Ibnu Katsir jilid 8. Kairo: Muassasah Darul Hilal.
KBBI V
Shihab, M. Quraish. 2001.
Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat . Bandung:
Mizan.
Shihab, M. Quraisy. 2002.
Tafsir Al-Mishbah. Jakarta: Lentera Hati.
Tim Redaksi Bahasa
Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa.
202-270-1-SM. Solichin,
Mohammad Muchlis. Belajar dan Mengajar Dalam Pandangan Al-Ghazali. Tadris Vol.
1 Nomor 2. 2006. h 139
1060. Rahman, Marita
Lailia. Konsep Belajar Menurut Islam. Al Murabbi Vol 2 Nomor 2 Januari 2016.
h 230-231
Catarts,
https://www.google.com/amp/s/catarts.wordpress.com/2012/04/15/hakekat-belajar-mengajar/amp/
[1] KBBI V
[2] 202-270-1-SM, Mohammad Muchlis Solichin, Belajar dan
Mengajar Dalam Pandangan Al-Ghazali, Tadris Vol. 1 Nomor 2, 2006, h. 139
[3] Tim Redaksi Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 28.
[4] 1060, Marita Lailia
Rahman, Konsep Belajar Menurut Islam, Al Murabbi Vol. 2 Nomor 2, 2 Januari
2016, h. 230-231
[5] KBBI V
[6] Mohammad Muchlis
Solichin, Op. Cit., h.149
[7] Catarts,
https://www.google.com/amp/s/catarts.wordpress.com/2012/04/15/hakekat-belajar-mengajar/amp/
[8] M. Quraish Shihab,
Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Berbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 2001), h. 434.
[9] Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi jilid 4, (Beirut: Darl Fikr), h. 48
[10] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir jilid 8, (Kairo: Muassasah Darul Hilal, 1994), h. 505
[11] Ahmad Musthafa
al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, tp.th.), hal.162.
[12] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir jilid 8, (Kairo: Muassasah Darul Hilal, 1994), h. 458-459
[13] Ahmad Mustafa
al-Maraghi, Op. Cit., h. 84-85
[14] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir jilid 4, (Kairo: Muassasah Darul Hilal, 1994), h.229-230
[15] M. Quraisy Shihab,
Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 308
[16] Ibnu Katsir, Tafsir
Ibnu Katsir jilid 2, (Kairo: Muassasah Darul Hilal, 1994), h. 209-210
[17] M. Quraish Shihab,
Volume. 10, Op. Cit, hlm. 464-465