BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hadits adalah sumber
ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Ia juga merupakan penjelas, terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat global, umum dan tanpa batasan. Bahkan hadits
juga dapat berfungsi sebagai penetap suatu hukum yang belum ditetapkan oleh
Al-Qur’an.
Dalam Al-Qur’an dijelaskan
bahwa Nabi dalam menyampaikan ajaran agama Islam, ia mendapatkan perintah dari
Allah, misalnya berupa perintah agar Nabi dalam berdakwah berlaku bijaksana.[1]
Perintah tersebut pastinya dilaksanakan dengan sempurna oleh Nabi, sebab
tingkat kepatuhan Nabi kepada Allah sangat tinggi, kalau sekiranya nabi keliru
dalam menjalankan perintah Allah, niscaya Allah akan memberikan petujuk perbaikannya.
Kalau demikian, maka semua hadits Nabi merupakan bagian penting dari bukti
kebijaksanaan Nabi dalam menyampaikan ajaran agama Islam.
Selanjutnya, apabila
berbagai matan hadits diperbandingkan, dalam hal ini, yang sanadnya sama-sama
shahih, maka akan dijumpai sejumlah petunjuk yang tampak bertentangan, minimal
menimbulkan kesan tidak sejalan.[2] Dalam memandang adanya pertentangan itu
kalangan tertentu menyampaikan bahwa riwayat hadits yang bersangkutan bukanlah
sesuatu yang berasal dari Nabi. Menurut mereka, mustahil bahwa nabi mengatakan
petunjuk yang saling bertentangan.
Oleh karena itu,
diperlukan pemahaman yang baik dan benar untuk mengkaji hadits. Namun, untuk
memahami hadits secara benar bukanlah perkara yang mudah, khususnya jika kita
menemukan hadits-hadits yang “tampak”nya bertentangan [3].Untuk menyikapi
permasalahan dalam memahami hadits-hadits tersebut secara baik dan benar maka
para ulama-ulama mempunyai kaidah-kaidah dan metode yang dapat mempermudah
dalam hal tersebut.
Berdasarkan latar belakang
di atas, pemakalah tertarik untuk membuat sebuah makalah dengan judul “Metodoe
Pemahaman Hadits Nabi” yang akan membahas mengenai metode-metode yang dapat
digunakan untuk dapat memahami hadits nabi.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana cara memahami Hadis sesuai
dengan petunjuk Alquran?
Bagaimana memahami hadits nabi secara Tematik-Korelatif
Bagaimana memahami hadits nabi secara Tekstual dan Kontekstual
Bagaimana Konsep yang digunakan untuk
menguji Hadis dengan kebenaran Ilmiah?
1.3. Tujuan
Mahasiswa mampu memahami
Hadits sesuai dengan petunjuk Qur'an
Mahasiswa mampu memahami
Hadits secara tematik dan korelatif
mahasiswa mampu memahami
Hadits secara Tekstual dan Kontekstual
Mahasiswa mampu memahami
konsep pengujian Hadits dengan kebenaran ilmiah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Metode Pemahaman Hadits
1. Pengertian
Secara terminologis,
hadits oleh para ulama diartikan sebagai segala yang disandarkan pada nabi baik
berupa perkataan, ,perbuatan, persetujuan, atau sifat-sifatnya.[4]
Namun sebagian ulama lain
berpendapat bahwa hadits hanya terbatas ucapan dan perbuatan nabi saja,
sedangkan persetujuan dan sifat-sifatnya tidak termasuk hadits karena keduanya
merupakan ucapan dan perbuatan sahabat.[5] Namun ada juga dari kalangan ulama
Sedangkan kata “metode”
berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa
Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan
thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti:
cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai
sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan
pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[6]
Istilah pemahaman dalam
hadits meliputi hal: menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadis dan
disiplin ilmu lain.[7] Jadi metode pemahaman hadîts, adalah cara-cara yang
diterapkan dalam memahami hadîts.
Ada beberapa metode yang
dapat digunakan dalam memahami hadits, yaitu :
Memahami Hadis sesuai
dengan petunjuk Alquran
memahami Hadis secara
Tematik-KorelatiF
memahami Hadis secara
Tekstual dan KontekstuaL
memahami konsep pengujian Hadis dengan
kebenaran Ilmiah
2.2. Pemahaman Hadis Sesuai Dengan Petunjuk
Al-Qur’an
Untuk dapat memahami hadis
dengan benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran, maka haruslah
kita memahaminya sesuai dengan petunjuk al Qur'an, yaitu dalam kerangka
bimbingan Illahi yang pasti benarnya. Sebagaimana dalam Q.S. Al-an’am:115
115.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-Quran) sebagai kalimat yang benar
dan adil. tidak ada yang dapat merobah robah kalimat-kalimat-Nya dan dia lah
yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dari ayat di atas,
tampaklah bahwa Al-Qur’an menjadi pondasi dasar berdirinya agama Islam yang
tidak bisa di ubah-ubah oleh siapapun. Sedangkan as Sunnah adalah penjelasan
terinci tentang isi Qur’an tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis
ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah SAW.,
menjelaskannya kepaada seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, tidaklah mungkin
sesuatu yang merupakan “pemberi” penjelasan bertentangan dengan apa yang hendak
dijelaskan.
Jika Al-Qur’an merupakan
dasar yang pertama dan utama, maka hadis adalah penjelasan terperinci tentang
isi dari Al-Qur’an.[8]
2.3. Pemahaman Hadis Secara
Tematik-Korelatif
Pemahaman Hadits Secara Tematik
Metode tematik (maudhu’i)
adalah metode pembahasan hadis sesuai dengan tema tertentu yang dikeluarkan
dari sebuah buku hadis. Semua hadis yang berkaitan dengan tema tertentu,
ditelusuri dan dihimpun yang kemudian dikaji secara mendalam dan tuntas dari
berbagai aspek.[11] Misalnya, pendidikan menurut perspektif hadis dalam kitab
karya Al-Bukhari atau wanita dalam kitab karya Muslim, atau menghimpun
hadis-hadis yang berbicara tentang puasa ramadhan, ihsan (berbuat baik) dan
lain sebagainya.Tema-tema seperti ini sekarang sedang dikembangkan dalam
penulisan skripsi, tesis, dan disertasi di berbagai perguruan tinggi.
Langkah-langkah yang
ditempuh dalam metode tematik (maudhu’i) :
Secara umum,
langkah-langkah yang ditempuh dalam metode maudhu’iadalah sebagai berikut:
1. Menentukan sebuah tema yang akan dibahas
2. Menghimpun hadis-hadis yang terjalin dalam
tema yang telah ditentukan
3. Menyusun kerangka pembahasan (out line) dan
mengklasifikasikan hadis-hadis yang telah terhimpun sesuai dengan spesifik
pembahasannya.
4. Mengumpulkan hadis-hadis semakna yang satu
peristiwa (tempat dan waktu terjadinya hadis sama)
5. Menganalisis hadis-hadis tersebut dengan
menggunakan berbagai teknik dan pendekatan.
6. Meskipun metode ini tidak mengharuskan uraian
tentang pengertian kosa kata, namun kesempurnaannya dapat dicapai jika
pensyarah berusaha memahami kata-kata yang terkandung dalam hadis, sehingga
akan lebih baik jika pensyarah menganalisis matan hadis yang mencakup
pengertian kosa kata, ungkapan, asbab al-wurud dan hal-hal lain yang biasa
dilakukan dalam metode tahlili.
7. Menarik kesimpulan makna yang utuh dari
hasil analisis terhadap hadis-hadis tersebut.
Kelebihan dan Kekurangan
Metode tematik (maudhu’i)
dapat diandalkan untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam masyarakat,
karena metode ini memberikan kesempatan kepada seseorang untuk berusaha
memberikan jawaban bagi permasalahan tersebut yang diambil dari
petunjuk-petunjuk Al-Qur’an dan Hadis, disamping memperhatikan penemuan
manusia. Sebagai hasilnya, banyak bermunculan karya ilmiah yang membahas topik
tertentu menurut perspektif al-Qur’an dan Hadis. Contohnya, perempuan dalam
pandangan Al-Qur’an dan hadis, dan lain-lain.
Kelebihan metode maudhu’i
selain karena dapat menjawab tantangan zaman dengan permasalahannya yang
semakin kompleks dan rumit, metode ini juga memiliki kelebihan yang lain,
diantaranya[12]:
1. Praktis dan Sistematis
Metode tematik disusun
secara praktis dan sistematis dalam memecahkan permasalahan yang timbul. Hal
ini memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan petunjuk al-Qur’an dan hadis
dengan waktu yang lebih efektif dan efesien.
2. Dinamis
Metode tematik membuat
tafsir Al-Qur’an dan hadis selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman.
Sehingga, masyarakat akan terasa bahwa al-Qur’an dan hadis selalu aktual
(updated), tak pernah ketinggalan zaman (outdated) dan mereka tertarik untuk
mengamalkan ajaran-ajarannya. Meski tidak mustahil hal ini didapatkan dari
ketiga metode yang lain, namun hal itu bukan menjadi sasaran yang pokok.
3. Membuat Pemahaman
Menjadi Utuh
Dengan ditetapkannya tema
tertentu, maka pemahaman kita terhadap hadis Nabi saw. menjadi utuh. Kita hanya
perlu membahas segala aspek yang berkaitan dengan tema tersebut tanpa perlu
membahas hal-hal lain diluar tema yang ditetapkan.
4. Penjelasan antar hadis
dalam metode maudhu’i bersifat lebih integral dan kesimpulan yang dihasilkan
mudah dipahami.[13]
Adapun kekurangannya ialah
metode ini terikat pada tema yang telah ditetapkannya dan tidak membahas lebih
jauh hal-hal diluar dari tema tersebut, sehingga metode ini kurang tepat bagi
orang yang menginginkan penjelasan yang terperinci mengenai suatu hadis dari
segala aspek.
2. Pemahaman Hadits Secara
Korelatif
Pemahaman korelatif yang
dimaksud ialah memperhatikan keterkaitan makna antara satu Hadits dengan Hadits
lainnya yang dipandang mukhtalif yang mebahas permasalahan yang sama sehingga
pertentangan yangg nampak secara lahiriyahnya dapat dihilangkan.[14] Karena
dalam menjelaskan satu persoalan tidak hanya ada satu atau dua Hadits saja akan
tetapi bisa saja ada bebarapa Hadits yang saling terkait satu sama lainnya.
Oleh karena itu semua Hadîts tersebut mesti dipahami secara bersama untuk
dilihat hubungan makna antara satu Hadits dengan Hadits lainnya sehingga
diperoleh gambaran yang utuh tentang satu masalah tersebut dan pertentangan
yang terjadi dapat diselesaikan.
Sebagai contoh dikemukan
Hadits-Hadits tentang waktu-waktu terlarang dalam melakukan shalat.[15]
حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ قَالَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ شَهِدَ عِنْدِي رِجَالٌ مَرْضِيُّونَ وَأَرْضَاهُمْ عِنْدِي عُمَرُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَشْرُقَ الشَّمْسُ وَبَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ
Dalam hadits lain
dinyatakan
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي قَالَ مُوسَى قَالَ هَمَّامٌ سَمِعْتُهُ يَقُولُ بَعْدُ وَأَقِمْ الصَّلَاةَ للذِّكْرَى
Dua Hadits di atas
sama-sama diriwaytkan oleh Imam al-Bukhariy dalam kitab shahih-nya. Hadits
pertema menegaskan larangan menunaikan shalat di waku setelah subuh hingga
terbit matahari dan waktu setelah ashar hingga terbenamnya matahari. Sementara
Hadits kedua tidak dibatasi oleh waktu, di mana seseorang dapat melakukan
shalat kapan saja apabila ia lupa menunaikan kewajibannya, baik watu setelah
subuh hingga terbit matahari maupun waktu setelah ashar hingga terbenam
matahari.
Dua Hadits di atas
dipandang yang bertentangan. Keduanya tidak bisa dipertemukan begitu saja,
sebelum dilihat riwayat lainnya yang dipandang relevan untuk menarik benang
merah pertentangan antara keduanya. Karena shalat yang dimaksudkan oleh Hadits
pertama adalah shalat sunnat, sementara Hadits kedua merupakan shalat wajib
yang tidak dapat tidak mesti dikerjakan, dan jika lupa maka merupakan rukhshah
melaksanakannya pada waktu ingat.Jika Hadits kedua dipahami dengan shalat
wajib, maka Hadits kedua berkenaan dengan shalat sunnat.
Adapun Hadits yang relevan
menjelaskan persoalan terkait ialah: Hadits Ummu Salamah yang menerangkan
bahwa: suatu hari Rasulullah pulang ke rumahku setelah ashar. Lalu beliau
shalat dua raka’at, tak pernak aku melihat beliau melakukan hal yang sama.”
Ummu Salamah pun bertanya: engakau melakukan shalat yang sebelum ini tak pernah
sebelum ini aku melihatnya. Rasul menjawab: ”sebelum ini aku senantiasa
melakukan shalat sunnat dua rakaat setelah shalat zuhur. Namun tadi aku tidak
sempat melakuaknnya kerana sibuk menerima delegasi dari Tamim dan urusan
sadaqah. Dua raka’at tadi ialah shalat dua rakaat setelah zuhur.[16]
Riwayat dari Qais juga
dipadang mempunyai aspek korelasi dengan dua Hadîts yang dikeluarkan oleh Imam
al-Bukhariy yang bertentangan di atas. Qais berkata: pernah Nabi memandangku
ketika aku melaksanakan shalat dua raka’at setelah subuh. Lantas beliaupun
bertanya: shalat apakah yang engkau kerjakan ini ya Qais? Tadi aku tak sempat
melakukan shalat sunat fajr. Lalu beliau diam mendengarkan penjelasanku.
Keterangan dari Ummu
Salamah dan Qais memastikan bahwa shalat yang dilarang pada Hadits pertama
merupakan shalat sunnat ghair muakkad. Untuk shalat sunnat muakkad, maka dua
ketarangan di atas mengindikasikan bahwa ia boleh dilaksanakan.
2.4. Pemahaman Hadis secara Tekstual dan
Kontekstual
Terkadang ada matan hadits
Nabi yang mengandung petunjuk yang mana harus dipahami secra tekstual saja dan
tidak diperlukan pemahaman secara kontekstual.
Untuk matan hadits
tertentu lainnnya kandungan petunjuknya diperlukan pemahaman secara
kontekstual. Namun, ada pula matan hadits yang memerlukan pemahaman secara
tekstual dan juga kontekstual.
Pemahaman dan penerapan
hadits secara tekstual dilakukan bila hadits yang bersangkutan, setelah
dihubungkan dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, setelah dihubungkan
dengan segi-segi yang berkaitan dengannya, misalnya latar belakang erjadinya,
tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis dalam teks dalam teks
hadits yang bersangkutan.
Pemahaman dan penerapan
hadits secara kontekstual dilakukan apabila “di balik” teks suatu hadits, ada petunjuk yang kuat
yang mengharuskan hadits yang bersangkutan dipahami dan diterapkan tidak
sebagaimana maknanya yang tersurat.
Dengan kemungkinan adanya
pemahaman secara kontekstual, maka suatu hadits yang sanadnya shohih ataupun
hasan tidak dapat dapat serta merta matannya dinyatakan sebagai berkualitas
dhaif (lemah) ataupun maudhu’ (palsu) dengan alasan karena teks matan hhadits
yang bersangkutan nampak tidak sesuai dengan kaidah keshahihan matan yang
digunakan. Terhadap hadits yang sanadnya
shahih ataupun hasan, diperlukan upaya pemahaman yang sungguh-sungguh, sehingga
terhindar penilaian terhadap suatu hhadits yang sebenarnya berkualitas shahih
ataupun hasan dinyatakan sebagai berkualitas dha’if. [17]
Keberadaan hadits Nabi
yang tekstual dan kontekstual tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari
kebijaksanaan nabi di bidang dakwah dalam rangka penerapan tahap-tahap ajaran
Islam. Kebijaksanaan Nabi yang demikian itu dapat dapat dipahami juga sebagai
petunjuk yang mengandung implikasi pemikiran tentang pentingnya peranan
berbagai disiplin pengetahuan, baik yang telah dijangkau pengembangannya oleh
ulama selama ini, maupun yang belum terjangkau.
Contoh hadits yang harus
dipahami secara kontekstual :
اَلْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِيْ مَعٍى وَاحِدٍ, وَالكَافِرُيَأْكُلُ فِيْ سَبْعَةِ اَمْعَاءٍ
“Orang yang beriman itu,
makan dengan satu usus (perut), sedang orang kafir makan dengan tujuh usus”,
Secara tekstual hadits
tersebut menjelaskan bahwa usus orang beriman berbeda dengan orang kafir.
Padahal pada kenyataannya yang lazim, perbedaan anatomi tubuh manusia tidak
disebabkan oleh perbedaan iman seseorang. Dengan demikian pernyataan hadis itu
merupakan ungkapan simbolik. Itu berarti hadis diatas harus dipahami secara
kontekstual.
Perbedaan usus dalam matan
hadis tersebut menunjukkan perbedaan sikap atau pandangan dalam menghadapi
nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Orang yang beriman memandang makan bukan
sebagai tujuan hidup, sedang orang kafir menempatkan makan sebagai bagian dari
tujuan hidupnya. Karenanya, orang yang beriman mestinya tidak banyak menuntut
dalam kelezatan makan, yang banyak menuntut kelezatan makan pada umumnya adalah
orang kafir. Disamping itu dapat dipahami juga bahwa orang yang beriman selalu
bersyukur dalam menerima nikmat Allah, termasuk tatkala makan. Sedang orang
kafir mengingkari nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya.[18]
Contoh hadits yang dipahami
secara tekstual :
اِغْتَسِلُوْامِنْهُ وَتَوَضَؤُوْافَاِنَّهُ هُوَالطَّهُوْرُمَأُهُ
“Mandilah dan berwudulah
kalian dengan air laut tersebut, sebab air laut itu suci dan bangkainyapun juga
halal”
Diriwayatkan oleh Imam
Ahmad. al-Hakim dan al-Baihaqi dari Abu Hurairoh, dia bekata: “Pada suatu hari
kami pernah pergi bersama Nabi SAW, tiba-tiba datanglah seorang nelayan, seraya
bertanya, ya Rasullallah sesungguhnya kami ini biasa pergi kelaut untuk mencari
ikan. Pada waktu kami berlayar sampai ditengah laut kami kadang bermimpi keluar
air mani (junub). Dengan demikian kami tentu perlu air untuk mandi dan
berwudlu. Bagaimana jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air laut? Sebab
jika kami mandi dan berwudlu menggunakan air tawar yang kami bawa untuk minum
tentu kami akan mati kehausan. Nabi kemudian bersabda sebagai mana dikutip
diatas.
Jadi setelah dihubungkan
dengan segi-segi yang berkaitan dengan asbabul wurud[19]nya tadi, Hadis
tersebut ternyata tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis atau
tekstual.
Contoh hadits-hadits yang
“tampaknya” bertentangan yang harus di pahami apakah secara tekstual dan
kontekstual :
Hadits 1 :
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: كُنَّا نَغْزُوْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص لَيْسَ مَعَنَا نِسَاءٌ، فَقُلْنَا: اَلاَ نَخْتَصِى؟ فَنَهَانَا عَنْ ذلِكَ، ثُمَّ رَخَّصَ لَنَا بَعْدُ اَنْ نَنْكِحَ اْلمَرْأَةَ بِالثَّوْبِ اِلَى اَجَلٍ. ثُمَّ قَرَأَ عَبْدُ اللهِ { ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْا لاَ تُحَرّمُوْا طَيّبَاتِ مَا اَحَلَّ اللهُ لَكُمْ. المائدة:87
}. احمد و البخارى و مسلم
Dari Ibnu Mas’ud, ia
berkata : Kami pernah berperang bersamaRasulullah SAW dan tidak ada wanita yang
berserta kami. Kemudiankami bertanya, “Tidakkah (sebaiknya) kami berkebiri saja
?”. MakaRasulullah SAW melarang kami dari yang demikian itu, kemudianbeliau
memberi keringanan kepada kami sesudah itu, yaitu dengancara mengawini wanita
sampai batas waktu tertentu dengan(imbalan) pakaian, lalu Abdullah bin Mas’ud
membaca (firman Allah), “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkanapa-apa
yang baik yang dihalalkan Allah atas kamu”. (QS. Al-Maidah: 87) [HR. Ahmad,
Bukhari dan Muslim]
Hadits 2 :
عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .
Dari Rabi` bin Sabrah,
dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya
aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari Kiamat. Barangsiapa yang
mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari
apa yang telah diberikan”.
Hadits yang dikutip pada
hadits 1 menunujukkan bolehnya nikah mut’ah, yakni nikah yang dalam akanya
ditetapkan masa berlakunya untuk waktu tertentu. Hadits yang kedua mnjelaskan
bahwa nikah mutah itu dilarang. Dengan demikian secara “tekstual” hadits ini
tampak saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Ulama telah membahas
sacara mendalam hadits-hadits tentang nikah mut’ah. Ulama sunni dan ulama
syi’ah zaidiyah sependapat bahwa hadits-hadits yang menyatakan bahwa kebkolehan
nikah mut’ah itu telah di hapus hukumnya oleh hadits-hadits yang melarang nikah
mut’ah. Mereka menyatakan bahwa kebolehan itu telah berlangsung lebih dari satu
kali, namun lalu diikuti oleh larangan; dan petunjuk yang terakhir menyatakan
bahwa larangan nikah mut’ah berlangsung sampai hari kiamat. [20] hadits yang
menyatakan larangan tersebut misalnya termuat dalam riwayat Saburah Al-Juhani
bahwa rasulullah telah bersabda:
عَنْ سَبُرَةَ اْلجُهَنِيِّ اَنَّهُ غَزَا مَعَ النَّبِيِّ ص فَتْحَ مَكَّةَ، قَالَ: فَاَقَمْنَا بِهَا خَمْسَةَ عَشَرَ، فَاَذِنَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ ص فِى مُتْعَةِ النِّسَاءِ. وَ ذَكَرَ حَدِيْثَ اِلَى اَنْ قَالَ: فَلَمْ اَخْرُجْ حَتَّى حَرَّمَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص.احمد و مسلم
Dari Saburah Al-Juhaniy,
bahwa sesungguhnya ia pernah berperangbersama Rasulullah SAW dalam menaklukkan
Makkah. Saburah berkata, “Kemudian kami bermuqim di sana selama lima belas
hari,lalu Rasulullah SAW mengizinkan kami kawin mut’ah”. Dan iamenyebutkan
(kelanjutan) hadits itu. Selanjutnya Saburah berkata, "Maka tidaklah kami
keluar hingga Rasulullah SAW mengharamkannya”. [HR. Ahmad dan Muslim]
Kalangan ulama syiah yang
dua belas (itsna ‘asyarah) membolehkan nikah mutah berdasarkan dalil quran
surah an-nisa : 24, yang berbunyi :
$yJsù Läê÷ètGôJtGó™$#
¾ÏmÎ/ £`åk÷]ÏB £`èdqè?$t«sù
Æèdu‘qã_é&
“...maka istri-istri yang
telah kamu campuri di antara mereka berikanlah maharnya (secara
sempurna)sebagai suatu kewajiban...”
Menurut mereka ayat
tersebut merupakan dasar disyariatkan nikah mut’ah dan tidak pernah terhapus
kebolehannya sampai sekarang. Mereka menyatakan bahwa hadits-hadits yang
melarang nikah mutah tidak dapat dipakai sebagai dalil karena hadits tidak
dapat menghapus hukum al-quran.[21]
Ulama sunni dan syiah
zaidiyah menyatakan bahwa ayat tersebut memang memberi petunjuk tentang
kebolehan nikah mutah. Kemudia kebolehan itu di cabut (tidak berlaku)
sehubungan dengan adanya ayat-ayat tentang kewarisan dan larangan zina,
disamping karena adanya peunjuk hadits nabi yang secara tegas telah
mengemukakan larangan.[22]
Berdasaran penjelasan
tersebut, dapat dipahami bahwa secara temporal nikah mut’ah itu pernah
diperbolehkan, yang kemudian diikuti larangan; dan larangan itu berlaku untuk
selamanya.
2.5. Konsep Pengujian Hadis Dengan
Kebenaran Ilmiah
Kata “ilmiah” berasal dari
kata “ilmu” yang berarti kumpulan pengetahuan yang diorganisir secara sistemik.
Atau dapat pula berarti seluruh pengetahuan yang diperoleh dan disusun secara
tertib oleh manusia.[23] Untuk memahami hadits nabi, kita dapat mengujinya
dengan kebenaran ilmiah.
Ilmu pengetahuan dapat
didefinisikan sebagai sunatullah yang terdokumentasi dengan baik, yang
ditemukan oleh manusia melalui pemikiran dan karyanya yang sistematis. Ilmu
pengetahuan akan berkembang mengikuti kemajuan, kualitas pemikiran, dan
aktivitas manusia. Pertumbuhan ilmu pengetahuan seperti proses bola salju yaitu
dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia tahu lebih banyak mengenai alam
semesta ini yang selanjutnya meningkatkan kualitas pemikiran dari karyanya yang
membuat ilmu pengetahuan atau sains berkembang lebih pesat lagi.[24]
Dengan pendekatan melalui
ilmu pengetahun, dapat membentuk nalar ilmiah yang berbeda dengan nalar awam
atau khurafat (mitologis). Nalar ilmiah ini tidak mau menerima kesimpulan tanpa
menguji premis-premisnya, hanya tunduk kepada argumen dan pembuktian yang kuat,
tidak sekedar mengikuti emosi dan dugaan semata. Bentuk itu pula kiranya dalam
memahami kontekstual hadis diperlukan pendekatan seperti ini agar tidak terjadi
kekeliruan untuk memahaminya.[25]
Pendekatan ilmiah dapat
digunakan untuk mengkompromikan hadis-hadis yang terkesan bertentangan dengan
akal, seperti yang terdapat pada hadis-hadis berikut:
1. Hadis tentang Lalat
سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رضى الله عنه يَقُولُ: قَالَ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم: «إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ، ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ، فَإِنَّ فِى إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالأُخْرَى شِفَاءً»
“Apabila lalat jatuh dalam
minuman salah seorang di antara kamu, maka benamkanlah, kemudian buanglah
karena pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayapnya yang lain
terdapat obat”.
Sebagian orang keberatan
terhadap kemungkinan dicelupkannya lalat ke dalam makanan atau minuman yang
kemasukan lalt, untuk kemudian memakan kembali makanan tersebut. Namun,
keberatan mereka kurang tepat. Mereka lupa bahwa hal tersebut dilakukan jika
dalam keadaan yang sangat darurat, misalnya ketika seseirang berada di tengah
padang pasir dan tidak memiliki apapun kecuali segelas air yanng kemasukan lalt
itu, sedangkan ia khawatir akan meninggal dunia jikaa tidak mengkonsumsi
minuman ini, sehingga ia harus menolak dua bahaya sekaligus, bahaya kematian
karena lapar dan haus, atau bahaya kematian karena kumman, bakteri, dan virus
yang di bawa lalat pada minumannya.
Namun sejumlah riset
belakangan ternyata menguatkan kebenaran hadis tersebut. Penjelasan Rasulullah
SAW ini, kini termasuk di antara ilmu baru yang ditemukan beberapa tahun
belakangan ini. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa ketika lalat hinggap di
atas kotoran, dia memakan sebagiannya, dan sebagiannya lagi menempel pada
anggota badannya. Di dalam tubuh lalat mengandung imunitas terhadap kuman-kuman
yang dibawanya. Oleh karena itulah kuman-kuman yang dibawanya tidak
membahayakan dirinya. Imunitas tersebut menyerupai obat anti biotik yang
terkenal mampu membunuh banyak kuman. Pada saat lalat masuk ke dalam minuman dia
menyebarkan kuman-kuman yang menempel pada anggota tubuhnya. Tetapi apabila
seluruh anggota badan lalat itu diceburkan maka dia akan mengeluarkan zat
penawar (toxine) yang membunuh kuman-kuman tersebut.[26]
Ketika lalat jatuh kedalam
sampah, kotoran, dan benda-benda busuk yang dipenuhi dengan miliaran bakteri,
virus, Allah telah memberikan serangga kecil ini kemampuan membawa kuman pada
salah satu sayapnya, dan penawarnya pada sayap yang lain.[27] Jika tidak, maka
akan punahlah seluruh serangga lalat, padahal saat ini lalat terdiri atas lebih
kurang 80.000 jenis. Kelestarian lalat hingga saat ini mencapai miliaran
individu merupakan bukti paling nyata atas kebenaran hadits ini.
Berbeda dengan apa yang
telah dikemukakan oleh Yusuf Qardhawiy bahwa hadis tersebut berisi anjuran
dalam hal persoalan duniawi, khususnya dalam kondisi krisis ekonomi dalam
lingkungan tertentu yang mengalami kekurangan bahan pangan, agar tidak membuang
makanan yang telah terhinggapi lalat, bahkan hadis ini memberikan penekanan tentang
pembinaan generasi untuk hidup sederhana dan bersikap tidak boros.[28]
2. Hadis tentang Larangan
Senggama Waktu Haid
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِى أَبِى حَدَّثَنَا عَفَّانُ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَخْبَرَنَا حَكِيمٌ الأَثْرَمُ عَنْ أَبِى تَمِيمَةَ الْهُجَيْمِىِّ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ: «مَنْ أَتَى حَائِضاً أَوِ امْرَأَةً فِى دُبُرِهَا أَوْ كَاهِناً فَصَدَّقَهُ فَقَدْ بَرِئَ مِمَّا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى مُحَمَّدٍ».
“Kami diberitahukan oleh
Abdullah dari bapaknya dari Affan dari Hammad bin Salamah dari Hakim al-Asram
dari Abu Tamimah al-Huzaimiy dari Abu Hurairah bahwasanya Nabi saw. bersabda:
Barangsiapa yang menggauli istrinya dalam keadaan haid atau pada dubur-nya atau
mempercayai tukang ramal, maka sungguh ia telah keluar dari agama Muhammad yang
diturunkan kepadanya (Islam)”.
Dr. Med. Ahmad Ramali,
seorang yang telah mendapatkan gelar doktornya dalam bidang kedokteran pada
tahun 1950 di Universitas Gajah Mada mengemukakan bahwa dalam benda cair haid
itu terdapat Coccus Neisser. Zat ini bersifat virulent (dapat membangkitkan
kembali penyakit), dan karena itu ia menjadi penyebab timbulnya penyakit.
Sehingga ada kemungkinan pula bahwa dia bersama-sama dengan sedikit benda cair dari
perempuan itu masuk ke dalam urethra (aliran kandung kemih) laki-laki,
menyebabkan urethritis (radang aliran kandung kemih) yang mendadak pada
laki-laki.[29]
Pada perempuan, di samping
faktor fisik dan keadaan batin yang goncang selama haid, ada pula keadaan-keadaan
badan seperti berikut ini:
· Pertama-tama, yaitu perasaan kurang
enak badan, yang dirasa oleh perempuan selama ada haid itu.
· Kedua, karena congestio (darah
berlebihan banyak mengalir ke kulit atau alat badan yang lain) ke genetalia
maka hasrat akan bersenggama jadi bertambah, tetapi sebaliknya pula, karena
genetalia peka, maka perempuan itu jadi segan pada coitus. Apabila syahwat
dibangkitkan, maka oleh desakan darah, bagian-bagian dalam dari genetalia jadi
amat banyak mengandung darah, hingga pada sebagian perempuan yang ada
kerentanannya untuk itu, darah haid itu jadi luar biasa banyaknya; atau haid
itu kembali sesudah berhenti; mungkin pula karena desakan darah yang banyak itu
jadi terasa nyeri di sekitarnya, bahkan mungkin menjadi nyeri menahun kalau hal
ini acap kali berulang.
Dari pandangan di atas,
memberi pemahaman kepada kita bahwa dalam melihat sebuah hadis tidak boleh
tergesa-gesa dalam memberi kesimpulan, karena matan hadis dapat dipahami dan
didekati dari berbagai pendekatan. Dengan demikian untuk menguji kebenaran
sebuah hadis dari sisi rasionalitasnya yang merupakan unsur terpenting bagi
paradigma sains modern tidaklah mudah dilakukan, sebab selain diperlukan
penguasaan sains modern, juga dibutuhkan keahlian di bidang hadis serta
pengetahuan yang luas dan mendalam tentang ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Hadits oleh para ulama
diartikan sebagai segala yang disandarkan pada nabi baik berupa perkataan,
,perbuatan, persetujuan, atau sifat-sifatnya. Untuk memahami hadits, kita dapat
menggunakan metode :
memahami Hadis sesuai
dengan petunjuk Alquran
memahami Hadis secara
Tematik-Korelatif
memahami Hadis secara
Tekstual dan Kontekstual
memahami konsep pengujian
Hadis dengan kebenaran Ilmiah
Untuk dapat memahami hadis
dengan benar, jauh dari penyimpangan, pemalsuan, dan penafsiran, maka haruslah
kita memahaminya sesuai dengan petunjuk al-Qur'an. Untuk menafsirkan hadits,
penting untuk kita mengetahui apakah hadits tersebut harus dipahami secara
tekstual ataupun kontekstual.
Suatu hadits yang shahih,
akan sesuai dengan kajian-kajian ilmiah, dan tidak akan bertentangan. Oleh
karena itu, kita perlu mempelajari hadits untuk dapat memahami makna yang
terdapat dalam hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi Ismail, Hadits
Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya, (Jakarta:Gema Insani Press,
1995)
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi
Yang Tekstual Dan Kontekstual (Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1994)
Zainal Abidin (Et Al.),
Sains Dalam Hadits, (Jakarta : Amzah, 2011)
[1] Lihat Al-Quran Surah
Al-Hijr Ayat 87-99 Dan An-Nahl Ayat 125
[2] Syuhudi Ismail, Hadits
Nabi Menurut Pembela, Pengingkar Dan Pemalsunya, (Jakarta:Gema Insani Press,
1995), Hlm. 110.
[3] Agil Husain
Al-Munawwar Dan Abdul Mustaqim,Asbabul Wurud:Studi Kritis Atas Hadits Nabi,
Pendekatan Sosio, Historis, Kontekstual (Cet.1 ; Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2001), H.24-25
[4] Muhammad ‘Ajjaj
Al-Khatib, Al-Sunnah Qabl Al-Tadwin (Beirut : Dar Al-Fikr, 1971 M), Hlm. 20
Juga Pengarang Yang Sama, Ushl Al-Hadits ‘Ulumuh Wa Musthalahuh, (Beirut: Dar
Al-Fikr, 1989 M) Hlm. 226-227.
[5] Nashr Abu ‘Athaya
(Ed.) Kitab Majmu’ah Rasail Fi ‘Ulum Al-Hadits, (Beirut : Dar Al-Kutub
Al-‘Lmiyah, 1993), Hlm.8,
[6] Tim Penyusun Kamus
Pusat Bahasa Kbbi. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Cetakan Ketiga, Edisi Iii., Hal. 740.
[7] Nizar Ali, Memahami
Hadis Nabi (Metode Dan Pendekatan), (Yogyakarta: Center For Educational Studies
And Development (Cesad) Ypi Al-Rahmah. 2001)
[8] Yusuf Al-Qordawi,
Bagian Memahami Hadis Saw, Kharisma; Bandung, 1993 Hal. 92
[9] Mansukh Berarti Hukum
Yang Diangkat Atau Dihapuskan
[10] Drs. Nizar Ali, Ma,
Memahami Hadis Nabi Metode Dan Pendekatan, Eesad; Yogyakarta, 2001, Hal 84-85
[11] Abdul Majid Khon,
Takhrij & Metode Memahami Hadis, (Jakarta: Amzah, 2014), Hal. 141
[12] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran
Al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 165-167
[13] Abdul Majid Khon, Op.
Cit., Hal. 141
[14] Edi Safri, al-Imam
al-Syafi’iy; Metode Penyelesaian Hadis-Hadis Mukhtalif, (Padang: IAIN IB Press,
1999), h. 111
[15] Contoh ini juga telah
diungkapkan oleh Edi Safri, namun penulis melakukan konfirmasi dengan kitab
Ikhtilâf al-Hadîts. Lihat:h. 112-118 bandingkan dengan al-Syafi’iy,Ikhtilâf
al-Hadîts, op. cit., h. 115-121
[16] al-Syafi’iy, Ikhtilâf
al-Hadît, h. 117-118. terjemahan oleh Edi Safri, Lihat: Edi Safri,op. cit.,h.
111
[17] Syuhudi Ismail, Hadis
Nabi Yang Tekstual Dan Kontekstual (Jakarta: Pt. Bulan Bintang, 1994), Hlm. 90.
[18] Ibid, Hlm. 21.
[19] Asbabul Wurud Adalah
Konteks Historisitas, Baik Berupa Peristiwa Atau Pertanyaan Atau Lainnya Yang
Terjadi Pada Saat Hadis Itu Disampaikan.
[20] Fath Al-Bari, Juz Ix,
Hh. 172-174. Pengarang Kitab Subul Al-Salam, Yakni Muhammad Bin Isma’il
Al-Shan’ani Dan Pengarang Kitab Nail Al-Authar, Yakni Muhammad Bin Ali Bin
Muhammad Al-Syaukani Adalah Ulaa Yang Bermazhab Syiah Zaidiyah. Mereka
Berpendapat Bahwa Nikah Mut’ah Pada Zaman Nabi Pernah Dibolehkan, Tetappi
Kemudian Dilarang. Larangan Itu Berlaku Selamanya. Lihat, Subul Al-Salam, Juz
Iii, Hh. 125-127; Dan Nail Al-Authar, Juz Vi, Hh. 272-273.
[21] Uraian Panjang Lebar
Tentang Kebolehan Nikah Mutah Yang Dinyatakan Antara Lain Berdasarkan Ayat
Tersebut Telah Dikemukakan Oleh Kalangan Ulama Syiah Dua Belas, Misalnya Ja’far
Al-Murtadha Al-‘Amili, Al-Zawaj Al-Muaqqat Fi Al-Islam, Diterjemahkanoleh Abu
Muhammad Jawad, Nikah Mut’ah Dalam Islam, Yayasan Sajjad, Jakarta, 1413 H, 139
Halaman Dan I-V.
[22] Lihat Tafsir Ibn
Katsir, Juz I, Hh. 474-475; Fath Al-Qadir, Juz I, Hh. 449-450.
[23] H.A. Reason, The Road
Modern Science, (London: G. Bell and Science, 1959), cet. ke-3, hal. 1-2.
[24] Abdul Madjid Bin Azis
Azis Al-Zindani, Mukjizat Al-Qur’an Dan Al-Sunnah Tentang Iptek, (Jakarta: Gema
Insani Press, 1997), Cet. Ke-1, Hal. 192.
[25] Yusuf Qardawi,
As-Sunnah Sebagai Sumber Iptek Dan Peradaban, (Jakarta: Pustaka Kautsar, 1998),
Cet. Ke-1, Hal. 221.
[26] Abdul Malik Ali
Al-Kulaib, ‘Alâmah Al-Nubuwwah, Diterjemahkan Oleh Abu Fahmi Dengan Judul
Nubuwwah (Tanda-Tanda Kenabian), (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), Cet. Ke-1,
Hal. 124.
[27] Zaghul An-Najjar,
Al-I’jaz Al-‘Ilmiy Fi As-Sunnah An-Nabawiyah, Diterjemahkan Zainal Abidin (Et
Al.) Dengan Judul Sains Dalam Hadits, (Jakarta : Amzah, 2011), Hlm.280.
[28] Yusuf Qardhawiy,
Kaifa Nata’ammal Ma’a Al-Sunnah Al-Nabawiyah, Diterjemahkan Oleh Muhammad
Al-Baqir Dengan Judul Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Kharisma,
1994), Cet. Ke-3, Hal. 23.
[29] Ahmad Ramali,
Peraturan Untuk Memelihara Kesehatan Dalam Hukum Syara’ Islam, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1955), Cet. Ke-2, Hal. 206.