MAKALAH Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Hadiah dan Wakaf

BAB I

I.                   PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tidak bisa dipungkiri bahwa ummat Islam saat ini tengah mengalami kemunduran di berbagai bidang. Kemunduran ini antara lain disebabkan oleh kerusakan di bidang aqidah dan akhlaq ummatnya sendiri. Tentu saja hal ini selain merupakan kesalahan ummat Islam sendiri, juga karena strategi global musuh-musuh Islam terhadap ummat Islam di dunia. Selain itu kemunduran ini juga disebabkan oleh kurang kuatnya perekonomian ummat Islam. Padahal, dalam sumber daya manusia, Islam memegang jumlah terbesar, terutama Indonesia.

Menurut Nuryufa dalam Ishlah (1995), besarnya jumlah penduduk muslim tidak berarti apa-apa tanpa dibarengi dengan kesadaran akan kewajibannya untuk ikut menegakkan perekonomian ummat Islam baik melalui zakat, infaq, maupun shodaqoh. Padahal zakat merupakan soko guru dalam mu’amalat, baik secara nafsiyah (spiritual) maupun secara nadiyah (material), karena zakat berperan sangat mendasar dan bersifat permanen dalam menjawab masalah kemiskinan. Sebab itulah zakat, infaq, dan shodaqoh seringkali dipandang sebagai solusi yang paling penting bagi pengentasan kemiskinan, sehingga perlu kesadaran yang menyeluruh dari ummat Islam akan arti penting zakat, infaq, maupun shodaqoh bagi tegaknya perekonomian ummat. Dengan demikian ummat Islam akan mampu menjadi subyek dalam perekonomiannya sendiri.


Rumusan Masalah

1.      Pengertian Zakat

2.      Pengertian Infaq

3.      Pengertian Shadaqah

4.      Pengertian Hibah

5.      Pengertian Hadiah

6.      Pengertian Wakaf



II.                PEMBAHASAN

Zakat

Secara bahasa, zakat itu bermakna : [1] bertambah, [2] suci, [3] tumbuh [4] barakah.[1] Makna yang kurang lebih sama juga kita dapati bila membuka kamus Lisanul Arab.

Sedangkan secara syara`, zakat itu bermakna bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat).  Kata zakat di dalam Al-Quran disebutkan 32 kali. 30 kali dengan makna zakat dan dua kali dengan konteks dan makna yang bukan zakat. 8 dari 30 ayat itu turun di masa Mekkah dan sisanya yang 22 turun di masa Madinah.[1]

Sedangkan Imam An-Nawawi t mengatakan bahwa istilah zakat adalah istilah yang telah dikenal secara `urf oleh bangsa Arab jauh sebelum masa Islam datang. Bahkan sering disebut-sebut dalam syi`ir-syi`ir Arab Jahili sebelumnya. Hal yang sama dikemukakan oleh Daud Az-Zhahiri yang mengatakan bahwa kata zakat itu tidak punya sumber makna secara bahasa. Kata zakat itu merupakan `urf dari syariat Islam.

Zakat merupakan salah satu pilar dari pilar islam yang lima, Allah l. telah mewajibkan bagi setiap muslim untuk mengeluarkannya sebagai penyuci harta mereka, yaitu bagi mereka yang telah memiliki harta sampai nishab (batas terendah wajibnya zakat) dan telah lewat atas kepemilikan harta tersebut masa haul (satu tahun bagi harta simpanan dan niaga, atau telah tiba saat memanen hasil pertanian).

Banyak sekali dalil-dalil baik dari al-quran maupun as-sunnah sahihah yang menjelaskan tentang keutamaan zakat, infaq dan shadaqah.

Sebagaimana firman Allah ltaala :

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al Baqarah : 277 )

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar Ruum : 39 ) .

 “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah : 103 )

Adapun hadist-hadits nabawi yang menjelaskan akan keutamaannya antara lain :

Dari Abu Hurairah a bahwa seorang Arab Badui mendatangi Nabi y seraya berkata, “Wahai Rasulullah, beritahu aku suatu amalan, bila aku mengerjakannya, aku masuk surga?”, Beliau bersabda : “Beribadahlah kepada Allah dan jangan berbuat syirik kepada-Nya, dirikan shalat, bayarkan zakat yang diwajibkan, dan berpuasa di bulan Ramadhan,” ia berkata, “Aku tidak akan menambah amalan selain di atas”, tatkala orang tersebut beranjak keluar, Nabi y bersabda : “Siapa yang ingin melihat seorang lelaki dari penghuni surga maka lihatlah orang ini”. (Muttafaq ’alaih)

Infaq

Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan bukan  zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dan lain-lain. Infak sunnah diantara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan, dan lain-lan.

Infaq berasal dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut terminologi syariat, infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk suatu kepentingan yang diperintahkan Islam. Jika zakat ada nishabnya, infaq tidak mengenal nishab.

Infaq dikeluarkan setiap orang yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah ia di saat lapang maupun sempit (QS. 3:134). Jika zakat harus diberikan pada mustahik tertentu (8 asnaf), maka infaq boleh diberikan kepada siapapun. Misalnya, untuk kedua orang tua, anak-yatim, dan sebagainya (QS. 2:215)

Infaq adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan.

Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo’a setiap pagi dan sore : “Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : “Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran”.Infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah.  Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. Infak sunnah diantara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan, dll. Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo’a setiap pagi dan sore : “Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : “Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran”.[2]


Shadaqah

Adapun istilah shadaqah, maknanya berkisar pada 3 (tiga) pengertian berikut ini :

Pertama, shadaqah adalah pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah, tanpa disertai imbalan[3]. Shadaqah ini hukumnya adalah sunnah, bukan wajib. Karena itu, untuk membedakannya dengan zakat yang hukumnya wajib, para fuqaha menggunakan istilah shadaqah tathawwu’ atau ash shadaqah an nafilah. Sedang untuk zakat, dipakai istilah ash shadaqah al mafrudhah, Namun seperti uraian Az Zuhaili, hukum sunnah ini bisa menjadi haram, bila diketahui bahwa penerima shadaqah akan memanfaatkannya pada yang haram, sesuai kaidah syara’ :

“Al wasilatu ilal haram haram”: “Segala perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram pula”.

Bisa pula hukumnya menjadi wajib, misalnya untuk menolong orang yang berada dalam keadaan terpaksa (mudhthar) yang amat membutuhkan pertolongan, misalnya berupa makanan atau pakaian. Menolong mereka adalah untuk menghilangkan dharar (izalah adh dharar) yang wajib hukumnya. Jika kewajiban ini tak dapat terlaksana kecuali denganshadaqah, maka shadaqah menjadi wajib hukumnya, sesuai kaidah syara’ :

“ Maa laa yatimmul wajibu illa bihi fahuwa wajib”:“Segala sesuatu yang tanpanya suatu kewajiban tak terlaksana sempurna, maka sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya”

Dalam ‘urf (kebiasaan) para fuqaha, sebagaimana dapat dikaji dalam kitab-kitab fiqh berbagai madzhab, jika disebut istilah shadaqah secara mutlak, maka yang dimaksudkan adalah shadaqah dalam arti yang pertama ini –yang hukumnya sunnah– bukan zakat.


Kedua, shadaqah adalah identik dengan zakat. Ini merupakan makna kedua dari shadaqah, sebab dalam nash-nash syara’ terdapat lafazh “shadaqah” yang berarti zakat. Misalnya firman Allah SWT

“Sesungguhnya zakat-zakat itu adalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, amil-amil zakat …” (QS At Taubah : 60)

Dalam ayat tersebut, “zakat-zakat” diungkapkan dengan lafazh “ash shadaqaat”. Begitu pula sabda Nabi SAW kepada Mu’adz bin Jabal RA ketika dia diutus Nabi ke Yaman :

“…beritahukanlah kepada mereka (Ahli Kitab yang telah masuk Islam), bahwa Allah telah mewajibkan zakat atas mereka, yang diambil dari orang kaya di antara mereka, dan diberikan kepada orang fakir di antara mereka…” (HR. Bukhari dan Muslim).

Pada hadits di atas, kata “zakat” diungkapkan dengan kata “shadaqah”.

Berdasarkan nash-nash ini dan yang semisalnya, shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian, penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak. Artinya, untuk mengartikan shadaqah sebagai zakat, dibutuhkan qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa kata shadaqah dalam konteks ayat atau hadits tertentu artinya adalah zakat yang berhukum wajib, bukan shadaqah tathawwu’ yang berhukum sunnah. Pada ayat ke-60 surat At Taubah di atas, lafazh “ash shadaqaat” diartikan sebagai zakat (yang hukumnya wajib), karena pada ujung ayat terdapat ungkapan “faridhatan minallah” (sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah). Ungkapan ini merupakan qarinah, yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan lafazh “ash shadaqaat” dalam ayat tadi, adalah zakat yang wajib, bukan shadaqah yang lain-lain.

Begitu pula pada hadits Mu’adz, kata “shadaqah” diartikan sebagai zakat, karena pada awal hadits terdapat lafazh “iftaradha” (mewajibkan/memfardhukan). Ini merupakan qarinah bahwa yang dimaksud dengan “shadaqah” pada hadits itu, adalah zakat, bukan yang lain.

Dengan demikian, kata “shadaqah” tidak dapat diartikan sebagai “zakat”, kecuali bila terdapat qarinah yang menunjukkannya.

Ketiga, shadaqah adalah sesuatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’). Pengertian ini didasarkan pada hadits shahih riwayat Imam Muslim bahwa Nabi SAW bersabda : “Kullu ma’rufin shadaqah” (Setiap kebajikan, adalah shadaqah).


Berdasarkan ini, maka mencegah diri dari perbuatan maksiat adalah shadaqah, memberi nafkah kepada keluarga adalah shadaqah, beramar ma’ruf nahi munkar adalah shadaqah, menumpahkan syahwat kepada isteri adalah shadaqah, dan tersenyum kepada sesama muslim pun adalah juga shadaqah.

Agaknya arti shadaqah yang sangat luas inilah yang dimaksudkan oleh Al Jurjani ketika beliau mendefiniskan shadaqah dalam kitabnya At Ta’rifaat. Menurut beliau, shadaqah adalah segala pemberian yang dengannya kita mengharap pahala dari Allah SWT (Al Jurjani, tt : 132). Pemberian (al ‘athiyah) di sini dapat diartikan secara luas, baik pemberian yang berupa harta maupun pemberian yang berupa suatu sikap atau perbuatan baik.

Jika demikian halnya, berarti membayar zakat dan bershadaqah (harta) pun bisa dimasukkan dalam pengertian di atas. Tentu saja, makna yang demikian ini bisa menimbulkan kerancuan dengan arti shadaqah yang pertama atau kedua, dikarenakan maknanya yang amat luas. Karena itu, ketika Imam An Nawawi dalam kitabnya Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi mensyarah hadits di atas (“Kullu ma’rufin shadaqah”) beliau mengisyaratkan bahwa shadaqah di sini memiliki arti majazi (kiasan/metaforis), bukan arti yang hakiki (arti asal/sebenarnya). Menurut beliau, segala perbuatan baik dihitung sebagai shadaqah, karena disamakan dengan shadaqah (berupa harta) dari segi pahalanya (min haitsu tsawab). Misalnya, mencegah diri dari perbuatan dosa disebut shadaqah, karena perbuatan ini berpahala sebagaimana halnya shadaqah. Amar ma’ruf nahi munkar disebut shadaqah, karena aktivitas ini berpahala seperti halnya shadaqah. Demikian seterusnya.[4]


Hibah

Secara bahasa hibah adalah pemberian (athiyah), sedangkan menurut istilah hibah yaitu


عقد يفيد التمليك بلا عوض حا ل الالحياة تطوعا


“akad yang menjadikan kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.” [5]


Didalam syara” sendiri menyebutkan hibah mempunyai arti akad yang pokok persoalannya pemberian harta milik seseorang kepada orang lain diwaktu dia hidup, tanpa adanya imbalan. Apabila seseorang memberikan hartanya kepada orang lain untuk dimanfaatkan tetapi tidak diberikan kepadanya hak kepemilikan maka harta tersebut disebuti’aarah (pinjaman).[6]

Hibah disyariatkan dan dihukumi mandub (sunat) dalam Islam. Dan Ayat ayat Al quran maupun teks dalam hadist juga banyak yang menganjurkan penganutnya untuk berbuat baik dengan cara tolong menolong dan salah satu bentuk tolong menolong tersebut adalah memberikan harta kepada orang lain yang betul – betul membutuhkannya, dalam firman Allah:

… dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa..( QS: Al Maidah: 2).

Adapun barang yang sudah dihibahkan tidak boleh diminta kembali kecuali hibah orang tua kepada anaknya dalam sabda Nabi :

لا يحلّ لرجل أن يعطى عطيّة أوييهب هبة فيرجع فيها الاّ الوالد فيما يعطى لولده. (رواه ابو داوود وغيره )

“Tidak halal bagi seseorang yang telah memberi sesuatu pemberian atau menghibahkan suatu hibah atau menarik kembali kecuali orang tua yang memberi kepada anaknya.” (HR. Abu Daud)[7]


Hadiah

Menurut istilah syar’i, maka hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.

Dan di sana ada sisi keumuman dan kekhususan di kalangan para ulama antara hibah, pemberian (athiyah) dan shadaqah. Dan poros definisi di antara tiga perkara ini adalah niat, maka shadaqah diberikan kepada seseorang yang membutuhkan dan dalam rangka mencari wajah Allah Ta’ala. Sedangkan hadiah diberikan kepada orang yang fakir dan orang kaya, dan diniatkan untuk meraih rasa cinta dan membalas budi atas hadiah yang diberikan (sebelumnya -pent). Dan terkadang pemberian hadiah itu juga bertujuan untuk mencari wajah Allah. Adapun hibah dan athiyah, tidak ada di antara keduanya perbedaan dan terkadang dimaksudkan untuk memuliakan orang yang diberikan hibah atau athiyah saja dikarenakan suatu keistimewaan atau sebab tertentu dari sebab-sebab yang ada.

Diperbolehkan dengan kesepakatan (ulama -pent) umat ini. Apabila tidak terdapat di sana larangan syar’i. Terkadang disunnahkan untuk memberikan hadiah apabila dalam rangka menyambung silaturrahim, kasih sayang dan rasa cinta. Terkadang disyariatkan apabila dia termasuk di dalam bab ‘Membalas Budi dan Kebaikan Orang Lain dengan Hal yang Semisalnya’. Dan terkadang pula, bisa menjadi haram atau perantara menuju perkara yang haram, dan ia merupakan hadiah yang berbentuk suatu yang haram, atau termasuk dalam kategori sogok-menyogok dan yang sehukum dengannya.

Hadiah merupakan tanda cinta dan ketulusan hati. Ia merupakan lambang pemuliaan dan penghargaan. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan umatnya untuk saling memberi dan menerima hadiah. Beliau bersabda: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, agar kalian saling mencintai.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, Shahih al-Jami 3004, al-Irwa 1601)



Wakaf

Kata “Wakaf” atau “Wacf” berasal dari bahasa Arab “Waqafa”. Asal kata “Waqafa” berarti “menahan” atau “berhenti” atau “diam di tempat” atau tetap berdiri”. Kata “Waqafa-Yaqifu-Waqfan” sama artinya dengan “HabasaYahbisu-Tahbisan”. Kata al-Waqf dalam bahasa Arab mengandung beberapa pengertian

            اَلْوَقْفُ بِمَعْنَى التَّحْبِيْسِ وَالتَّسْبِيْلِ

           

Artinya : “Menahan, menahan harta untuk diwakafkan, tidak dipindahmilikkan”


Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Hukum wakaf sama dengan amal jariyah. Sesuai dengan jenis amalnya maka berwakaf bukan sekedar berderma (sedekah) biasa, tetapi lebih besar pahala dan manfaatnya terhadap orang yang berwakaf. Pahala yang diterima mengalir terus menerus selama barang atau benda yang diwakafkan itu masih berguna dan bermanfaat. Hukum wakaf adalah sunah. Ditegaskan dalam hadits:

اِذَا مَاتَ ابْنَ ادَمَ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ اِلاَّ مِنْ ثَلاَثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يَنْتَفَعُ بِهِ اَوْ وَلَدِ صَالِحٍ يَدْعُوْلَهُ (رواه مسلم)


Artinya: “Apabila anak Adam meninggal dunia maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga (macam), yaitu sedekah jariyah (yang mengalir terus), ilmu yang dimanfaatkan, atu anak shaleh yang mendoakannya.” (HR Muslim)

Harta yang diwakafkan tidak boleh dijual, dihibahkan atau diwariskan. Akan tetapi, harta wakaf tersebut harus secara terus menerus dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum sebagaimana maksud orang yang mewakafkan. Hadits Nabi yang artinya: “Sesungguhnya Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Umar bertanya kepada Rasulullah SAW; Wahai Rasulullah apakah perintahmu kepadaku sehubungan dengan tanah tersebut? Beliau menjawab: Jika engkau suka tahanlah tanah itu dan sedekahkan manfaatnya! Maka dengan petunjuk beliau itu, Umar menyedekahkan tanahnya dengan perjanjian tidak akan dijual tanahnya, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan.” (HR Bukhari dan Muslim)

Salah seorang ulama madzhab Hambali yang dikenal dengan nama Ibnu Qudamah berpendapat bahwa apabila harta wakaf mengalami rusak hingga tidak dapat membawa manfaat sesuai dengan tujuan, hendaklah dijual saja, kemudian harga penjualannya dibelikan benda-benda lain yang akan mendatangkan manfaat sesuai dengan tujuan wakaf dan benda-benda yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.[8]





III.             PENUTUP

Kesimpulan

1.      Zakat merupakan bagian tertentu dari harta yang dimiliki yang telah Allah wajibkan untuk diberikan kepada mustahiqqin (orang-orang yang berhak menerima zakat) atau disebut 8 asnaf.

2.      Infaq adalah pengeluaran sukarela yang di lakukan seseorang, setiap kali ia memperoleh rizki, sebanyak yang ia kehendakinya. Allah memberi kebebasan kepada pemiliknya untuk menentukan jenis harta, berapa jumlah yang yang sebaiknya diserahkan.

3.      Sedekah asal kata bahasa Arab shadaqoh yang berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seorang muslim kepada orang lain secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu. Juga berarti suatu pemberian yang diberikan oleh seseorang sebagai kebajikan yang mengharap ridho Allah SWT dan pahala semata.

4.      Hadiah ialah menyerahkan suatu benda kepada seorang tertentu agar terwujudnya hubungan baik dan mendapatkan pahala dari Allah tanpa adanya permintaan dan syarat.

5.      Hibah adalah merupakan suatu pemberian yang bersifat sukarela (tidak ada sebab dan musababnya) tanpa ada kontra prestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup (inilah yang membedakannya dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan setelah si pewasiat meninggal dunia).

6.      Pasal 1 ayat (1) UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf , wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.




DAFTAR PUSTAKA

Fiqhu az-Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1

Yunus Mahmud, Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936

Az Zuhaili Wahbah, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996

An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982

Syafei Rachmat,  Fiqh Muamalah,  (Bandung: Pustaka Setia, 2001)

Sabiq Sayyid, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet.  XX

H. Abdul Fatah Idris, dkk,  Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet.  III

Hendi Suhendi H., Fiqh Muamalah Ed.I, Jakarta:Rajawali Pers, 2010




[1] Fiqhu az-Zakah karya Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradawi jilid 1 halaman 38.

[2] Mahmud Yunus, Al Fiqhul Wadhih Juz II. Maktabah As Sa’diyah Putra. Padang. 1936, hal. 33

[3] Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz II. Darul Fikr. Damaskus. 1996, hal. 919

[4] An Nawawi. Sahih Muslim bi Syarhi An Nawawi Juz VII. Darul Fikr. Beirut. 1982, hlm. 91

[5] Rachmat Syafei,  Fiqh Muamalah,  (Bandung: Pustaka Setia, 2001),  hlm. 242

[6] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14, terj: Mudzakir, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1987), Cet.  XX, hlm. 174

[7] H. Abdul Fatah Idris, dkk,  Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2004), Cet.  III,  hlm. 197

[8] H. Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah Ed.I, Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 246 


Artikel Terkait