MAKALAH KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR DALAM AL QURAN

BAB I

PENDAHULUAN

A.          LATAR BELAKANG

Kemajuan peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi. Proses pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan pengalaman hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah sampai kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam semua tahapan perkembangan seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife education.

Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd). Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.

Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang kegiatan belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting karena tanpa itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Maka pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang kewajiban belajar mengajar dalam Q.S. Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. 




B.           RUMUSAN MASALAH

1.      Pengertian Belajar Dan mengajar

2.      Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar mengajar  Dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama

3.      Implementasi konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas


C.          TUJUAN PENELITIAN

1.      Untuk mengetahui Pengertian Belajar Dan mengajar

2.      Untuk mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar mengajar  Dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama

3.      Untuk mengetahui Implementasi konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas





BAB II

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN


A.    PENGERTIAN BELAJAR MENGAJAR

Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk belajar, karena “belajar” telah dimulainya bahkan sebelum berbentuk sebagai manusia yaitu ketika masih berbentuk spermatozoa yang belajar berusaha untuk mempertahankan eksistensinya ditengah 200-600 juta spermatozoa lainnya yang berjuang untuk survive menembus ovum untuk kemudian menjadi cikal bakal manusia yang mendiami rahim. Banyak diantaranya yang gugur ditengah jalan dan uniknya hanya satu atau dua sperma yang berhasil finish mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sementara yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi.[1]

Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu, berusaha memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan).[2] Belajar adalah sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk sosial manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu  yang berada dalam lingkungannya untuk menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan mengajar adalah memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu; memberi pelajaran. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu aktifitas yang dikerjakan dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan dalam proses itu sendiri ada sipelajar yang menerima ilmu dan ada guru yang memberikan pelajaran. Maka berbicara tentang belajar mengajar, tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai objek dari kegiatan ini.

Sejak awal kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat besar terhadap kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara lain dapat dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang secara empiris dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.[3]

B.     AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG BERKAITAN DENGAN KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR


1.      Q.S. Al-alaq ayat 1-5,

ù&tø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/u‘ur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   “Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ      

1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji. Sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.

Menurut Quraish Shihab,[4] kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, yang mana melahirkan makna lain seperti, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun yang tidak. Wahyu pertama ini tidak menjelaskan hal spesifik tentang apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi Rabbik, dalam artian bermanfaat bagi manusia.

Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.

Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena sebagaimana yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.[5]

Wahyu pertama ini dimulai dengan kata ( إقرأ = membaca) yaitu bentuk kata perintah atau فعل الأمر yang merupakan perubahan dari kata bentuk mudhari’ yang dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan huruf alif.[6] Menurut kaidah ushul al-fiqh,bahwa kata-kata dalam al-qur’an yang dimulai dari kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu sendiri, al-ashl fi> al-amr lil wuju>b. Dari sini dapat dipahami bahwa perintah belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimat.[7]

Menurut Al-Ghazali,[8] hadith ini menerangkan bahwa sekurang-kurangnya yang wajib bagi seorang muslim setelah mencapai akil baligh dan keislamannya adalah mengetahui dua kalimat syahadat dan memaknai maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya dengan penjelasan-penjelasan terperinci.

Selain itu, menurut Abuddin Nata,[9] wahyu pertama ini juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu berupa keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga mengandung pesan ontologis tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan membaca itu dipahami dalam objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa yang tertulis seperti dalam surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis sperti yang terdapat pada alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas yang ada didalamnya, dan dalam diri manusia.

Membaca (belajar) menjadi penting dan wajib karena dengan begitu manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani kehidupannya. Masih menurut Nata,[10] membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada dijagat raya dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan sebagainya. Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri manusia dari segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu raga, sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.

Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.


2.      Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20,

Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ ’n<Î) È@Î/M}$# y#ø‹Ÿ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   ’n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø‹Ÿ2 ôMyèÏùâ‘ ÇÊÑÈ   ’n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#ø‹x. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   ’n<Î)ur ÇÚö‘F{$# y#ø‹x. ôMysÏÜß™ ÇËÉÈ  

17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,?

18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?

20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Al-Maraghi mengatakan bahwa pada ayat 17 dipaparkan dalam bentuk istifham (bertanya) yang mengandung pengertian sanggahan terhadap keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran mereka kepada hari kebangkitan.

Sesungguhnya jika mereka yang ingkar dan ragu mau menggunakan akalnya untuk memikirkan bagaimana perihal penciptaan unta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, niscaya mereka  akan mengetahui bahwa semuanya diciptakan dan dipelihara oleh Allah. Kemudian Allah mengatur dan memelihara makhluknya dengan patokan yang serba rapi dan bijaksana.[11]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada para hambanya untuk memperhatikan kepada makhluk-makhluknya yang menunjukkan kepada kekuasaan dan keagungan-Nya, “apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Unta dikemukakan karena dia merupakan ciptaan yang menakjubkan, susunan tubuhnya sungguh memikat dan unta itu sendiri mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar biasa. “Dan langit bagaimana ia ditinggikan?” yaitu Allah meninggikan langit dari bumi ini merupakan peninggian yang sangat agung. “Dan gunung-gunung bagaiman ia ditegakkan?” yaitu menjadikannya tertancap sehingga menjadi kokoh dan teguh sehingga bumi tidak menjadi miring bersama penghuninya. “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” yaitu bagaimana dia dibentangkan, dipanjangkan, dan dihamparkan.

Allah sengaja memaparkan semua ciptaan-Nya secara khusus, sebab bagi orang yang berakal tentunya akan memikirkan apa yang ada disekitarnya. Seseorang akan melihat unta yang dimilikinya. Pada saat ia mengangkat pandangannya ke atas, ia melihat langit. Jika ia memalingkan pandangannya ke kiri dan kanan, tampak di sekelilingnya gunung-gunung. Dan jika ia meluruskan pandangannya atau menundukkannya, ia akan melihat bumi terhampar.


3.      Q.S At-taubah ayat 122,

* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ   

122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Tafsir Mufradat

لينفروا   : نفر – ينفر     = Berangkat perang

فلولا     : لولا             =

Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila hal itu terjadi  di masa yang akan datang. Tapi laula juga berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga laula, itu berarti perintah mengerjakannya.

فرقة      : الفرقة           Kelompok besar =

طآئفة   : الطآئفة         Kelompok kecil =

ليتفقهوا  : تفقه – يتفقه   =

Berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan susah payah untuk memperolehnya.

لينذروا   : أنذر – ينذر    Menakut-nakuti =

يحذرون  : حذر – يحذر   Berhati-hati =

Tafsir

Ayat  ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-sendi islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyari’atkan kecuali untuk menjadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.

Menurut riwayat  Al Kalabi dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan, “Setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rasul dalam peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya. Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendirian”, maka turunlah wahyu, “وما كان المؤمنون”

وما كان المؤمنون لينفروا كآفة…

Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ‘ain, yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengerahkan kaum mukmin menuju medan perang. (Al Maraghi, 1987:84-85)

Menurut Al-Maraghi ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan kepada mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.  


4.      Q.S Ali-Imran ayat 191

tûïÏ%©!$# tbrãä.õ‹tƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4’n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtƒur ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $uZ­/u‘ $tB |Mø)n=yz #x‹»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß™ $oYÉ)sù z>#x‹tã Í‘$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

Tafsir Mufradat


الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ    = orang-orang yang mengingat Allah

 قِيَامًا                   = berdiri

 وَقُعُودًا                 =  duduk

وَعَلَى جُنُوبِهِمْ         = berbaring

 وَيَتَفَكَّرُونَ             = dan mengingat

 فِي خَلْقِ                = penciptaan

السَّمَاوَاتِ              = langit

 وَالْأَرْضِ              = dan bumi

 رَبَّنَا                    = ya tuhan kami

 مَا خَلَقْتَ               = tiada engkau menciptakan

 هَذَا بَاطِلًا             = ini dengan sia-sia

 سُبْحَانَكَ                = Maha Suci Engkau

 فَقِنَا                     = maka peliharalah kami

عَذَابَ النَّار            = siksa api neraka

TAFSIR

Pada ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah, hidayah, dan menggambarkan keagungan Allah. Ia selalu mengingat Allah (berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia beridiri, duduk atau berbaring. Jadi dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi.[12]

Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah, sedangkan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu, Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibn ‘Abbas,

تفكرافى اخلق ولاتتفكروافى اخا لق

“Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah jangan sekali-kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan hakikat Penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan tidak akan dapat mencapai hakikat Zat Nya.”

Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat, sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat dan menyaksikan akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman.[13] Ucapan ini adalah lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang, seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah. Sebagai tanda pengakuan atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.[14]

Pada ujung ayat ini ( “Maha suci Engkau ! maka peliharalah kiranya kami dari azab neraka” ) kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon agar dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta mudahkanlah kami dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih.[15]



5.      Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.

öNs9urr& (#÷rttƒ y#ø‹Ÿ2 ä—ωö7ムª!$# t,ù=y‚ø9$# ¢OèO ÿ¼çn߉‹Ïèム4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ ’n?tã «!$# ׎šo„ ÇÊÒÈ   ö@è% (#rçŽÅ™ †Îû ÇÚö‘F{$# (#rãÝàR$$sù y#ø‹Ÿ2 r&y‰t/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yムnor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« փωs% ÇËÉÈ  

19. dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

[1147] Maksudnya: Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di akhirat

Makna Mufradat

Dalam makna mufradat pada surat Al-Ankabut ayat 19 Kata (يَرَوْا) yarau terambil dari kata ra’a yang adapat berarti melihat dengan mata kepala atau mata hati atau memikirkan atau memperhatikan.

Kata (يُبْدِئُ) yubdi’u terambil dari kata bada’a. kata yang terdiri dari huruf-hurufba’, dal’ dan hamzah, berkisar maknanya pada memulai sesuatu.

Sementara ulama membatasi kata (الْخَلْقَ) al-khalq pada ayat ini dalam pengertian manusia. Ini karena mereka memaknai kata (يُعِيدُهُ) yu’iduhu atau mengulanginya yakni mengembalikan manusia hidup kembali diakhirat setelah kematiannya didunia ini. [16]

Sedangkan makna mufradat surat Al-Ankabut ayat 20 kata (النَّشْأَةَ) an-nasy’ yaitu kejadian. akhirat yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan terjadinya sekali kejadian.

Penyebutan kata Allah pada firman-Nya: kemudian Allah menjadikannya di kali lain- walaupun telah disebut nama agung itu ketika  berbicara tentang penciptaan pertama kali, untuk menegaskan bahwa yang memulai penciptaan yaitu Allah, Dia juga melakukan kejadian pengulangannya.

Perintah berjalan yang dirangkaikan dengan perintah melihat seperti firmannya (فَانْظُرُوا الْأَرْضِ فِي سِيرُوا) stru fi al-ardhi fanzhuru, ditemukan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an. Ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah.[17]

Tafsir 

Dalam tafsir pada surat Al-Ankabut ayat 19 adalah Sebenarnya menciptakan pertama kali, sama saja bagi Allah dengan menghidupkan kembali. Keduanya adalah memberi wujud terhadap sesuatu, kalau pada penciptaan pertama yang wujud belum pernah ada, dan ternyata dapat wujud maka penciptaan kedua juga memberi wujud dan ini dalam logika manusia tertentu lebih mudah serta lebih logis daripada penciptaan pertama itu.

 Dikali pertama Allah mampu menciptakan manusia tanpa contoh terlebih dahulu. Maka kini setelah kalian menjadi tulang atau bahkan natu atau besi pun Allah akan mampu. Bukankah menurut logika kalian lebih mudah menciptakan sesuatu yang telah ada bahannya dan ada juga pengalaman melakukannya, daripada menciptakan pertama kali dan tanpa contoh terlebih dahulu.[18]

Kemudian tafsir surat Al-Ankabut ayat 20 adalah pengarahan Allah swt untuk melakukan riset tentang asal-usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti ketika mengetahuinya tentang keniscayaan kehidupan akhirat. Dalam Al-Qur’an surat ini memberi arahan-arahannya sesuai dengan kehidupan manusia dalam berbagai generasi, serta tingkat, konteks, dan sarana yang meraka miliki. Masing-masing menerapkan sesuai dengan kondisi kehidupan dan kemampuannya dan dalam saat yang sama terbuka peluang bagi peningkatan guna kemaslahatan hidup manusia dan perkembangannya tanpa henti.[19]



C.          Implementasi Konsep Belajar Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada beberapa ayat al-qur’an yang menyinggung tentang kewajiban belajar mengajar diantaranya adalah Q.S. Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Maka sesuai dengan ayat al-qur’an yang telah kami jelaskan tersebut, maka implementasinya dalam proses pembelajaran di kelas adalah :

1.      Anak didik maupun pendidik haruslah mampu membaca atau mengkaji. Guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika. (Q.S. Al-alaq ayat 1-5)

2.      Guru mengajak anak didik untuk melihat keagungan Dan kebesaran ciptaan Allah SWT. Agar kita selalu bersyukur Dan tidak ingkar kepada allah. (Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20)

3.      Hendaknya Seorang guru Dan seorang anak didik memperdalam ilmunya baik  ilmu umum maupun ilmu agamanya. Seorang guru mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan berguna bagi anak didiknya. (Q.S At-taubah ayat 122)

4.      Hendaknya pendidik mengajarkan dan mengingatkan anak didik untuk selalu dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri. Menghindarkan diri dari sombong. agar pembelajaran berjalan terarah hendaklah tetap mengingat kebesaran Allah SWT. Allah SWT lah yang berhak sombong karna Dia lah yang memiliki ilmu. (Q.S Ali-Imran ayat 191)

5.      Guru Dan anak didik melakukan riset atau observasi lapangan guna untuk mendapatkan bukti-bukti yang konkret yang mendukung pembelajaran. (Q.S Al-Ankabut ayat 19-20).






BAB III

KESIMPULAN

Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.

Kegiatan Belajar mengajar adalah kewajiban bagi setiap muslim, al-qur’an menjelaskan tentang kewajiban belajar mengajar yaitu :

1.      Q.S. Al-alaq ayat 1-5, kewajiban untuk membaca Dan mengkaji ilmu.

2.      Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, kewajiban untuk mengkaji keagungan Allah SWT.

3.      Q.S At-taubah ayat 122, kewajiban memperdalam Dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi kemaslahatan banyak orang.

4.      Q.S Ali-Imran ayat 191, kewajiban untuk dzikir dan pikir, tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri.

5.      Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.  Kewajiban untuk melakukan perjalanan Dan observasi lapangan guna mendapatkan bukti-bukti yang mendudkung pembelajaran.




DAFTAR PUSTAKA

Moh. Uzar Usman. 2005. Menjadi Guru Profesional. Remaja RosdaKarya: Bandung.

Taufiq Muhammad, Izzuddin. 2006. Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia. Tiga Serangkai : Solo.

Tim Redaksi Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa : Jakarta.

Shihab,  M Quraish. 2001. Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas berbagai Persoalan Umat . Mizan : Bandung.

Nadwi, Abdullah Abbas. 1996. Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an). Mizan : Bandung.

Al-Ghazali, 2003. Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Isla. Mizan: Bandung.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa.tp th .Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr)

Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati : Jakarta.

Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz IV. Pustaka Panjimas: Jakarta.

Ar-Rifa’I, M. Nasib. 199.  Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I. Gema Insani Press: Jakarta.




[1] Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia) (Solo: Tiga Serangkai, 2006), 42.

[2] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 28.

[3] Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 35.

[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat  (Bandung: Mizan, 2001), 433.

[5] Ibid, 434.

[6] Abdullah Abbas Nadwi, Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an) (Bandung: Mizan, 1996), 186.

[7] Al-Ghazali, Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Islam (Bandung: Mizan, 2003), 26.

[8] Ibid, 27

[9] Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 43.

[10] Ibid, 44.

[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, tp.th.), hal.162.


[12] . M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 308

[13] Ibid hlm.309

[14] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 251

[15] M. Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 635


[16] M. Quraish Shihab, Volume. 10, Op. Cit, hlm. 464-465

[17] Ibid, hlm. 464-468

[18] Ibid, hlm. 466

[19] Ibid, hlm. 469-470


Artikel Terkait

Newest Post