MAKALAH HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL DAN FUNGSI HADITS

 BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita( khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadist ialah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi pengertian hadits hanya pada ”Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkut paut dengan hukum.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Al-Qur’an.


B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat kita ungkapkan dalam pembahasan ini  adalah sebagai berikut :

Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam?

Bagaimana dalil-dalil kehujahan hadits?

Bagaimana fungsi-fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an?


C. Tujuan Dan Manfaat Pembahasan

Dengan pembahasan ini diharapkan :

 1. Mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam.

 2. Mengetahui dalil- dalil kehujjahan hadits.

 3. Memahami fungsi- fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.



BAB II

PEMBAHASAN


A.   Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam

     Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Al-Qur’an tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al- Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits  di samping Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadits merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara  Al-Qur’an dan hadits karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matlu (wahyu yang dibacakan oleh Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu ghoiru matlu ( wahyu yang tidak dibacakan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW secara langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad SAW.[1]

Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’i baik secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath’i secara global dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia. 

Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri.

                                              بِالْبَيّنَاتِ وَالزّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذّكْرَ لِتُبَيّنَ لِلنّاسِ مَا نُزّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلّهُمْ يَتَفَكّرُونَ

 “kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl 44).

                                                                     وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا....

 “Apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7).

Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang. 


B.    Dalil Kehujjahan Hadits

                 Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata :

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت

 “Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi SAW. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya. Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :

1.      Dalil Al-Qur’an 

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah :

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi : 

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ   اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Artinya:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136). 

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.

Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

                                                            قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Artinya:

“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).


 Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ

Artinya:

“Katakanlah: "Ta'at kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(An-Nur:54).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam. 

2.      Dalil Hadits

Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله(رواه الحاكم)

Artinya :

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”

(HR. Malik). 

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3.      Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini :

a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya. 

b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau     adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.” 

c. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”

     Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4.      Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)

Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.

Menurut Abdul Ghoni bin Abdul Kholiq dalam bukunya Hujjiyah al-Sunnah, kehujjahan hadits paling tidak dapat dipahami dari 7 aspek, yaitu

1.      ‘Ishamah (Keterpeliharaan Nabi dari Kesalahan)

Tugas Rasul sebagai penyampai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati- hati dalam bertindak

2.      Sikap Sahabat terhadap sunnah

Sikap para sahabat yang selalu patuh dan tunduk dengan perintah Rasulullah SAW memberikan satu indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan oleh beliau, dan  sekaligus dapat dijadikan hujjah.

3.      Al-Qur’an

Banyak ayat yang memerintahkan untuk patuh, taat dan mengambil apa yang dilakukan Nabi SAW.

4.      Al-Sunnah

Selain Al-Quran, terdapat banyak pula hadits yang menjelaskan kehujjahan al-Sunnah

5.      Kebutuhan al- Qur’an terhadap al-Sunnah

Al-Qur’an tidak akan dapat dipahami secara sempurna tanpa ada bantuan al-Sunnah

6.      Realitas-Sunnah sebagai wahyu

Wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi ada yang berupa wahyu dhohir ( yang berstatus terjaga dan terpelihara dari segala bentuk kesalahan)

7.      Ijma’

            Kesepakatan untuk mengambil hadits sebagai hujjah dan landasan hukum

    

C. Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam

Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.  Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

                                             بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya :

 Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

(QS. An-Nahl : 44)

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarat dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a.       Bayan Tafsir

    Yang dimaksud dengan bayan At -Tafsir adalah menjelaskan maksud dari Al-Qur’an Fungsi hadist dalam hal ini adalah merinci ayat secara global( bayan al mujmal), membatasi ayat yang mutlak ( taqyid al muthlaq), mengkhususkan ayat yang umum ( takhshish al’am) dan menjelaskan ayat yang dirasa rumit ( taudhih al musykil).[2]

     Diantara contoh bayan At -Tafsir mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan kemujmalan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang beribadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :

                                                                                   صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)

     “Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

     Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah :

    “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)

b.      Bayan Taqrir

Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan ta’kid ( penegas hukum) dan bayan al- itsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.  Suatu hadis yang diriwayatkan muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut :

                                                            فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)

Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini yang artinya :

“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)

c.       Bayan Tasyri’

     Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah menjelaskan hukum yang tidak disinggung langsung dalam Al-Qur’an. Bayan ini juga disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.

d.      Bayan An-Nasakh

     Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah). Menurut Ulama’ mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dan pengertian tersebut menurut ulama’ yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian. Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.

    Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits :

                                                                                                                  لا وصية لوارث

    Artinya :

   “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

     Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180     yang artinya :

   “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)

    

BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-Quran sebagai sumber utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaran- ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.

Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur’an, dalil Hadits, Ijma’ dan Ijtihad. Kehujjahan hadits dapat dipahami dari 7 aspek yaitu: Ishmah, sikap sahabat terhadap sunnah, Al-Qur’an, Al- Sunnah, Kebutuhan Al-Qur’an terhadap al-sunnah, realitas – sunnah sebagai wahyu dan Ijma’

Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu: bayan tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri’ dan bayan an-nasakh


B. Saran


           Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami untuk mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari Bapak Dosen yang telah membimbing kami dan para Mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.


Artikel Terkait