Labels

MAKALAH KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR DALAM AL QURAN

View Article

BAB I

PENDAHULUAN

A.          LATAR BELAKANG

Kemajuan peradaban manusia dewasa ini tak bisa dilepaskan dari kemajuan ilmu pengetahuan yang menjadi warisan terbesar dari proses pendidikan yang terjadi. Proses pendidikan itu dapat dikatakan berlangsung dalam semua lingkungan pengalaman hidup manusia mulai dari lingkup terkecil seperti keluarga, sekolah sampai kepada masyarakat luas. Hal ini berlangsung dalam semua tahapan perkembangan seseorang sepanjang hayatnya yang dikenal dengan istilah longlife education.

Dalam Islam pendidikan tidak dilaksanakan hanya dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (min al-mahd ila> al-lahd). Islam juga memotivasi pemeluknya untuk selalu membaca, menelaah dan meneliti segala sesuatu yang menjadi fenomena dan gejala yang terjadi di jagad alam raya ini dalam rangka meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hidup dan kehidupannya. Dalam pandangan Islam tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi yang sama dalam menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena manusia dapat mencapai kebahagiaan hari kelak dengan melalui jalan kehidupan dunia ini.

Berbicara tentang pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang kegiatan belajar mengajar yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri. Belajar mengajar memiliki peran yang sangat penting karena tanpa itu proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Maka pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang kewajiban belajar mengajar dalam Q.S. Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. 




B.           RUMUSAN MASALAH

1.      Pengertian Belajar Dan mengajar

2.      Ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar mengajar  Dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama

3.      Implementasi konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas


C.          TUJUAN PENELITIAN

1.      Untuk mengetahui Pengertian Belajar Dan mengajar

2.      Untuk mengetahui ayat-ayat Al-Quran yang mengandung tentang kewajiban belajar mengajar  Dan penafsiran ayat tersebut oleh para ulama

3.      Untuk mengetahui Implementasi konsep belajar dalam proses pembelajaran di kelas





BAB II

KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR DALAM PANDANGAN AL-QUR’AN


A.    PENGERTIAN BELAJAR MENGAJAR

Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk belajar, karena “belajar” telah dimulainya bahkan sebelum berbentuk sebagai manusia yaitu ketika masih berbentuk spermatozoa yang belajar berusaha untuk mempertahankan eksistensinya ditengah 200-600 juta spermatozoa lainnya yang berjuang untuk survive menembus ovum untuk kemudian menjadi cikal bakal manusia yang mendiami rahim. Banyak diantaranya yang gugur ditengah jalan dan uniknya hanya satu atau dua sperma yang berhasil finish mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sementara yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi.[1]

Secara sederhana, belajar berarti berusaha mengetahui sesuatu, berusaha memperoleh ilmu pengetahuan (kepandaian, keterampilan).[2] Belajar adalah sesuatu yang menarik karena sebagai makhluk individu dan makhluk sosial manusia selalu berusaha mengetahui sesuatu  yang berada dalam lingkungannya untuk menunjukkan eksistensi kemanusiaannya. Sedangkan mengajar adalah memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu; memberi pelajaran. Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu aktifitas yang dikerjakan dalam rangka memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan dalam proses itu sendiri ada sipelajar yang menerima ilmu dan ada guru yang memberikan pelajaran. Maka berbicara tentang belajar mengajar, tidak bisa dilepaskan dari ilmu pengetahuan itu sendiri sebagai objek dari kegiatan ini.

Sejak awal kehadirannya, islam telah memberikan perhatian yang amat besar terhadap kegiatan belajar dalam arti yang seluas-luasnya. Hal ini antara lain dapat dilihat pada apa yang ditegaskan dalam al-Qur’an, dan pada yang secara empiris dapat dilihat dalam sejarah. Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.[3]

B.     AYAT-AYAT AL-QUR’AN YANG BERKAITAN DENGAN KEWAJIBAN BELAJAR MENGAJAR


1.      Q.S. Al-alaq ayat 1-5,

ù&tø%$# ÉOó™$$Î/ y7În/u‘ “Ï%©!$# t,n=y{ ÇÊÈ   t,n=y{ z`»|¡SM}$# ô`ÏB @,n=tã ÇËÈ   ù&tø%$# y7š/u‘ur ãPtø.F{$# ÇÌÈ   “Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ   zO¯=tæ z`»|¡SM}$# $tB óOs9 ÷Ls>÷ètƒ ÇÎÈ      

1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

[1589] Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.

Dalam ayat ini kata iqra’ dapat berarti membaca atau mengkaji. Sebagai aktivitas intelektual dalam arti yang luas, guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika.

Menurut Quraish Shihab,[4] kata iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun, yang mana melahirkan makna lain seperti, menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca baik teks yang tertulis maupun yang tidak. Wahyu pertama ini tidak menjelaskan hal spesifik tentang apa yang harus dibaca, karena Al-Qur’an menghendaki ummatnya membaca apa saja selama bacaan itu bismi Rabbik, dalam artian bermanfaat bagi manusia.

Sementara kata al-qalam adalah simbol transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi, nilai dan keterampilan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kata ini merupakan simbol abadi sejak manusia mengenal baca-tulis hingga dewasa ini. Proses transfer budaya dan peradaban tidak akan terjadi tanpa peran penting tradisi tulis–menulis yang dilambangkan dengan al-qalam.

Selanjutnya, dapat diketahui pula bahwa ada dua cara perolehan dan pengembangan ilmu, yaitu Allah mengajar dengan pena sebagaimana yang telah diketahui manusia lain sebelumnya, dan mengajar manusia tanpa pena yang belum diketahuinya. Cara pertama adalah mengajar dengan alat atau atas dasar usaha manusia dan cara kedua adalah mengajar tanpa alat dan tanpa usaha manusia. Meskipun berbeda namun keduanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah SWT.[5]

Wahyu pertama ini dimulai dengan kata ( إقرأ = membaca) yaitu bentuk kata perintah atau فعل الأمر yang merupakan perubahan dari kata bentuk mudhari’ yang dibentuk dengan mengganti awalan katanya dengan huruf alif.[6] Menurut kaidah ushul al-fiqh,bahwa kata-kata dalam al-qur’an yang dimulai dari kata perintah adalah merupakan kewajiban dari perintah iu sendiri, al-ashl fi> al-amr lil wuju>b. Dari sini dapat dipahami bahwa perintah belajar (membaca) merupakan sebuah kewajiban bagi ummat islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَ مُسْلِمَةٍ

Menuntut ilmu adalah fardhu bagi setiap muslim dan muslimat.[7]

Menurut Al-Ghazali,[8] hadith ini menerangkan bahwa sekurang-kurangnya yang wajib bagi seorang muslim setelah mencapai akil baligh dan keislamannya adalah mengetahui dua kalimat syahadat dan memaknai maknanya, tidak wajib baginya untuk menyempurnakannya dengan penjelasan-penjelasan terperinci.

Selain itu, menurut Abuddin Nata,[9] wahyu pertama ini juga mengandung perintah agar manusia memiliki keimanan, yaitu berupa keyakinan terhadap adanya kekuasaan dan kehendak Allah, yang juga mengandung pesan ontologis tentang sumber dari ilmu pengetahuan. Pesan membaca itu dipahami dalam objek yang bermacam-macam, yaitu berupa apa yang tertulis seperti dalam surah Al-‘Alaq itu sendiri dan yang tidak tertulis sperti yang terdapat pada alam jagat raya dengan segala hukum kausalitas yang ada didalamnya, dan dalam diri manusia.

Membaca (belajar) menjadi penting dan wajib karena dengan begitu manusia dapat mengetahui hal-hal baru yang dapat memudahkannya dalam menjalani kehidupannya. Masih menurut Nata,[10] membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam al-Qur’an dapat menghasilkan ilmu-ilmu agama seperti Fiqih, Tauhid, Akhlak dan sebagainya. Sedangkan membaca yang ada dijagat raya dapat menghasilkan ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia dan sebagainya. Selanjutnya dengan membaca ayat-ayat Allah yang ada dalam diri manusia dari segi fisiknya menghasilkan sains seperti ilmu kedokteran dan ilmu raga, sedangkan dari tingkah lakunya dapat menghasilkan ilmu ekonomi, politik, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya.

Dengan demikian, karena objek ontologi seluruh ilmu tersebut adalah ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya ilmu itu pada hakekatnya adalah milik Allah dan harus diabdikan untuk Allah. Manusia hanya menemukan dan memanfaatkan ilmu-ilmu itu. Maka pemanfaatannya harus ditujukan untuk mengenal, mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT.


2.      Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20,

Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ ’n<Î) È@Î/M}$# y#ø‹Ÿ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   ’n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#ø‹Ÿ2 ôMyèÏùâ‘ ÇÊÑÈ   ’n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#ø‹x. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   ’n<Î)ur ÇÚö‘F{$# y#ø‹x. ôMysÏÜß™ ÇËÉÈ  

17. Maka Apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana Dia diciptakan,?

18. dan langit, bagaimana ia ditinggikan?

19. dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan?

20. dan bumi bagaimana ia dihamparkan?

Al-Maraghi mengatakan bahwa pada ayat 17 dipaparkan dalam bentuk istifham (bertanya) yang mengandung pengertian sanggahan terhadap keyakinan kaum kuffar dan sekaligus merupakan celaan atas sikap keingkaran mereka kepada hari kebangkitan.

Sesungguhnya jika mereka yang ingkar dan ragu mau menggunakan akalnya untuk memikirkan bagaimana perihal penciptaan unta, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditegakkan, dan bagaimana bumi dihamparkan, niscaya mereka  akan mengetahui bahwa semuanya diciptakan dan dipelihara oleh Allah. Kemudian Allah mengatur dan memelihara makhluknya dengan patokan yang serba rapi dan bijaksana.[11]

Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah memerintahkan kepada para hambanya untuk memperhatikan kepada makhluk-makhluknya yang menunjukkan kepada kekuasaan dan keagungan-Nya, “apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?” Unta dikemukakan karena dia merupakan ciptaan yang menakjubkan, susunan tubuhnya sungguh memikat dan unta itu sendiri mempunyai kekuatan dan kekokohan yang luar biasa. “Dan langit bagaimana ia ditinggikan?” yaitu Allah meninggikan langit dari bumi ini merupakan peninggian yang sangat agung. “Dan gunung-gunung bagaiman ia ditegakkan?” yaitu menjadikannya tertancap sehingga menjadi kokoh dan teguh sehingga bumi tidak menjadi miring bersama penghuninya. “Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?” yaitu bagaimana dia dibentangkan, dipanjangkan, dan dihamparkan.

Allah sengaja memaparkan semua ciptaan-Nya secara khusus, sebab bagi orang yang berakal tentunya akan memikirkan apa yang ada disekitarnya. Seseorang akan melihat unta yang dimilikinya. Pada saat ia mengangkat pandangannya ke atas, ia melihat langit. Jika ia memalingkan pandangannya ke kiri dan kanan, tampak di sekelilingnya gunung-gunung. Dan jika ia meluruskan pandangannya atau menundukkannya, ia akan melihat bumi terhampar.


3.      Q.S At-taubah ayat 122,

* $tBur šc%x. tbqãZÏB÷sßJø9$# (#rãÏÿYuŠÏ9 Zp©ù!$Ÿ2 4 Ÿwöqn=sù txÿtR `ÏB Èe@ä. 7ps%öÏù öNåk÷]ÏiB ×pxÿͬ!$sÛ (#qßg¤)xÿtGuŠÏj9 ’Îû Ç`ƒÏe$!$# (#râ‘É‹YãŠÏ9ur óOßgtBöqs% #sŒÎ) (#þqãèy_u‘ öNÍköŽs9Î) óOßg¯=yès9 šcrâ‘x‹øts† ÇÊËËÈ   

122. tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.

Tafsir Mufradat

لينفروا   : نفر – ينفر     = Berangkat perang

فلولا     : لولا             =

Kata-kata yang berarti anjuran dan dorongan melakukan sesuatu yang disebutkan sesudah kata-kata tersebut, apabila hal itu terjadi  di masa yang akan datang. Tapi laula juga berarti kecaman atas meninggalkan perbuatan yang disebutkan sesudah kata itu, apabila merupakan hal yang telah lewat. Apabila hal yang dimaksud merupakan perkara yang mungkin dialami, maka bisa juga laula, itu berarti perintah mengerjakannya.

فرقة      : الفرقة           Kelompok besar =

طآئفة   : الطآئفة         Kelompok kecil =

ليتفقهوا  : تفقه – يتفقه   =

Berusaha keras untuk mendalami dan memahami suatu perkara dengan susah payah untuk memperolehnya.

لينذروا   : أنذر – ينذر    Menakut-nakuti =

يحذرون  : حذر – يحذر   Berhati-hati =

Tafsir

Ayat  ini menerangkan kelengkapan dari hukum-hukum yang menyangkut perjuangan. Yakni, hukum mencari ilmu dan mendalami agama. Artinya, bahwa pendalaman ilmu agama itu merupakan cara berjuang dengan menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti, dan juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada iman dan menegakkan sendi-sendi islam. Karena perjuangan yang menggunakan pedang itu sendiri tidak disyari’atkan kecuali untuk menjadi benteng dan pagar dari dakwah tersebut, agar jangan dipermainkan oleh tangan-tangan ceroboh dari orang-orang kafir dan munafik.

Menurut riwayat  Al Kalabi dari Ibnu Abbas, bahwa beliau mengatakan, “Setelah Allah mengecam keras terhadap orang-orang yang tidak menyertai Rasul dalam peperangan, maka tidak seorang pun diantara kami yang tinggal untuk tidak menyertai bala tentara atau utusan perang buat selama-lamanya. Hal itu benar-benar mereka lakukan, sehingga tinggallah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam sendirian”, maka turunlah wahyu, “وما كان المؤمنون”

وما كان المؤمنون لينفروا كآفة…

Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin, dan juga tidak dituntut supaya mereka seluruhnya berangkat menyertai setiap utusan perang yang keluar menuju medan perjuangan. Karena, perang itu sebenarnya fardhu kifayah, yang apabila telah dilaksanakan oleh sebagian maka gugurlah yang lain, bukan fardhu ‘ain, yang wajib dilakukan setiap orang. Perang barulah menjadi wajib, apabila Rasul sendiri keluar dan mengerahkan kaum mukmin menuju medan perang. (Al Maraghi, 1987:84-85)

Menurut Al-Maraghi ayat tersebut memberi isyarat tentang kewajiban memperdalam ilmu agama serta menyiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk mempelajarinya di dalam suatu negeri yang telah didirikan serta mengajarkannya kepada manusia berdasarkan kadar yang diperkirakan dapat memberikan kemaslahatan kepada mereka sehingga tidak membiarkan mereka tidak mengetahui hukum-hukum agama yang pada umumnya harus diketahui oleh orang-orang yang beriman.  


4.      Q.S Ali-Imran ayat 191

tûïÏ%©!$# tbrãä.õ‹tƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4’n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtƒur ’Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚö‘F{$#ur $uZ­/u‘ $tB |Mø)n=yz #x‹»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß™ $oYÉ)sù z>#x‹tã Í‘$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ  

191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.

Tafsir Mufradat


الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ    = orang-orang yang mengingat Allah

 قِيَامًا                   = berdiri

 وَقُعُودًا                 =  duduk

وَعَلَى جُنُوبِهِمْ         = berbaring

 وَيَتَفَكَّرُونَ             = dan mengingat

 فِي خَلْقِ                = penciptaan

السَّمَاوَاتِ              = langit

 وَالْأَرْضِ              = dan bumi

 رَبَّنَا                    = ya tuhan kami

 مَا خَلَقْتَ               = tiada engkau menciptakan

 هَذَا بَاطِلًا             = ini dengan sia-sia

 سُبْحَانَكَ                = Maha Suci Engkau

 فَقِنَا                     = maka peliharalah kami

عَذَابَ النَّار            = siksa api neraka

TAFSIR

Pada ayat 191 mendefinisikan orang-orang yang mendalam pemahamannya dan berpikir tajam (Ulul Albab), yaitu orang yang berakal, orang-orang yang mau menggunakan pikirannya, mengambil faedah, hidayah, dan menggambarkan keagungan Allah. Ia selalu mengingat Allah (berdzikir) di setiap waktu dan keadaan, baik di waktu ia beridiri, duduk atau berbaring. Jadi dijelaskan dalam ayat ini bahwa ulul albab yaitu orang-orang baik lelaki maupun perempuan yang terus menerus mengingat Allah dengan ucapan atau hati dalam seluruh situasi dan kondisi.[12]

Dari keterangan diatas dapat diketahui bahwa objek dzikir adalah Allah, sedangkan objek pikir adalah makhluk-makhluk Allah berupa fenomena alam. Ini berarti pengenalan kepada Allah lebih banyak didasarkan kepada kalbu, Sedang pengenalan alam raya oleh penggunaan akal, yakni berpikir. Akal memiliki kebebasan seluas-luasnya untuk memikirkan fenomena alam, tetapi ia memiliki keterbatasan dalam memikirkan Dzat Allah, karena itu dapat dipahami sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim melalui Ibn ‘Abbas,

تفكرافى اخلق ولاتتفكروافى اخا لق

“Pikirkan dan renungkanlah segala sesuatu yang mengenai makhluk Allah jangan sekali-kali kamu memikirkan dan merenungkan tentang zat dan hakikat Penciptanya, karena bagaimanapun juga kamu tidak akan sampai dan tidak akan dapat mencapai hakikat Zat Nya.”

Orang-orang yang berdzikir lagi berfikir mengatakan: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan makhluk ini semua, yaitu langit dan bumi serta segala isinya dengan sia-sia, tidak mempunyai hikmah yang mendalam dan tujuan yang tertentu yang akan membahagiakan kami di dunia dan di akhirat, sebagaimana disebar luaskan oleh sementara orang-orang yang ingin melihat dan menyaksikan akidah dan tauhid kaum muslimin runtuh dan hancur. Maha Suci Engkau Ya Allah dari segala sangkaan yang bukan bukan yang ditujukan kepada Engkau. Karenanya, maka peliharalah kami dari siksa api neraka yang telah disediakan bagi orang-rang yang tidak beriman.[13] Ucapan ini adalah lanjutan perasaan sesudah dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri. Sebab itu bertambah tinggi ilmu seseorang, seyogyanya bertambah pula dia mengingat Allah. Sebagai tanda pengakuan atas kelemahan diri itu, dihadapan kebesaran Tuhan.[14]

Pada ujung ayat ini ( “Maha suci Engkau ! maka peliharalah kiranya kami dari azab neraka” ) kita memohon ampun kepada Tuhan dan memohon agar dihindarkan dari siksa neraka dengan upaya dan kekuatan-Mu serta mudahkanlah kami dalam melakukan amal yang diridhai Engkau juga lindungilah kami dari azab-Mu yang pedih.[15]



5.      Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.

öNs9urr& (#÷rttƒ y#ø‹Ÿ2 ä—ωö7ムª!$# t,ù=y‚ø9$# ¢OèO ÿ¼çn߉‹Ïèム4 ¨bÎ) šÏ9ºsŒ ’n?tã «!$# ׎šo„ ÇÊÒÈ   ö@è% (#rçŽÅ™ †Îû ÇÚö‘F{$# (#rãÝàR$$sù y#ø‹Ÿ2 r&y‰t/ t,ù=yÜø9$# 4 ¢OèO ª!$# à×Å´Yムnor'ô±¨Y9$# notÅzFy$# 4 ¨bÎ) ©!$# 4’n?tã Èe@à2 &äóÓx« փωs% ÇËÉÈ  

19. dan Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

20. Katakanlah: "Berjalanlah di (muka) bumi, Maka perhatikanlah bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian Allah menjadikannya sekali lagi[1147]. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

[1147] Maksudnya: Allah membangkitkan manusia sesudah mati kelak di akhirat

Makna Mufradat

Dalam makna mufradat pada surat Al-Ankabut ayat 19 Kata (يَرَوْا) yarau terambil dari kata ra’a yang adapat berarti melihat dengan mata kepala atau mata hati atau memikirkan atau memperhatikan.

Kata (يُبْدِئُ) yubdi’u terambil dari kata bada’a. kata yang terdiri dari huruf-hurufba’, dal’ dan hamzah, berkisar maknanya pada memulai sesuatu.

Sementara ulama membatasi kata (الْخَلْقَ) al-khalq pada ayat ini dalam pengertian manusia. Ini karena mereka memaknai kata (يُعِيدُهُ) yu’iduhu atau mengulanginya yakni mengembalikan manusia hidup kembali diakhirat setelah kematiannya didunia ini. [16]

Sedangkan makna mufradat surat Al-Ankabut ayat 20 kata (النَّشْأَةَ) an-nasy’ yaitu kejadian. akhirat yang digunakan dalam ayat ini menunjukkan terjadinya sekali kejadian.

Penyebutan kata Allah pada firman-Nya: kemudian Allah menjadikannya di kali lain- walaupun telah disebut nama agung itu ketika  berbicara tentang penciptaan pertama kali, untuk menegaskan bahwa yang memulai penciptaan yaitu Allah, Dia juga melakukan kejadian pengulangannya.

Perintah berjalan yang dirangkaikan dengan perintah melihat seperti firmannya (فَانْظُرُوا الْأَرْضِ فِي سِيرُوا) stru fi al-ardhi fanzhuru, ditemukan sebanyak tujuh kali dalam Al-Qur’an. Ini mengisyaratkan perlunya melakukan apa yang diistilahkan dengan wisata ziarah.[17]

Tafsir 

Dalam tafsir pada surat Al-Ankabut ayat 19 adalah Sebenarnya menciptakan pertama kali, sama saja bagi Allah dengan menghidupkan kembali. Keduanya adalah memberi wujud terhadap sesuatu, kalau pada penciptaan pertama yang wujud belum pernah ada, dan ternyata dapat wujud maka penciptaan kedua juga memberi wujud dan ini dalam logika manusia tertentu lebih mudah serta lebih logis daripada penciptaan pertama itu.

 Dikali pertama Allah mampu menciptakan manusia tanpa contoh terlebih dahulu. Maka kini setelah kalian menjadi tulang atau bahkan natu atau besi pun Allah akan mampu. Bukankah menurut logika kalian lebih mudah menciptakan sesuatu yang telah ada bahannya dan ada juga pengalaman melakukannya, daripada menciptakan pertama kali dan tanpa contoh terlebih dahulu.[18]

Kemudian tafsir surat Al-Ankabut ayat 20 adalah pengarahan Allah swt untuk melakukan riset tentang asal-usul kehidupan lalu kemudian menjadikannya bukti ketika mengetahuinya tentang keniscayaan kehidupan akhirat. Dalam Al-Qur’an surat ini memberi arahan-arahannya sesuai dengan kehidupan manusia dalam berbagai generasi, serta tingkat, konteks, dan sarana yang meraka miliki. Masing-masing menerapkan sesuai dengan kondisi kehidupan dan kemampuannya dan dalam saat yang sama terbuka peluang bagi peningkatan guna kemaslahatan hidup manusia dan perkembangannya tanpa henti.[19]



C.          Implementasi Konsep Belajar Dalam Proses Pembelajaran Di Kelas

Berdasarkan penjelasan diatas, maka ada beberapa ayat al-qur’an yang menyinggung tentang kewajiban belajar mengajar diantaranya adalah Q.S. Al-alaq ayat 1-5, Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, Q.S At-taubah ayat 122, Q.S Ali-Imran ayat 191 Dan Q.S Al-Ankabut ayat 19-20. Maka sesuai dengan ayat al-qur’an yang telah kami jelaskan tersebut, maka implementasinya dalam proses pembelajaran di kelas adalah :

1.      Anak didik maupun pendidik haruslah mampu membaca atau mengkaji. Guna memperoleh berbagai pemikiran dan pemahaman, tetapi segala pemikiran itu tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika. (Q.S. Al-alaq ayat 1-5)

2.      Guru mengajak anak didik untuk melihat keagungan Dan kebesaran ciptaan Allah SWT. Agar kita selalu bersyukur Dan tidak ingkar kepada allah. (Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20)

3.      Hendaknya Seorang guru Dan seorang anak didik memperdalam ilmunya baik  ilmu umum maupun ilmu agamanya. Seorang guru mempersiapkan segala sesuatunya agar bisa mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan berguna bagi anak didiknya. (Q.S At-taubah ayat 122)

4.      Hendaknya pendidik mengajarkan dan mengingatkan anak didik untuk selalu dzikir dan pikir, yaitu tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri. Menghindarkan diri dari sombong. agar pembelajaran berjalan terarah hendaklah tetap mengingat kebesaran Allah SWT. Allah SWT lah yang berhak sombong karna Dia lah yang memiliki ilmu. (Q.S Ali-Imran ayat 191)

5.      Guru Dan anak didik melakukan riset atau observasi lapangan guna untuk mendapatkan bukti-bukti yang konkret yang mendukung pembelajaran. (Q.S Al-Ankabut ayat 19-20).






BAB III

KESIMPULAN

Yang dimakud dengan belajar mengajar (pendidikan) dalam arti yang seluas-luasnya disini adalah pendidikan yang bukan hanya berarti formal seperti disekolah, tetapi juga yang informal dan nonformal. Yaitu pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh siapa saja yang memiliki ilmu pengetahuan dan keahlian, kepada siapa saja yang membutuhkan, dimana saja mereka berada, menggunakan sarana apa saja, dengan cara-cara apa saja, sepanjang hayat manusia itu.

Kegiatan Belajar mengajar adalah kewajiban bagi setiap muslim, al-qur’an menjelaskan tentang kewajiban belajar mengajar yaitu :

1.      Q.S. Al-alaq ayat 1-5, kewajiban untuk membaca Dan mengkaji ilmu.

2.      Q.S Al-Ghasiyah ayat 17-20, kewajiban untuk mengkaji keagungan Allah SWT.

3.      Q.S At-taubah ayat 122, kewajiban memperdalam Dan menyebarkan ilmu yang bermanfaat bagi kemaslahatan banyak orang.

4.      Q.S Ali-Imran ayat 191, kewajiban untuk dzikir dan pikir, tawakkal dan ridha, berserah dan mengakui kelemahan diri.

5.      Q.S Al-Ankabut ayat 19-20.  Kewajiban untuk melakukan perjalanan Dan observasi lapangan guna mendapatkan bukti-bukti yang mendudkung pembelajaran.




DAFTAR PUSTAKA

Moh. Uzar Usman. 2005. Menjadi Guru Profesional. Remaja RosdaKarya: Bandung.

Taufiq Muhammad, Izzuddin. 2006. Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia. Tiga Serangkai : Solo.

Tim Redaksi Bahasa Indonesia. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa : Jakarta.

Shihab,  M Quraish. 2001. Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas berbagai Persoalan Umat . Mizan : Bandung.

Nadwi, Abdullah Abbas. 1996. Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an). Mizan : Bandung.

Al-Ghazali, 2003. Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Isla. Mizan: Bandung.

al-Maraghi, Ahmad Musthafa.tp th .Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr)

Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Mishbah. Lentera Hati : Jakarta.

Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar Juz IV. Pustaka Panjimas: Jakarta.

Ar-Rifa’I, M. Nasib. 199.  Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I. Gema Insani Press: Jakarta.




[1] Muhammad Izzuddin Taufiq, Dalil Anfus Alqur’an Dan Embriologi (Ayat-ayat Tentang Penciptaan Manusia) (Solo: Tiga Serangkai, 2006), 42.

[2] Tim Redaksi Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 28.

[3] Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 35.

[4] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat  (Bandung: Mizan, 2001), 433.

[5] Ibid, 434.

[6] Abdullah Abbas Nadwi, Learning The Language Of The Holy Al-Qur’an (Belajar Mudah Bahasa Al-Qur’an) (Bandung: Mizan, 1996), 186.

[7] Al-Ghazali, Mutiara Ih}ya>’ ’Ulu>muddi>n: Ringkasan Yang Ditulis Sendiri Oleh Sang Hujjatul-Islam (Bandung: Mizan, 2003), 26.

[8] Ibid, 27

[9] Nata, Tafsir Ayat-ayat Pendidikan, 43.

[10] Ibid, 44.

[11] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Jilid II, (Mesir: Dar al-Fikr, tp.th.), hal.162.


[12] . M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 308

[13] Ibid hlm.309

[14] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 251

[15] M. Nasib Ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), hlm. 635


[16] M. Quraish Shihab, Volume. 10, Op. Cit, hlm. 464-465

[17] Ibid, hlm. 464-468

[18] Ibid, hlm. 466

[19] Ibid, hlm. 469-470


MAKALAH SEJARAH HADITS PRA KODIFIKASI

View Article

BAB I

PENDAHULUAN

Sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara histories.

Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW. Hadits merupakan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an, Ijma dan Qiyas.

Secara struktural maupun fungsional Hadis telah disepakati oleh mayoritas kaum Muslimin dari berbagai mazhab Islam, sebagai sumber ajaran dan pedoman hidup yang menduduki posisi kedua setelah al-Qur'an. Hadis yang tercantum dalam berbagai kitab hadis yang ada telah melalui proses penelitian ilmiah yang rumit dan mendapat perhatian yang khusus sejak dari masa pra kodifikasi sampai dengan saat ini sehingga menghasilkan kualitas Hadis yang diinginkan oleh para penghimpunnya. 

Islam mengenal dua sumber primer dalam perundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dan kedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sistem inventarisasi sumber tersebut. Al-Qur’an sejak awal diturunkan sudah ada perintah pembukuannya secara resmi, sehingga terpelihara dari kemungkinan pemalsuan. Berbeda dengan hadits, tak ada perlakuan khusus yang baku padanya, sehingga pemeliharaannya lebih merupakan spontanitas dan inisiatif para sahabat.

Hadits pada awalnya hanyalah sebuah literatur yang mencakup semua ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad SAW. Persetujuan Nabi yang tidak diucapkan terhadap orang-orang pada zamannya, dan gambaran-gambaran tentang pribadi Nabi. Mula-mula hadits dihafalkan dan secara lisan disampaikan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Setelah Nabi wafat pada tahun 10 H., islam merasakan kehilangan yang sangat besar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggap sebagai yang memiliki otaritas ajaran islam, dengan kematiannya umat merasakan otoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunya sumber informasi yang tersedia untuk memecahkan berbagai persoalan yang muncul di tengah-tengah umat islam yang masih muda itu, wahyu-wahyu ilahi, meskipun sudah dicatat, belum disusun dengan baik, dan belum dapat diperoleh atau tersedia secara materil ketika Nabi Muahammad SAW. wafat. Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan semangat Nabi, meskipun terkadang bersandar pada penilaian pribadi mereka. Namun, setelah beberapa lama, ketika muncul kesulitan-kesulitan yang tidak dapat lagi mereka pecahkan sendiri, mereka mulai menjadikan sunnah, seperti yang merupakan kebiasaan perilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu masalah. Sunnah yang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut dijadikan sebagai bagian dari referensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk kumpulan hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadits.


C. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah sejarah masa pra kodifikasi hadist?

2. Bagaimanakah keadaan hadist pada masa nabi?

3. Bagaimanakah keadaan hadist pada masa sahabat?

4. Bagaimanakah keadaan hadist pada masa tabi in?



BAB II

PEMBAHASAN


Ilmu Hadits Pra Kodifikasi

Masa pra kodifikasi hadits berarti masa sebelum hadis dibukukan, dimulai dari sejak munculnya hadits pertama yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dengan rentang waktu yang dilalui masa pra kodifikasi ini mencakup dua periode penting dalam sejarah transmisi hadits, yaitu periode rasulullah saw dan periode Sahabat. Pada dua periode ini metode transmisi yang digunakan kebanyakan adalah metode lisan. Meskipun demikian, tidak sedikit juga para Sahabat yang melakukan pencatatan hadits secara personal, walaupun pada permulaan turunnya wahyu, Rasulullah Saw pernah melarang para sahabat untuk mencatat selain al-Quran. Akan tetapi larangan tersebut bukanlah larangan yang bersifat mutlak, atau larangan tersebut merupakan larangan yang bersifat sementara, sampai para Sahabat benar-benar dapat membedakan antara Al-Quran dan Al-Hadis. Hal itu terbukti dengan adanya beberapa Sahabat yang mendapatkan izin dari beliau untuk melakukan pencatatan hadits, seperti Abdullah bin Amr ra, Rafi' bin Khadijah


Dari sini dapat disimpulkan bahwa pada masa pra kodifikasi ini sebagian besar hadits telah ditransmisikan melalui lisan dan hafalan. Namun hal ini sama sekali tidak mengurangi tingkat keotentikan hadits-hadits tersebut. Karena para Sahabat yang menjadi agen transmiter dalam hal ini, disamping sosok mereka yang sangat loyal terhadap Rasul Saw dan terpercaya, mereka juga dikaruniai hafalan yang kuat, sehingga dengan itu, kemampuan mereka untuk mentransmisikan hadits dari Rasulullah Saw secara akurat tidak diragukan lagi. Selain itu sejumlah Sahabat juga telah mentransmisikan hadits melalui catatan-catatan yang mereka buat hal itu dapat dibuktikan dengan adanya bebrerapa shahifah yang pernah ditulis pada rentang masa tersebut. Berikut ini adalah beberapa shahifah yang dimaksud:

Shahîfah al-Shadiqah, ditulis oleh Abdullah bin Amr ra.

Shahîfah Jabir bin Abdullah ra.

Shahîfah Ali bin Abi Thalib ra.

Shahîfah Hammam bin Munabbih, ditulis oleh Hammam dari riwayat Abu Hurairah ra.

Shahîfah Samurah bin Jundub ra.

Shahîfah Sa'd bin Ubadah  ra.

Hadist pada Masa Rasulullah SAW

Urgensi hadis dalam penentuan sikap terhadap berbagai makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran atau sebagai kewenangan tersendiri bagi Rasulullah Saw, bagi para sahabat, memiliki kedudukan yang khas dan sejarah tersendiri yang tidak bisa lepas dari aspek budaya dan peradaban saat itu. Sikap para sahabat tersebut, ditinjau dari aspek kebudayaan saat itu, meliputi dua titik persoalan yang utama, yakni perhatian dan tradisi mereka terhadap budaya lisan dan tulisan. Kedua aspek ini, dalam salah satu tinjauan riwayat Abu Hurairah, berlaku secara bersamaan dan menjadi tradisi yang mengakar bagi generasi selanjutnya. Dalam Shahih al-Bukhari Kitab al-Ilmu, Bab Kitabah al-ilm dinyatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata, "Tidak ada seorang pun sahabat Nabi Saw yang lebih banyak hadisnya daripada diriku selain Abdullah bin Amr, karena ia menulis sedangkan aku tidak". (Shahih al-Bukhari)

Penyampaian hadis secara lisan merupakan hal mendasar dalam tradisi saat itu. Bahkan setelah koleksi tertulis hadis disusun, penyampaian hadis secara lisan masih ideal. Kelisanan, dalam sistem ini, merupakan kebajikan bukan sebaliknya. Seperti hal yang meremehkan bukti tertulis, dan lebih menyukai pembuktian lisan langsung, ulama hadis pun menekankan superioritas penyampaian hadis secara langsung, pribadi, dan lisan. Nilai tulisan hanyalah untuk membantu mengingat


Cara Rasul Menyampaikan Hadist 

Ada suatu keistimewaan pada masa ini yang membedakannya dengan masa lainnya, yaitu umat islam dapat secara langsung memperoleh hadist dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadist. Dimana tempat-tempat yang  digunakan sebagai tempat pertemuan diantaranya adalah masjid, rumah beliau sendiri, dan pasar ketika beliau dalam perjalanan (safar).

Dalam riwayat Imam Bukhori, disebutkan Ibnu Mas'ud pernah bercerita bahwa Rasulullah SAW, menyampaikan hadistnya dengan berbagai cara, sehingga para sahabat selalu ingin mengikuti pengajiannya, dan tidak mengalami kejenuhan. Cara tersebut diantaranya adalah 

Melalui para jama'ah yang berada di pusat pembinaan atau majelis al-ilmi.

Melalui para sahabat-sahabat tertentu, kemudian mereka menyampaikannya kepada orang lain.

Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika haji wada' dan Futuh Makkah.

Untuk hal-hal tertentu, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, beliau menyampaikan melalui istri-istrinya. Begitu pula para sahabat, jika mereka segan bertanya kepada Nabi, mereka sering kali bertanya kepada istri-istri beliau.

Keadaan para sahabat dalam meneriama dan menguasai hadist 

Dalam perolehan dan penguasaan hadist, antara satu sahabat dengan sahabat yang lain tidaklah sama, ada yang memiliki banyak, ada yang sedang bahkan ada pula yang sedikit. Hal ini disebabkan karena:

Perbedaan mereka dalam hal kesempatan bersama Rasulullah SAW.

Perbedaan dalam soal hafalan dan kesungguhan bertanya kepada sahabat lain.

Perbedaan dalam hal waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari Majlis Rasul SAW.

Perbedaan dalam ketrampilan menulis, untuk menulis hadist.

Ada beberapa sahabat yang tercatat banyak menerima hadist dari Nabi SAW antara lain adalah:

Para sahabat yang termasuk As-Sabiqun Al- Awwalun, seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, ustman bin Affan, Ali bin Abi Tahlib.

Ummahat Al-Mu'minin (istri-istri rasul) seperti Aisyah dan Ummu Salamah. Hadist yang diterimanya banyak berkaitan dengan soal pribadi, keluarga, dan tatat pergaulan suami istri.

Para sahabat yang disamping dekat dengan Rasul juga menuliskan hadist yang diterimanya, seperti Abdullah Amr bin Ash.

Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah tetapi sangat efisian dalam memanfaatkan kesempatan dan bersungguh-sungguh bertanya kepada sahabat lain, seperti Abu Hurairah.

Sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti Majlis Rasul dan banyak bertanya kepada sahabat lain seperti, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas.

Aktifitas menghafal hadist 

Untuk memelihara kemurnian al-Qur'an dan Hadist, Rasulullah mengambil kebijakan terhadap Al-Qur'an beliau memberi instruksi untuk menulisnya selain menghafalkan. Sedangkan terhadap hadist beliau secara resmi memerintahkan unutk menghafal dan menyampaikannya kepada orang lain.

Dengan demikian, para sahabat bersungguh-sungguh untuk menghafal hadist agar tidak terjadi kekeliruaan dengan Al-Qur'an. Ada alasan yang cukup memberi motivasi kepada para Sahabat, diantaranya adalah:

Kegiatan menghafal merupakan budaya Arab yang telah ada sejak zaman praIslam.

Mereka terkenal kuat hafalan jika dibanding bangsa-bangsa lain.

Rasulullah banyak memberi spirit melalui doa-doanya agar mereka diberikan kekuatan hafalan dan dapat mencapai derajat yang tinggi.

Dan Rasul sering kali menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafalkan hadist dan menyampaikan kepada orang lain.

Aktifitas menulis hadist

Keadaan Hadis pada masa Nabi Muhammad SAW belum ditulis (dibukukan) secara resmi, walaupun ada beberapa sahabat yang menulisnya. Hal ini dikarenakan ada larangan penulisan hadist dari Nabi SAW dengan sabdanya

لاتكقبو اعنّى سيئا غير القران فمن كتب عنّى سيئا غير القر ان فليمحه.

" jangan menulis apa-apa selain Al-Qur'an dari saya, barang siapa yang menulis dari saya selain Al-Qur'an hendaklah menghapusnya". (Hr. Muslim dari Abu Sa;id Al-Khudry)

Tetapi disamping ada hadist yang melarang penulisan ada juga hadist yang membolehkan penulisan hadist, yaitu sabda Nabi SAW:

اكتب عنّى فو الذى نفس بيده ما خرج من فمن الاالحق.

"tulislah dari saya, demi Dzat yang diriku didalam kekuasaanNYA, tidak keluar dari mulutku kecuali yang hak".

Dua hadist diatas tampaknya bertentangan, maka para ulama mengkompromikannya sebagai berikut:

Bahwa larangan menulis hadist itu terjadi pada awal-awal Islam untuk memelihara agar hadist tidak tercampur dengan Al-Qur'an. Tetapi setelah itu jumlah kaum muslimin semakin banyak dan telah banyak yang mengenal Al-Qur'an, maka hukum larangan menulisnya telh dinaskhkan dengan perintah yang membolehkannya.

Bahwa larangan menulis hadist itu bersifat umum, sedang perizinan menulisnya bersifat khusus bagi orang yang memiliki keahlian tulis menulis. Hingga terjaga dari kekeliruan dalam menulisnya, dan tidak akan dikhawatirkan salah seperti Abdullauh bin Amr bin Ash.

Bahwa larangan menulis hadist ditujukan pada orang yang kuat hafalannya dari pada menulis, sedangkan perizinan menulisnya diberikan kepada orang yang tiak kaut hafalannya. 

Hadist pada Masa Sahabat 

Periode kedua sejarah perkembangan hadist, adalah masa sahabat, khususnya masa Khulafa Al-Rasyidin (Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Usman Ibn Affan dan Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar 11 H sampai 40 H, masa ini juga disebut dengan sahabat besar.

Menjaga Pesan Rasul SAW 

Pada masa menjelang kerasulannya, Rasulullah SAW berpesan kepada para sahabat agar berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan Hadist serta mengerjakannya kepada orang lain sebagai mana sabdanya :

تركت فيكم أمر يى لن تملّوا ما تمسّكم بهما كتاب الله وسنة نبيّه

"Telah aku tinggalkan untuk kalian dua macam, yang tidak akan tersesat setelah berpegang kepada keduanya, yaitu kitab Allah (Al-Qur'an) dan sunnahku (Al-Hadist) " H.R Malik

Pesan-pesan Rasul Saw sangat mendalam pengaruhnya kepada para sahabat, sehingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya. Kecintaan mereka kepada Rasul SAW dibuktikan dengan melaksanakan segala yang dicontohkan.


Berhati-hati dalam Meriwayatkan dan Menerima Hadist


Perhatian sahabat pada masa ini terutama sekali terfokus pada usaha memelihara dan menyebarkan Al-Qur'an, ini terlihat bagaimana Al-Qur'an dibukukan pada masa Abu Bakar atas saran Umar Ibn Khattab, usaha pembukuan ini diulang juga pada masa Usman Ibn Affan, sehingga melahirkan mushaf Usmani satu disimpan di Madinah yang dinamai Mushaf Al-Imam dan yang empat lagi masing-masing disimpan di Makkah,  Basrah, Syiria dan Kuffah.

Perlu pula dijelaskan disini, bahwa pada masa ini belum ada usaha resmi untuk menghimpun hadis dalam suatu kitab, seperti halnya Al-Qur'an. Hal ini (umat islam) dalam mempelajari Al-Qur'an. Sebab lain pula, bahwa para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar diberbagai daerah kekuasaan islam, dengan kesibukannya masing-masing sebagai pembina masyarakat. Sehingga dengan kondisi seperti ini, ada kesulitan mereka secara lengkap. Pertimbangan lainnya, bahwa soal membukukan hadist dikalangan para  sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat, belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya.


Periwayatan Hadist dengan Lafadz dan Makna.

Pembatasan atau penyederhanaan periwayatan hadist, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sifat kehati-hatiannya, tidak berarti hadist-hadist Rasul tidak diriwayatkan. Dalam batasan-batasan tertentu hadist-hadist itu diriwayatkan. Khususnya permasalahan ibadah dan muamalah. Periwayatan tersebut dilakukan setelah diteliti secara ketat pembawa hadist tersebut dan kebenaran isi matannya.

Ada dua jalan sahabat dalam meriwayatkan hadist dari Rasul SAW:

Pertama, periwayatan lafdzi (redaksinya persis seperti yang disampaikan Rasul). Kebanyakan para sahabat meriwayatkan hadist dengan jalan ini. Mereka berusaha agar periwayatan hadist sesuai dengan redaksi dari Rasul SAW, seperti sahabat Ibnu Umar.

Kedua, periwayatan maknawi (maknanya saja). Periwayatan maknawi artinya periwayatan hadist yang matannya tidak persis sama dengan yang didengarnya dari Rasul SAW akan tetapi isi atau maknanya tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul SAW tanpa ada perubahan.

Pada masa ini juga belum ada usaha secara resmi untuk menghimpun hadist dalam suatu kitab halnya Al-Qur'an, hal ini disebabkan karena:

Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur'an.

Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.

Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya. 

Hadist Pada Masa Tabi'in

Pada dasarnya periwayatan yang dilakukan oleh kalangan Tabi'in tidak berbeda dengan yang dilakukan oleh para sahabat sebagai para guru-guru mereka. Hanya saja persoalan yang dihadapi mereka agak berbeda dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini Al-Qur'an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf. Dipihak lain, usaha yang telah dirintis oleh para sahabat, pada masa khulafa' Al-Rasyidin kebeberapa wilayah kekuasaan islam, kepada merekalah para tabi'in mempelajari hadist.

Ketika pemerintahan dipegang Bani Umayyah, wilayah kekuasaan islam sudah meliputi Makkah, Madinah, Bashrah, Khurasan, Mesir, Persia, Irak, Afrika Selatan, Samarkand, dan Spanyol. Sejalan dengan pesatnya perluasaan kekuasaan Islam tersebut, penyebaran sahabat ke daerah-daerah juga meningkat. Oleh sebab itu, masa ini dikenal masa penyebaran periwayatan hadist dan masa pembukuan hadis

Hadist-hadist yang diterima para tabi'in ini, seperti telah disebutkan ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan dan ada yang harus dihafal, disamping dalam bentuk yang sudah terpolakan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadist pun yang tercecer atau terlupakan.

Sampai pada akhirnya fakta sejarah menunjukkan bahwa pada abad pertama perkembangan hadis, sebagian perawi mencatat hadis-hadis dari para pendahulunya, sedang yang lain tidak mencatatnya. Dalam meriwayatkannya mereka berpegang pada ingatan dan kekuatan hafalannya. Keadaan demikian terus berlangsung hingga masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau memerintahkan Kasir bin Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadis dari para sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya, kecuali hadis-hadis dari Abu Hurairah, karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan, telah mengeluarkan perintah kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk men-tadwin (mengkodifikasikan) hadis. Selain itu, ia juga memerintahkan kodifikasi hadis kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Imam Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut sebagai berikut, "Lihat dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu tulislah, karena aku takut akan hilang dan punahnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama".

Selain itu Umar berpesan agar Ibnu Hazm mencatat hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman seorang wanita Anshar anak al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar. Abu Nu'aim meriwayatkan bahwa Umar juga mengirim surat ke beberapa daerah, bunyinya sebagai berikut, "Telitilah hadis-hadis Rasulullah, lalu kumpulkanlah". Perintah Umar bin Abdul Aziz rupanya telah berhasil membangkitkan minat para ulama untuk semakin meningkatkan usaha pengkodifikasian hadis.



C. KESIMPULAN

Sejarah hadist pra kodifikasi terbagi menjadi beberapa bagian, untuk lebih mudah memahaminya, berikut uraiannya. 

1. Hadist pada masa Rasul SAW

Dalam masa ini ada beberapa hal penting yang berkaitan dengan masa itu:

Cara rasul menyampaikan hadist, melalui jamaah pada majlis-majlis, masjid, rumah beliu, pasar (ketika dalam perjalanan), ceramah dan pidato di tempat-tempat terbuka seperti ketika haji wada' dan Futuh Makkah.

Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadist, sesuai dengan kapasitas masing-masing sahabat.

Pemeliharaan hadist melalui hafalan, tulisan dan shahifah. 

2. Hadist pada masa sahabat

Kehati-hatian para sahabat dalam hal pembukuan hadist dan pada masa itu belum ada pembukuan secara resmi, dikarenakan beberapa hal yang diantaranya adalah :

Agar tidak memalingkan perhatian umat Islam dalam mempelajari Al-Qur'an.

Para sahabat yang banyak menerima hadist dari Rasul SAW sudah tersebar ke berbagai daerah kekuasaan Islam.

Soal membukukan hadist, dikalangan sahabat sendiri terjadi perselisihan pendapat. Belum lagi terjadinya perselisihan soal lafadz dan kesahihannya. 

3. Hadist pada masa tabi'in

Pada masa ini dikenal sebagai masa penyebaran periwayatan hadist keberbagai penjuru. Dan pada masa pemerintahan Abdul Aziz bin Marwan. Beliau memerintahkan Kasir bin Murrah al-Hadhrami untuk menulis semua hadis dari para sahabat Rasulullah yang dapat diperolehnya, kecuali hadis-hadis dari Abu Hurairah, karena ia sudah memilikinya. Umar bin Abdul Aziz, diriwayatkan, telah mengeluarkan perintah kepada Abu Bakar Muhammad bin Amr bin Hazm, Gubernur Madinah untuk men-tadwin (mengkodifikasikan) hadis. Selain itu, ia juga memerintahkan kodifikasi hadis kepada Ibnu Syihab Az-Zuhri (w. 124 H). Imam Malik dalam al-Muwatta meriwayatkan perintah Umar tersebut sebagai berikut, "Lihat dan telitilah hadis-hadis Rosulullah, sunahnya, hadis Umar atau sebagainya, lalu tulislah, karena aku takut akan hilang dan punahnya ilmu disebabkan meninggalnya ulama.


DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier, ilmu hadist, Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. 2002

Al- Ramaharmuzi, Al-Muhaddis Al-Fashil Baina ar-Rawi wa al-wa'I (Beirut: Al-Fikr)

Imam Malik, al-Muwatha' juz 2. Hlm 56. periwayat lain adalah Abu Daud, al-Tirmidzi, dan sa'ad ibn Majjah.


MAKALAH HADITS SEBAGAI SUMBER AJARAN AGAMA, DALIL DAN FUNGSI HADITS

View Article

 BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Menurut bahasa (lughat), hadits dapat berarti baru, dekat (qarib) dan cerita( khabar). Sedangkan menurut istilah ahli hadist ialah “segala ucapan Nabi, segala perbuatan beliau dan segala keadaan beliau”. Akan tetapi para ulama Ushul Hadits, membatasi pengertian hadits hanya pada ”Segala perkataan, segala perbuatan dan segala taqrir Nabi Muhammad SAW, yang bersangkut paut dengan hukum.

Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama atau primer dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Hadits atau Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder atau kedua setelah Al-Qur’an.


B. Rumusan Masalah

Adapun masalah yang dapat kita ungkapkan dalam pembahasan ini  adalah sebagai berikut :

Bagaimana kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam?

Bagaimana dalil-dalil kehujahan hadits?

Bagaimana fungsi-fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an?


C. Tujuan Dan Manfaat Pembahasan

Dengan pembahasan ini diharapkan :

 1. Mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam.

 2. Mengetahui dalil- dalil kehujjahan hadits.

 3. Memahami fungsi- fungsi hadits terhadap Al-Qur’an.



BAB II

PEMBAHASAN


A.   Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam

     Hadits dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat urgen. Dimana hadits merupakan salah satu sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an akan sulit dipahami tanpa intervensi hadits. Memakai Al-Qur’an tanpa mengambil hadits sebagai landasan hukum dan pedoman hidup adalah hal yang tidak mungkin, karena Al- Qur’an akan sulit dipahami tanpa menggunakan hadits. Kaitannya dengan kedudukan hadits  di samping Al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam, maka Al-Qur’an merupakan sumber pertama, sedangkan hadits merupakan sumber kedua. Bahkan sulit dipisahkan antara  Al-Qur’an dan hadits karena keduanya adalah wahyu, hanya saja Al-Qur’an merupakan wahyu matlu (wahyu yang dibacakan oleh Allah SWT, baik redaksi maupun maknanya, kepada Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan bahasa arab) dan hadits wahyu ghoiru matlu ( wahyu yang tidak dibacakan Allah SWT  kepada Nabi Muhammad SAW secara langsung, melainkan maknanya dari Allah dan lafalnya dari Nabi Muhammad SAW.[1]

Ditinjau dari segi kekuatan di dalam penentuan hukum, otoritas Al-Qur’an lebih tinggi satu tingkat daripada otoritas Hadits, karena Al-Qur’an mempunyai kualitas qath’i baik secara global maupun terperinci. Sedangkan Hadits berkulitas qath’i secara global dan tidak secara terperinci. Disisi lain karena Nabi Muhammad SAW, sebagai manusia yang tunduk di bawah perintah dan hukum-hukum Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW tidak lebih hanya penyampai Al-Qur’an kepada manusia. 

Rasulullah SAW adalah orang yang setiap perkataan dan perbuatannya menjadi pedoman bagi manusia. Karena itu beliau ma’shum (senantiasa mendapat petunjuk Allah SWT). Dengan demikian pada hakekatnya Sunnah Rasul adalah petunjuk yang juga berasal dari Allah. Kalau Al Qur’an merupakan petunjuk yang berupa kalimat-kalimat jadi, yang isi maupun redaksinya langsung diwahyukan Allah, maka Sunnah Rasul adalah petunjuk dari Allah yang di ilhamkan kepada beliau, kemudian beliau menyampaikannya kepada umat dengan cara beliau sendiri.

                                              بِالْبَيّنَاتِ وَالزّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذّكْرَ لِتُبَيّنَ لِلنّاسِ مَا نُزّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلّهُمْ يَتَفَكّرُونَ

 “kami telah menurunan peringatan (Al-Qur’an) kepada engkau (Muhammad) supaya kamu menerangkan kepada segenap manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka” (QS. An-Nahl 44).

                                                                     وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا....

 “Apa-apa yang didatangkan oleh Rasul kepada kamu, hendaklah kamu ambil dan apa yang dilarang bagimu hendaklah kamu tinggalkan” (QS. Al-Hasyr 7).

Ayat-ayat diatas menjelaskan bahwa sunnah/ hadits merupakan penjelasan Al-Qur’an. Sunnah itu diperintahkan oleh Allah untuk dijadikan sumber hukum dalam Islam. Dengan demikian, sunnah adalah menjelaskan Al-Qur’an, membatasi kemutlakannya dan mentakwilkan kesamarannya. Allah menetapkan bahwa seorang mukmin itu belum dapat dikategorikan beriman kepada Allah sebelum mereka mengikuti segala yang diputuskan oleh Rasulullah SAW dan dengan putusannya itu mereka merasa senang. 


B.    Dalil Kehujjahan Hadits

                 Yang dimaksud dengan kehujjahan Hadits (hujjiyah hadits) adalah keadaan Hadits yang wajib dijadikan hujah atau dasar hukum (al-dalil al-syar’i), sama dengan Al-Qur’an dikarenakan adanya dalil-dalil syariah yang menunjukkannya. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.

Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila hadits tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum. Dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Imam-imam pembina mazhab semuanya mengharuskan kita umat Islam kembali kepada As-Sunnah dalam menghadapi permasalahannya.

Asy-Syafi’i berkata :

إذا وجدتم في كتابي خلاف سنة رسول الله ص م فقولوا بسنة رسول الله ص م ودعوا ما قلت

 “Apabila kamu menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlawanan dengan sunnah Rasulullah Saw. Maka berkatalah menurut Sunnah Rasulullah Saw, dan tinggalkan apa yang telah aku katakan.”

Perkataan imam Syafi’i ini memberikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam kenyataannya berlawanan dengan hadits Nabi SAW. Dan apa yang dikategorikan pengertian bahwa segala pendapat para ulama harus kita tinggalkan apabila dalam Asy-Syafi’i ini juga dikatakan oleh para ulama yang lainnya. Tetapi Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

Untuk mengetahui  sejauh mana kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli :

1.      Dalil Al-Qur’an 

Banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang datang dari Rasulullah Saw untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah :

Firman Allah Swt dalam surah Ali Imran ayat 179 yang berbunyi : 

مَا كَانَ اللَّهُ لِيَذَرَ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى مَا أَنْتُمْ عَلَيْهِ حَتَّى يَمِيزَ الْخَبِيثَ مِنَ الطَّيِّبِ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُطْلِعَكُمْ عَلَى الْغَيْبِ وَلَكِنَّ   اللَّهَ يَجْتَبِي مِنْ رُسُلِهِ مَنْ يَشَاءُ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَإِنْ تُؤْمِنُوا وَتَتَّقُوا فَلَكُمْ أَجْرٌ عَظِيمٌ

Artinya:

“Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mu'min). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang ghaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasulNya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”(QS:Ali Imran:179)

Dalam Surat An-Nisa ayat 136 Allah Swt berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.”(QS:An-Nisa:136). 

Dalam QS. Ali Imran di atas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafiq, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itulah, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan pada QS. An-Nisa, Allah menyeru kaum Muslimin agar mereka tetap beriman kepada Allah, rasul-Nya (Muhammad SAW), al-Qur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.

Selain Allah SWT memerintahkan kepada umat Islam agar percaya kepada Rasulullah Saw. Allah juga memerintahkan agar mentaati segala peraturan dan perundang-undangan yang dibawanya. Tuntutan taat kepada Rasul itu sama halnya dengan tuntutan taat dan patuh kepada perintah Allah Swt. Banyak ayat al-Qur’an yang mnyerukan seruan ini.

Perhatikan firman Allah SWT. Dalam surat Ali-Imran ayat 32 dibawah ini:

                                                            قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ

Artinya:

“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (QS:Ali Imran : 32).


 Juga dalam Surat An-Nur ayat 54 yang berbunyi:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلا الْبَلاغُ الْمُبِينُ

Artinya:

“Katakanlah: "Ta'at kepada Allah dan ta'atlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu ta'at kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang".(An-Nur:54).

Masih banyak lagi ayat-ayat yang sejenis menjelaskan tentang permasalahan ini. Dari beberapa ayat di atas telah jelas bahwa perintah mentaati Allah selalu dibarengi dengan perintah taat terhadap Rasul-Nya. Begitu juga sebaliknya dilarang kita durhaka kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.

Dari sinilah jelas bahwa ungkapan kewajiban taat kepada Rasulullah Saw dan larangan mendurhakainya, merupakan suatu kesepakatan yang tidak dipersilihkan umat Islam. 

2.      Dalil Hadits

Dalam salah satu pesan yang disampaikan baginda Rasul berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah sabdanya:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا أبداما إن تمسكتم بهما كتاب الله وسنة رسوله(رواه الحاكم)

Artinya :

“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selam-lamanya, selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya.”

(HR. Malik). 

Hadits di atas telah jelas menyebutkan bahwa hadits merupakan pegangan hidup setelah Al-Qur’an dalam menyelesaikan permasalahan dan segalah hal yang berkaitan dengan kehidupan khususnya dalam menentukan hukum.

3.      Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)

Umat Islam telah sepakat menjadikan hadits menjadi sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung di dalam hadits telah dilakukan sejak jaman Rasulullah, sepeninggal beliau, masa khulafaurrosyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya.

Banyak peristiwa menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan Hadits sebagai sumber hukum Islam, antara lain adalah peristiwa dibawah ini :

a. Ketika Abu Bakar dibaiat menjadi khalifah, ia pernah berkata, “saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya. 

b. Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, “saya tahu bahwa engkau     adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, saya tidak akan menciummu.” 

c. Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan sholat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT telah mengutus Nabi Muhammad SAW kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu, maka sesugguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat.”

     Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukkan bahwa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW, selalu diikuti oleh umatnya, dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh umatnya.

4.      Sesuai dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)

Kerasulan Muhammad SAW, telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang datang dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga tidak jarang beliau menawarkan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu.

Menurut Abdul Ghoni bin Abdul Kholiq dalam bukunya Hujjiyah al-Sunnah, kehujjahan hadits paling tidak dapat dipahami dari 7 aspek, yaitu

1.      ‘Ishamah (Keterpeliharaan Nabi dari Kesalahan)

Tugas Rasul sebagai penyampai wahyu mengharuskan beliau untuk selalu ekstra hati- hati dalam bertindak

2.      Sikap Sahabat terhadap sunnah

Sikap para sahabat yang selalu patuh dan tunduk dengan perintah Rasulullah SAW memberikan satu indikasi akan kebenaran apa yang dilakukan dan diucapkan oleh beliau, dan  sekaligus dapat dijadikan hujjah.

3.      Al-Qur’an

Banyak ayat yang memerintahkan untuk patuh, taat dan mengambil apa yang dilakukan Nabi SAW.

4.      Al-Sunnah

Selain Al-Quran, terdapat banyak pula hadits yang menjelaskan kehujjahan al-Sunnah

5.      Kebutuhan al- Qur’an terhadap al-Sunnah

Al-Qur’an tidak akan dapat dipahami secara sempurna tanpa ada bantuan al-Sunnah

6.      Realitas-Sunnah sebagai wahyu

Wahyu yang disampaikan oleh Allah kepada Nabi ada yang berupa wahyu dhohir ( yang berstatus terjaga dan terpelihara dari segala bentuk kesalahan)

7.      Ijma’

            Kesepakatan untuk mengambil hadits sebagai hujjah dan landasan hukum

    

C. Fungsi Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam

Al-Qur’an dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam islam, antara satu dengan yang lainya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-qur’an sebagai sumber pertama dan utama banyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global.  Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan keumuman isi al-Qur’an tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT :

                                             بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya :

 Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

(QS. An-Nahl : 44)

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, hadis berfungsi sebagai penafsir, pensyarat dan penjelas dari ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila disimpulkan tentang fungsi hadis dalam hubungan dengan Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

a.       Bayan Tafsir

    Yang dimaksud dengan bayan At -Tafsir adalah menjelaskan maksud dari Al-Qur’an Fungsi hadist dalam hal ini adalah merinci ayat secara global( bayan al mujmal), membatasi ayat yang mutlak ( taqyid al muthlaq), mengkhususkan ayat yang umum ( takhshish al’am) dan menjelaskan ayat yang dirasa rumit ( taudhih al musykil).[2]

     Diantara contoh bayan At -Tafsir mujmal adalah seperti hadist yang menerangkan kemujmalan ayat-ayat tentang perintah Allah SWT untuk mengerjakan shalat, puasa, zakat, dan haji. Ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang beribadah tersebut masih bersifat global atau secara garis besarnya saja. Contohnya kita diperintahkan shalat, namun Al-Qur’an tidak menjelaskan bagaimana tata cara shalat, tidak menerangkan rukun-rukunnya dan kapan waktu pelaksanaannya. Semua ayat tentang kewajiban shalat tersebut dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabdanya :

                                                                                   صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِي أُصَلِّيْ (رواه البخارى)

     “Sholatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

     Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam Al-Qur’an tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah :

    “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (QS. Al-Baqoroh[2]: 43)

b.      Bayan Taqrir

Bayan At-Taqrir atau sering juga disebut bayan ta’kid ( penegas hukum) dan bayan al- itsbat adalah hadist yang berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Dalam hal ini, hadis hanya berfungsi untuk memperkokoh isi kandungan Al-Qur’an.  Suatu hadis yang diriwayatkan muslim dari Ibnu Umar, yang berbunyi sebagai berikut :

                                                            فَإِذَا رَأَيْـتُمُ الْهِلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْـتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا (رواه مسلم)

“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah.” (HR. Muslim)

Hadis ini datang men-taqrir ayat al-Qur’an di bawah ini yang artinya :

“Maka barang siapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa...” (QS. Al-Baqoroh [2]: 185)

c.       Bayan Tasyri’

     Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah menjelaskan hukum yang tidak disinggung langsung dalam Al-Qur’an. Bayan ini juga disebut dengan bayan zaid ‘ala Al-Kitab Al-Karim. Hadits merupakan sebagai ketentuan hukum dalam berbagai persoalan yang tidak ada dalam Al-Qur’an.

d.      Bayan An-Nasakh

     Secara bahasa an-naskh bisa berarti al-ibthal (membatalkan), al-ijalah (menghilangkan), at-tahwil (memindahkan) atau at-tagyar (mengubah). Menurut Ulama’ mutaqaddimin, yang dimaksud dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ yang datang kemudian. Dan pengertian tersebut menurut ulama’ yang setuju adanya fungsi bayan an nasakh, dapat dipahami bahwa hadis sebagai ketentuan yang datang berikutnya dapat menghapus ketentuan-ketentuan atau isi Al-Qur’an yang datang kemudian. Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.

    Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits :

                                                                                                                  لا وصية لوارث

    Artinya :

   “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

     Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180     yang artinya :

   “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)

    

BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Hadits merupakan sumber hukum kedua bagi umat Islam setelah Al-Quran sebagai sumber utama, hadits juga sebagai pedoman hukum serta ajaran- ajaran yang terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Hadits juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Hadits sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapai juga murtad hukumnya.

Kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil, baik dalam bentuk naqli ataupun aqli : dalil Al-Qur’an, dalil Hadits, Ijma’ dan Ijtihad. Kehujjahan hadits dapat dipahami dari 7 aspek yaitu: Ishmah, sikap sahabat terhadap sunnah, Al-Qur’an, Al- Sunnah, Kebutuhan Al-Qur’an terhadap al-sunnah, realitas – sunnah sebagai wahyu dan Ijma’

Fungsi hadits terhadap Al-Qur’an yaitu: bayan tafsir, bayan taqrir, bayan tasyri’ dan bayan an-nasakh


B. Saran


           Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan. Harapan kami untuk mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat dan bisa difahami oleh para pembaca. Kritik dan saran sangat kami harapkan dari para pembaca, khususnya dari Bapak Dosen yang telah membimbing kami dan para Mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. Apabila ada kekurangan dalam penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.


MAKALAH PENGERTIAN HADITS, SUNNAH, KHABAR, AN ATSAR

View Article

BAB I

PENDAHULUANAN

A.    Latar Belakang

Hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an yang diwariskan oleh Nabi Muhammad SAW kepada umat Islam. Sebagai sumber hukum kedua, kita sebagai umat Islam wajib mempelajarinya. Terkhusus kepada para pelajar Muslim, kita harus mengetahui pula pengertian hadits dan istilah ilmu hadits lainnya berupa sunnah, khabar, dan atsar, persamaan dan perbedaannya, serta bentuk-bentuk hadits, agar kita dapat mengetahui isi dari hadits dengan baik, sehingga untuk menularkannya kepada masyarakat pun bisa dilakukan dengan benar.

Di sini penulis akan memaparkan sedikit hasil dari beberapa buku yang telah penulis baca, berupa pengertian hadits, sunnah, khabar, dan atsar. Juga perbedaannya.


B)   Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian dari Hadist, Sunnah, Khabar, Atsar?

2. Bagaimana Contoh Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar?

3. Bagaimana Perbedaan Antara Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar?

4. Sebutkan Subtansi Hadits?

5. Bagaimana Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam?




BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadits

Kata al-hadits (اَلْحَدِيْث)   adalah kata mufrad, yang jama’nya adalah al-ahadits (اَلأحاَدِيْثُ) dan dasarnya adalah tahdits (تَحْدِيْثٌ) artinya pembicaraan. Dari sisi bahasa, kata hadits memiliki beberapa arti, diantarnya ialah:

a) al-jadid (اَلْجَدِيْدُ), artinya yang benar, lawan kata al-qadim (اَلْقَدِيْمُ) artinya yang lama, dalam arti ini menunjukan adanya waktu dekat dan singkat.

b) al-thariq (اَلطّرِيْقَةُ) artinya jalan, yaitu   اَلطّرِيْقَةُ اَلْمَسْلُوْكَةُ jalan yang ditempuh.

c) al-khabar (اَلْخَبَرُ) artinya berita.

d) al-sunnah (اَلسُّنًةُ)  artinya perjalanan.

Adapun menurut istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai denga latar belakang disiplin keilmuan masing-masing, sebagaimana perbedaan antara ahi ushul dan ahli hadits dalam memberikan definisi al-hadits.[1] Antaralain:

a) Ahli Hadits:

اَقْوَالُ النًبِيّ صَلى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَاَفْعَالُهُ وَاَحْوَالُهُ

Segala perkataan Nabi SAW, perbuatan dan hal ihwalnya


مَا اُضِيْفَ اِلَى انَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوْلاً اوْ فِعلاً اَوْ تَقْرِيْرًا اَوْ صَفّةً

Sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan (taqrir) maupun sifat beliau.


Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits meliputi biografi Nabi SAW, sifat-sifat yang melekat padanya, baik berupa fisik maupun hal-hal yang terkait dengan masalah psikis dan akhlak keseharian Nabi, baik sebelum maupun sesudah terutus sebagai Nabi.


b) Ahli Ushul:

اقوال النَّبِيَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلَّمَ وَافْعَالُهُ وَتَقْرِيْرَ اَتُهُ اَلَّتِى تُثَبَّتُ الاَحَكَامَ وَتُقَرَّرُهاَ

Semu perkataan Nabi SAW, perbuatan dan taqrirnya yang berkaitan dengan hukum-hukum syara' dan ketetapanya.


Dari definisi tersebut dapat dimengerti bahwa hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan-ketetapan Allah yang disyari’atkan kepada manusia.

Lain halnya dengan ahli fiqih, hadits dipandang sebagai suatu perbuatan yang harus dilakukan, tetapi tingkatanya tidak sampai wajib, atau fardlu, sebab hadits masuk kedalam suatu pekerjaan yang setatus hukumnya lebih utama dikerjakan, artinya suatu amalan apabila dikerjakan mendapatkan pahala dan apabila ditinggalkan tidak dituntut apa-apa, akan tetapi apabila ketentuan tersebut dilanggar mendapat dosa. Dengan demikian, maka hadits memiliki kesamaan arti dengan kata sunnah, khabar, dan atsar.[2]

Ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memeberikan pengertian tentang hadits. Dikalangan umat hadits sendiri ada beberapa pendapat dalam memberikan pengertian masing-masing. Dalam kajian hadits ulama sering mengistilahkan hadits dengan penisbatan sahabat yang meriwayatkan atau tema hadits atau tema hadits itu sendiri atau tempat peristiwa dan lainya. Misalnya penisbatan kepada perawi hadits Abu Hurairah itu lebih kuat dari pada hadits Wail ibn Hujr, maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Wail ibn Hujr. Misalnya penisbatan kepada peristiwa hadits al-gharaniq, maksudnya hadits yang menceritakan kisah al-gharaniq. Misalnya penisbatan kepada tempat hadits Ghadir Khum maksudnya hadits yang menceritakan kisah yang terjadi di Ghadir Khum.[3]

d) Contoh dari hadits Nabi Muhammad SAW:

إنما الأعمال بالنيات

Artinya : “ Segala amal perbuatan dengan niat”. (H.R. Al-Bukhori dan Muslim).


B. Pengertian Sunnah

Kata (اَلسُنَّةُ) adalah kata tunggal. Jama’nya adalah al-sunan (اَلسُّنَنْ)  artinya jalan yang dilalui, terpuji atau tidak, atau berati perjalanan. Sebagaimana firman Allah dan sabda Rasul-Nya:

a) al Quran:

سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا وَلاَتَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيْلاً

(kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul kami yang kami utus sebelum kamu dan tidak akan kamu temukan perbuatan bagi ketetapan kami tersebut. (Q. Al-Isra:77)


b) al-Hadits, yaitu Hadits riwayat Bukhari dan Muslim

مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ اَجْرُهَا وَاَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ وَمَنْ سَنَّ سُنَّتَةً سَيّئةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَا وَ وِزْرُمَنْ عَمِلَ بِهَا اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ, مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Siapa saja yang melakukan suatu perbuatan yang baik, maka baginya mendapatkan pahala atas perbuatan itu dan pahala orang-orang yang mengerjakanya sampai pada hari kiamat. Siapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka baginya mendapatkan dosa atas perbuatanya dan ikut juga menanggung dosa orang-orang yang mengikutinya sampai pada hari kiamat.


Para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sunnah menurut istilah. Hal ini lebih disebabkan perbedaan latar belakang, persepsi dan sudut pandang mereka terhadap diri Rasulullah SAW.[4] yaitu :


a) ahli hadits

مَا اُثِرَ عَنِ النَّبِي صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَمَ مِن قَولٍ اَو فِعْلٍ اَو تَقْرِيْرٍ اَوصِفَةٍ خَلْقِيَّةٍ اَو خُلُقِيَّةٍ اَو سِيْرَةٍ, سَوَاءٌ كَانَ قَبْلَ الْبِعْثَةِ اَو بَعْدَهَا

Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, ketetapan, perangi, budi pekerti, maupun perjalanan hidup, baik sebelum diangkat Rasul maupun sesudahnya.


Dari definisi tersebut, dapat diambil kepemahaman bahwa para ahli hadits membawa masuk semua bentuk kebiasaan Nabi SAW, baik yang melahirkan hukum syara’ maupun tidak kedalam pengertian sunnah dan memiliki makna sama dengan pengertian hadits.

Karna itu dari cakupan tradisi Nabi SAW yang dilakukan sebelum maupun sesudah beliau terutus sebagai utusan, sehingga kandungan kata sunnah dapat dijadikan sebagai dalil hukum syara’ meliputi semua bentuk perkataan, perbuatan, penetapan, dan kebiasaan Nabi SAW. Akibatnya kandungan arti sunnah lebih luas dari pada hadits, sebab sunnah melihatnya pada keberadaan beliau SAW  sebagai uswatun hasanah, sehingga yang melekat pada diri beliau secara utuh harus diterima tanpa membedakan apakah yang telah diberitakan itu berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak.[5]


b) Ahli Ushul:

كُالُّ مَاصَدَرَ عَنِ النّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ غَيْرَ القُرْآن الْكَرِيْمِ مِن قَوْلٍ اَو فِعْلٍ اَو تَقْرِيْرٍ مِمَّا يَصْلُحُ اَنْ يَكُوْنَ دَلِيْلًا لِحُكْمِ شَرْعِيّ

Segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW selain al-quran al-hikmah, al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapan yang memng layak untuk dijadikan sebagai dalil bagi hukum syara’


Dari definisi tersebut, sunnah diartikan sebagai sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, tetapi hanya yang berhubungan dengan hukum syara’ baik, yang berupa perkataan, perbuatan maupun ketetapanya. Sedang sifat-sifat yang melekat pada beliau, yaitu perilaku perbuatan dan perjalanan hidup beliau serta semua yang bersumber dari beliau, yang tidak berhubungan dengan hukum syara’ serta terjadinya sebelum beliau diangkat sebagai Rosul tidak masuk dalam kategori pengertian sunnah.

Dengan demikian, maka yang termasuk ke dalam kategori pengertian sunnah hanya terbatas pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW saja. Sedangkan yang bersumber dari sahabat dan tabi’in tidak termasuk sunnah. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa Nabi SAW adalah pembawa dan pengatur udang-undang yang memiliki misi kewajiban untak menjelaskan undang-undang kepada manusia, sehingga yang tidak mengandung misi tidak termasuk sunnah dan tidak bisa juga dijadikan sebagai sumber hukum yang mengikat.[6]


c) Ahli Fiqih

مَاثَبَتَ عَنِ النّبِيّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَمَ مِنْ غَيْرِ افْتـِرَاضِ وَلَا وُجُوبٍ, وَتُقَابِلَ الْوَاجِبُ وَخَيْرُهُ مِن الَاحْكَام الَاحْكَام اَلْخَمْسَةِ

Semua ketetapan yang berasal dari Nabi SAW selain yang difardlukan, diwajibkan dan termasuk kelompok hukum yang lima.

Definisi ini menunjukanbahwa objek pembahasan para ahli fiqih Islam hanya terbatas pada pribadi dan perilau Nabi SAW sebagai landasan hukum syara’ untuk diterapkan pada perbuatan manusia pada umumnya baik yang wajib, haram, makruh, mubah maupun sunat. Karenanya jika dikatakan perkara ini sunnah. Karenanya jika diktakan perkara ini sunnah, maka yang dikehendaki adalah pekerjaan itu memiliki nilai hukum yang dibebankan oleh Allah kepada setiap orang yang sudah dewasa, berakal sehat dengan tuntutan.

d) contoh sunnah

Dan dalam tataran hukum Islam sunnah menempati posisi kedua setelah Al- Qur’an. Hal ini diterapkan   dalam sabda Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:

تركت فيكم أمرين لن تضلوا ما تماسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه

Artinya :

“Sesungguhnya telah aku tinggalkan untukmu dua perkara; kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang padakeduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunnah Rasulnya” (HR.Malik).

وعليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين بعدي

Artinya :

“Berpegang tegulah kamu dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafah Ar-Rasyiddin sesudahku” (HR.Abu Daud dan Turmudzi dan Irbadh bin Sariyah).

Guna menghindari kerancuan pengertian hadits dan sunnah perlu ditegaskan perbedaannya. Haduts ialah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi SAW, walaupun selama hayat beliau hanya sekali terjadi, atau hanya diriwayatkan oleh seseorang. Adapun sunnah adalah amaliah SAW yang mutawatir dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir pula. Nabi melaksanakannya bersama para sahabat, lalu para sahabat melaksanakannya. Kemudian diteruskan oleh para tabi’in, waklaupun lafadz ppenyampaiannya tidak mutawatir namun cara penyampaiaannya mutawatir.

Mungkin terjadi perbedaan lafadz dalam meriwayatkan suatu kejadia, sehingga dalam segi sanad dia tidak mutawatir, akan tetapi dalam segi amaliahnya dia mutawatir. Proses yang mutawatir itulah yang disebut sunnah.

Oleh karena itu dalam kehidupan kita sehari-hari sering para ulama menjelaskan bahwa amalan ini telah sesuai dengsan sunnah Rasul.


C. Pengertian Khabar

al-khabar (اَلْخَبَرُ) dalam bahasa artinya warta atau berita, maksudnya sesuatu yang diberitakandan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain atau sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, dilihat dari sudut pendekatan bahasa ini kata khabar sama artinya dengan hadits.[7] Jadi setiap hadits termasuk khabar, tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.

Menurut pengertian istilah, para ahli berbeda-beda dalam memberikan definisi sesuai dengan latar belakang dan disiplin keilmuan masing-masing, diantaranya adalah:

a) sebagian ulama mengatakan bahwa khabar ialah sesuatu yang datangnya selain dari nabi SAW, sedangkan yang dari nabi SAW disebut hadits.

b) ulama lain mengatakan bahwa hadits lebih luas dari pada khabar, sebab setiap hadits dikatakan khabar dan tidak dikatakan bahwa setiap khabar adalah hadits.

c) ahli hadits memberikan definisi sama antara hadits dengan khabar, yaitu segala sesuatu yang datangnya dari nabi SAW, sahabat, dan tabi’in, baik perkataan, perbuatan maupun ketetapanya.[8]

Ulama lain berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita yang diterima dari selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan sejarahdisebut khabary atau disebut muhaddisy. Disamping itu pula yang berpendapat bahwa khabary itu sama dengan hadits, keduanya dari Nabi SAW. Sedangkan atsar dari sahabat. Karenanya, maka timbul hadits marfu’, mauquf atau maqtu’. 

ما اضيف الى النبي صلى الله عليه و سلم او غيره

Artinya :

“Segala sesuatu yang disandarkan atau berasal dari Nabi atau yang selain dari Nabi.

Contoh Ali  bin Abi Thalib ra. Berkata:

من السنة وضع الكف تحت السرة في الصلغاة

Artinya :

“Sunnah ialah meletakkan tangan di bawah pusar.


D. Pengertian Atsar

Al-atsar dalam bahasa artinya adalah sisa (بَقِيّةُ الشَّئ), sedangkan menurut pengertian istilah, para ahli berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmu mereka masing-masing, diantaranya adalah:

a) Jumhur berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, sahabat, dan tabi’in.

b) menurut ulama lain, seperti ulama Kharasan atsar untuk hadits mauquf dan khabar untuk hadits marfu.

c) ahli hadits lain mengatakan tidak sama, yaitu khabar, berasal dari nabi, sedangkan atsar sesuatu yang di sandarkan hanya kepada sahabat dan tabi’in, baik perbuatan maupun perkataan.

Empat pengertian tentang hadits, sunnah, khabar, dan atsar sebagaimana diuraikan di atas, menurut Jumhur ulama hadits juga dapat dipergunakan untuk maksud yng sama, yaitu bahwa hadits disebut juga dengan sunnah, khabar atau atsar. Begitu juga sunnah bisa disebut dengan hadits, khabar, atsar. Maka hadits mutawatir disebut juga sunnah mutawatir, begitu juga hadits shahih dapat juga disebut dengan sunnah shahih, khabar shahih dan atsar shahih.[9]

Dari beberapa uraian tentang hadits diatas dapatlah ditarik bahwa, baik Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar sebagaimana yang telah diuraikan, maka pada dasarnya kesemuanya memiliki persamaan maksud, yaitu untuk menunjukkan segala sesuatu yang datang dari Nabi SAW,baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.

Sebagian ulama mengatakan bahwa atsar lebih umum dari pada khabar, yaitu atsar berlaku bagi segala sesuatu dari Nabi maupun yang selsain dari Nabi SAW, sedangkan khabar khusus bagi segala sesuatu dari Nabi SAW saja.

Para fuqoha’ memakai istilah “atsar” untuk perkataan-perkataan ulama’ salaf, sahabat , tabi’in, dan lain-lain.


ماأضيف الى الصحابة و التابعين من أقوال و أفعال

Artinya :

Perkataan dan perbuatan yang disandarkan kepada sahabat dan tabi’in.

Contohnya perkataan tabi’in , Ubaidillah Ibn Abdillah IBN Utbah ibn Mas’ud:

السنة ان يكبر الامام الفطر و يوم الاضحى حين يجلس على المنبر قبل الخطبة تسع تكبيرات (رواه البيهقى)

Artinya:

Menurut sunnah hendaklah imam bertakbir pada hari raya fitri dan adha sebannyak sembilan kali ketilka duduk di atas mimbar sebelum berkhutbah (HR. Baihaqi)


E. Perbedaan Hadits dengan Sunnah, Khabar dan Atsar

Dari keempat tema tersebut dapat ditarik bahwa tema tersebut sangat berguna sebagai ilmu tambahan bagi masyarakat Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan menentukan kulitas dan kuwantitas Hadits, sunnah, Khabar dan Atsar.

Para ulama juga membedakan antara hadits, sunnah, khabar dan atsar sebagai berikut:

a) Hadits dan sunnah:

Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun sesudahnya.

b) Hadits dan khabar:

Sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.

c) Hadits dan atsar:

Jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabiin.


F. Subtansi Hadits

Dari penjelasan diatas dapat diambil pengertian bahwa hadits, sunnah, khabar, dan atsar memiliki maksud yang sama, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan. Dari kesamaan ini ditemukan adanya beberapa kesamaan diantara pengertian-pengertian tersebut, diantaranya dalam bentuk subtansinya, yaitu perkataan (hadits qauli), perbuatan (hadits fi’li), ketetapan (hadits taqriri), dan karakter kepribadianya (hadits hammi dan ahwali).

a) hadits qauli

hadits qauli ialah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud syara’, peristiwa, dan keadaan yang berkaitan dengan keyakinan, syari’ah, akhlaq maupun yang lainya. Dengan kata lain suatu perkataan yang penuh beliau ucapkan dalam berbagai bidang, misalnya bidang hukum (syari’ah), akhlaq, pendidikan dan sebagainya.

Contoh: perkataan Nabi SAW yang mengandung akhlaq

ثَلَاثٌ مَنْ جَمَعَهُنَّ فَقَدْ جَمَعَ الاِيْمَانَ : الاِنْصَافُ مِنْ نَفْسِهِ وَبَذْلُ السَّلَامِ لِلْعَالَمِ وَالاِنْفَاقُ مِن الاِفْتِقَارِ (رواه البخارى)

(perhatikan) tiga hal: siapa saja yang sanggup menghimpunya, niscaya ia sudah dapat menghimpun iman secara sempurna, yaitu: pertama, jujur terhadap diri sendiri. Kedua, mengucapkan salam perdamaian kepada seluruh dunia. Ketiga, mendermakan apa-apa yang menjadi kebutuhan umum. Hadits riwayat Bukhari

Hadits itu mengandung anjuran terhadap seseorang untuk berakhlak mulia, berkesadaran tinggi, cinta perdamaian dan dermawan.


b) hadits Fi’li

hadits fi’li adalah segala perbuatan yang sampai kepada kita yang disandarkan kepada Nabi SAW, seperti tata cara berwudlu, pelaksanaan shalat, dan pelaksanaan kewajiban haji dan lainya. Dengan kata lain semua perbuatan Nabi SAW yang menjadi penjelasan praktis terhadap peraturan-peraturan syari’ah yang belum jelas cara pelaksanaanya.

Contoh: tata cara pelaksanaan kewajiban shalat

صَلُّوْا كَمَا رَآَيْتُمُوْنِى اُصَلّى. رواه البخارى

Shalatlah kamu sebagaimana kamu sekalian melihat aku melakukan shalat. Hadits riwayat Bukhari.


c) hadits taqriri

Hadits taqriri menurut bahasa ialah penetapan atau persetujuan, sedangkan menurut istilah berati perbuatan sahabat yang kemudian diakui dan dibenarkan atau tidak dikoreksi oleh Nabi SAW. Maksudnya ialah segala ketetapan Nabi SAW terhadap apa-apa yang datang dari sahabat dan beliau memberikan perbuatan mereka tersebut setelah syarat-syaratnya terpenuhi, baik mengenai pelakunya maupun perbuatanya.[10]

Contoh:

1) status shalat orang yang bertayamum, dimana ditengah sholat ada air, lalu hal ini dilaporkan kepada Nabi SAW, kemudian dijawab dengan mengatakan:

قَالَ النّبِيّ لَلَذِى لَمْ يَعُدْ اَصَبْتَ اَلسُّنَّةَ وَقَالَ لِلآخَرِ لَكَ اَخْرٌ مَرَّتَيْنِ. رواه ابو داوود والنسائ

Nabi berkata yang tidak mengulangi shalat “sudah benar engkau”, kemudian menjawab kepada yang mau mengulang lagi shalatnya: “kamu mendapatkan dua pahala”

2) pelaksanaan perintah dan larangan Nabi SAW sesuai dengan penafsiran masing-masing sahabat, misalnya hadits sebagai berikut:

لاَ يُصّلَينَّ اَحَدٌ العَصْرَ اِلاَّ لإِ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ. رواه البخارى

Janganlah ada seorangpun yang melaksanakan shalat ‘ashar kecuali di Bani Quraidlah. Hadits riwayat Bukhari.

Hadits ini ditanggapi para sahabat berbeda-beda, diantaranya:

-          Sebagian sahabat berpendapat  bahwa larangan itu harus berdasarkan pada hakekat dari arti larangan itu sendiri, sehingga berakibat pada pelaksanaan shalat ‘ashar tidak tepat pada waktunya, bahkan pelaksanaanya mundur sampai waktu shalat maghrib.

-          Sebagian lagi berpendapat bahwa larangan tersebut mengandung pengertian untuk segera sampai ke tempat Bani Quraidlah dan dalam peperangan itu tidak boleh santai, sehingga shalat ‘ashar harus dilaksanakan tepat pada waktunya.




d) hadits hammi dan hadits ahwaliy

Hadits hammi ialah segala hadits Nabi SAW berupa keinginan atau hasrat yang belum terealisasikan, seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 ‘asyura, sebagaimana dalam hadits:

“ketika Nabi SAW berpuasa pada hari ‘ayura dan memerintahkanya para sahabat untuk berpuasa, mereka berkata: ya Nabi, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh oang-orang Yahudi dan Nasrani. Lalu Nabi SAW bersabda: Tahun yang akan datang insyallah aku akan berpuasa pada hari yang kesembilan”. Hadits riwayat Muslim

Hadits ahwaliy ialah hadits Nabi SAW yang berupa seluk beluk Nabi yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadianya, contoh hadits tentang bentuk fisik Nabi SAW:

“Anas berkata bahwa aku tidak pernah memegang sutra murni dan sutra berwarna yang halus, sehalus telapak tangan Rasul SAW dan juga belum pernah mencium wewangian seharum Rasul SAW. Hadits riwayat Bukhari.


G.  Kedudukan Hadits Sebagai Sumber Hukum Islam

Semua umat islam telah sepakat bulat bahwa hadits Rasul adalah sumber hukum islam setelah Al-Quran, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadits sebagaimana diwajibkan mengikuti dan mengamalkan Al-Quran.

Al-Quran dan Hadits adalah merupakan dua sumber hukum pokok syariat Islam yang tetap, dan orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap tanpa kembali kepada dua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid pun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengn mengambil salah satu dari keduanya.

Banyak kita jumpai ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits yang memberikan pengertian bahwa hadits merupakan sumber hukum Islam selain Al-Quran yang wajib diikuti, dan diamalkan baik dalam bentuk perintah atau larangan. Dan uraian di bawah ini merupakan penjelasan secara tentang kedudukan hadits sebagai sumber hukum Islam dengan mengambil beberapa dalil, baik aqli maupun naqli.

A.  Dalil Al-Quran    

Banyak kita jumpai ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup sehari-hari. Diantara ayat-ayat dimaksud adalah:

Firman allah:

ما كان الله ليذر المؤمنين على ما انتم عليه حتى يميز الخبيث من الطيب و ما كان الله ليطلعكم على الغيب و لكن الله يجتبي من رسله من يشاء فامنوا بالله ورسله و إن تؤمنوا وتتقوا فلكم أجر عظيم


 Artinya : Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah tidak sekali-kali memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaku-Nya diantara Rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya ; dan jika kamu beriman dan bertaqwa maka bagimu pahala yang besar (QS. Ali Imran (3): 179).

Dalam ayat lain Allah SAW berfirman : 

يا أيها الذين ءامنوا ءامنوا بالله ورسله و الكتاب الذي نزل على رسوله و الكتاب الذي أنزل من قبل و من يثكفر بالله و ملائكته و كتبه و رسوله و اليوم الأخر فقد ضل ضلالا بعيدا


Artinya :Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir pada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisa’ (4): 136)

Dalam Qs. Ali Imran di atas Allah membedakan antara orang yang beriman dengan orang-orang munafik, dan akan memperbaiki keadaan orang-orang beriman dan akan memperkuat keimanan mereka. Oleh karena itulah orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Seadang pada QS. An-Nisa’, Allah menyeru kepada orang mukmin agar mereka tetap beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Al-Quran dan kitab yang diturunkan sebelimnya. Kemudian pada akhir ayat Allah mengancam orang-orang yang mengingkari dan menentang seruan-Nya.

Disamping itu juga Allah memerintahkan kepada orang Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga menyeru agar menaati dan melaksanakan segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya baik berupa perintah ataupun larangan. Tuntutan patuh dan taat kepada kepada Rasul SAW itu sama halnya tuntutan patuh kepada Allah SWT. Banyak ayat Al-Quran yang berkenaan dengan masalah ini.

Firman Allah SWT:

قل أطيعوا الله و الرسول فإن تولوا فان الله لا يحب الكافرين

Artinya :

Katakanlah Taatilah kalian Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang kafir. (QS. Ali Imran (3): 32).

Dan firman-Nya yang lain:

يا أيها الذين ءامنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولى الأمر منكم فإن تنازعتم في شئ فردوه إلى الله و الرسول إن كنتم تؤمنون بالله و اليوم الأخر ذلك خير و أحسن تأويلا


Artinya : Haiorang-orang yang beriman ! Taatilah Allah, Rasul dan Ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu beriman kepada sesuatu, maka kembalilah kepada Allah dan Rasul. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian ini lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa’ (4): 59) 

Kemudian dalam ayat lain Allah berfirman:

و ما ءاتاكم الرسول فخذوه و مانهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب


Artinya:

Apa yang diberikan Rasul kepadamu, dan apa-apa yang dilarangnya , mak tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya. (QS. Al-Hasyr (59): 7).

و أطيعوا الله و أطيعوا الرسول واحذرو

Artinya :

Dan taatilah kamu kepada Allah dan kepada Rasul-Nya dan berhati-hatilah. (QS. Al-Maidah (5): 92).

قل أطيعوا الله و أطيعوا الرسول فإن تولوا فإنما عليه ما حمل و عليكم ما حملتم و إن نطيعهوا نهتدوا و ما على الرسول إلا البلاغ المبين

Artinya:

Katakanlah: Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul; dan jika kamu berpaling, maka sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebenkan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah apa semata-mata yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk (QS. An-Nur (24): 54).

Kalau kita gali terus sebenarnya masih banyak lagi ayat-ayat Al-Quran senada yang menjelaskan hal ini. Dicantumkannya beberapa ayat di atas dimaksud hanya sebagai contoh dan gambar dari beberapa ayat yang banyak dimuat dalam Al-Quran Al-Karim.

Dari ayat-ayat Al-Quran di atas tergambar bahwa setiap ada perintah taat kepada Allah SWT dalam aL-Quran selalu diikuti dengan perintah taat kepada Rasul-Nya. Demikin juga mengenai [eringatan (ancaman) karena durhaka kepada Allah, sering disejajarkan atau dasamakan dengan ancaman karena durhaka kepada Rasul Muhammad SAW.

Dari gambaran ayat-ayat seperti inimenunjukkan betapa urgenya kedudukan penetapan kewajiban taat terhadap semua yang disampaikan oleh Rasul Muhammad SAW. Dan perlu diketahui bahwa cara-cara penyajian Allah seperti ini hanya diketahui oleh orang-orang yang mengetahui bahasa Arabdan memahami ungkapan-ungkapan serta pemikiran-pemikiran yang terkandung di dalamnya, yang akan memberi masukan dalam memahami maksud ayat tersebut.

Dengan demikina dapat diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul Muhammd SAW dan larangan mendurhakainya merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat Islam.


B. Dali Al-Hadits

Mari kita pahami dalam satu pesan Rasulullah SAW berkenaan dengan menjadikan hadits sebagai pedoman hidup disamping Al-Quran sebagai pedoman utamanya, be;liau bersada:

تركت فيكم أمرين لن تصلوا ما تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه

Artinya: “ Aku tinggalkan dua pustaka kepadamu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya”. (HR. Malik).

Saat Rasulullah ingin mengutus Mu’adz bin Jabal untuk menjadi penguasa di negri Yaman, terlebih dahulu dia diajak diskusi oleh Rasulullah SAW.  

قال كيف تقضي إذا عرض لك قضاء قال أقضي بكتاب الله قال فإن لم نجد في كتاب الله قال فبسنة رسول الله صلى اللهم عليه و سلم قال فإن لم تجد في سنة رسول الله اللهم صلى عليه و سلم  و لا في كتاب الله قال أجتهدوا رأيي فضرب رسول الله صلى اللهم عليه و سلم صددره و قال الحمد لله الذي وفق رسول الله لما يرضي رسول الله

Artinya:

“(Rasulullah bertanya), bagaimana kamu akan menetapkan hukum jika dihadapkan kepada sesuatuyang memerlukan penetapan hukum? Mu’adz menjawab: Saya akan menetapkannya dengan kkitab Allah. Lalu Rasul bertanya: seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah, Muadz menjawab: Dengan sunnah Rasulullah.  Rasul bertanya lagi:  seandainya kamu tidak mendapatkannya dalam kitab Allah dan sunnah Rasul, Muadz menjawab: saya akan berijtihad dengan pendapat saya sendiri. Maka Rasulullah menepuk-nepuk pudak Muadz seraya mengatakan “segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan seorang Rasul dengan sesuatu yang Rasul kehendaki”. (HR. aBU Dawud dan Tirmidzi).

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:

فعليكم بسنتي و سنة الخلفاء الراشدين المهديين تمسكوا بها و عضوا عليها....

Artinya:” Wajib bagi kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyiddin (Khalifah yang mendapat petunjuk, berpegang tegulah kamu sekalian dengannya. (HR. Abu Dawuddan Ibnu Majjah).

Hadit-hadits tersebut di atas kita anggap cukup untuk menunjukkan bahwa berpegang teguh kepada hadits/menjadikan hadits sebagai pegangan dan pedoman hidup itu adalah wajib sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Quran.


C. Kesepakatan Ulama’ (Ijma’)

Seluruh ulama Islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai dasar syariat Islam yang wajib diikuti dan diamalkan, karena sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Penerimaan mereka terhadap hadits sama dengan penerimaan mereka terhadap Al-Quran , karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum syariat Islam.

Dan kesepakatan orang-orang Islam dalammempercayai, menerima dan mengamalkan semua ketentuan yang terkandung dalam hadits ternyata sejak Rasulullah masih hidup. Sepeninggalan beliau, sejak masa khulafa’ur rasyiddin hingga masa –masa khalifah bani ummayah dan bani Abasiyah hingga sekarang tidak ada yang mengingkarinya. Banyak diantara mereka yang tidak hanya memehami dan mengamalkan isi kandungannya, akan tetapi bahkan mereka menghafal , memelihara dan menyebarluaskan kepada generasi-generasi selanjutnya.

Mari kita menengok peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai sumber hukum Islam pada masa sahabat, antara lain dapat diperhatikan peristiwa di bawah ini.

a. Pada masa Abu Bakar ra. Dibaiat menjadi khalifah, Ia dengan tegas mengatakan “ Saya tidak sedikitpun meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan / dilaksanakan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut menjadi orang jika meninggalkan perintahnya.

b. Pada saat khalifah Umar berada di depan Hajar Aswad dia berkata: “ Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat sendiri Rasulullah menciummu, maka saya tidak akan menciummu”.

c. Pada suatu saat pernah ditannya kepada Abdullah bin Umar (Ibnu Umar) masalah ketentuan shalat safar dalam Al-Quran. Ia menjawab: “ Allah Swtelah mengutus Nabi Muhammadkepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka kami berbuat sebagaimana duduknya Rasulullah SAW. Saya makan sebagaimana duduknya Rasulullah dan saya shalat sebagaimana shalatnya Rasulullsah.

d. Diceritakan dari Sa’id bin Musayyab bahwa Khalifah Usman bin Affanberkata: “ Saya duduk sebagaimana mengikuti duduknya Rasulullah SAW saya makan sebagaimana makannya Rasulullah SAW dan saya mengerjakan shalat sebagaimana shalatnya Rasulullah SAW.

Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan oleh para sahabat menunjukkan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscsya dilakukan oleh umatnya, dan apa yng dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.


D. Sesuai dengan Petunjuk Akal

Muhammad SAW, sebagai nabi dan rasul telsah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat Islam. Di dalam mengemban isinya itu, kadang-kadang beliau hannya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT.Baik isi maupun formulasinya dan kadang kala inisiatif sendiri atas bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun tidak jarang dia membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan jiga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalil yang menghapuskannya.

Dan  apabila kerasulan Muhammad SAW telah diimani dan dibenarkan, maka konsekwensi logisnyasegala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Disamping  itu secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai rasul mengharuskan kepada umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

Dengan uraian di atas bisa diketahui bahwa hadis merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam dan menduduki urutan kedua setelah Al-Quran. Sedang bila dilihat dari segi kehujjahannya, hadits melahirkan hukum dzanny, kecuali hadits mutawattir.



BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tidak ada yang membenarkan hakekat sebuah kebenaran, karna semua kebenaran hanya milik Allah SAW. Namun penulis hanya membatasi isi uraian makalah yang diangakat, antara lain ialah:

1. Hadits terbatas pada perkataan, perbuatan, takrir yang bersumber pada Nabi SAW, sedangkan sunnah segala yang bersumber dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, takrir, tabiat, budi pekerti atau perjalanan hidupnya, baik sebelum di angkat menjadi rasulmaupun sesudahnya.

2. Khabar: sebagian ulama hadits berpendapat bahwa khabar sebagai suatu yang berasal atau disandarkan kepada selain nabi SAW., ada juga hadits sebagai sesuatu yang berasal atau disandarkan pada Nabi SAW.

3. Atsar: jumhur ulama berpendapat bahwa atsar sama artinya dengan khabar dan hadits. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa atsar sama dengan khabar, yaitu sesuatu yang disandarkan pada Nabi SAW, sahabat dan tabiin.

4. dari penjelasan hadits, sunnah, khabar dan atsar ada empat subtansi hadits ialah hadits qauli, hadits fi’li, hadits taqriri, dan hadits  hammi/awaliy.







B. Saran

Demikian tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan, harapan kami dengan adanya tulisan ini lebih mengenali dan memahami. Khususnya pada mata kuliah Studi Hadits kita bisa membedakan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar.

Kami sadar dalam makalah ini masih banyak kesalahan dalam penulisan maupun dalam penyampaian. Untukitu, kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan guna memperbaiki makalah kami selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.















Daftar Pustaka


Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Muslhalah Hadits, Jombang: Darul Hikmah, 2008.

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011.

M.Agus Solahudin&Agus Suyadi.Ulumul Hadits.Bandung:Pustaka Setia,2011.

Zainuddin dkk, Study Hadits. Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2013.

3Munzier Suparta. Ilmu Hadis. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2001.


[1] Ridwan Nasir, Ulumul Hadis dan Muslhalah Hadits, (Jombang: Darul Hikmah, 2008), hlm. 13-14.

[2] Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 14

[3] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Studi Hadits, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), hlm. 4.

[4] Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 15

[5] Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 16.

[6] Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 17.

[7] Ibid, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 24

[8] Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 21.

[9] Ibid, Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, hlm. 25.

[10] Ibid, Ridwan Nasir, hlm. 26-27.