A. PENDAHULUAN
Inti dari cita-cita pendidikan, terutama pendidikan agama Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman, cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budhi. Tugas utama pendidikan adalah upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, Jika upaya pendidikan mengalami kegagalan dalam mengantarkan manusia kearah cita-cita manusiawi yang bersandar pada nilai-nilai ke-Tuhanan, maka yang akan terjadi adalah tumbuhnya prilaku-prilaku negatif dan destruktif, seperti kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme, juga ketidakpedulian sosial, yang semuanya itu mengakibatkan penderitaan semesta.
Berbagai prilaku-prilaku destruktif tersebut, yang sering muncul dinegara Indonesia, merupakan akibat dari belum munculnya pribadi-pribadi cerdas, kreatif, dan berbudi luhur. Kecerdasan dan kearifan yang bersumber pada daya kritis atas nilai diri dan sosial, sehingga mampu memberikan sinaran yang selalu tumbuh terhadap kepedulian pada sesama.
Dalam konteks inilah, pendidikan agama Islam sebagai salah satu media penyadaran umat, dihadapkan pada problem begaimana mengembangkan sebuah pola pendidikan yang transformative, sebuah pola pendidikan yang mampu memberikan pemahaman dan transformasi pembelajaran yang tidak saja bertumpu pada transfer pengetahuan saja, tetapi juga transef nilai. Pendidikan transformative juga megasikan akan pola pembelajaran yang hanya berpusat pada guru (teacher centerd), tetapi lebih pada pola pembelajaran yang memberikan “ruang” bagi peserta didik untuk lebih mengaktualisasikan potensi akademisnya secara maksimal.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Paradigma Pendidikan ?
2. Bagaiamana Pendidikan Islam Transformatif ?
3. Apa Saja Unsur-Unsur Pendidikan Transformatif ?
C. PEMBAHASAN
1. Paradigma Pendidikan
Paradigma dalam al-Qur’an tidaklah dibangun dengan kerangka pikiran dikotomis antara ayat Allah swt. Dalam membangun paradigma kritis transformatif tidak perlu dimulai dari nol, tetapi dapat dimulai dengan memanfaatkan teori-teori kritis, termasuk teori kritis barat dengan saling menguji, saling berdialog, saling merevisi, dan saling memodifikasi antara keduanya.
Dalam Al-Qur’an, semangat perubahan (revolusi) termasuk transformasi dapat dijumpai dalam beberapa ayat yang menceritakan para nabi dan rasulullah yang revolusioner, semisal cerita Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, dan Rasulullah Muhammad saw.
Membangun paradigma pendidikan dalam al-Qur’an dapat dilakukan dengan mengidentifikasi ayat-ayat yang berkaitan, mengidentifikasi elemen-elemen yang berkaitan dalam ayat tersebut, dan memformulasikan paradigma dengan berdasar pada elemen-elemen yang terbangun sebelumnya.[1]
Dalam bentuk moderat, kritis transformatif ini menjanjikan multikulturalisme. Multikulturalisme memuat banyak kelebihan, baik secara etis maupun praktis. Kritis transformatif, pada akhirnya ialah pengakuan pada adanya multi-rasionalitas, multi-etnis, multi-budaya, multi-agama, dan lain sebagainya.
Istilah paradigma menjadi sangat terkenal justru setelah Thomas Kuhn menulis karyanya yang berjudul the structur of scintific revolution. Dalm buku itu kuhn tentang model bagaimana sesuatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang. Menurutnya, disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma dimana pedagang suatu teori ditumbangkan oleh pedagang teori yang baru. Paradigma diartikan sebagai suatu kerangka reverensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan berkembang suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa jauh suatu paradigma melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya.
Untuk menggagas suatu paradigma pendidikan kita kedepan ada dua hal penting yang patut dijadikan pertimbangan. Pertama, menyangkut soal substansial filosofis pendidikan, yaitu apa itu tujuan dilaksanakannya pendidikan?. Kedua, menyangkut dimensi politis, yaitu berbagaimana posisi pendidikan dalam konstalasi politik nasional, apakah pendidikan akan tetap dikooptasi oleh kekuatan politik yang lebih besar, ataukah menjadi institusi yang otonom sehingga konsekuensinya adalah perlunya iklim politik maupun kebijakan yang mendukung tumbuhnya inisiatif warga untuk mengembangkan pendidikan transformatif, pentingnya pemberdayaan terhadap guru, manajemen yang berbasiskan pendidikan sekolah dan masyarakat, serta perlu dikembangkan desintralisasi pendidikan, agar baik secara subtantif maupun teknis operasisional tidak sentralistis (identik dengan Jakarta).
Pandangan filosofis pendidikan menurut Kihajar Dewantara yang berpijak pada basis kebudayaan manusia yang dapat dijadikan contoh. Ini tergambar dalam tatanan asas-asas taman siswa yang dikenal dengan Pancadharma, yaitu kodrat alam, kemerdekaan, kebangsaan, kebudayaan, dan kemanusiaan.[2]
2. Pendidikan Islam Transformatif
Secara konseptual pendidikan Islam sebenarnya sudah cukup kaya dan sempurna sebab ingin membentuk pribadi muslim sempurna dan mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, meskipun lebih cenderung normatif. Sebab, dalam realitasnya, praktik pendidikan Islam cenderung ‘idealis’ dan kurang bersentuhan dengan problem realitas-empirik. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya anggapan bahwa segala aktifitas hidup umat Islam, termasuk pendidikan, harus didasarkan pada wahyu yang given dari Tuhan dalam pengertian harfiah sehingga cenderung kurang melihat aspek realitas yang empirik.
Karena itu, wajar jika formulasi tentang konsep pendidikan Islam relatif idealis dan kurang ‘membumi’, kurang bersentuhan dengan problem realitas. Padahal, sosok Nabi sendiri yang dijadikan sebagai model bagi pendidikan Islam jelas-jelas terlibat langsung dalam penyelesaian problem di masyarakat.
Karena itu, jika paradigma pendidikan kritis diterima dengan beberapa penyesuaian, maka yang perlu dipikirkan adalah tindak lanjut secara praktis, mulai dari perumusan orientasi pendidikan Islam, pembaharuan kurikulum, penyiapan sumber daya manusia, diversifikasi strategi pembelajaran, perubahan model evaluasi, evaluasi kebijakan, dan perubahan manajemen di lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai pendidikan tinggi.[3]
Dalam hal orientasi, pendidikan Islam seharusnya tidak sekedar membentuk kesalehan individual semata, atau kesadaran mistik dalam perspektif Iqbal, namun harus membentuk kesalehan sosial juga. Sebagaimana disinyalir Iqbal pada awal abad ke-20 dan hingga sekarang masih terasa, umat Islam di dunia Timur cenderung mengedepankan kesadaran mistik dan kesalehan individual yang diibaratkan dengan larut dengan tasbih, yang penting selamat di akhirat, sementara problem sekitar tidak begitu dipikirkan. Untuk itu, orientasi pendidikan harus diarahkan untuk membentuk individu muslim yang mempunyai kesadaran kenabian dengan karakter emansipatif, liberatif dan transendental yang mampu membaca problem empirik di sekitarnya sehingga ia mampu terlibat dalam penyelesaian problem. Tetapi, di sisi lain, dia juga mampu menyelesaikan setiap problem yang menimpanya.
Sehingga kurikulum dalam pendidikan Islam kritis, apa pun nama pengetahuan yang akan diajarkan, mengharuskan ada perpaduan secara dinamis antara teks dan konteks. Untuk itu, paradigma contextual teaching learning perlu diterapkan, artinya setiap materi yang disampaikan oleh pendidik harus bermakna bagi peserta didik. Apa yang dipelajari di dalam kelas harus selalu dikaitkan dengan problem dan konteks keseharian yang dihadapi peserta didik. Sebagai contoh, ketika berbicara tentang kerusakan lingkungan, harus ada dialog antara teks al-Qur’an dengan problem lingkungan yang ada di sekitar sekolah yang bersangkutan. Jika sekolah itu bertempat di Kalimantan, maka perlu dikaitkan dengan kasus illegal logging atau pembakaran hutan. Untuk di Riau misalnya, kasus-kasus dan isu illegal logging atau pembakaran hutan ini menjadi relevan untuk diangkat. Karena itu, dalam kurikulum ini harus lebih banyak memasukkan problem dan kearifan lokal.
Perubahan orientasi dan kurikulum tersebut, juga harus diimbangi dan dibarengi dengan penyiapan sumber daya manusia yang mampu mengimplementasikan orientasi dan kurikulum itu dalam konteks praxis. Dalam sebuah adagium Arab dikenal al-mudarris ahammu min al-maddah wa al-tariqah. Sebaik apa pun materi dan strategi pembelajaran, jika tidak dipahami oleh pendidik, maka tidak akan berjalan secara maksimal. Untuk itu, perubahan mindset di kalangan praktisi pendidikan perlu dilakukan segera. Yang perlu dicermati bahwa merubah kultur berpikir tidak semudah merubah struktur. Jika perubahan struktur dapat dilakukan dalam hitungan hari bahkan jam, maka perubahan kultur [berpikir] memerlukan waktu cukup lama, tidak hanya tahunan bahkan generasi. Tidak mengherankan jika dalam kenyataan telah terjadi perubahan struktur [pemerintahan dan pengelola lembaga pendidikan], namun belum ada perubahan kultur. Sebab, orang yang menjalankan struktur baru tersebut masih sama dengan kultur lama.
Dalam pendidikan Islam Transformatif, sumber daya manusia pertama yang harus dibenahi adalah pendidik. Ini tidak berarti yang lain tidak perlu dibenahi. Namun, para pendidiklah yang menjadi ujung tombak (avant garde) terjadinya perubahan. Sebab, mereka yang selalu terlibat langsung dengan peserta didik dan yang mengimplementasikan kurikulum. Ini berarti, berhasil tidaknya sebuah rumusan dan konsep kurikulum dalam konteks praktis sangat ditentukan oleh faktor pendidik. Semakin berkualitas pendidik, semakin berhasil dalam membawa perubahan.
Dis sisi lain, seorang pendidikan harus kritis mencermati persoalan kependidikan, mulai dari penyimpangan praktik pendidikan di lapangan, kebijakan yang tidak tepat sampai persoalan yang menimpa dirinya sebagai seorang pendidik. Hal ini dilakukan agar pendidik tidak hanya menjadi sosok manusia yang pasrah dan pasif karena dikenal sebagai pahlawan tanpa tanda jasa atau sosok Umar Bakri yang lugu dan sederhana. Dalam perspektif kritis, kesederhanaan pendidik tentu masih sangat relevan tetapi tanpa mengabaikan peran dia yang harus kreatif dan kritis dalam menyelesaikan persoalan pendidikan. Masalah pendidikan tidak hanya diserahkan kepada para akademisi di perguruan tinggi atau pengambil keibjakan saja, namun dia juga harus berperan aktif dalam menyelesaikannya dengan kemampuan yang dimiliki.
Berdasarkan elaborasi singkat tersebut tampak bahwa diversifikasi strategi pembelajaran oleh pendidik mutlak diperlukan mengingat dalam satu kelas terdapat banyak peserta didik yang mempunyai banyak kecenderungan tipe belajar. Untuk itu, tidak ada strategi belajar yang paling tepat untuk setiap waktu dan tempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh tujuan pembelajaran, kondisi peserta didik, waktu, fasilitas, dan pendidik. Yang jelas, untuk konteks pendidikan kritis, strategi pembelajaran diabdikan untuk mengoptimalkan potensi peserta didik, bukan untuk memenuhi harapan pendidik dan menghabiskan materi. Pendidik dituntut mengajar peserta didik untuk selalu dalam proses pencarian ilmu yang kritis dan dinamis, agar dia tidak terjebak pada context of justification, namun context of discovery.
Berbagai agenda perubahan dalam praktek pendidikan berperspektif kritis tersebut tidak akan berjalan maksimal tanpa adanya dukungan politik dari pihak pemerintah. Untuk konteks keindonesiaan, perubahan manajemen pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi mengharuskan pemerintah [pusat] mengkondisikan berbagai aturan yang memungkinkan berjalannya konsep otonomi terutama dalam bidang pendidikan. Dalam manajemen baru ini, pemerintah pusat tidak lagi menjadi pemegang otoritas pembuatan kebijakan, apalagi sampai pembuatan juklak dan juknis. Pemerintah hanya membuat rambu-rambu yang bersifat global. Untuk itu, perlu ada evaluasi kebijakan dalam bidang pendidikan, mana kebijakan yang memberikan ruang bagi praktisi pendidikan untuk kreatif dan mana kebijakan yang menghambat dan mengekang.[4]
3. Apa Saja Unsur-Unsur Dasar Pendidikan Transformatif
Dalam membicarakan konsep dasar dan unsur-unsur yang berparadigma kitis transformatif, secara garis besar dapat dipolakan menjadi 2 bagian, yaitu dimensi semangat pengetahuan dan dimensi praktis pengetahuan. Dimensi semangat pengetahuan terdari dari Semangat Nalar Transvaluasi, Semangat Nalar The Will To Power, Semangat Nalar The Eternal Recurrence, Semangat Nalar Ubermensch, Semangat Nalar Arkeologis, dan Semangat Nalar Dekontruksi. Adapun dimensi praktis pengetahuan, yaitu nalar kritis.
Sebagai semangat pengetahuan:
1. Nalar Transvaluasi
Merupkan nalar yang membaca kebalikan dari seluruh pengetahuan dan sistem nilai yang kita ketahui. Artinya, tidak ada satupun pengetahuan sebelumnya yang menjadi hakim yang menjadikan salah benar terhadap pengetahuan yang akan kita pelajari. Semangat pengetahuan ini kemudia akan diteruskan dengan nalar “The Will To tehe Power”.
2. Nalar The Will To Power
Sebuah nalar yang mengiyakan kepada pilihan pengetahuan lainnya karena dipandang pengetahuan senantiasa lahir proses pertarungan dengan pengetahuan lainnya. Setelah memosisikan sama (misalnya sudah tidak ada lagi strukturifikasi nilai “benar-salah”) kemudian, di lanjutkan dengan pencarian segala sesuatu yang sama-sama benar dengan nilai kebenaran sebelumnya karena hal yang diangap “salah” tadi dipandang sebagai kebenaran yang tertunda dan terkubur karena dipandang pengetahuan senantiasa lahir dari proses pertarungan dengan pengetahuan lainnyas. Selan jutnya, nalar ini membutuhkan Nalar The Eternal Recurence.
3. Nalar The Eternal Recurence
Semangat transvaluasi dan The Will To Power di atas, harus dilakukan terus menerus tanpa henti pada satu titik dan sejenisnya. Tidak boleh menambatkan diri pada satu titik “salah-benar” yang lain, apalagi mempercayainya. Artinya, tidak ada cara pandang pengetahuan yang menjamin suatu itu benar atau salah sekalipun.
4. Nalar Ubermensch
Merupkan katalis yang mampu menjalankan semangat pengetahuan diatas. Tetapi orang itu bukan “saya”, “kamu”, atau yang lainnya karena dalam pandanagan Nietzsche Ubermensch “hanyalah proyeksi, yang tidak bisa dicapai dan diwujudkan dalam bentuk apapun karena proses pencarian pengetahuan tanpa henti diatas tidak pernah berhenti dititik tertentu atau berwujud pada makhluk tertentu, institusi tertentu, dan sebagainya.
5.Nalar Arkeologis
Arkeologi di anggap sebagai bahan inti dari pelajaran sebab dengan arkeologi anak didik dituntut untuk lebih mempunyai perspektif yang membumi. Mereka diberi pengetahuan tentang sejarah masa lalu, yaitu sejara nenek moyang mereka.
6. Nalar Dekontruksi
Tugas dekonstruksi adalah membebaskan pemahaman peserta didik, pengetahuan mereka, dan naskah yang dipelajari dengan mengembangkan dan mengungkap ambiguitasnya, memunculkan kontradiksi internal, dan mengenali kekurangannya sehingga dapat membawa peserta didik kepada pemahaman belajar.
7. Nalar Kritis
Pekerjaan memeriksa “kesahihan pengetahuan” secara kritis adalah pekerjaan yang praksis dari pendidikan kritis transformatif. Terlebih dahulu, menyelidiki kemampuan batas-batas rasio dan pengadilan atas kesahihan pengetahuan denagn memeriksa klaim-klaim pengetahuan karena untuk menentang dogmatisme yang menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya.
D. KESIMPULAN
Pendidikan merupakan unsur elementer yang tidak dapat dilepaskan dari aspek teologis. Komitmen Islam secara teologis terhadap pendidikan dapat dilacak pada al-Qur’an surat al-Alaq (96):1-14. Ayat-ayat dalam surat ini menjelaskan tentang signifikansi pengetahuan yang benar yang harus diketahui dan disebarkan umat Islam secara khusus dan umat manusia umumnya.
Nilai-nilai dan komitmen Islam itu akan makin tampak bila dikaitkan dengan Hadits A’isyah tentang permulaan turunnya wahyu (lihat al-Bukhari, 18-24), di mana Tuhan menyuruh “membaca” kepada Muhammad. Pertama kali Nabi menolak karena dia tidak bisa membaca. Namun, Tuhan menjelaskan, “membaca” adalah kewajiban manusia; mencari dan mengamalkan pengetahuan adalah sifat intrinsik yang harus ada pada manusia. Hadits ini juga menggambarkan dengan jelas mengenai proses penyampaian pengetahuan dalam Islam, yaitu sifatnya yang sangat menekankan pada penciptaan suasana dialogis dan aktif.
Berdasarkan paparan yang telah diuraikan diatas, semakin mempertegas bahwa konsep allama ma lam ya’lam (Tuhan mengajarkan segala hal yang tidak diketahui manusia) mengandung pengertian, Allah selalu mengajarkan suatu pengetahuan baru setiap saat kepada manusia. Sehingga manusia dituntut untuk belajar tentang apa saja sepanjang hidupnya, dan hendaknya selalu berdialog secara tranformatif dengan perkembangan zaman. Manusia tidak boleh berhenti pada pengetahuan yang dimilikinya, tetapi mesti selalu mencari sesuatu “yang baru” diluar dirinya. Lebih-lebih seorang guru, sebagai bagian penting dalam proses pendidikan, menjadi lebih dituntut untuk melakukan proses transformasi ini. [5]
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 20
Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, (Ar-Ruzz Media, jogjakarta: 2009), cet., 1
Musthofa Rembangy, Pendidikan transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Teras, Yogyakarta: 2010), Cet
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003)
[1] . Musthofa Rembangy, Pendidikan transformatif, Pergulatan Kritis Merumuskan Pendidikan di Tengah Pusaran Arus Globalisasi, (Teras, Yogyakarta: 2010), Cet., II, hlm., 87
[2] . Musthofa Rembang, Op Cit, Hal.89
[3] Abdul Munir Mulkhan, “Humanisasi Pendidikan Islam” dalam Tashwirul Afkar, No 11, tahun 2000
[4] . Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmy dkk. (Bandung: Mizan, 2003),
[5] . Muhammad Karim, Pendidikan Kritis Transformatif, (Ar-Ruzz Media, jogjakarta: 2009), cet., 1, hlm., 183-185