MAKALAH TAFSIR TARBAWI POTENSI MANUSIA YANG POERLU DI KEMBANGKAN MELALUI PENDIDIKAN

BAB I

PENDAHULUAN

 

Latar Belakang

Manusia merupakan mahluk yang sempurna dibandingkan dengan semua mahluk yang ada. Yang membedakannya yakni akal pikiran. Dengan akal pikiran manusia mampu menguasai segala hal yang ada di Dunia.

Semua itu tidak akan tercapai tanpa dikembangkan potensi – potensi yang ia miliki. Potensi merupakan kemampuan – kemampuan terpendam yang perlu digali.

Oleh karena itu pemakalh ingin mengetahui apa saja potensi – potensi yang dimiliki oleh manusia. Setelah mengetahui diharapkan potensi itu dikembangkan agar ia mencapai taraf menjadi insan kamil.

 

 

Rumusan Masalah

a.       Apa yang dimaksud dengan pengertian potensi manusia ?

b.      Potensi apa saja yang dimiliki oleh manusia ?

c.       Ayat – ayat apa saja yang menjelaskan tentang potensi manusia ?

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

Pengertian Potensi Manusia

Potensi diri merupakan kemampuan, kekuatan, baik yang belum terwujud maupun yang telah terwujud, yang dimiliki seseorang, tetapi belum sepenuhnya terlihat atau dipergunakan secara maksimal.

Manusia menurut agama islam adalah makhluk Allah yang berpotensi. Dalam al-Qur’an, ada tiga kata yang menunjuk pada manusia,  yang  di gunakan adalah basyar insan atau nas dan bani Adam.

Kata basyar  diambil dari  akar  kata yang  berarti ‘penampakan sesuatu dengan baik dan  indah’. Dari  kata  itu juga, muncul kata basyarah yang  artinya ‘kulit’. Jadi, manusia disebut basyar karena kulitnya tampak jelas  dan berbeda dengan kulit binatang. Manusia dipilih oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Alasan mengapa dipilih sebagai khalifah karena manusia memiliki berbagai potensi.

 

Macam-Macam Potensi Manusia

Manusia memiliki potensi diri yang dapat dibedakan menjadi 5 macam, yaitu:

a.       Potensi Fisik (Psychomotoric)

Potensi diri ini dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk saling membagi kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Contohnya hidung untuk mencium bau, tangan untuk menulis, kaki untuk berjalan, telinga untuk mendengar, dan mata untuk melihat.

b.      Potensi Mental Intelektual (Intellectual Quotient)

Potensi diri ini adalah potensi kecerdasan yang terdapat di otak manusia (terutama otak bagian kiri). Fungsi dari potensi ini yaitu untuk merencanakan sesuatu, menghitung dan menganalisis.

c.       Potensi Sosial Emosional (Emotional Quotient)

Potensi diri ini sama dengan potensi mental intelektual, tetapi potensi ini terdapat di otak manusia bagian kanan. Fungsinya yaitu untuk bertanggung jawab, mengendalikan amarah, motivasi, dan kesadaran diri.

d.      Potensi Mental Spiritual (Spiritual Quotient)

Potensi ini merupakan potensi kecerdasan yang berasal dari dalam diri manusia yang berhubungan dengan kesadaran jiwa, bukan hanya untuk mengetahui norma, tapi untuk menemukan norma.

e.       Potensi Daya Juang (Adversity Quetient)

Sama seperti potensi mental spiritual, potensi daya juang juga berasal dari dalam diri manusia dan berhubungan dengan keuletan, ketangguhan, dan daya juang yang tinggi.[1]

 

Sedangkan apabila kita merenungkan, sejarah kehidupan manusia di awali sejarah Nabi Adam dan anak cucunya yang mendiami muka bumi ini. Mereka yang dibesarkan oleh perkembangan zaman, lalu disusul dengan terwujudnya kesejahteraan di bumi ini.

Beberapa potensi manusia menurut agama islam yang diberikan oleh Allah SWT :

a.       Potensi Akal

Manusia memiliki potensi akal yang dapat menyusun konsep-konsep, mencipta, mengembangkan, dan mengemukakan gagasan. Dengan potensi ini, manusia dapat melaksanakan  tugas-tugasnya sebagai pemimpin di muka bumi. Namun, factor subyektifitas manusia dapat mengarahkan manusia pada kesalahan dan kebenaran.

b.      Potensi Ruh

Manusia memiliki ruh. Banyak mendapat para ahli tentang ruh. Ada yang mengatakan bahwa ruh pada manusia adalah nyawa. Sementara sebagian yang lain mengalami ruh pada manusia sebagai dukungan dan peneguhan kekuatan batin. Soal ruh ini memang bukan urusan manusia karena manusia memiliki sedikit ilmu pengetahuan. Bukankah urusan ruh menjadi urusan Tuhan. Allah SWT berfirman:“Katakanlah: ‘ruh adalah urusan Tuhan-Ku, kamu tidak diberi ilmu kecuali sedikit” (QS. Al-Isra’: 85)

c.       Potensi Qalbu

Qalbu disini tidak dimaknai sebagai hati yang ada pada manusia. Qalbu lebih mengarah pada aktifitas rasa yang bolak-balik. Sesekali senang, sesekali susah, kadang setuju kadang menolak.

Qalbu berhubungan dengan keimanan. Qalbu merupakan wadah dari rasa takut, cinta, kasih sayang, dan keimanan. Karena qalbu ibarat sebuah wadah, ia berpotensi menjadi kotor atau tetap bersih.

d.      Potensi Fitrah

Manusia pada saat lahir memiliki potensi fitrah. Fitrah disini tidak dimaknai melulu sebagai sesuatu yang suci. Fitrah disini adalah bahwa sejak lahir fitrah manusia adalah membawa agama yang benar. Namun, kondisi fitrah ini berpotensi tercampur dengan yang lain dalam proses pembentukannya.

e.       Potensi Nafs

Dalam bahasa Indonesia, nafs diserap menjadi nafsu berarti ‘dorongan kuat berbuat kurang baik’. Sementara nafs yang ada pada manusia tidak hanya dorongan berbuat buruk, tetapi berpotensi berbuat baik. Dengan kata lain, nafs ini berpotensi positif dan negative.

Melekatnya nafs pada diri manusia cenderung berpotensi positif. Namun, potensi negative daya  tariknya lebih kuat dari pada potensi positif. Oleh karena itu manusia diminta menjaga  kesucian nafsnya agar tidak kotor.

Sebagai manusia, fitrah kita cenderung mengarah kepada hal-hal baik dan terpuji.   Namun, karena manusia diberi akal, nafsu dan syahwat. Bisa jadi kedua tipe akhlak tersebut ada pada diri kita. Tetapi karena manusia memiliki hawanafsu, maka dari itulah derajat manusia lebih tinggi  daripada  malaikat,  syetan,  bahkan  semua  makhlukciptaan Allah.

 

 

Ayat-Ayat tentang Potensi Manusia

 

a.      Surat  Al an’am  ayat  79                         

 ’ÎoTÎ) àMôg§_ur }‘Îgô_ur “Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# šßö‘F{$#ur $Zÿ‹ÏZym ( !$tBur O$tRr& šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÐÒÈ 

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”.

a)      Mufrodat

وَجَّهْتُ         : aku menghadapkan diri

فَطَرَ          : mewujudkan

حَنِيفًا           : yang benar

الْمُشْرِكِينَ      : orang-orang yang mempersekutukan

b)      Tafsir

Setelah Allah swt. mengisahkan kelepasan diri Nabi Ibrahim a.s. dari kemusyrikan kaumnya, Allah swt. mengisahkan pula kelanjutan dari pada kelepasan diri itu dengan menggambarkan sikap Ibrahim a.s dan akidah tauhidnya yang murni, yaitu Ibrahim a.s. menghadapkan dirinya dalam ibadah ibadahnya kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi.

Dia pula yang menciptakan benda-benda langit yang terang benderang di angkasa raya dan yang menciptakan manusia seluruhnya, termasuk pemahat patung-patung yang beraneka ragam bentuknya.

Ibrahim a.s. cenderung kepada agama tauhid dan menyatakan bahwa agama agama lainnya adalah batal dan dia bukanlah termasuk golongan orang-orang yang musyrik. Dia seorang yang berserah diri kepada Allah swt. semata.

 

Firman Allah: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya dan pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus. “  (Q.S An Nisa': 125)

 

 

 

Dan firman-Nya

“Barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.”  (Q.S. Luqman: 22)

c)      Aspek Tarbawi

·        Hendaknya senantiasa mengingat Allah SWT. yang menciptakan seluruh alam.

·        Selalu berserah diri dan  beribadah kepada Allah SWT.

 

 

b.      Surat Al-anbiya’ ayat 34-35

‌$tBur $uZù=yèy_ 9Ž|³t6Ï9 `ÏiB šÎ=ö6s% t$ù#ã‚ø9$# ( û'ïÎ*sùr& ¨MÏiB ãNßgsù tbrà$Î#»sƒø:$# ÇÌÍÈ   ‘@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#sŒ ÏNöqyJø9$# 3 Nä.qè=ö7tRur ÎhŽ¤³9$$Î/ ÎŽösƒø:$#ur ZpuZ÷FÏù ( $uZøŠs9Î)ur tbqãèy_öè? ÇÌÎÈ 

34. Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad); Maka Jikalau kamu mati, Apakah mereka akan kekal?

35. tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan.

a)      TAFSIR

Penjelasan ayat ini adalah bahwa tidak ada yang kekal dikehidupan ini. Orang-orang musyrik bergembira jika musibah kematian menimpa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengatakan : “Kita menunggu ajal menimpanya”.[2]

Ayat ini menjelaskan bahwa semua yang makhluk bernafas di muka bumi ini akan mati, baik Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para Nabi dan Rasul sebelumnya. Kegembiraan orang-orang musyrik atas kematian beliau tidak berguna sama sekali, karena mereka pun juga akan mati.

Dalam ayat ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang maknanya): “wahai Muhammad, Kami tidak menjadikan anak cucu Adam hidup abadi di dunia ini sebelum kamu; sehingga Aku mengabadikan kamu; dan kamu akan mati sebagaimana mereka”.[3]

 

Di dalam ayat yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

 “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kemudian hanya kepada Kami kamu dikembalikan.” (al-‘Ankabût: 57)

Setiap orang akan menemui ajalnya. Ini tidak bisa dipungkiri, baik bagi yang pergi berperang maupun yang tidak, dan tidak ada sesuatupun yang bisa menyelamatkan manusia dari kematian, karena sesungguhnya ajal sudah ditentukan”.[4] Jadi, setiap yang bernyawa di muka bumi ini baik manusia, jin maupun hewan, akan mati dan tidak ada yang dijadikan hidup abadi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Imam Ibnu Katsir berkata tentang firman Alloh “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan”, yaitu Kami akan menguji kamu kadang-kadang dengan musibah-musibah dan kadang-kadang dengan kenikmatan-kenikmatan, sehingga Alloh akan melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang bersabar dan siapa yang berputus asa. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas: “Kami akan menguji kamu dengan kesusahan dan kemakmuran, kesehatan dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, halal dan harom, ketaatan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Al-Anbiya’ : 35)

Banyak manusia berputus asa dengan kesusahan yang mereka alami, seolah-olah kesusahan itu tidak akan hilang dari mereka. Namun sebaliknya, jika manusia itu mendapatkan berbagai macam kesenangan dan kenikmatan, maka kebanyakan mereka melupakan kepada Penciptanya. Mereka menganggap bahwa mereka berhak mendapatkan kenikmatan itu, mereka menganggap itu semua karena usahanya dan kepandaiannya. Kemudian kebanyakan mereka berbuat melewati batas.

Imam Ibnu Katsir berkata: “Alloh Ta’ala memberitakan tentang manusia dan sifat-sifat tercela yang ada padanya, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Alloh, yaitu hamba-hambaNya yang beriman. Bahwa manusia itu jika ditimpa oleh kesusahan setelah kenikmatan, dia berputus asa dari kebaikan terhadap masa depan, dan dia mengingkari (kebaikan) yang telah lewat, seolah-olah dia tidak pernah melihat kebaikan, dan setelah itu dia tidak berharap kelonggaran. Demikian juga jika manusia itu mengalami kenikmatan setelah kesusahan, “dia akan berkata: “Telah hilang bencana-bencana itu daripadaku”, yaitu: setelah ini kesusahan dan keburukan tidak akan menimpaku lagi.

FirmanNya: “Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga“, yaitu dia bergembira dan bersombong dengan apa yang ada di tangannya, berbangga terhadap orang lain”. FirmanNya: “Kecuali orang-orang yang sabar“, yaitu menghadapi kesusahan-kesusahan dan perkara-perkara yang tidak disukai; firmanNya “dan mengerjakan amal-amal saleh“, yaitu pada waktu longgar dan sehat; firmanNya: “mereka itu beroleh ampunan“, yaitu dengan sebab kesusahan yang mereka alami; firmanNya: “dan pahala yang besar“, dengan sebab amalan mereka pada waktu longgar”. (Tafsir Ibnu Katsir, surat Huud: 9-11)[5]

 

b)      Asbabun Nuzul

Ada dua sebab turunnya ayat ini, keduanya dengan shîghah sharîhah (bentuk kalimat yang jelas), akan tetapi sanad keduanya munqati’ (terputus). Pertama diriwayatkan dari Muqathil rahimahullah yang mengatakan:“Sebab turunnya ayat ini adalah ketika sebagian orang berkata bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mati.”[6]

Kedua Ibnul Mundzir rahimahullah meriwayatkan dari Ibnu Juraij rahimahullah yang mengatakan:“Diberitakan kepada  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau akan wafat, kemudian beliau berkata:“ Wahai Rabbku, siapakah yang akan mendidik umatku?” Kemudian turunlah ayat ini.[7]

 

c.       Surat QS An-nur ayat 27

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=äzô‰s? $·?qã‹ç/ uŽöxî öNà6Ï?qã‹ç/ 4_®Lym (#qÝ¡ÎSù'tGó¡n@ (#qßJÏk=|¡è@ur #’n?tã $ygÎ=÷dr& 4 öNä3Ï9ºsŒ ׎öyz öNä3©9 öNä3ª=yès9 šcr㍩.x‹s? ÇËÐÈ 

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.

a)       Tafsir

Dalam ayat 27 diterangkan bahwa orang-orang Mu'min dilarang memasuki pekarangan rumah orang kalau yang empunya tidak izin. Rumah adalah tempat menyimpan rahasia kerumah tanggaan. Sebab setiap mempunyai dua wajah hidup, hidup kemasyarakatan dan hidup urusan peribadi. Orang keluar dari dalam rumahnya dengan pakaian yang pantas, orang pergi ke Jum'at dengan perhiasan yang patut, meskipun keadaannya dalam rumah tangganya adalah serba kurang.

Dalam rumah tangganya orang dapat memakai kaos singlet yang robek dan sarung yang telah bertambal-tambal. Orang luar tidak boleh tahu itu. Keluar kelihatan orang gagah, dan kalau menjamu orang lain makan ke dalam rumahnya akan disediakannya makanan yang agak istimewa daripada makanannya sehari-hari. Tetapi dalam waktu yang tidak dicampuri orang lain, mungkin mereka hanya makan sekali sehari dengan laukpauk yang serba kurang.

Orang luar tidak boleh mengetahui itu. Kadang-kadang terjadi perselisihan suami dan isteri dalam perkara yang kecil-kecil, entah karena kekurangan belanja, entah karena kenakalan anak. Orang luar tidak perlu tahu akan hal itu. Urusan rumah tangga adalah urusan tersendiri dalam rumahtangga itu tersendiri, yang tidak boleh diketahui oleh orang lain. Oleh sebab itu menurut peraturan agama Islam yang dijelaskan dalam ayat ini, sekali-kali tidak boleh seorang yang merasa dirinya beriman kepada Tuhan dan taat kepada Rasul, masuk saja ke dalam rumah orang, siapa pun orangnya, kalau tidak dengan izinnya.

Tidak perduli apakah rumah itu istana presiden yang lengkap penjaga dan pengawalnya, ataupun gubuk buruk beratapkan rumbia di lorong yang sempit penuh lumpur. Namun kedaulatan penghuni rumah itu atas rumahnya tetaplah sama.

Bagaimana seseorang yang pulang dari kerja keras mengurus penghidupan, menanggalkan pakaian yang lekat di tubuh, tinggal baju kaos dan celana katok (celana dalam) tiba-tiba dalam keadaannya demikian itu datang' saja orang lain tanpa salam dan tanpa memberitahu? Dan masuk saja tanpa izin? Bagaimana perasaan seorang perempuan terhormat, sedang dia hanya berkutang sehelai dan berkain sesampul gantung, merasa aman karena hanya dengan suaminya dan anak-anaknya, tiba-tiba muncul saja orang lain dari pintu, padahal hubungan dengan orang lain itu selama ini adalah dalam batas kesopanan?

Di dalam hal ini diterangkan benar, jangan masuk ke dalam sebuah rumah sebelum tasta'nisun, artinya diketahui benar terlebih dahulu bahwa yang empunya rumah sedang senang, sedang gembira menerima tamu. Wa tusallimu, artinya dengan disertai ucapan salam kepada sahibul bait yang empunya rumah. Maka kedua syarat ini tidak boleh terpisah, kesukaan yang empunya rumah dan ucapan salam. Sekali-sekali jangan menerobos saja masuk sambil mengucapkan salam, padahal yang empunya rumah belum menyatakan suka menerima kita, jangan pula masuk saja sebelum mengucapkan salam.[8]

 

d.      .QS Ar-ruum ayat 30

óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $Zÿ‹ÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏ‰ö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ 

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui

 

a)      Mufrodat

النَّاسَ                 : Manusia

وَجْهَكَ                : Wajahmu

تَبْدِيلَ                  : Perubahan

لِلدِّينِ                  : Wajahmu                                              

 أَكْثَرَ                  : Kebanyakan

حَنِيفًا                  : Dengan lurus                                           

  يَعْلَمُونَ              : Mengetahui.

فِطْرَتَ                : Fitrah

b)      Tafsir

Dalam ayat tersebut, Allah menjelaskan bahwa fitrah yang dimaksud adalah“al-dinu al-Qayyim” agama yang lurus. Akan tetapi, potensi tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor dari luar baik berupa pendidikan ataupun lingkungan yang dalam hadits diatas digambarkan dengan faktor orang tua.

 Sebagai potensi dasar, maka fitrah itu cenderung kepada potensi-potensi psikologis yang perlu untuk dikembangkan ke arah yang benar. Diantara potensi psokologis tersebut adalah:

·        Beriman kepada  Allah  SWT.

·        Kecenderungan untuk menerima kebenaran, kebaikan, termasuk untuk menerima pendidikan dan  pengajaran.

·        Dorongan ingin tahu untuk mencari hakikat kebenaran yang berwujud daya fikir.

·        Dorongan biologis yang berupa syahwat dan tabiat

·        Kekuatan-kekuatan lain dan sifat-sifat manusia yang dapat dikembangkan dan dapat disempurnakan.[9]

Ibn taimiyah dalam menginterprestasikan fitrah yang dibawa oleh manusia adakalanya:

·        Fitrah al Ghazirah, yaitu fitrah inheren dalam diri manusia yang memberikan daya akal (Quwwah al-aql), yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia.

·         Fitrah al-Munazzal, yaitu fitrah luar yang masuk pada diri manusia. Fitrah ini berupa petunjuk al-Qur’an dan as-sunnah yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing bagi fitrah al-Gazirah.

 Dapat disimpulkan bahwa fitrah yang berupa pembawaan pada diri manusi merupakan potensi-potensi dasar manusia yang memiliki sifat kebaikan dan kesucian untuk menerima rangsangan (pengaruh) dari luar menuju pada kesempurnaan dan kebenaran.

Namun, fitrah manusia bukanlah satu-satunya potensi yang dapat mencetak manusia sesuai dengan fungsinya. Ada juga potensi lain yang menjadi kebalikann dari fitrah ini, yaitu nafs yang mempunyai kecenderungan pada keburukan dan kejahatan. Untuk itu fitrah harus tetap dikembangkan secara wajar dengan fitrah al-Munazzal yang dijiwai oleh wahyu (al-Qur’an dan as-Sunnah), sehingga dapat mengarahkan perkembangan seorang anak kepada jalur yang benar secara kaamilah. Oleh karena betapa pentingnya pendidikan untuk mengarahkan perkembangan manusia ke arah yang benar (ad-din al-Qayyim), hendaklah suatu pendidikan mulai ditanamkan sejak dini.

Melatih dan membiasakan suatu perbuatan baik, merupakan metode yang amat tepat dilakukan pada masa usia anak-anak. Karena dari metode pembiasaan inilah akan terbentuknya jiwa dan kepribadian yang baik.

            Dalam hadis lain disebutkan:

 

“Dari Anas bin Malik, dari Rasulullah SAW bersabda: Muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka.” (HR. Ibn Majah)

Potensi-potensi yang dibawa oleh manusia sejak lahir sangatlah rentan akan pengaruh-pengaruh dari luar, oleh sebab sejak usia dini fitrah tersebut harus diarahkan dan dibimbing ke arah yang benar dengan pendidikan kepribadian (akhlak) dan pendidikan agama. Dalam hal ini orang tua adalah faktor yang sangat berpengaruh, karena orang tua adalah orang pertama kali yang bersentuhan dengan seorang anak.

Sejak usia dini, seorang anak mulai mengenal dunia di luar dirinya secara objektif disertai pengahayatan secara subjektif. Mulai adanya pengenalan pada Aku sendiri dengan bantuan bahasa dan kata-kata. Nabi SAW mengingatkan agar orang tua mengajarkan dan mendidik anak dengan beberapa hal diantaranya adalah adab, shalat, kecintaan dengan Nabi dan al-Qur’an, serta mengembangkan minat dan bakat.

Pendidikan merupakan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia yang berfikir bagaimana menjalani kehidupan dunia ini dalam rangka mempertahankan hidup dalam hidup dan penghidupan manusia yang mengemban tugas dari Sang Kholiq untuk beribadah.

Manusia sebagai mahluk yang diberikan kelebihan oleh Allah SWT dengan suatu bentuk akal pada diri manusia yang tidak dimiliki mahluk Allah yang lain dalam kehidupannya, bahwa untuk mengolah akal pikirnya diperlukan suatu pola pendidikan melalui suatu proses pembelajaran.

Berdasarkan undang-undang Sisdiknas No.20 tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya diuraikan bahwa dalam upaya membina tadi digunakan asas/pendekatan manusiawi/humanistik serta meliputi keseluruhan aspek/potensi anak didik serta utuh dan bulat (aspek fisik–non fisik : emosi–intelektual ; kognitif–afektif psikomotor), sedangkan pendekatan humanistik adalah pendekatan dimana anak didik dihargai sebagai insan manusia yang potensial, (mempunyai kemampuan kelebihan-kekurangannya dll), diperlukan dengan penuh kasih sayang – hangat – kekeluargaan – terbuka – objektif dan penuh kejujuran serta dalam suasana kebebasan tanpa ada tekanan/paksaan apapun juga.[10]

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

 

Kesimpulan

Manusia adalah mahluk yang sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Ia diberi berbagai potensi oleh tuhan untuk dikembangkan dan digali agar manusia itu dapat menjadi insan kamil. Potensi yang dimiliki oleh manusia ada beberapa diantaranya : potensi akal, potensi ruh, potensi qalbu, potensi fitrah, dan potensi nafs.

Selain itu dalam Alquran telah diterangkan mengenai potensi manusia dalm Surah Al – An’am ayat 79

’ÎoTÎ) àMôg§_ur }‘Îgô_ur “Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# šßö‘F{$#ur $Zÿ‹ÏZym ( !$tBur O$tRr& šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÐÒÈ 

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang mempersekutukan tuhan”.

Jadi manusia harus bersyukur karena Allah telah memberinya berbagai potensi, dibandingkan dengan mahluk selain manusia.

 

 

Saran

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kekurangan baik dalam penyusunan maupun penggunaan EYD yang kurang tepak. Maka dari itu kami mengharap saran yang membangun agar penulisan selanjutnya akan lebih baik lagi.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Al-Jazâiri, Abû bakar Jâbir. 2003. Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. Madinah.

At-Thabary, Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far. 2000. Tafsir at-Thabari.Lebanon: Muassasah Risâlah.

Salim Bahreisy & Said Bahreisy.1990. Terjemahan singkat Tafsir IbnuKatsir. Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/. Diakses, 7 april 2013.

Al-Jauzî, Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad. 1404 H. Zadul Masir.Beirut: al-Maktab Al-Islami

As-Suyuthi, Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad. Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl. Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm.

Al-Maragi, Ahmad Mustofa. 1993. Tafsir Al-Maragi, Terjemahan Bahrun Abu Bakar dkk. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Http://users6.nofeehost.com/alquranonline/Alquran_Tafsir.asp?pageno=2&SuratKe=74#Top. Diakses , 7 april 2013.

Departemen RI, Al-Qur’an Bayan. 2009. Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka.

HAMKA, Tafsir Al-Azhar. 1983. Jakarta: PT. Panji Mas.

Http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april 2013.

 

 

 

 

 

 

 

[1] http://za-enal.blogspot.com/2012/03/potensi-diri-dan-macam-macamnya.html

 

[2] Abû bakar Jâbir al-Jazâiri, Aisarut Tafasir, Maktabah Ulûm wal Hikam. (Madinah: 2003), hlm. 412

 

[3] Muhammad bin Jarîr Abû Ja’far at-Thabary, Tafsir at-Thabari. (Lebanon: Muassasah Risâlah, 2000 ), hlm. 439

[4] Salim Bahreisy & Said Bahreisy. Terjemahan singkat Tafsir Ibnu Katsir.(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1990), hlm. 360

 

[5] http://ustadzmuslim.com/kesusahan-dan-kenikmatan-sebagai-ujian/. Diakses, 7 april 2013.

 

[6] Abdur-Rahmân bin Alî bin Muhammad Al-Jauzî, Zadul Masir, (Beirut: al-Maktab Al-Islami, 1404 H), hlm. 350

[7] Abdur-Rahmân bin Abi Bakr bin Muhammad As-Suyuthi, Lubâbun-Nuqûl fî Asbâbin-Nuzûl, (Beirut: Dâr Ihyâ’ul-ulûm), hlm. 146

[8] HAMKA, Tafsir  al-Azhar, (Jakarta:PT. Panji Mas, 1983), hlm. 3

[9] Departemen RI, Al-Qur’an Bayan (Penerbit: Al-Qur’an Terkemuka, 2009), hlm. 7

 

[10] http://iyhaelmawat.blogdetik.com, berilmu dalam tafsir ibnu katsir. Diakses, 6 april 2013.

 

 

Artikel Terkait