BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah perkembangan hadis
merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadis dari masa lahirnya
dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke
generasi. Mengkaji sejarah perkembangan hadis sangat penting dan mendasar
sebelum mengkaji secara lebih jauh tentang hadis. Mengetahui perkembangan
hadis, baik dari perkembangan riwayat-riwayatnya maupun pembukuannya, sangat
diperlukan karena dipandang menjadi satu kesatuan dengan studi hadis.
Dalam sejarah penghimpunan
dan kodifikasi hadis mengalami perkembangan yang agak lamban dan bertahap
dibandingkan perkembangan kodifikasi Al Qur’an. Hal ini wajar saja karena Al
Qur’an pada masa Nabi sudah tercatat seluruhnya sekalipun sangat sederhana, dan
mulai dibukukan pada masa Abu Bakar Khalifah pertama dari Khulafa Ar-Rasyidin
sekalipun dalam penyempurnaannya dilakukan pada masa Utsman bin Affan yang
disebut dengan tulisan Utsmani ( Khathth Usmani ). Sedangkan penulisan hadist
pada masa Nabi secara umum justru malah dilarang. Masa pembukuannya pun
terlambat sampai pada masa abad ke 2 Hijriyah dan mengalami kejayaan pada abad
ke 3 Hijriyah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada
penulisan makalah ini adalah, sebagai berikut :
1. Bagaimana sejarah hadis pada masa pra
kodifikasi ?
2. Bagaimana sejarah hadis pasca kodifikasi
dan perkembangannya?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah
ini adalah, sebagai berikut :
1. Mengetahui sejarah hadis pada masa pra
kodifikasi.
2. Mengetahui sejarah hadis masa pasca
kodifikasi dan perkembangannya.
BAB II
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN
HADIS
A. Hadis Pada Masa Pra Kodifikasi
1. Periode Pertama: Perkembangan Hadis Pada
Masa Rasululloh SAW.
Periode ini disebut ‘Ashr
Al-Wahyi wa At-Tahwin’ (masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat islam).
Pada periode inilah, hadis lahir berupa sabda (Aqwal), Af’al, dan taqrir Nabi
yang berfungsi menerangkan Al-Qur’an untuk menegakan syariat Islam dan membentuk
masyarakat islam.[1]
Hadis pada masa ini pada
umumnya hanya diingat dan dihafal oleh mereka, tidak ditulis seperti Alquran
ketika disampaikan nabi, karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan.
Dr. Mushthafa As-Siba’I menyampaikan beberapa alasan diantaranya :
a. Alquran masih turun kepada Nabi Muhammad
SAW dan kondisi penulisannya masih sangat sederhana ditulis di atas pelapah
kurma, kulit, tulang binatang, dan batu-batuan dan belum dibukukan. (Alquran
dibukukan pada masa Abu Bakar Ash-Shidiq dan Umar bin Al-Khatab).
b. Kemampuan tulis menulis bagi para sahabat
pada awal islam masih sangat langka dapat dihitung dengan jari dan mereka sudah
difungsikan sebagai penulis wahyu Alquran.
c. Ingatan orang-orang arab yang dikenal
bersifat ummi (tidak bisa baca tulis) sangat kuat dan diandalkan Rasululloh
untuk mengingat hadis.[2]
Sebagian menyebutkan sebab
hadis tidak ditulis yaitu dikhawatirkan akan bercampur dalam catatan sebagian
sabda Nabi dengan Alquran dengan tidak sengaja. Karena itu, Nabi melarang
mereka menulis hadis karena khawatir sabda-sabdanya akan bercampur dengan
firman ilahi. Tetapi hal ini tidak menghalangi adanya para sahabat yang menulis
hadis dengan cara tidak resmi. Memang
ada beberapa atsar yang sahih yang menegaskan adanya para sahabat menulis hadis
di masa Nabi Muhammad SAW.
Ada riwayat-riwayat yang
menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai shahifah (lembaran-lembaran) yang
tertulis hadis. Mereka membukukan sebagian hadis yang mereka dengar dari
Rosululloh SAW. Seperti shahifah Abdullah ibn Amr ibn Ash, yang dinamai
“Ash-Shadiqah”. Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai sebuah
shahifah, ditulis di dalamnya hukum-hukum diyat yang diterapkan kepada kelurga,
dan lain-lain.
Menurut sebuah riwayat,
Anas ibn Malik juga mempunyai sebuah buku catatan. Sebagian ulama yang lain
berpendapat bahwa larangan menulis hadis tertentu terhadap mereka yang akan
dikhawatirkan akan mencampuradukan hadis dengan alquran. Izin hanya diberikan
kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan hadis dengan Alquran.
Tegasnya mereka
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara larangan dan keizinan, apabila
kita pahami bahwa yang dilarang adalah pembukuan resmi seperti halnya Alquran,
dan keizinan itu diberikan kepada mereka yang hanya menulis sunnah untuk diri
sendiri. Memang kita dapat menetapkan bahwa larangan itu dihadapkan umat secara
umum, sedangkan keizinan hanya untuk beberapa orang terentu. Riwayat Abdullah
ibn Amr menguatkan pendapat ini.[3]
2. Periode Kedua : Perkembangan Hadis pada
Masa Khulafa’ Ar-Rasyidin (11 H – 40 H)
Periode ini disebut
‘Ashr-At-Tatsabbut wa Al-Iqlal min Al-Riwayah (masa membatasi dan menyedikitkan
riwayat). Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 11 H. Kepada umatnya, beliau
meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Alquran dan
hadis (As-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
Pada masa Khalifah Abu
Bakar dan Umar, periwayatan hadis tersebar secara terbatas. Penulisan hadispun
masih terbatas dan belum dilakukan secara resmi. Bahkan, pada masa itu, Umar
melarang para sahabat untuk memperbanyak meriwayatkan hadis, dan sebaliknya,
Umar menekankan agar para sahabat mengerahkan perhatiannya untuk
menyebarluaskan Alquran.
Dalam praktiknya, ada dua
sahabat yang meriwayatkan hadis, yakni :
a. Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh
yang mereka terima dari Nabi Muhammad SAW yang mereka hafal benar lafazh dari
Nabi.
b. Dengan maknanya saja, yakni mereka
meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi Muhammad SAW.[4]
Kekhawatiran Umar bin
Al-khatab dalam pembukuan hadis adalah tasyabbuh/ menyerupai dengan ahli kitab
yakni yahudi dan nasrani yang meninggalkan kitab Allah dan menggantinya dengan
kalam mereka dan menempatkan biografi para Nabi mereka di dalam kitab Tuhan
mereka. Umar khawatir umat islam meninggalkan Alquran dan hanya membaca hadis.
Jadi Abu Bakar dan Umar tidak berarti melarang pengkondifikasian hadis tetapi
melihat kondisi pada masanya belum memungkinkan untuk itu.
Penyampaian periwayatan
dilakukan secara lisan dan hanya jika benar-benar diperlukan saja yaitu ketika
umat islam benar-benar memerlukan penjelasan hukum. Kedua khalifah di atas
menerima hadis dari orang perorang dengan syarat disertai saksi yang
menguatkan. Bahkan Ali menerimanya jika disertai dengan sumpah disamping
saksi.[5]
Kehati-hatian dan usaha
membatasi periwayatan yang dilakukan para sahabat, disebabkan karena mereka
khawatir terjadinya kekeliruan, yang padahal mereka sadari bahwa hadis
merupakan sumber ajaran setelah Alquran, yang juga harus tetap terpelihara dari
kekeliruannya sebagaimana terpeliharanya Alquran. Oleh karenanya, para sahabat
berusaha memperketat periwayatan dan penerimaan hadis.[6]
3. Periode Ketiga : Perkembangan pada Masa
Sahabat Kecil dan Tabiin
Periode ini disebut ‘Ashr Intisyar al-Riwayah
ila Al-Amshar (masa berkembang dan meluasnya periwayatan hadis). Pada masa ini,
daerah islam sudah meluas, yakni ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan
pada tahun 93 H, meluas sampai ke Spayol. Hal ini bersamaan dengan berangkatnya
para sahabat ke daerah-daerah tersebut, terutama dalam rangka tugas memangku
jabatan pemerintah dan penyebaran ilmu hadis.[7]
Para sahabat kecil dan
tabi’in yang ingin mengetahui hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. diharuskan
berangkat ke seluruh pelosok wilayah Daulah Islamiyah untuk menanyakan hadis
kepada sahabat-sahabat besar yang sudah tersebar diwilayah tersebut. Dengan
demikian, pada masa ini, di samping tersebarnya periwayatan hadis
kepelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawanan untuk mencari hadis pun
menjadi ramai.
Karena meningkatnya
periwayatan hadis, muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga (Centrum
perkembangan) hadis di berbagai daerah di seluruh negeri. Diantara bendaharawan
hadis yang banyak menerima, menghafal, dan mengembangkan atau meriwayatkan
hadis adalah :
a. Abu Huraira, menurut Ibn Al-Jauzi, beliau
meriwayatkan 5.374 hadis, sedangkan menurut Al-Kirmany, beliau meriwayatkan
5.364 hadis.
b. ‘Abdullah Ibn Umar meriwayatkan 2.630
hadis.
c. ‘Aisyah, istri Rasul SAW. Meriwayatkan
2.276 hadis.
d. Jabir Ibn ‘Abdullah meriwayatkan 1.540
hadis.
e. Abu Sa’id Al-Khudri meriwayatkan 1.170
hadis.
Pada periode ketiga ini
mulai muncul usaha pemalsuan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Hal
ini terjadi setelah wafatnya Ali.r.a. Pada masa ini, umat islam mulai
terpecah-pecah menjadi beberapa golongan: Pertama, golongan ‘Ali bin Abi
Thalib, yang kemudian dinamakan golongan Syi’ah. Kedua, golongan khawarij, yang
menentang ‘Ali, dan golongan Mu’awiyah dan ketiga golongan jumhur (golongan
Pemerintah pada masa itu).
Terpecahnya umat islam
tersebut, memacu orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk mendatangkan
keterangan-keterangan yang berasal dari Rasululloh SAW.untuk mendukung golongan
mereka. Oleh sebab itulah, mereka membuat hadis palsu dan menyebarkannya kepada
masyarakat.
B. Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi dan
Perkembangannya.
1. Periode Keempat : Masa Pengumpulan dan
Pembukuan Hadis
Periode ini disebut Ashr
Al-Kitabah wa Al-Tadwin ( masa penulis dan pembukuan). Maksudnya, penulisan dan
pembukuan secara resmi, yakni yang diselenggarakan atas inisiatif pemerintah.
Adapun kalau secara perseorangan, sebelum abad ke-2 H. hadis sudah banyak
ditulis, baik pada masa tabi’in, sahabat kecil, sahabat besar, bahkan pada masa
nabi.
Masa pembukuan secara
resmi dimulai pada awal abad ke-2 H, yakni pada masa pemerintahan Khalifah Umar
Ibn Abdul Aziz . Sebagian khalifah, Umar Ibn Abdul Aziz sadar bahwa para perawi
yang menghimpun hadis dalam hafalannya semakin banyak yang meninggal. Beliau
khawatir apabila tidak membukukan dan mengumpulkan dalam buku-buku hadis dari
para perawinya, ada kemungkinan hadis-hadis tersebut akan lenyap dari permukaan
bumi bersama dengan kepergian para penghafalnya ke alam barzakh.
Untuk mewujudkan maksud
mulia itu, pada tahun 100 H. Khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakr
Ibn Muhammad Ibn Amr Ibn Hazmin (120 H) yang menjadi guru Ma’mar, Al-Laits,
Al-Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan Ibnu Abi Dzi’bin supaya membukukan hadis Rasul
yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, yaitu Amrah binti Abdir
Rahman Ibn Sa’ad Ibn Zurarah Ibn ‘Ades, seorang ahli Fiqh, murid ‘Aisyah r.a
(20 H/642 M – 98 H/716 M atau 106 H/724 M), dan hadis-hadis yang ada pada Al-Qasim
Ibn Muhammad Ibn Abi Bakr Ash-Shiddieq (107 H/725 M), seorang pemuka tabiin dan
salah seorang fuqaha tujuh Madinah.
Disamping itu, Umar
mengirimkan surat-surat kepada gubernur
yang ada di bawah kekuasaannya untuk membukukan hadis yang ada pada
ulama yang tinggal di wilayah mereka masing-masing. Di antara ulama besar yang
membukukan hadis atas kemauan Khalifah adalah Abu Bakr Muhammad Ibn Muslim Ibn
Ubaidillah Ibn Syihab Az-Zuhri, seorang tabiin yang ahli dalam bidang fiqh dan
hadis. Beliau adalah guru Malik, Al-Auza’i, Ma’mar, Al-Laits, Ibnu Ishaq, dan
Ibnu Abi Dzi’bin. Mereka inilah ulama yang mula-mula membukukan hadis atas
anjuran Khalifah.
Kitab hadis yang ditulis
oleh Ibnu Hazm, yang merupakan kitab hadis pertama yang ditulis atas perintah
kepala Negara, tidak sampai kepada kita, dan kitab itu tidak membukukan seluruh
hadis yang ada di Madinah. Pembukuan hadis yang ada di Madinah dilakukan oleh
Imam Muhammad Ibn Muslim Ibn Syihab Az-Zuhri, yang memang terkenal sebagai
seorang ulama besar dari ulma-ulama hadis pada masanya.[8]
Diantara hal yang timbul
dalam abad ke-2 ialah meluasnya pemalsuan hadis. Dalam masa ini muncullah
propaganda-propaganda politik untuk mengembangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah
mempengaruhi massa, dibuatlah hadis-hadis palsu. Dengan hadis-hadis ini mereka
mudah menarik minat dan perhatian rakyat kepada pemerintah Abasiyah. Sebagai
imbalannya, muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadis untuk
membendung arus Propaganda penganut paham Abbasiyah.
Disamping itu muncul pula
golongan Zindiq (pura-pura islam), tukang kisah yang berdaya upaya menarik
minat pendengar untuk memperhatikan pengajaran-pengajarannya dengan membuat
kisha-kisah palsu yang di sandarkan kepada hadis-hadis maudhu’ (palsu). Hal ini
menyebabkan sebagian ulama mendorong mempelajari keadaan perawi-perawi hadis
dan memang dalam masa ini telah banyak perawi-perawi yang lemah.
Diantara tokoh-tokoh hadis
yang masyhur dalam abad ke-2 Hijriah ialah Malik, Yahya Ibn Said al-Qaththan,
Waki’ibn al-Jarrah, Sufyan Ats-Tsaury, Ibnu Uyainah, Syu’bah ibn Hajjaj, Abd
ar-Rahman ibn Mahdy, Al-Auza’y, Al-Laits, Abu Hanifah, Asy-Syafi’y.[9]
2. Periode Kelima : Masa Pentashhihan dan
Penyusunan Kaidah-Kaidahnya
Abad ke-3 H. merupakan
puncak usaha pembukuan hadis. Sesudah kitab-kitab Ibnu Juraij, kitab
Muwaththa’-Al-Malik tersebar dalam masyarakat dan disambut dengan gembira,
kemauan menghafal hadis, mengumpul, dan membukukannya semakin meningkat dan
mulailah ahli-ahli ilmu berpindah dari suatu tempat ke tempat lain dari sebuah
negeri ke negeri lain untuk mencari hadis.
Pada awalnya, ulama hanya
mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat di kotanya masing-masing. Hanya sebagian
kecil di antara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan pengumpulan
hadis. Keadaan ini diubah oleh Al-Bhukari. Beliaulah yang mula-mula meluaskan
daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadis. Beliau pergi ke Maru,
naisabur, rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Mekah, Madinah, Mesir, Damsyik,
Qusariyah, ‘Asqalani, dan Himsh.
Imam Bukhari membuat
terobosan dengan mengumpulkan hadis yang tersebar di berbagai daerah. Enam
tahun lamanya Al-Bukhari terus menjelajah untuk menyiapkan kitab Shahih-nya.
Para ulama pada mulanya menerima hadis dari para perawinya lalu menulis ke
dalam kitabnya, tanpa mengadakan syarat-syarat menerimanya dan tidak
memperhatikan sahih tidaknya. Namun setelah terjadinya pemalsuan hadis dan
adanya upaya dari orang-orang zindiq untuk mengacaukan hadis, para ulama pun
melakukan hal-hal berikut :
a. Membahas keadaan perawi-perawi dari berbagai
segi, yakni keadilan, tempat kediaman, masa, dan lain-lain.
b. Memisahkan hadis-hadis yang sahih dari
hadis yang dha’if yakni dengan
mentashihkan hadis.
Ulama hadis yang mula-mula
menyaring dan membedakan hadis-hadis yang sahih dari yang palsu dan yang lemah
adalah Ishaq Ibn Rahawih, seorang imam hadis yang sangat termasyhur. Pekerjaan
yang mulia ini kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al Imam Al
Bukhari. Al-Bukhari menyusun kitab-kitabnya yang terkenal dengan nama Al-Jami’
Ash-Shahih. Di dalam kitabnya, ia hanya membukukan hadis-hadis yang dianggap
sahih. Kemudian, usaha Al-Bukhari ini diikuti oleh muridnya yang sangat alim,
yaitu Imam Muslim.
Sesudah Shahih Al-Bukhari
dan Shahih Muslim, bermunculan imam lain yang mengikuti jejak Bukhari dan
Muslim, diantaranya Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i. Mereka menyusun
kitab-kitab hadis yang dikenal dengan Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan
Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi, dan Sunan An-Nasa’i. Kitab-kitab itu kemudian
dikenal di kalangan masyarakat dengan judul Al-Ushul Al-Khamsyah.
Disamping itu, Ibnu Majah
menyusun Sunan-nya. Kitab Sunan ini kemudian digolongkan oleh para ulama ke
dalam kitab-kitab induk, sehingga kitab-kitab induk itu menjadi 6 buah. Yang
kemudian dikenal dengan nama Al-Kutub Al-Sittah’. Dibawah kitab yang enam ini,
para ulama menempatkan Musnad Ahmad.[10]
3. Periode Keenam : Dari Awal Abad IV H –
Tahun 656 H
Periode keenam ini dimulai
dari abad IV hingga tahun 656 H, yaitu pada masa ‘Abasiyyah angkatan kedua.
Periode ini dinamakan Ashru At-Tahdib wa At-Tartibi wa Al-Istidraqi wa Al-Jami.
Ulama-ulama hadis yang muncul pada abad ke 2 dan ke 3, digelari Mutaqaddimin,
yang mengumpulkan hadis dengan semata-mata berpegang pada usaha sendiri dan
pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap
pelosok dan penjuru Negara Arab, Parsi, dan lain-lain.
Setelah abad ke-3 berlalu,
bangkitlah pejangga abad ke-4. Para ulama abad ke-4 ini dan seterusnnya
digelari ‘Mutaakhirin’. Kebanyakan hadis yang mereka kumpulkan adalah petikan
atau nukilan dari kitab-kitab Mutaqaddimin, hanya sedikit yang dikumpulkan dari
usaha mencari sendiri kepada para penghafalnya.[11]
Ahli hadis pada abad ke-3
tidak banyak lagi yang mentakhrijkan hadis. Mereka hanya berusaha mentahdzibkan,
menghafalnya, dan memeriksa sanad yang ada di dalam kitab-kitab yang telah ada
itu. Dalam abad ke-4 ini lahirlah pemikiran untuk memandang cukup dalam
meriwayatkan hadis dengan berpegang kepada kitab saja, tidak melawat
kemana-mana. Menurut riwayat, Ibnu Mandah adalah ulama yang terakhir yang
mengumpulkan hadis dengan jalan lawatan.
Pada periode ini muncul
kitab-kitab shahih yang tidak terdapat dalam kitab shahih pada abad ke-3.
Kitab-kitab itu antara lain : Ash-Shahih (susunan Ibnu Khuzaimah), At-Taqsim wa
Anwa’ (susunan Ibnu Hibban), Al-Mustadrak (susunan Al-Hakim), Ash-Shahih
(susunan Abu ‘Awanah), Al-Muntaqa (susunan Ibnu Jarud), Al-Mukhtarah (susunan
Muhammad Ibn Abdul Wahid Maqdisy).
Pada akhir abad ke-4 itu,
selesailah penyusunan hadis. Maka ulama abad ke-5 menitikberatkan usaha untuk
memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserak-serak dan memudahkan
jalan-jalan pengambilan dan sebagainya, seperti mengumpulkan hadis-hadis hukum
dalam satu kitab dan hadis-hadis tarqhib dalam sebuah kitab, serta
mensyarahkannya. Di antara usaha ulama abad ke-5 ialah mengumpulkan hadis-hadis
yang terdapat dalam kitab enam dan lain-lainnya dalam sebuah kitab besar.
Ringkasnya, di antara
usaha-usaha ulama hadis yang terpenting dalam periode ini adalah :
a. Mengumpulkan hadis-hadis Al-Bukhary atau
Muslim dalam sebuah kitab.
b. Mengumpulkan hadis-hadis kitab enam
c. Mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat
dalam berbagai kitab.
d. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dan menyusun
kitab-kitab athraf. [12]
Pada periode ini muncul
usaha-usaha istikhraj, umpamanya mengambil suatu hadis dari Al-Bukhari dan
Muslim, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri yang lain dari sanad
Al-Bukhari atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri. Kitab-kitab ini
dinamai kitab-kitab Mustakhraj. Banayk ulama telah berusaha menyusun istikhraj
terhadap Shahih Al-Bukhary dan Shahih Muslim.
Pada periode ini muncul
pula usaha istidrak, yakni mengumpulkan hadis-hadis yang memiliki syarat-syarat
Bukhari dan Muslim atau salah satunya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau
disahihkan oleh Bukhari dan Muslim. Kitab ini mereka namai Kitab Mustadrak.[13]
4. Periode Ketujuh : Tahun 656 H - Sekarang
Periode ini adalah masa
sesudah meninggalnya Khalifah Abasiyyah ke XVII Al-Mu’tasim (w.656 H). sampai
sekarang. Periode ini dinamakan Ahdu As-Sarhi wa Al-Jami’ wa At-Takhrij wa
Al-Bahtsi, yaitu masa pensyarahan, penghimpunan, pen-tahrijan, dan pembahasan.
Usaha-usaha yang dilakukan oleh ulama dalam masa ini adalah menerbitkan isi
kitab-kitab hadis, menyaringnya, dan menyusun kitab enam kitab tahrij, serta
membuat kitab-kitab jami’ yang umum.
Pada periode ini disusun
kitab-kitab Zawa’id, yaitu usaha mengumpulkan hadis yang terdapat dalam kitab
yang sebelumnya ke dalam sebuah kitab tertentu, diantaranya Kitab Zawa’id
susunan Ibnu Majah, Kitab Zawa’id As-Sunan Al-Kubra disusun oleh Al-Bushiry,
dan masih banyak lagi kitab Zawa’id yang lain. Disamping itu, para ulama hadis
pada periode ini mengumpulkan hadis-hadis yang terdapat dalam beberapa kitab kedalam
sebuah kitab tertentu, di antaranya adalah Kitab Jami’ Al-Masanid wa As-Sunan
Al-Hadi li Aqwani Sanan, karangan Al-Hafidz Ibnu Katsir, dan Jami’ul Jawani
susunan Al Hafidz As-Suyuthi (911 H).
Banyak kitab dalam
berbagai ilmu yang mengandung hads-hadis yang tidak disebut perawinya dan
pentakhrijnya. Sebagian ulama pada masa ini berusaha menerangkan tempat-tempat
pengambilan hadis-hadis itu dan nilai-nilainya dalam sebuah kitab tertentu.
Sebagaimana periode
keenam, periode ketujuh ini pun muncul ulama-ulama hadis yang menyusun
kitab-kitab Athraf, diantaranya Ithaf Al-Maharah bi Athraf Al-‘Asyrah oleh Ibnu
Hajar Al-‘Asqalani, Athraf Al-Musnad Al-Mu’tali bi Athraf Al-Musnad Al-Hambali
oleh Ibnu Hajar, dan masih banyak lagi kitab Athraf yang lainnya. [14]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat
maka dapat disimpulkan bahwa sejarah dan perkembangan hadis terbagi dalam enam
periode yaitu :
Masa pertama, masa wahyu
dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan Nabi bangkit (ba’ats,
diangkat menjadi rasul) hingga beliau wafat pada tahun 11 H. Masa kedua, yaitu
disebut sebagai masa membatasi riwayat, masa Khulafa’ Rasyidin (12 H – 40 H)
Masa ketiga, yaitu masa
berkembangnya riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari hadis,
yaitu masa sahabat kecil dan tabi’in besar (41 H – akhir abad pertama H )
Masa keempat, masa
pembukuan hadis (dari permulaan abad ke 2 H – hingga akhirnya) Masa kelima,
masa pentashihkan hadis dan menyaringnya (awal abad ke-3 H, hingga akhir)
Masa keenam, masa menapis
kitab-kitab hadis dan menyusun kitab-kitab jami’ yang khusus (dari awal abad
ke-4 H hingga jatuhnya Baghdad tahun 656 H). Masa ketujuh, masa membuat syarah,
membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-hadis hukum dan membuat kitab-kitab
jami’ yang umum serta membahas hadis-hadis zawa’id. (656 H hingga dewasa
ini).
B. Saran
Sebagai umat islam
hendaknya kita menjadikan hadis sebagai sunah Rasul SAW yang harus kita jadikan
landasan dan sumber ajaran agama islam setelah Al Qur’an, selain itu kitapun
harus mengetahui asal muasal pertumbuhan dan perkembangan hadis dari zaman
Rasululloh SAW sampai munculnya ilmu hadis. Agar kita juga dapat mengetahui
bagaimana proses lahir dan tumbuhnya hadis ini, dari zaman Rasululloh SAW
sampai saat ini seperti yang dibahas dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku
Muhammad Hasbi. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Ranuwijaya, Utang. 1996.
Ilmu Hadis, Jakarta: Media Pratama.
Solahudin, M dan Agus
Suyadi. 2008. Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia.
Khon, Abdul Majid. 2010.
Ulumul Hadis, Jakarta: Amzah.
[1] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 34.
[2] Abdul Majid Khon,
Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 44.
[3] Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), hlm. 32-35.
[4] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadi, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 35.
[5] Abdul Majid Khon,
Ulumul Hadis, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 48.
[6] Utang Ranuwijaya, Ilmu
Hadis, (Jakarta: Media Pratama, 1996), hlm. 57.
[7] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 36.
[8] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 36-39.
[9] Teungku Muhammad Hasbi
ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), hlm. 57-58.
[10] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 42-43.
[11] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 45.
[12] Teungku Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki
Putra, 2009), hlm. 79-82.
[13] Teungku Muhammad
Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 2009), hlm. 84-85.
[14] M. Agus Solahudin dan
Agus Suyadi, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 47-49.