BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang
Ulama ushul fiqh
menyimpulkan bahwa nash al-Qur’an dan Hadits Nabi selain menunjukkan hukum
melalui bunyi bahasanya juga juga melalui ruh tasryi’ atau maqasid syari’at. Melalui
Maqasid Syari’at inilah ayat-ayat dan hadist-hadist hukum yang secara
kuantitatif sangat terbatas jumlahnya dapat dikembangkan untuk menjawab
permasalahan-permasalahan yang secara kajian kebahasaan tidak tertampung oleh
Al-Qur’an dan Sunnah. Pengembangan ini dilakukan dengan menggunakan metode
istinbat seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, dan ‘urf yang pada sisi
lain juga disebut sebagai dalil. Berikut ini akan diuraikan pengertian maqasid
syari’ah, peran maqashid syari’ah dalam menetapkan hukum menurut pandangan Imam
Al-Syatibi, pengertian Al-Maslahah dalam hukum Islam, jenis-jenis Maslahah, dan
penerapan Al-Maslahah sebagai dalil dan metodologi istinbat hukum.
b. Rumusan masalah
1. Apa prinsip prinsip ibadah itu…?
2. Apa yang tujuan tujuan syariat islam ...?
3. Bagimna kontribusi hukum islam dalam
kehidupan sehari hari..?
c. Tujuan
1. Mengetahui Apa prinsip prinsip ibadah
2. Mengetahui Apa yang tujuan tujuan syariat
islam
3. Mengetahui Bagimna kontribusi hukum islam
dalam kehidupan sehari hari
BAB II
PEMBAHASAN
A. PRINSIP PRINSIP IBADAH ISLAM
1. Pengertian prinsip dan ibadah.
Prinsip adalah suatu
pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun individual yang dijadikan
oleh seseorang/ kelompok sebagai sebuah pedoman untuk berpikir atau bertindak
sedangkan ibadah Secara etimologi (bahasa) berasal dari bahasa arab yakni
'abada-ya'budu-'abdan wa 'ibadatan yang artinya menyembah, merendah diri,
tunduk, patuh, taat, menghina diri dan memperhambakan diri kepada sesuatu.
Sedangkan secara terminologi islam (istilah) berarti taat, tunduk, patuh dan
merendah diri kepada Allah S.W.T. Ibnu Taimiyah (syaikhul islam) pernah memberi
batasan, كُلُّ شَيْءٍ اَحَبَّهُ اللهُ وَارْتَضَاه “Segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah.''[1]
Ada beberapa prinsip dalam
ibadah yaitu sebagai berikut :
a. Ada perintah
Adanya perintah merupakan
syarat sahnya suatu ibadah. Tanpa perintah, ibadah merupakan sesuatu yang
terlarang, dalam sebuah kaidah diungkapkan:
"Asal mula ibadah itu
terlarang, hingga ada ketentuan yang memerintahkannya"
b. Tidak mempersulit (`Adamul Haraj)
Prinsip ini didasarkan
kepada firman Allah yang artinya :
߉ƒÌムª!$# ãNà6Î/
tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߉ƒÌムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#
Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.
c. Menyedikitkan beban (Qilatuttaklif)
Prinsip ini didasarkan
kepada firman Allah yang artinya :
Ÿw ß#Ïk=s3ムª!$# $²¡øÿtR
žwÎ) $ygyèó™ãr
Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
d. Ibadah hanya ditujukan kepada Allah Swt
Prinsip ini merupakan
konsekuensi pengakuan atas kemahaesaan Allah Swt, yang dimanifestasikan
sesorang muslim dengan kata-kata (kalimat tauhid) La ilaha Illallah.
e. Ibadah tanpa perantara
Ibadah harus dilakukan
oleh seorang hamba Allah tanpa melalui perantara, baik berupa benda, binatang,
tumbuh-tumbuhan, maupun manusia. Adanya perantara dalam beribadah bertentangan
dengan prinsip tauhid dan beribadah hanya kepada Allah semata. Hal ini
dimaksudkan agar ibadah seseorang hamba benar-benar murni dan jauh dari
perbuatan syirik.
f. Ibadah dilakukan secara ikhlas
Ikhlas artinya murni,
tulus, tidak ada maksud dan tujuan lain selain hanya kepada Allah. Ikhlas dalam beribadah berarti beribadah tanpa
merasa terpaksa, melainkan benar-benar murni untuk menunaikan perintah Allah
Swt.
g. Keseimbangan Jasmani dan Rohani
Sesuai dengan kodratnya
bahwa manusia itu makhluk Allah yang terdiri atas jasmani dan rohani, maka
ibadah mempunyai prinsip adanya keseimbangan diantara keduanya, Tidak hanya
mengejar satu hal lalu meninggalkan yang lainnya, atau sebaliknya, akan tetapi
keseimbangan antara keduanyalah yang harus dikerjakan.[2]
2. Dasar Hukum ibadah
Banyak sekali ayat al-Qur'an
yang berbicara tentang perintah beribadah, di antaranya:
وَمَا اُمِرُوْا اِلاَّ لِيَعْبُدُوْا اللهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ حُنُفَاءَ وَيُقِيْمُوْا الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْا الزكَّاَةَ وَذَالِكَ دِيْنُ اْلقَيِّمَةِ (البينة:٥)
Artinya:“Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
3. Tujuan Ibadah
Para ulama menyimpulkan
dari beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadits, bahwa tujuan beribadah adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Sang Pencipta. Meskipun cara seorang hamba
taqarrub kepada Sang Khaliq terkadang berbeda. Perbedaan ini muncul karena
proses pencariannya yang berbeda. Sebagai contoh, Nabi Ibrahim a.s. untuk
menunjukan keta'atan dan kepatuhannya kepada Allah, maka Dia mengujinya dengan
cara memerintahkan anaknya yang tercinta Nabi Islamil a.s. untuk disembelih
(al-Shaffat, 37:102).
$¬Hs>sù x÷n=t/ çmyètB
zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þ’ÎoTÎ) 3“u‘r& ’Îû ÏQ$uZyJø9$# þ’ÎoTr&
y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2”ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè?
( þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ $¬Hs>sù x÷n=t/
çmyètB zÓ÷ë¡¡9$# tA$s% ¢Óo_ç6»tƒ þ’ÎoTÎ) 3“u‘r& ’Îû ÏQ$uZyJø9$# þ’ÎoTr&
y7çtr2øŒr& öÝàR$$sù #sŒ$tB 2”ts? 4 tA$s% ÏMt/r'¯»tƒ ö@yèøù$# $tB ãtB÷sè?
( þ’ÎT߉ÉftFy™ bÎ) uä!$x© ª!$# z`ÏB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÉËÈ
Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku,
kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar".
øŒÎ) tA$s% ß#ß™qムÏm‹Î/L{
ÏMt/r'¯»tƒ ’ÎoTÎ) àM÷ƒr&u‘ y‰tnr& uŽ|³tã $Y6x.öqx. }§ôJ¤±9$#ur
tyJs)ø9$#ur öNåkçJ÷ƒr&u‘ ’Í< šúïωÉf»y™
(ingatlah), ketika Yusuf Berkata kepada
ayahnya: "Wahai ayahku, Sesungguhnya Aku bermimpi melihat sebelas bintang,
matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."
4. Macam-macam Ibadah
Pada dasarnya akhir tujuan
beribadah bermuara kepada al-ma'bud yakni Allah SWT. Namun, para ulama membagi
ibadah menjadi dua jenis, yakni :
a. Ibadah mahdlah.
adalah: ibadah khusus berupa perbuatan yang
menghubungkan al-aabid dengan al-ma'bud dengan aturan yang sudah diatur oleh
Allah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.Contohnya shalat, zakat, puasa dan
ibadah manasik haji.
b. Ibadah ghair mahhdlah.
adalah: ibadah yang tidak diatur
secara khusus oleh Allah dan Rasulullah sehingga berbentuk umum, berupa
hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan lingkungan. Contohnya
gotong royong, menolong orang, menjaga lingkungan dan sebagainya. [3]
B. MAQASHID AL-SYARI’AH
1. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid
al-syari’ah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan Al-Syari’ah. Maqashid
bentuk jamak dari “maqshid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. Al-Syari’ah
diartikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju
sumber air ini
dapat pula dikatakan
sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan.
Sedangkan syari’ah menurut
terminology adalah jalan yang ditetapkan Tuhan yang membuat manusia harus
mengarahkan kehidupannya untuk mewujudkan kehendak Tuhan agar hidupnya bahagia
di dunia dan akhirat.
Menurut Manna al-Qattan
yang dimaksud dengan Syari’ah adalah segala ketentuan Allah yang disyari’atkan
bagi hambanya baik yang menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
Jadi, dari definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Maqashid al-Syari’ah adalah
tujuan segala ketentuan Allah yang disyari’atkan kepada umat manusia. .[4]
2. Tujuan tujuan syariat.
Ibnu qayyim menjelaskan
bahwa Tujuan Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan hamba dunia dan
akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat,
kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya,
maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan Hukum Islam.[5] Hal senada juga
dikemukakan oleh al-syatibi, Ia menegaskan bahwa semua kewajiban diciptakan
dalam rangka merealisasikan kemashlahatan hamba. Tak satupun hokum Allah yang
tidak mempunyai tujuan. Hukum yang tidak mempunyai tujuan sama juga dengan
taklif ma la yutaq’ (membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).Dalam
rangka mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul
Fiqh merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini
wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan.
Kelima misi (Maqashid al-Syari’ah / Maqashid al-Khamsah) dimaksud adalah
memelihara Agama, Jiwa, Aqal, Keturunan dan Harta.
Untuk mewujudkan dan
memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi membagi kepada tiga tingkat, الضروريات مقاصد, حاجيات مقاصد dan مقاصد التحسينات .
Pengelompokan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level
ini secara hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala
masing-masing level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level
Dharuriyyat menempati peringkat pertama disusul Hajiyyat dan Tahsiniyyat. level
Dharuriat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan
manusia. Bila kebutuhan ini tidak
terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas. Sementara level
Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia.
Selanjutnya pada level Tahsiniyyat, adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan
martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah Swt. Sebagai contoh,
dalam memelihara unsur Agama, aspek daruriayyatnya antara lain mendirikan
Shalat, shalat merupakan aspek dharuriayyat, keharusan menghadap kekiblat
merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan aspeks tahsiniyyat.[6]
Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk memelihara kelima misi
hukum Islam.
Guna mendapatkan gambaran
koprehensif tentang tujuan Syari’ah, berikut ini akan dijelaskan ketujuh misi
pokok menurut kebutuhan dan skala prioritas masing-masing.
1) Memelihara Agama (حفظ الدين)
Menjaga atau memelihara
agama, berdasarkan kepentingannya,dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
Memelihara Agama dalam
peringkat Dharuriyyat, yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban keagamaan
yang masuk peringkat primer, seperti melaksanakan Shalat lima waktu. Kalau
shalat itu diabaikan maka akan terancamlah eksistensi Agama.
Memelihara Agama dalam
peringkat Hajiyyat, yaitu melaksanakan ketentuan Agama, dengan maksud
menghindari kesulitan, seperti shalat jama’ dan shalat qashar bagi orang yang
sedang berpergian. Kalau ketentuan ini tidak dilaksanakan maka tidak akan
mengancam eksistensi agama, melainkan hanya akan mempersulit bagi orang yang
melakukannya.
Memelihara agama dalam
peringkat tahsiniyyat, yaitu mengikuti petunjuk agama guna menjunjung tinggi
martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.
misalnya menutup aurat, baik didalam maupun diluar shalat, membersihkan badan
pakaian dan tempat, ketiga ini kerap kaitannya dengan Akhlak yang terpuji. Kalau
hal ini tidak mungkin untuk dilakukan, maka hal ini tidak akan mengancam
eksistensi agama dan tidak pula mempersulit bagi orang yang melakukannya.
2) Memelihara jiwa ( حفظ النف)
Memelihara jiwa,
berdasarkan tingkat kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
a. memelihara jiwa dalam peringkat
daruriyyat, seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk
mempertahankan hidup. Kalau kebutuhan pokok ini diabaikan, maka akan berakibat
terancamnya eksistensi jiwa manusia.
memelihara jiwa, dalam
peringkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang dan mencari ikan
dilaut Belawan untuk menikmati makanan yang lezat dan halal. kalau kegiatan ini
diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi manusia, melainkan hanya mempersulit
hidupnya.
memelihara dalam tingkat
tahsiniyyat, seperti ditetapkannya tatacara makan dan minum, kegiatan ini hanya
berhubungan dengan kesopanan dan etika, sama sekali tidak akan mengancam
eksistensi jiwa manusia, ataupun mempersulit kehidupan seseorang.
3) Memelihara Aqal (حفظ العقل )
Memelihara aqal, dilihat
dari segi kepentingannya, dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
Memelihara aqal dalam
peringkat daruriyyat,seperti diharamkan meminum minuman keras. Jika ketentuan
ini tidak diindahkan, maka akan berakibat terancamnya eksistensi aqal.
Memelihara aqal dalam
peringkat hajiyyat, seperti dianjurkannya menurut Ilmu pengetahuan. Sekiranya
hal itu dilakukan, maka tidak akan merusak aqal, tetapi akan mempersulit diri
seseorang, dalam kaitannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan.
Memelihara aqal dalam
peringkat tahsiniyyat. Seperti menghindarkan diri dari menghayal atau
mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah. Hal ini erat kaitannya dengan etika,
tidak akan mengancam eksistensi aqal secara langsung.
4) Memelihara keturunan (حفظ النسل )
Memelihara keturunan,
ditinjau dari segi tingkat kebutuhannya, dapat dibedakan menjadi tiga
peringkat:
memelihara keturunan dalam
peringkat daruriyyat, seperti disyari’atkan nikah dan dilarang berzina. Kalau
kegiatan ini diabaikan, maka eksistensi keturunan akan terancam.
memelihara keturunan dalam
peringkat hajiyyat, seperti ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar bagi
suami pada waktu aqad nikah dan diberikan hak talak padanya. Jika mahar itu
tidak disebutkan pada waktu aqad, maka suami akan mengalami kesulitan, karena
ia harus membayar mahar misl, sedangkan dalam kasus talak, suami akan mengalami
kesulitan, jika ia tidak menggunakan hak talaknya, padahal situasi rumah
tangganya tidak harmonis.
memelihara keturunan dalam
peringkat tahsiniyyat, seperti disyari’tkan khitbah atau walimah dalam
perkawinan. Hal ini dilakukan dalam rangka melengkapi kegiatan perkawinan. Jika
hal ini diabaikan, maka tidak akan mengancam eksistensi keturunan, dan tidak
pula mempersulit orang yang melakukan perkawinan.
5) Memelihara Harta (حفظ المال)
Dilihat dari segi
kepentingannya, Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
memelihara harta dalam
peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan harta dan
larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah, apabila aturan
itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
memelihara harta dalam
peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara salam.
Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi harta,
melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
memelihara harta dalam
peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri dari
pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah atau
etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruh kepada sah tidaknya jual beli itu,
sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat yang
kedua dan pertama.[7]
Dari paparan diatas, dapat
dipahami bahwa tujuan atau hikmah pensyari’atan hukum Islam adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan melalui pemeliharaan lima unsur pokok, yaitu agama,
jiwa, Aqal, keturunan dan harta. Mengabaikan hal ini sama juga dengan merusak
visi dan misi hokum islam. Dengan demikian akan menuai kemudharatan atau
kesengsaraan hidup.
3. Peranan maqasid syariah dalam
pengembangan hukum islam
Pengetahuan tentang
Maqashid Syari’ah, seperti ditegaskan oleh Abd al-Wahhab Khallaf, adalah hal
yang sangat penting yang dapat dijadikan alat bantu untuk memahami redaksi
Al-Qur’an dan Sunnah, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan yang
sangat penting lagi adalah untuk menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak
tertampung oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara kajian kebahasaan.[8]
Metode istinbat, seperti
qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah adalah metode-metode pengembangan hukum
Islam yang didasarkan atas maqasid syari’ah. Qiyas, misalnya, baru bisa
dilaksanakan bilamana dapat ditemukan maqasid syari’ahnya yang merupakan alasan
logis (‘illat) dari suatu hukum. Sebagai contoh, tentang kasus diharamkannya
minuman khamar (QS. al-Maidah : 90). Dari hasil penelitian ulama ditemukan
bahwa maqasid syari’at dari diharamkannya khamar ialah karena sifat
memabukkannya yang merusak akal pikiran. Dengan demikian, yang menjadi alasan
logis (‘illat) dari keharaman khamar adalah sifat memabukannya, sedangkan
khamar itu sendiri hanyalah sebagai salah satu contoh dari yang memabukkan.
Dari sini dapat
dikembangkan dengan metode analogi (qiyas) bahwa setiap yang sifatnya
memabukkan adalah juga haram. Dengan demikian, ‘illat hukum dalam suatu ayat
atau hadis bila diketahui, maka terhadapnya dapat dilakukan qiyas (analogi).
Artinya, qiyas hanya bisa dilakukan bilamana ada ayat atau hadis yang secara
khusus dapat dijadikan tempat meng-qiyas-kannya yang dikenal dengan al-maqis
‘alaih (tempat meng-qiyas-kan).[9]
BAB III
ANALISIS PEMAKALAH
a. Studi kasus
Kemiskinan merupakan salah
satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi problem nasional pemerintah Indonesia.
Hal ini terlihat dari sebagian warga masyarakat desa yang taraf hidupnya masih
rendah. Sejak orde baru hingga terjadinya krisis multi- dimensional pada tahun
1998 sampai sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang terjadi di
perkotaan maupun di daerah pedesaan.
Pada umumnya orang memakai
istilah kemiskinan atau kemelaratan tidak mengetahui arti yang sesungguhnya.
Bahwa sebenarnya istilah miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu dimana
kebutuhan – kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau
kehidupan yang berada dibawah garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang
dianggap miskin juga jelas yaitu gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh
harian dan sebagainya Dalam perspektif
mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan individu yang relatif
memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan.
Sejak dari dulu hingga
sekarang umat manusia memiliki sikap yang berlainan terhadap kemiskinan,
sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam bukunya “ Konsepsi
Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan “bahwa ada beberapa sikap terhadap
kemiskinan diantaranya sikap golongan pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis,
sikap pendukung kemurahan individu, sikap kapitalisme dan sikap sosialisme
Agama dalam hal ini
menjadi mempunyai arti penting bagi kehidupan umat beragama, sebab agama dapat
memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil,
sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam
menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran
dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan
batin seseorang. Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam
membina hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam
sekitarnya. Sedangkan menurut Murtadlo
Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena
agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama
yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji.
Fenomena munculnya
pengemis disini dapat diindikasikan karena himpitan ekonomi yang disebabkan
sempitnya lapangan pekerjaan, sumber daya
alam yang kurang menguntungkan dan lemahnya sumber daya manusia (SDM).
Menjamurnya jumlah pengemis di setiap kota di Indonesia, sehingga sosok
pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah persepsi yang
kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun dari sisi Agama
Deskripsi singkat diatas menggambarkan betapa masalah kemiskinan dan
meningkatnya pengemis menjadi masalah sosial yang kompleks, lebih dari sebuah
realitas yang selama ini dipahami masyarakat luas. Sehingga, masalah kemiskinan
dan pengemis diperlukan adanya kesadaran, pemahaman yang komprehensif, baik dalam
tataran konseptual, penyusunan kebijakan sampai kepada implementasi kebijakan
dalam mengentaskan kemiskinan tersebut. Kemiskinan merupakan masalah sosial,
pengemis serta gelandangan disini merupakan salah satu korban dari kemiskinan,
sehingga mereka dianggap telah menyimpang dari nilai dan norma-norma yang
berlaku. Menurut Parsudi Suparlan gelandangan dan pengemis dalam hal ini adalah
orang sehat dengan kondisi tubuh yang tidak kurang apapun.8 Parsudi Suparlan
juga berpendapat bahwa, gelandangan dan pengemis sebagai suatu gejala sosial
yang terwujud di perkotaan dan telah menjadi suatu masalah sosial karena
beberapa alasan. Pertama, di satu pihak menyangkut kepentingan orang banyak (
warga kota ) yang merasa wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari,
telah dikotori oleh para pengemis dan dianggap dapat menimbulkan
ketidaknyamanan harta benda. Kedua, menyangkut kepentingan pemerintah kota, di
mana gelandangan dan pengemis dianggap dapat mengotori jalan-jalan protokol,
mempersukar pengendalian keamanan dan mengganggu ketertiban sosial. Sehingga
munculnya asumsi bahwa lahirnya orang mengemis disebabkan oleh faktor ekonomi
merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Namun apakah hanya kondisi
kemiskinan seperti itulah yang dimungkinkan munculnya satu komunitas warga yang
berprofesi dengan cara mengemis atau meminta – minta.
Akhir akhir ini banyak
sekali orang oarang yang menjadikan meminta mita sebagi propesi yang sangat
mengutungkan baginya dan bahkan mungkin sebagian keci para peminta di jalan jalan
yang memang benar benar karena tuntutan kebutuhan sehari harinya dan sangat
memungkinkan keberagamaan dikalangan
pengemis masih kurang. Hal ini terlihat
dalam keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka yang berprofesi
menjadi pengemis tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini menunaikan
sholat 5 waktu, hanya sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban
menjalankan ibadahnya.
b. Analisis kasus
Dilihat dari segi
taklifinya maka meminta mita merupakan hal yang di perbolehkan dalam syariat
islam selama mahkumbihnya selaraas dengan wad’inya akan.
Akan tetapi berdasarkan
dari studi kasus diatas dapat diketahui bahwa pengemis yang bekerja dengan cara
meminta-minta sampai sampai mengagu orang orang yang mengunanakan jalanan dan
ibadah mahdohnya di lupakan merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai sosial dan tidak dianjurkan oleh agama karena meminta minta
dalam rumusan syariat islam merupakan alternatif terakhir dalam memenuhi
kebutuhan hidup untuk mejaga jwa sesuai dengan rumusan maqosid syariah yang ke
dua yaitu HIFZUN NAFS tetapi bukan berarti islam menganjurkan untuk di jadikan
sebagi sebuah propesi yang menguntungkan.
c. Solusi
Bila kemiskinan dan para
pengemis ingin teratasi maka jalailah salusi solusi yang di berikan islam melalui syariatnya dengan sesungguh
sunguhnya yaitu di antaranya:
1. Bekerja.
Setiap orang yang hidup
dalam masyarakat Islam diwajibkan bekerja atau mencari nafkah. Allah Azza wa
Jalla berfirman:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ ۖ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
”Dia-lah yang menjadikan
bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya
dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali
setelah) dibangkitkan.”
2. Mencukupi Keluarga Yang Lemah
Salah satu konsep syari’at
Islam adalah bahwa setiap individu harus menanggulangi kemiskinan dengan
mempergunakan senjatanya, yaitu dengan berusaha. Namun di balik itu, juga harus
ada usaha untuk menolong orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja.
Konsep yang dikemukakan
untuk menanggulangi hal itu ialah dengan adanya jaminan antar anggota keluarga.
Islam memerintahkan anggota keluarga saling menjamin dan mencukupi. Sebagian
meringankan penderitaan anggota yang lain. Allah Azza wa Jalla berfirman, yang
artinya, : ”...Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya
lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) menurut Kitab
Allah
3. Zakat
Islam tidak bersikap acuh
tak acuh dan membiarkan nasib fakir miskin terlantar. Sesungguhnya Allah Azza
wa Jalla telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu yang ada pada harta
orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti yaitu zakat. Sasaran utama
zakat adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.
Allah Azza wa Jalla
berfirman:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan
hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang
yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan,
sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha mengetahui, Maha bijaksana.
BAB IV
PENUTUP
a. Kesimpulan
Sesunguhnya syariat agama
dalam hal ini rahmatallilaalamin bagi kehidupan umat beragama, sebab agama
dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil,
sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam
menghadapi persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran
dan kesusahan, ketika menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan
batin seseorang. Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam
membina hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam
sekitarnya. Sedangkan menurut Murtadlo
Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat erat, karena
agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama
yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji.
b. Kritik dan saran
Penulis menyadari
sepenuhnya, makalah ini masih banyak kekurangan dan bahkan menimbulkan banyak
pertanyaan yang belum sempat terjawab. Oleh karena itu, kritik, saran dan
masukan yang konstruktif sangat penulis harapkan dari berbagai kalangan demi
perbaikannya ke depan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh
pembaca, terutama bagi mahasiswa IAIN MATARAM. Bagi penulis, semoga mendapat
ridho Allah, sebagai amal sholeh dan menjadi ilmu yang bermanfaat fid al danya
wa al akhirat. Amin..
DAFTAR PUSTAKA
Sapiudin shidiq,usul
fiqih,Jakarta,kencana,2011.
Rahman Ritonga, Zainuddin,
Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama, 2002.
Satria Effendi, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005
Totok Jumantoro, Samsul
Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih,Jakarta: Amzah, 2009.
Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi Jakarta: Logos wacana Ilmu, 1997.
http://teh-imas.blogspot.com/2012/07/bab-i-prinsip-prinsip-iibadah-dan.html
[1] Rahman Ritonga,
Zainuddin, Fiqih Ibadah, Jakara: Gaya Media Pratama. 2002. Hal. 1
[2] ibid
[3]
http://teh-imas.blogspot.com/2012/07/bab-i-prinsip-prinsip-iibadah-dan.html
[4] Totok Jumantoro,
Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm.196
[5]Ibn Qayyim, I’lam
al-Muaqi’in Rabb al- ‘Alamin, (Beirut: Dar al-Jayl, t.th.), Jilid III h.3.
[6] Asafri Jaya Bakri,
Konsep Maqashid Syari’ah menurut al- Syatibi ( Jakarta: Logos wacana Ilmu,
1997), h. 72.
[7] Fathurrahman Djamil,
Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),
h.128 – 131.
[8] Satria Effendi, Ushul
Fiqh, (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm.237
[9] Sapiudin shidiq,usul
fiqih,jakarta:kencana,) hlm 223.