Labels

MAKALAH "MUHKAM DAN MUTASYABIH"

View Article

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam. Pemahaman al-Qur’an dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-ilmu yang tercakup dalam ulum al-Qur’an. Dan menjadi salah satu bagian dari cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu yang memnahas tentang Muhkam dan Mutasyabih ayat.

Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara mendalam. Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian atau pemahaman al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm memahami ayat-ayat al-Qur’an khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih, maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang kedua hal tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab berikutnya yaitu bab pembahasan.

B.     Rumusan Masalah

Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?

Bagaimana Pandangan Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan Mutasyabih ?

Bagaimana Fawatih as-Suwar itu ?

Bagaimana Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?




BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai. Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan membedakan antara yang hak dan yang bathil.[1] Sedang dalam kitab Mabahits fii Ulum al-Qur’an dijelaskan:

المحكم: ما عرف المراد منه – والمتشابه: ما استأثر الله بعلمه.[2]

Artinya:

“Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.”

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kesamaran antara dua hal.[3] Adapun secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang maksud dan maknanya hanya diketahui oleh Allah S.W.T., dan tidak dapat diketahui oleh manusia.[4]

Mayoritas ulama ahl al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafadz yang tidak dapat ditakwilkan kecuali hanya satu segi makna saja. Mutasyabih ialah lafadz yang artinya dapat ditakwilkan ke dalam beberapa segi karena masih terdapat kesamaran, seperti masalah surga, neraka, dan lain sebagainya.

B.     Sikap Para Ulama’ terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Sumber perbedaan pendapat berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat :

... وَمَا يَعْمَلُ تَأْوِيْلَهُۤ اِلَّا اللهُ وَالرَّاسِخُونَ فِى الْعِلْم ِيَقُوْلُوْنَ آمَنَّابِه.... {العمران : ٧}

Pertama : apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya adalah يَقُوْلُوْنَ, dengan “wawu” diperlakukan sebagai huruf isti’nâf (permulaan) dan waqaf dilakukan pada lafaz وَمَا يَعْمَلُ تَأْوِيْلَهُۤ اِلَّا اللهُ.

Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz يَقُوْلُوْنَ menjadi hâl dan waqafnya pada lafaz وَالرَّاسِخُونَ فِى الْعِلْم. [5]

Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih terbagi menjadi dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.

1.      Madzhab Ulama Salaf

Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah dari pengertian-pengertian lahir bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada Allah sendiri. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa’, dia berkata:

اَلْاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ وَالْكَيْفُ مَجْهُوْلٌ وَالسَّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ وَاَظُنُّكَ رَجُلَ السُّوْءِ اَخْرِجُوْهُ عَنِّيْ.

Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah (mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini dari majlis saya.

Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan menanyakan adalah bid’ah. “Rabi’ah bin Abdur-rahman, guru Malik, jauh sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi bagaimana caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasul pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak diketahui.[6]

Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua argumen, yaitu argumen aqli dan argumen naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah kebebasan dan pengunaannya di kalangan bahasa Arab. Penentuan seperti ini hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Lantaran dasar yang memutuskan dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.[7]

Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan atsar. Diantaranya :

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : تَلَا وَسُوْلُ اللهِ ص.ع. هٰذَا الْاٰيَةَ : (هُوَ الَّذِى أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَاب ...الَى قَوْلِهِ ... ـُولُوا الْبَابِ) قَالَتْ : قَالَ رَسُولُ اللهِ ص.ع. : فَاِذَا رَأَيْتَ الَّذِىنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولٰئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرْهُمْ. –رواه البجارى و مسلم-

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”, berkata ia : Rasul SAW. berkata: “jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat yang musytabihat daripadanya maka mereka itulah orang-orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka”. (dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).[8]

Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping itu, ayat tersebut juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsyabihat dan memberikan mereka itu sebagai yang mempunyai kecenderungan kepada kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat yang sama memuji orang-orang yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah.

2.      Madzhab Ulama Khalaf

Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam ayat (surat Ali-Imran: 7) di atas  adalah lafal : وَالرَّاسِخُونَ فِى الْعِلْمِ. dengan demikian, selain Allah, orang-orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil dari ayat-ayat mutâsyabihât itu. Adapun wawu (وَ) pada lafal ayat tersebut adalah berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu, kata الرَّاسِخُونَ di-‘athaf-kan kepada lafal اللهُ pada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang berpendapat demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan mengatakan, “bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat itu, juga dilimpahkan kepada para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka yang luas dan mendalam ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak ada bedanya dengan orang awam.”[9]

Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi cenderung kepada pendapat kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini lebih banyak diterima sebab tidak mungkin Allah akan mengkhithabkan hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Selanjutnya madzhab khalaf mengatakan, bahwa suatu hal yang seyogyanya dilakukan dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabihat itu adalah memalingkan lafal dari kradaan kehampaan yang mengakibatkan kebingungan manusia, sehingga membiarkan makna itu “terlantar” tidak bermakna. Selama ayat tersebut memungkinkan untuk dilakukan penakwilan terhadapnya dengan makna yang benar dan rasional, maka tidak ada halangan bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka yang sudah memiliki ilmu yang mendalam dan kemampan tinggi- untuk melakukannya.”[10]

Secara naqli, mereka mengemukakan atsar sahabat :

عَنْ الضَّحَّاكِ قَالَ : لَوْ لَمْ يَعْلَمُوْا تَأْوِيْلَهُ لَمْ يَعْلَمُوْا نَاسِخَهُ مِنْ مَنْسُوْخِهِ وَلَا حَلَالُهُ مِنْ حَرَامِهِ وَلَا مُحْكَمَهُ مِنْ مُتَشَابِهِ . –اخرجه ابن ابى حاتم-

Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak mengetahui nasikh dan mansukhnya, halal dan haramnya, dan muhkam ari mutasyabihnya”. (H.R. Ibn Abi Hatim).[11]

C.    Fawatih as-Suwar

Istilah fawatih as-suwar terdiri dari dua kata, yaitu fawatih dan as-suwar. Fawatih nerupakan jamak taksir dari fatihah yang berarti pembuka. Sedangkan as-suwar adalah jamak taksir dari kata surah, yang berarti surah. Dengan demikian, istilah fawatih as-suwar secara harfiah berarti “pembuka surah-surah”. Tokoh yang banyak mengkaji mengenai fawatih as-suwar adalah Ibnu Abi Al-Ishba’ dengan karyanya Al-Khawathir As-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Para mufassir setelahnya, ketika membahas ilmu fawatih as-suwar, banyak merujuk kepada buku tersebut.[12]

1.      Bentuk Ungkapan Permulaan Surah

Surah-surah al-Qur’an dimulai dengan berbagai bentuk dan bervariasi. As-Suyuti merujuk kepada Ibnu Abi Al-Ishba’ membagi bentuk-bentuk huruf, kata, atau kalimat pembuka surah-surah al-Qur’an itu sebanyak sepuluh macam, yaitu sebagai berikut:

a.       Surah-surah yang dimulai dengan pujian, yaitu tahmid, tabaraka, dan tasbih. Seperti lafadz الحمد لله dan  تبارك

Contoh:

اَلْحَمْدُ لِلّهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ (الفاتحة: ١)

تَبَارَكَ الَّذِيْ بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ (الملك:١)

b.      Surah-surah yang dimulai dimulai dengan huruf –huruf hijaiyah atau huruf muqaththa’ah (huruf potong). Terdapat 29 surah yang dimulai dengan huruf potong tersebut. Adapun 29 surah itu terdiri dari lima bentuk, yaitu sebagai berikut:

1)      Surah yang dimulai dengan satu huruf, seperti: ق, ن, ص

2)      Surah yang dimulai dengan dua huruf, seperti: حم, طه, يس, طس

3)      Surah yang dimulai dengan tiga huruf, seperti: الم, الر, طسم

4)      Surah yang dimulai dengan empat huruf, seperti: المص, المر

5)      Surah yang dimulai dengan lima huruf, seperti: كهيعص

c.       Surah yang dimulai dengan panggilan (an-nida’), yaitu panggilan kepada Nabi Muhammad saw., seperti:يٰۤأَيُّهَا النَّبِيُّ, يٰۤأّيُّهَا الْمُزَّمِّلُ, يٰۤأَيُّهَا الْمُدَّثِرُ  dan panggilan kepada umat, seperti:  يٰۤأَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا, يٰۤأَيُّهَا النَّاسُ

d.      Surah yang dimulai dengan kalimat khabariyah (kalimat berita), seperti: قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ  dan .يَسْئَلُوْنَكَ عَنِ الْأَنْفَالِ

e.       Surah yang dimulai dengan qasam (sumpah), seperti: وَالْعَصْرِ,  dan وَاللَّيْلِ

f.        Surah yang dimulai dengan jumlah syarthiyah.

Allah swt. menyebutkan kejadian-kejadian tertentu dengan mengaitkannya dengan syarat. Penyebutan syarat tersebut dibagian pertama surat-surat tertentu untuk menunjukkan bahwa kejadian itu merupakan hal yang pasti akan terjadi, bukan hal yang mungkin terjadi atau mustahil terjadi. semuanya itu pasti akan terjadi di dalam kenyataan yang tidak dapat dihindari, karena syarat idza digunakan untuk hal-hal yang pasti terjadi. Seperti: إِذَا الشَّمْسُ كُوِّرَتْ, إِذَا وَقَعَةِ الْوَاقِعَةُ

g.      Surah yang dimulai dengan kalimat perintah.

Allah membuka surat-surat tertentu dengan menekankan  al-amr (perintah)-Nya yang diarahkan kepada Rasulullah, yang juga kepada umatnya. Hal ini seperti terlihat dalam surah Al-‘Alaq:

إِقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِيْ خَلَقَ (العلق: ١)

h.      Surah yang dimulai dengan istifham (pertanyaan).

Allah itu bukanlah berarti tidak mengetahui masalah-masalah di balik pertanyaan, tetapi sebagai metode atau jembatan dalam rangka menjelaskan lebih jauh apa-apa yang hendak dipaparkan-Nya, sehingga siapa pun yang menjadi mitra bicara Allah menjadi tahu dengan jelas dan mengerti. Seperti: أَلَمْ ترَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحٰبِ الْفِيْلِ (الفيل: ١)

i.        Surah yang dimulai dengan doa atau vonis.

Allah swt memvonis celaka kepada pihak-pihak yang mestinya celaka di permulaan beberapa surah, yakni surah Al-Muthaffifin/83 dengan vonis وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِيْنَ (celakalah bagi orang-orang yang curang); dalam surah Al-Humazah/104 dengan vonis وَيْلٌ لِّكُلِّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ (celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela), dan dalam surah Al-Lahab/111 dengan vonisتَبَّتْ يَدَۤا أَبِيْ لَهَبٍ وَّتَبَّ  (binasalah diri Abu Lahab, dan benar-benar binasa dia).Vonis-vonis Allah tersebut disampaikan-Nya setimpal dengan keburukan dan kejahatan masing-masing yang disebut dalam surah-surah terkait.

j.        Surah yang dimulai dengan ta’lil (ilat).

Allah dalam satu-satunya surah, yaitu surah Al-Quraisy mengedepankan penjelasan alasan. Alasan dalam surah itu ditempatkan lebih dahulu dari sesuatu yang diperintahkan-Nya seperti yang diletakkan pada ayat 3. Dalam kata lain, dalam surah ini Allah lebih mendahulukan keterangan alasan daripada penyebutan sesuatu yang seharusnya dilakukan. (تقديم التعليل عن الأمر) Jadi, Allah memerintahkan sesuatu dengan terlebih dahulu disampaikan alasannya, agar perintah yang disampaikan itu benar-benar diperhatikan atau dijalankan.

D.    Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1.      Memperlihatkan kelemahan akal manusia

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannyasehingga enggan tunduk kepada naluri kehambaannya.

Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.

2.      Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih

Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan وَمَا يَذَّكَّرُ إِلّاَۤ أُولُوا الأَلْبَابِ sebagai cercaan bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

3.      Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman indrawi yang biasa disaksikannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi gambaran indrawi terlebih dahulu.[13] Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.




BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah ayat-ayat yang maknanya belum jelas.

Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih, yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat mutasyabihat. Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat yang secara garis besar masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika akal.


B.     Saran

Dalam memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui perbedaan antara ulama’ satu dengan yang lainnya. Maka dari itu kita sebagai mahasiswa tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya. Karena asetiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama’ tentunya semuanya memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.




DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah Wahdah,                     1973.

Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti                Prima Yasa, 2000.

Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung:                    Remaja Rosdakarya, 2011.

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia,                  2000.

Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras, 2000.

Yusuf, Kadar M. Studi Al-qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.





[1] Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 2000), 70.

[2] Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an  (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.

[3] Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.

[4] Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.

[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.

[6] Ibid., 310.

[7]Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 212.

[8] Ibid., 213.

[9] Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras), 244-245.

[10] Ibid., 245.

[11] Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja Rosdakarya), 219.

[12] Kadar M. Yusuf, Studi Alquran (Jakarta: Amzah, 2012), 53-54.

[13] Rosihon Anwar, Ulum al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 134-135.


MAKALAH MUNASABAH

View Article

 BAB I

PENDAHULUAN


1.1         Latar Belakang

Diantara kitab-kitab suci yang lain, al-Qur’an merupakan kitab yang paling sempurna. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara Malaikat Jibril secara berangsur-angsur. Ia diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh alam dan petunjuk bagi manusia. Al-Qur’an adalah sumber segala kebenaran dan sumber inspirasi bagi siapapun.

Kitab al-Qur’an berisi berbagai macam petunjuk dan peraturan yang disyariatkan karena beberapa sebab dan hikmah yang bermacam-macam. Ayat-ayatnya diturunkan sesuai dengan situasi dan kondisi yang membutuhkan. Susunan ayat-ayat dan surat-suratnya ditertibkan sesuai dengan yang terdapat di lauh mahfudh, sehingga tampak adanya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat yang lain dan antar surat satu dengan surat yang lain. [1]

Meskipun bahasa al-Qur’an indah, namun tidak semua orang dapat dengan mudah memahami maknanya. Oleh sebab itu lahirlah ilmu tafsir, sedangkan ilmu tafsir sendiri tidaklah sempurna tanpa memahami munasabah. untuk menelaah lebih rinci tentang munasabah, simaklah uraian berikut.


1.2         Rumusan Masalah

1.      Apa devinisi dari munasabah?

2.      Bagaimana cara mengetahui munasabah?

3.      Apa saja macam-macam munasabah?

4.      Apa urgensi dan kegunaan munasabah?



BAB II

PEMBAHASAN


2.1    Pengeritan Munasabah

Secara etimologi, ”munasabah” semakna dengan “musyakalah” dan “muraqobah”, yang berarti serupa dan berdekatan. Secara istilah, “munasabah” berarti hubungan atau keterkaitan dan keserasian antara ayat-ayat al- Qur’an. [2]

Ibnu Arabi, sebagaimana dikutip oleh Imam As-Syayuti, mendifinisikan “munasabah” itu kepada “Keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an antara sebagiannya dengan sebagian yang lain, sehingga ia terlihat sebagai suatu ungkapan yang rapi dan sistematis.” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa “munasabah” adalah suatu ilmu yang membahas tentang keterkaitan atau keserasian ayat-ayat al-Qur’an antara satu dengan yang lain.[3]

     Az-Zarkasy mengatakan: “manfaatnya ialah menjadikan sebagian dengan sebagian lainnya, sehingga hubungannya menjadi kuat, bentuk susunannya kukuh dan bersesuaian bagian-bagiannya laksana sebuah bangunann yang amat kokoh.” Qadi Abu Bakar Ibnul ‘Arabi menjelaskan: “Mengetahui sejauh mana hubungan antara ayat- ayat satu dengan yang lain sehingga semuanya menjadi seperti satu kata, yang maknanya serasi dan susunannya teratur merupakan ilmu yang besar.”[4]

Sehingga munasabah dapat diartikan sebagai ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang hubungan al-Qur’an dari berbagai sisinya. Tokoh yang memelopori munasabah adalah Abu Bakar an-Naysaburi. Beliau adalah soerang alim berkebangsaan Irak yang sangat ahli ilmu syariah dan kesustraan Arab. Selain itu, ada pula Abu Ja’far bin Zubair dengan karyanya “Al-Burhan fi Munasabah Tartib Suwar a l-Qur’an”, Burhanuddin Al-Biqa’i dengan karyanya “Nuzhum Adh-Dhurar fi Tatanasub A l-Ayi wa As-Suwar” dan As-Sayuti dengan karyanya “Tanasuq Adh-Dhurar fi Tanasub As-Suwar”. [5]

2.2    Cara Mengetahui Munasabah

Untuk mengetahui munasabah unsur-unsur Al-Qur’an, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

a.       Topik inti yang diperbicangkan dalam ayat. Mufassir[6]perlu mengetahui permasalahan utama yang diperbincangkan oleh suatu ayat. Hal ini dapat diketahui melalui istilah-istilah yang digunakan dan alur pembicaraannya. Permasalahan utama itu mungkin terdapat dalam ayat yang ditafsirkan atau mungkin juga terdapat dalam ayat sebelumnya.

b.      Topik inti biasanya mempunyai sub-sub topik. Jika topik inti telah diketahui, maka perlu pula dilihat dan dipahami hal-hal yang yang dicakupi oleh topik inti tersebut.

c.    Sub-subtopik  itu mempunyai unsur-unsur tersendiri pula. Maka masing-masing ayat, ada yang berbincang mengenai topik inti, subtopik, dan ada pula yang memperbincangkan unsu-unsur yang ada pada subtopik. Munasabah Al-Qur’an dapat dilihat dari sisi lain.

Pengetahuan mengenai korelasi dan hubungan antara ayat-ayat itu bukanlahhal yang tauqif (tidak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul); tetapi didasarkan pada ijtihad seoranh mufasir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Qur’an, rahasia retorika , dan segi keterangannya yang mandiri. Apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteksnya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa Arab, maka korelasi tersebut dapat diterima.

Hal yang demikian ini tidak berarti bahwa seorang mufasir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Qur’an turun secatra bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Seorang mufasir terkadang dapat menemukan hubungan antara ayat-ayat dan terkadang  pula tidak. Oleh sebab itu, ia tidak perlu memaksakan diri untuk menemukan kesesuaian itu, sebab kalu memaksakannya juga maka kesesuaian itu hanyalah  dibuat-buat danhal ini tidak disukai.

2.3    Macam-Macam Munasabah

Dalam Al-Qur’an sekurang-kurangnya terdapat tujuh macam munasabah[7]. yaitu sebagai berikut:

1.    Munasabah antar surat dengan surat sebelumnya

As-Sayuti menyimpulkan bahwa munasabah antar stau surta dengan surat sebelumnya berfungsi menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelumya. Sebagai contoh Qur’an surat Al-Baqarah ayat 2

ذالك الكتب لا ريب فيه...

Artinya : inilah kitab yang tidak ada keraguan padanya.

Korelasi dengana surat  Ali Imran ayat 3

نزّل عليك الكتب با الحقّ مصدّقا لّما بين يديه وأنزال التوراىة والأانجيل

Artinya: Dia menurunkan Al-Kitab kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil.

2.    Munasabah Antarnama Surat dan Tujuan Turunnya

Setiap surat mempunyai tema pembicaraan yang menonjol. Hal itu tercrmin pada namanya masing-masing. Misalnya Surat Al-Baqarah (sapi betina) bercerita tentang Nabi Musa dan kaumnya tentang sapi betina yang harus disembelih oleh Bani Isra’il (Al-Baqarah ayat 67-71). Cerita tentang sapi betina dalam ayat tersebut dapat diambil tujuan turunnya surat, yaitu kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan kata lain tuajuannya adalah menyangkut keimanan pada hari kemudian dan menyangkut kekuasaan Tuhan.

3.    Munasabah Antar Bagian Suatu Ayat

Munasabah antar bagian suatu ayat sering berbentuk pola munasabah perlawanan. Contohnya pada Surat Al-Hadid ayat 4:

...يعلم ما يلج فى الأرض وما يخرج منها وما ينزل من السّماء                             

 فيها... وما يعرج

Artinya :...Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluuar darinya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya...

Dari kata-katanya sudah sangat jelas terdpat korelasi yang berlawanan.

4.    Munasabah Atarayat yang letaknya berdampingan

Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan sering terlihat dengan jelas, namun sering pula tidak jelas. munasabah antarayat yang terlihat jelas umumnya menggunakan pola ta’kid(penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh(bantahan), dan tasydid(penegasan).

a.       Pola Tafsir

Munasabah antarayat yang menggunakan pola tafsir apabila suatu ayat ditafsirkan maknanya oleh ayat di sampingnya. Contoh Qur’an surat al-Baqarah ayat 2 sampai 3 yang mana kata متّقينpada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ke tiga. Dengan demikian pengertian orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal gaib, mengerjakan sholat, dan menginfakkan sebagian rizkinya.

b.      Pola Ta’kid

Apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat makna bagian ayat yang terletak disampingnya. Contohnya surat Al-Fatihah ayat 1-2.


c.       Pola I’tiradh

Apabila pada satu kalimat atau lebih tidak ada kedudukannya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat ataupun diantara dua kalimat yang berhubungan maknanya. Contoh dalam surat An-Nahl ayat 57:

ويجعلون لله البنت سبحنه ولهم مّا يشتهون

Artinya :

Dan mereka menetapkan langit bagi Allah anak-anak perempuan. Mahasuci Allah sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki)

Kata سبحنه pada ayat di atas merupakan bentuk i’tiradh dari dua ayat yang mengantarinya. Kata itu merupakan bantahan bagi klaim orang-orang kafir yang menetapkan anak perempuan bagi Allah.

d.      Pola Tasydid

Apabila satu ayat atau bagian ayat mempertegas ayat yang terletak di sampingnya. Contohnya pada surat al-Fatihah ayat 6 sampai 7.

Munasabah antarayat yang tidak jelas dapat dilihat melaui qara’in ma’nawiyyah (hubungan makna) yang dapat terlihat dalam pola munasabah at-Tanzir (perbandingan), al-mudhad (perlawanan), istithrad (penjelasan lebih lanjut) dan at-takhalush (perpindahan).

a.         Al-Mudhad (berlawanan),

yaitu dua ayat berurutan yang memeperbincangkan dua hal yang berlawanan seperti surga dan neraka serta kafir dan iman. Hal ini, misalnya terlihat dalam Surah an-Nisa’ (4) ayat 150-152.


إنّ الذين يكفرون بالله ورسله و يريدو ن أن يفرّقوا بين الله ورسله ويقولون نؤ من ببعض و نكفر ببعض ويريدون أن يتّخذوا بين ذلك سبيلا( 150) أولئك هم الكفرن حقّا وأعتدنا للكفرين عذا با مّهينا (151) والّذين ءامنوا بالله و رسله ولم يفرّقوا بين أحد مّنهم أولئك سوف يؤتيهم أجورهم وكان الله غفورا رّحيما (152)


Artinya :

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebagian dan Kami kafir terhadap sebagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir). Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.


Ayat 150-151 bercerita tentang karakteristik orang-orang kafir dan balasan atas mereka, meraka ingkar kepada Allah dan rasul-Nya, membedakan antara Allah dan rasul-Nya serta mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lain. Maka dari itu Allah menimpakan azab kepada mereka. Sedangkan ayat 152 berbicara tentang sifat orang-orang mukmin, di mana mereka mempercayai semua rasul yang diutus oleh Allah. Maka Allah memberikan balasan dan mengampuni mereka.


Jika dilihat secara zahir, kedua kelompok ayat (150-151 dan 152) ini tidak memiliki hubungan. Sebab ayat pertama berbicara tentang orang kafir, sedangkan yang terakhir berbicara tentang orang mukmin, dan keduanya tidak pula dihubungkan oleh wawu ‘athaf. Akan tetapi, jika dilihat lebih dalam, hubungan tersebut akan terlihat, di mana lazimnya al-Qur’an bercerita tentang orang kafir dan orang mukmin, kemudian diiringi dengan perbincangan mengenai orang kafir. Hal ini bermaksud untuk memotivasi pembaca agar menghindari kekafiran dan berpegang teguh kepada iman.

b.        Istithrad (penjelasan lebih lanjut),

yaitu perbincangan suatu ayat mengenai suatu masalah sampai kepada hal lain yang tidak berkaitan langsung dengan masalah yang sedang diperbincangkan, tetapi hukumnya sama dengan hal yang diperbincangkan tersebut. Hal ini seperti yang terdapat dalam Surah Al-A’raf (7) ayat 26:


    يبنى ءادم قدأنزلنا عليكم لبا سا يو رى سوء تكم وريشا ولبا سا التّقواى ذلك خير ذلك منءايت الله لعلّهم يذّكرون(26)

Artinya:

Hai anak adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat.


Kata  ( ولبا سا التّقوا ) dalam ayat ini tidak berkaitan dengan ungkapan sebelumnya, sebab ungkapan sebelumnya berbicara tentang pakaian penutup aurat, sedangkan (ولبا سا التّقوا) (pakaian taqwa) bukan pakaian fisik sebagai penutup aurat. Jadi kata (ولبا سا التّقوا) secara zahir tidak ada hubungannya dengan aurat. Akan tetapi hubungan tersebut terlihat pada pakaian sebagai penutup aurat yang merupakan bagian dari takwa.

c.         Munasabah berpola at-tanzir terlihat pada adanya perbandingan antara ayat-ayat yang berdampingan. Contohnya firman Allah    dalam surat al-Anfal ayat 4-5 :

أولئك هم المؤمنون حقّا لهم درجت عند ربّهم و مغفرة و رزق كريم(4) كماأخرجك ربّك من بيتك بالحقّ وإنّ فريقا من المؤمنين لكرهون(5) 

Artinya : Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia. Sebagaimana Tuhanmu menyuruhmu pergi dari rumahmu dengan kebenaran, padahal sesungguhnya sebagian dari orang-orang yang berimanitu tidak menyukainya.

Pada ayat kelima, Allah memerintahkan kepada Rasul-Nya agar terus melaksanakan perintah-Nya, meskipun para sahabatnya tidak menyukainya. Sementara pada ayat keempat, Allah memerintahkannya agar tetap keluar dari untuk berperang. Munasabah antar kedua ayat tersebut terletak pada perbandingan antara ketidaksukaan para sahabat terhadap pemberian ghanimah yang dibagikan Rasul dan ketidaksukaan mereka untuk berperang. Padahal sudah jelas bahwa dalam kedua perbuatan itu terdapat keberuntungan, kemenangan, ghanimah, dan kejayaan islam.

d.    Munasabah berpola takhallus

Pada perpindahan dari awal pembicaraan pada maksud tertera secara halus. Umpamanya, dalam surat al-A’raf, mula-mula Allah berbicara tentang Nabi Musadan para pengikutnya yang selanjutnya berkisah tentang Nabi Muhammad dan umatnya.

5.    Munasabah Antar Suatu Kelompok Ayat dengan Kelompok Ayat di Sampingnya.

Dalam surat al-Baqarah ayat 1 sampai 3,misalnya, Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi al-Qur’an bagi orang-orang yang bertakwa. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya dibicarakan tiga kelompok manusia dan sifat merekayang berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.

6.      Munasabah Antar Fashilah (pemisah) dan Isi Ayat

Macam munasabah ini mengandung tujuan tertentu. Diantaranya adalah menguatkan makna yang terkandung dalam suatu ayat. Umpamanya dalam surat an-Naml ayat 80:

إنّك لا تسمع الموتى ولا تسمع الصّمّ الدّعاء إذا ولّوا مدبر ين

Artinya: Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling membelakang.

7.      Munasabah Antar Awal Surat dengan Akhir Surat yang Sama

Tentang munasabah ini, as-Suyuti mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid al-Mathali fi Tanasub al-Maqti wa al- Mathali. Contoh munasabh ini terdapat dalam surat al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam menghadapi kekejaman Fir’aun.Atas perintah dan pertolongan Allah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan penuh tekanan. Di akhir surat, Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan jajni Allah atas kemenangannya. Di awal surat dikemukakan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.




8.      Munasabah Antar Penutup Suatu Surat dengan Awal Surat Berikutnya

Jika diperhatiakn pada setiap pembukaan surat, dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Umpamanya, pada permulaan surat Al-Hadiddi mulai dengan tasbih:

العز الحكيم سبّح لله ما فى السّموات والأرض وهو

Artinya : Semua yang ada di langit dan bumi bertasbih kapada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini munasabah dengan akhir sebelumnya, al-Waqi’ah yang memerintahkan bertasbih:

با سم ربّك العظيم  فسبّح

Artinya : Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar.  

2.4     Urgensi dan Kegunaan Munasabah

Ilmu munasabah merupakan bagian dari ilmu-ilmu al-Qur’an yang posisinya sangat penting dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Hal ini karena suatu ayat dengan yang lain memiliki keterkaitan, sehingga bisa saling menafsirkan. Dengan demikian al-Qur’an adalah kesatuan yang utuh yang jika dipahami sepotong-sepotong akan terjadi model penafsiran atomostik.[8]

Secara  mudahnya ilmu munasabah berfungsi sebagai ilmu pendukung ilmu tafsir. Bahkan tidak jarang pendekatan ilmu munasabah, penafsiran akan semakin jelas, mudah dan indah. Sehingga ilmu munasabah cukup memiliki peranan dalam mengingatkan kualitas penafsiran ayat-ayat al-Qur’an.

Menurut Az-Zakasyi munasabah adalah ilmu yang sangat mulia, dengan ilmu ini bisa diukur kemampuan (kecerdasan) seseorang, dan dengan ilmu ini pula bisa diketahui kadar pengetahuan seseorang dalam mengemukakan pendapat/pendiriannya. Banyak  para analis tafsir yang menyatakan adalah salah dugaan sebagian orang memandang tidak perlu melakukan penggalian ilmu munasabah dalam menafsirkan al- Qur’an. Karena ilmu tafsir tanpa ilmu munasabah itu tidaklah sempurna.

Suatu hal yang patut diingatkan di sini adalah bahwa pekerjaan mencari hubungan antara sesama ayat al-Qur’an memang bukan merupakan perkara mudah yang bisa dilakukan sembarang orang. Menelusuri munasabah al-Qur’an antar bagian demi bagian merupakan pekerjaan yang benar-benar menuntut ketekunan dan kesabaran seseorang, bahkan boleh jadi hanya mungkin dilakukan manakala orang yang bersangkutan memang bersungguh-sungguh memiliki keinginan untuk itu. Karenanya, mudah dipahami jika kenyataan memang menunjukkan bahwa tidak begitu banyak mufassir yeng melibatkan ilmu munasabah dalam memaparkan penafsiran al- Qur’an. [9]

                            


    

BAB III

PENUTUP

3.1     Kesimpulan

1.      Munasabah  adalah ilmu ilmu atau pengetahuan yang membahas tentang hubungan al-Qur’an dari berbagai sisinya.

2.      Cara mengetahui munasabah adalah dengan cara:

a.  Mencari terlebih dahulu topik yang dibicarakan diayat tersebut

b. Mencari sub-bab dari topik dan mencari unsur-unsur dari subtopik.

3.      Macam- macam  munasabah  terdiri  dari tujuh macam, yaitu

a.       munasabah antarsurat dengan surat sebelumnya.

b.      Munasabah antarnama surat dan tujuan turunnya.

c.       Munasabah antarbagian suatu ayat, munasabah antarayat yang letaknya berdampingan.

d.      Munasabah antarsuatu kelompok ayat dengan kelompok ayat di sampingnya.

e.       Munasabah antar pemisah dan isi surat

f.        Munasabah antarawal surat dengan akhir surat yang sama, dan

g.      Munasabah antar penutup suatu surat dengan awal berikutnya.

4.      Urgensi dan manfaat dari ilmu munasabah adalah  sebagai pendukung ilmu tafsir, mengokohkan pembicaraan yang satu dengan yang lain, membantu dalam pentakwilan pemahaman dengan baik dan cermat, dapat mengetahui kesesuaian antar ayat dan antar surat, dann lain sebagainya

 



DAFTAR PUSTAKA


Amin, M. Suma. Ulumul Qur’an.  Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013.                

Anwar, Rosihon.  Pengantar Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011.

Jalal, Abdul. Ulumul Qur’an.  Surabaya: Dunia Ilmu, 2013.

Khalil, Manna al Qatan. Mabahis Fi Ulumil Qur’an. Mesir: Maktabah Wahbah, 1973.

Yusuf,  Kadar. Studi Qur’an. Jakarta: Amzah, 2012.


[1] Abdul Jalal, Ulumul Qur’an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2013), 157.

[2] Kadar  Yusuf, Studi Qur’an (Jakarta: Amzah, 2012),  96.

[3] Ibid.

[4] Manna khalil  al Qattan,  Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an (Riyadh: Maktabah Wahbah),  97.

[5] Kadar Yusuf, Studi Qur’an, 96.

[6] Mufassir: penafsir al-Qur’an.

[7] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 136.

[8] Acep Hermawan, Ulumul Qur’an (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), 124.

[9]M.Amin Suma, Ulumul Qur’an  (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 256.


MAKALAH FAWATIH AL-SUWAR

View Article

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi atas Al-Quran telah banyak dilakukan oleh para ulama dan sarjana tempo dulu, termasuk para sahabat di zaman Rasulullah saw. Hal itu tidak lepas dari disiplin dan keahlian yang dimiliki oleh mereka masing-masing. Ada yang mencoba mengelaborasi dan melakukan eksplorasi lewat perspektif keimananm historis, bahasa dan sastra, pengkodifikasian, kemu’jizatanm penafsiran serta telaah kepada huruf-hurufnya.

Kondisi semacam itu bukan hanya merupakan artikulasi tanggung jawab seorang Muslim untuk memahami bahasa-bahasa agamanya. Tetapi sudah berkembang kepada nuansa lain yang menitikberatkan kepada studi yang bersifat ilmiah yang memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Kalangan sarjana Barat banyak yang melibatkan diri dalam pengkajian Al-Quran, dengan motivasi dan latar belakang kultural maupun intelektual yang berbeda-beda.

Al-Quran sebagai diketahui terdiri dari 114 surat, yang di awali dengan beberapa macam pembukaan (fawatih al-suwar) . di antara macam pembuka surat yang tetap aktual pembahasannya hingga sekarang ini huruf muqatha’ah. Menurut Watt, huruf-huruf yang terdiri dari huruf-huruf alphabet (hijaiyah) ini, selain mandiri juga mengadung banyak misterius, karena sampai saat ini belum ada pendapat yang dapat menjelaskan masalah itu secara memuaskan.

                                         

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :

1.      Apa itu Fawatih Al-suwar ?

2.      Apa-apa saja macam-macam Fawatih Al-suwar ?

3.      Bagaimana kedudukan pembuka surat Al-Qur’an ?

4.      Bagaimana pendapat para ulama tentang huruf hijaiyah pembuka surat ?

5.      Apa tujuan Fawatih Al-suwar ?



BAB II

PEMBAHASAN       

2.1  Pengertian Fawatih al-Suwar

Secara etimologis, fawatih al-suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya di awal surat-surat dalam Al-Qur’an .  Seluruh surat Al-Qur’an dibuka dengan sepuluh macam pembukaan dan tidak satu surat pun  keluar dari sepuluh macam pembukaan itu.  Setiap macam pembukaan itu mengandung rahasia tersendiri, sehingga sangat penting untuk dikaji. Diantara pembukaan itu diawali oleh huruf-huruf yang terpisah (al-ahruf al-muqatha’ah). Orang sering mengidentikan fawatih al-suwar dengan huruf muqatha’ah, padahal sebenarnya keduanya berbeda. Bahkan huruf Muqatha’ah hanya merupakan bagian dari fawatih al-suwar. Di antara ulama yang mengidentikan keduanya adalah Manna’ Khalil Qaththan dalam kitabnya Mabahits fi’Ulum al-Qur’an.[1]

Pembahasan-pembahasan yang dilakukan oleh para ulama menunjukkan bahwa pembuka surat yang berbentuk huruflah yang sering menimbulkan kontroversi diantara mereka. Sehingga tak heran apabila huruf-huruf tersebut sering dikategorikan kedalam ayat-ayat mutasyabihat, yang tak seorangpun mengetahui artinya kecuali Allah SWT atau bahkan disebut sebagai salah satu bentuk rahasia Tuhan yang terdapat didalam Al-Qur’an.[2]

2.2  Macam-macam fawatih al-suwar           

Beberapa ulama telah melakukan penelitian tentang pembukaan surat Alquran, diantaranya sebagai yang dilakukan al-Qasthalani. Ia mengiventarisir Fawatih al-Suwar menjadi sepuluh macam. Sementara Ibn Abi al-Isba dalam kitabnya al-Khaqatir al-Sawanih fi Asrar Fawatih, hanya menyebutkan lima saja.

a. Pembukan dengan pujian kepada Allah (al-istiftah bi al-tsana).

Pujian kepada Allah ada dua macam, yaitu:

1) Menetapkan sifat-sifat terpuji kepada Allah (al-itsbat shifat al-madhiy) dengan menggunakan salah satu lafal berikut.

a) Memakai lafal hamdalah, yakni dibuka dengan (الحمد لله), yang terdapat dalam 5 surat.

b) Memakai lafal (تبارك), yang terdapat dalam 2 surat.

2) Mensucikan Allah dari sifat-sifat negatif (tanzih ‘an sifat naqshim) dengan menggunakan lafal tasbih, (يسبح\سبح\سبح\سبحن) sebagai yang terdapat dalam 7 surat.

Berdasarkan uraian di atas, ternyata masing-masing surat tersebut menetapkan sifat-sifat yang negatif. Surat-sufat yang diawali dengan pujian ini memiliki tasbih itu merupakan monopoli Allah. Dalam hal ini, tasbih dimulai dengan mashdar dan selanjutnya diikuti dengan fi’il. Ini semua dimaksudkan agar mencakup seluruh tasbih, sekaligus menunjukkan betapa ajaibnya Al-Quran itu.

3) Pembukaan dengan huruf-huruf yang terputus-putus (Istiftah bi al-huruf al-muqatha’ah).

Pembukan dengan huruf-huruf ini terdapat dalam 29 surat dengan memakai 14 huruf tanpa diulang, yakni (ا\ي\هـ\ن\م\ل\ك\ق\ع\ك\ص\س\ر\ح)[3]

Penggunan huruf-huruf tersebut dalam pembukaan surat-surat Alquran disusun dalam 14 rangkaian, yang terdiri dari kelompok berikut:

a) Kelompok sederhana, terdiri dari satu huruf, terdapat dalam 3 surat, yakni (ص) (QS. Shad); (ق) (QS. Qaf); dan (ن) (QS. Nun)

b) Kelompok yang terdiri dari dua huruf, tedapat dalam 3 surat, yakni (حم) (QS. Al-Mu’min; QS. Al-Sajdah; QS. Al-Zukhruf, QS. Al-Dukhan; QS. Al-Jatsiyah; dan QS.Al-Ahkaf; (طه) (QS. Thaha); (طس) (QS. Al-Naml); dan (يس) (QS. Yasin).

c) Kelompok yang terdiri dari tiga huruf, yakni (الم) QS. Al-Bqarah, QS. Ali Imran, QS. Al-Ankabut, QS. Al-Rum, QS. Luqman dan QS. Al-Sajdah); (الر) (QS. Yunus, QS. Hud, QS. Ibrahim, QS. Yusuf, dan QS. Al-Hijr, dan (طسم) (QS. Al-Qashash dan QS. Al-Syu’ara).

d) Kelompok yang terdiri dari empat huruf, yakni (الر) (QS. Al-Ra’ad) dan (المص) (QS. Al-A’raf). Kelompok yang terdiri dari lima huruf, yakni rangkaian ((كهيعص (QS. Maryam) dan (حم عسق) (QS. Al-Syuara).

                      

4) Pembukaan dengan panggilan (al-istiftah bi al-nida).

Nida ini ada tiga macam, yaitu nida’ untuk nabi, nida untuk kaum mukminin dan nida untuk umat manusia.

5)  Pembukaan dengan kalimat (jumlah) khabariah (al-istiftah bi al-jumal al-khabariayyah).

Jumlah khabariyyah di dalam pembukaan surat ada dua macam, yaitu:

a)      Jumlah ismiyyah

Jumlah ismiyyah yang menjadi pembuka surat terdapat 11 surat, yaitu: al-Taubah, al-Nur, Al-Zumar, Muhammad, Al-Fath, Al-Rahman, Al-Haqqah, Nuh, al-Qadr, al-Qari’ah, al-Kautsar.

b) Jumlah fi’liyah

Jumlah fi’liyah yang menjadi pembuka surat-surat Alquran terdapat dalam 12 surat, yaitu (a) (يسئلونك عن الانفال) /Mereka bertanya kepadamu tentang pendistribusian harta rampasan perang (QS. Al-Anfal); (b) (اتي امرالله فلا تستعجلوه) /Telah pasti datangnya ketetapan Allah itu, maka janganlah minta disegerakan (QS. Al-Nahl), (c). (اقترب للناس حسابهم) /Telah dekat datangnya saat itu (QS. Al-Qamar); (d) (قدافلحل المئمنون) /Sungguh beruntung orang-orang yang beriman (QS. Al-Mukminun; (e) (اقتربت الساعة) /telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalam mereka (QS. Al-Anbiya); (f) (قدسمع الله قول التي تجادلك) /Seseorang telah meminta kedatangan azab yang akan menimpanya (QS. Al-Ma’arij); (g) (لاقسم بيوم القيامة) /Aku bersumpah dengan hari kiamat (QS. Al-Qiyamah); (h) (لااقسم بهذا البلاد) /Aku bersumpah dengan kota ini, Makkah (QS. Balad); (i) (عبس وتولي) /Dia (Muhammad) bermuka Masam dan berpaling (QS. ‘Abasa) (j) (لم يكن الذين كفروا من اهل الكتاب) /Dia Orang-orang kafir, yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan agamanya (QS. Al-Bayyinah); (k) (الهاكمتكاثر) /Bermegah-megahan telah melalaikan kamu (QS. Al-Takatsur).

Adapun hikmah dan rahasia adanya pembukaan surat-surat dengan nida’ yaitu untuk memberi perhatian dan peringatan, baik bagi Nabi, umatnya, maupun untuk menjadi pedoman kehidupan ini.

6) Pembukaan dengan sumpa (al-istiftah bi al-qasam).

Sumpah yang digunakan dalam pembukaan surat Al-quran ada tiga macam dan terdapat dalam 15 surat.

a) Sumpah dengan benda-benda angkasa, misalnya (والصفات) (Demi rombongan yang bersaf-saf) dalam QS. Al-Shaffat; (والنجم) (Demi bintang) dalam surat al-Najm; (زالمرسلات) (Demi malaikat-malaikat yang mencabut nyawa) dalam QS. Al-Nai’at; (والسماء ذات البروج) (Demi lagit yang memiliki gugusan bintang) dalam QS. Al-Buruj; (والسماء و الطارق) (Demi langit dan yang datang pada malam harinya) dalam QS al-Thariq; (والفجروليال عشر) (Demi fajar dan malam yang sepuluh) dalam QS. Al-Fajr; dan (والشمس والضحها) (Demi matahari dan cahanyanya di waktu duha) dalam QS. Al-Syams.

b) Sumpah dengan benda-benda bawah, misalnya (والذاريات ذروا) (Demi angin yang menerbangkan debu dengan sekuat-keuatnya) dalam QS. Al-Dzariyyat; (والطور) (Demi bukit Thur) dalam QS. Al-Thur; (والتين) (Demi buah Tin) dalam QS. Al-Thin; (والعاديت) (Demi kuda perang yang berlari kencang) dalam QS. Al-‘Adiyat.

c) Sumpah dengan waktu, misalnya (واليل) (Demi malam) dalam QS. Al-Layl; (والضحي) (Demi waktu duha) dalam QS. Al-Dhuha; (والعصر) (Demi waktu) dalam QS. Al-Ashr.

Hikmah dari fawatih al suwar dengan sumpah ini, pertama, agar manusia meneladani sikap bertanggung jawab; berbicara harus benar dan jujur dan berani berbicara untuk menegakkan keadilan; kedua, agar dalam bersumpah manusia harus senantiasa memakai nama-nama Allah bukan selain-Nya; ketiga, digunakannya beberapa benda sebagai sumpah Allah dimaksudkan agar benda-benda itu diperhatikan manusia dalam rangka mendekatkan diri keapda Allah, karena pada dasarnya, benda-benda itu ciptaan Allah.

7) Pembukaan dengan syarat (al-istiftah bi al-syarth).

Syarat yang digunakan dalam pembukaan surat Al-Quran ada dua macam dan digunakan dalam 7 surat, yakni: (1) (اذالشمس كورت) / Apabila matahari digulung dalam QS. Al-Takwir; (2) (اذالشماء انفطرت) /Apabila langit terbelah, dalam QS. Al-Infithar; (3) (اذالشماء انشقت) /Apabila langit terbelah, dalam QS. Al-Insyiqaq, (4) (اذا واقعت الواقعة) /Apabila terjadi hari kiamat , dalam QS. Al-Waqi’ah; (5) (اذاجاءك المنافقون) /Apabila orang-orang munafik datang kepedamu, dalam QS. Al-Munafiqun; (6) (اذا زلزلت الارض زلزالها) /Apabila bumi dogoncangkan dengan goncangan yang dahsyat, dalam QS. Al-Zaljalah; (7) (اذاجاءنصرالله والفتح) /Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dalam QS. Al-Nashr.

8) Pembukaan dengan kata kerja perintah (al-istiftah bi al-amr)

a) Dengan (اقرأ) bacalah, yang hanya terdapat dalam QS. Al-Alaq

b) Dengan (قل) katakanlah, yang terdapat dalam QS al-Jin, QS. Al-Kafirun, QS. Al-Falaq dan QS. Al-Nas.

9) Pembukaan dengan pertanyaan (al-istiftah bi al-istifham)

Bentuk pertanyaan ini ada dua macam yaitu:

a) Pertanyaan, positif yang pertanyaan dengan menggunakan kalimat positif. Pertanyaan ini digunakan dalam 4 pendahuluan surat Alquran, yaitu: (هل اتي علي الانسان حين من الدهر) Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa dalam QS. Al-Dahr, (عم يتساءلون . عن البإالعجيم) Tentang apakah mereka saling bertanya tentang berita yang besar, dalam QS al-Naba, (هل اتاك حديث الغاشية) Sudah datangkah kepadamu berita tentang hari pembalasan? Dalam QS. Al-Ghasyiyah, (ارايت الذي يكذب بالدين) Tahukah kamu orang-orang yang mendustakan agama? Dalam QS. Al-Ma’un.

b) Pertanyaan negatif, yaitu pertanyaan dengan menggunakan kalimat; negatif, yang hanya terdapat dalam dua surat, yakni (الم نشرح لك صدرك) Bukankah kami telah melapangkan dadamu untukmu, dalam QS. Al-Insyirah dan (الم تركيف فعل ربك بأصحب الفيل) Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah dalam QS. Al-Fil.

10) Pembukaan dengan doa (al-istiftah bi al-du’a)

Pembukan dengan doa ini terdapat dalam tiga surat. Yaitu: (ويل للمطففين) Kecelakaan besar bagi orang-orang yang curang, dalam QS. Al-Muthaffifin, (ويل لكل همزةلمزة) Kecelakaan bagi setiap pengumpat lagi pencela dalam QS. Al-Humazah, (تبتيدا ابي لهب وتب) Binasalah tangan Abu Lahab dan sungguh dia akan binasa dalam QS. Al-lahab.

11) Pembukaan dengan alasan (al-istiftah bi al-ta’lil)

Pembukan dengan alasan ini hanya terdapat dalam QS. Al-Quraisy (لإيلف قريش) Karena kebiasaan orang-orang Quraisy

2.3 Kedudukan Pembuka Surat Al-Quran

Menurut As-Suyuti, pembukaan-pembukaan surat (awail Al-suwar) atau huruf-huruf potongan (Al-huruf Al-Muqatta’ah) ini termasuk ayat-ayat mutasyabihat. Sebagai ayat-ayat mutasyabihat, para ulama berbeda pendapat lagi dalam memahami dan menafsirkannya. Dalam hal ini pendapat para ulama pada pokoknya terbagi dua.

 Pertama,  ulama yang memahaminya sebagai rahasia yang hanya diketahui oleh Allah. As-Suyuti memandang pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar (terpilih). Ibnu Al-Munzir meriwayatkan bahwa ketika Al-Syabi ditanya tentang pembukaan-pembukaan surat ini berkata;

ان لكل كتاب صفوة وصفوة هذا الكتاب حرزف التهجي

Artinya:

“Sesungguhnya bagi setiap kitab ada sari patinya, dan sari pati Kitab (Al-Quran) ini adalah huruf-huruf ejaannya”.

Abu Bakar juga diriwayatkan pernah berkata:

في كل كتاب سر وسره في القران اوائل السور

Artinya:

“Pada setiap kitab ada rahasia, dan rahasianya dalam Al-Quran adalah permulaan-permulaan suratnya”.

Kedua, pendapat yang memandang huruf-huruf di awal surat-surat ini sebagai huruf-huruf yang mengandung pengertian yang dapat dipahami oleh manusia. Karena itu penganut pendapat ini memberikan pengertian dan penafsiran kepada huruf-huruf tersebut.

Dengan keterangan di atas, jelas bahwa pembukaan-pembukaan surat ada 29 macam yang terdiri dari tiga belas bentuk. Huruf yang paliang banyak terdapat dalam pembukaan-pembukaan ini adalah huruf Alif (ا) dan lam (ل), kemudian Mim (م), dan seterusnya secara berurutan huruf Ha (ح), Ra (ر), Sin (س) Ta (ط), Sad (ص), Ha (ه), dan Ya’ (ي), ‘Ain (ع) dan Qaf (ق), dan akhirnya Kaf (ك), dan Nun (ن).

Seluruh huruf yang terdapat dalam pembukaan-pembukaan surat ini dengan tanpa berulang berjumlah 14 huruf atau separuh dari jumlah keseluruhan huruf ejaan. Karena itu, para mufassir berkata bahwa pembukaan-pembukaan ini disebutkan untuk menunjukkan kepada bangsa Arab akan kelemahan mereka. Meskipun Al-Quran tersusun dari huruf-huruf ejaan yang mereka kenal, sebagiannya datang dalam AlQuran dalam bentuk satu huruf saja dan lainnya dalam bentuk yang tersusun dari beberapa huruf, namun mereka tidak mampu membuat kitab yang dapat menandinginya. Pendapat ini telah dijelaskan secara panjang lebar oleh Al-Zamakhsari (wafat 538 H) dan Al-Baidhawi (wafat 728 H). pendapat ini dikuatkan oleh Ibn Taimiyah (wafat 728 H) dan muridnya, Al-Mizzi (wafat 742 H). Mereka menguraikan tantangan Al-Quran di turunkan dalam bahasa Mereka sendiri. Akan tetapi, mereka tidak mampu membuat kitab yang menyerupainya. Hal ini menunjukkan kelemahan mereka di hadapan Al-Quran dan membuat mereka tertarik untuk mempelajarinya.

Berikut ini dikemukakan beberapa riwayat dan pendala ulama:

“Dari Ibn Abbas tentang firman Allah: (الم), berkata Ibn Abbas:” Aku Allah lebih mengetahui”, tentang (المص) berkata Ibn Abbas:” Aku Allah akan memperinci”, dan tentang (الر) berkata Ibn Abbas: “Aku Allah melihat”. (Dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim dari jalan Abu Al-Duha).

“Dari Ibn Abbas, berkata ia: “alif lam ra, ha’mim, dan nun adalah huruf-huruf al-Rahman yang dipisahkan (dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim dari jalan Ikrimah)”.

“Dari Ibn Abbas tentang Kaf, Ha’, Ya’ Ain, Sad, berkata ia: “Kaf dari Karim (pemurah). Ha dari Hadin (pemberi petunjuk), Ya, dari Hakim (bijaksana), ‘Ain dari ‘Alim (Maha Mengetahui), dan Sad dari Sadiq (yang benar). (Dikeluarkan oleh Al-Hakim dan lainnya dari jalan Sa’id Ibn Jubair)

“Dari Salim Abd Ibn Abdillah berkata ia: (حم، الم) dan (ن) dan seumpamanya adalah nama Allah yang dipotong-potong”, (Dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim).

Dari Al-Saddiy, ia berkata: “Pembukaan-pembukaan surat adalah nama dari nama-nama Tuhan Jalla Jalaluh yang dipisah-pisah dalam Al-Quran”. (Dikeluarkan oleh Ibn Abi Hatim).

“Dari Ibn Abbas, berkata ia: (ص، طسم، الم) dan yang seumpamanya adalah sumpah yang Allah bersumpah dengannya, dan merupakan nama-nama Allah juga”.

(Dikeluarkan oleh Ibn Jarir dan lainya dari jalan Ali Ibn Abi Talhah).

Ada pendapat mengatakan bahwa huruf-huruf itu adalah nama-nama bagi Al-Quran, seperti Al-Furqan dan Al-Zikir. Pendapat lain mengatakan bahwa huruf-huruf tersebut adalah pembuka bagi surat-surat Al-Quran sebagaimana hanya qasidah sering diawali dengan kata (بل) dan (لا).

Dikatakan juga huruf-huruf ini merupakan peringatan-peringatan (tanbihat) sebagaimana halnya dalam panggilan (nida). Akan tetapi, di sini tidak digunakan kata-kata yang biasa digunakan dalam bahasa Arab, seperti (ألا) dan (أما) karena kata-kata ini termasuk lafal yang sudah biasa dipakai dalam percakapan. Sedangkan al-Quran adalah kalam yang tidak sama dengan kalam yang biasa sehingga digunakan alif (ا).

Sebagai peringatan (tanbih) lebih terkesan kepada pendengar. Yang belum pernah digunakan sama sekali sehingga lebih terkesan kepada pendengar.

Dalam hubungan ini sebagian ulam memandangnya peringatan (tanbih) kepada rasul agar dalam waktu-waktu kesibukannya dengan urusan manusia berpaling kepada Jibril untuk mendengarkan ayat-ayat yang akan disampaikan kepadanya. Sebagian yang lain memandangnya sebagai peringatan (tanbih) kepada orang-orang Arab agar mereka tertarik mendengarkannya dan hati mereka menjadi lunak kepadanya. Tampaknya, pandangan yang pertama kurang tepat karena Rasul sebagai utusan Allah dan yang terus-menerus merindukan wahyu tidak perlu diberi peringatan. Sedangkan pandangan yang kedua adalah lebih kuat karena orang-orang Arab yang selalu bertingkah, keras hati dan enggan mendengarkan ketenaran perlu diberi peringatan (tanbih) agar perhatian mereka tertuju kepada ayat-ayat yang disampaikan.

Di katakana juga bahwa Thaha (طه) dan Yasin (يس) berarti hai laki-laki atau hai Muhammad atau hai manusia. Pendapat lain memandang kedua Thaha (طه) dan Yasin (يس) sebagai nama bagi Nabi Saw.[4]

2.4 Pendapat Para Ulama Tentang Huruf Hijaiyah Pembuka Surat

Para ulama yang membicarakan masalah ini ada yang berani menafsirkannya, di mana huruf-huruf itu merupaka rahasia yang hanya Allah sendiri yang mengetahui-Nya.

1.      Az-Zamarksyari berkata dalam tafsirnya “Al-Qasysyaf” huruf-huruf ini ada beberapa pendapat yaitu:

Merupakan nama surat

Sumpah Allah

Supaya menarik perhatian orang yang mendengarkannya.

As-Sayuti menukilkan pendapat Ibnu Abbas tentang huruf tersebut dikatakan pendapat hanyalah dugaan belaka. Kemudian As-Suyuti menerangkan bahwa hal itu merupakan rahasia yang hanya Allah sendiri yang mengetahuinya.

al-Quwaibi mengatakan bahwasanya kalimat itu merupakan tanbih bagi Nabi, mungkin pada suatu saat Nabi dalam keadaan sibuk, maka Allah menyuruh Jibril untuk memberikan perhatian terhadap apa yang disampaikan kepadanya.

As-Sayid Rasyid Ridha tidak membenarkan Al-Quwaibi di atas, karena Nabi senantiasa dalam keadaan sadar dan senantiasa menanti kedatangan wahyu.

Rasyid Ridha berpendapat sesuai dengan Ar-Razi, bahwa tanbih ini sebenarnya dihadapkan kepada orang-orang Musyrik Mekkah dan Ahli Kitab Madinah. Karena orang-orang kafir apabila Nabi membacakan Al-Quran mereka satu sama lain menganjurkan untuk tidak mendengarkannya.



Disebut dalam surat Fusilat ayat 26:

Artinya:

“Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Quran Ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan mereka". (QS. Fusyilat: 26)

Ulama salaf berpendapat bahwa “Fawatih Suwar” telah disusun semenjak zaman azali sedemikian rupa supaya melengkapi segala yang melemahkan manusia dari mendatangkannya seperti Al-Quran.

Oleh karena i'tiqad bahwa huruf-huruf ini telah sedemikian dari azalinya, maka banyaklah orang yang tidak berani mentafsirkannya dan tidak berani mengeluarkan pendapat yang tegas terhadap huruf-huruf itu. Huruf-huruf itu dipandang masuk golongan mutasyabihat yang hanya Allah sendiri yang mengetahui tafsirnya.

Huruf-huruf itu, sebagai yang pernah ditegaskan oleh Asy-Syabi, ialah rahasia dari pada Al-Quran ini.

Ali bin Abi Thalib pernah berkata:

“Sesungguhnya bagi tiap-tiap Kitab ada saripatinya. Saripati Al-Quran ini ialah, huruf-huruf Hijaiyah”.

Abu baker As-Shiddieqi pernah berkata:

“Di tiap-tiap kitab ada rahasianya. Rahasianya dalam Al-Quran ialah permulaan-permulaan surat”.

Dalam hal ini Prof. Hasbi As-Shiddieqi menegaskan bahwa dibolehkannya mentakwilkan huruf-huruf tersebut asal tidak menyalahi penetapan Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pada itu yang lebih baik kita serahkan saja kepada Allah.[5]

2.5 Tujuan Fawatih al-Suwar

Menurut Ibnu Abi al-Asba seperti dikutip Ahmad bin Mustafa, bahwa pembuka-pembuka surat itu untuk menyempurnakan dan memperindah bentuk-bentuk penyampaian, dangan sarana pujian atau melalui huruf-huruf. Selain itu ia dipandang merangkum segala materi yang akan disampaikan lewat kata-kata awal. Dalam hal ini surat Al-fatihah dapat digunakan sebagai ilustrasi dari suatu pembuka yang merangkum keseluruhan pesan ayat dan surat yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Lebih khusus tentang fawatih al-suwar berupa huruf muqatha’ah, menurut al-Hubbi, merupakan peringatan Nabi SAW. Dikatakan bahwa Allah mengetahui bagian-bagian waktu Nabi sebagai seorang manusia kadang sibuk. As-Syafi’i berpendapat bahwa huruf awal surat merupakan rahasia Al-Qur’an.

Imam Fakhrurazi seperti dikutip oleh Aisyah Abdurrahman bin As-Syati lebih memperhatikan kepada hikmah pembukaan surat yang diikuti al-kitab, al-Tanzil atau Al-Qur’an.Ia menyatakan : “hikmah dari itu semua, bahwa al-Qur’an yang agung itu diturunkan secara berat (tsaqil) dan setiap surat yang diawalnya menerangkan tentang Al-Qur’an. Tsaqilnya Al-Qur’an bukanlah bukanlah ditunjukkan dan dikhususkan oleh pembukaan surat melalui huruf-huruf itu, karena ada pula ayat-ayat yang berbicara tentang Al-Qur’an pada ayat-ayat awalnya, tidak dibuka oleh huruf-huruf itu, seperti surat Al-kahfi, Al-furqan, al-Qalam dan al-Zumar.[6]

Tidak disangsikan bahwa semua interpretasi yang ada tentang hal diatas mempertegas sensitivitas ulama kuno bahwa “ambiguitas” makna huruf-huruf tersebut membentuk salah satu karakteristik teks. Fenomena ini merupakan fenomena ambiguitas semantic yang dapat dijelaskan dan diungkap oleh bagian lain teks. Dengan demikian, fenomena tersebut merupakan fenomena ambiguitas yang memunculkan perbedaan teks secara internal. Perbedaan ini sebenarnya salah satu mekanisme teks, melalui mekanisme ini teks dapat mewujudkan keistimewaannya dan berarti dapat mewujudkan kemampuannya untuk berinteraksi dengan kebudayaan dalam ruang dan waktu.[7]







BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan                                                        

Dari segi bahasa, fawatihus suwar berarti pembukaan-pembukaan surat, karena posisinya yang mengawali perjalanan teks-teks pada suatu surat. Apabila dimulai dengan huruf-huruf hijaiyah, huruf cenderung ‘menyendiri’ dan tidak bergabung membentuk suatu kalimat secara kebahasaan. Dari segi pembacaannya pun, tidaklah berbeda dari lafazh yang diucapkan pada huruf hijaiyah.

Ibnu Abi Al Asba’ menulis sebuah kitab yang secara mendalam membahas tentang bab ini, yaitu kitab Al-Khaqathir Al-Sawanih fi Asrar Al-Fawatih. Ia mencoba menggambarkan tentang beberapa kategori dari pembukaan-pembukaan surat yang ada di dalam Al-Quran. Pembagian karakter pembukaannya adalah sebagai berikut. Pertama, pujian terhadap Allah swt yang dinisbahkan kepada sifat-sifat kesempurnaan Tuhan. Kedua, yang menggunakan huruf-huruf hijaiyah; terdapat pada 29 surat. ketiga, dengan mempergunakan kata seru (ahrufun nida), terdapat dalam sepuluh surat. lima seruan ditujukan kepada Rasul secara khusus. Dan lima yang lain ditujukan kepada umat. Keempat, kalimat berita (jumlah khabariyah); terdapat dalam 23 surat. kelima, dalam bentuk sumpah (Al-Aqsam); terdapat dalam 15 surat

3.2 Saran                                  

Dari tugas makalah tersebut, banyak hal yang dapat kita pelajari. Seperti halnya yang sudah kami harapkan dan sampaikan pada kata pengantar tugas makalah ini, yaitu semoga dengan terselesaikannya makalah ini dapat menambah wawasan kita dan pemahaman kita mengenai fawatih al-suwar dan demikian makalah yang dapat kami buat. Apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati atau belum sesuai dengan apa yang Anda harapkan, kami mohon maaf. Untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun kami agar dalam tugas-tugas selanjutnya, kami dapat menyelesaikannya dengan lebih baik lagi.

                                                                                                              




DAFTAR PUSTAKA

Jamarudin, Ade dkk. 2011. Epistimologi Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Bandung : Hakim Publishing

Al-Hasni, Mahmud bin Alawi al-Maliki. 1998.  Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran. Bandung: Pustaka Setia.

Chirzin, Muhammad. 1998.  Al-Quran dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa.

Rofi’i, Ahmad & Ahmad Syadali. 1997. Ulumul Quran I. Bandung: Pustaka Setia.

Supiana, & M. Karman.2002. Ulum Quran. Bandung: Pustaka Islamika.




 1supiana, Op. cit, hlm. 171-172

[2] Chirzin, Op. cit, hlm. 62-63

[3] Supiana, Op. cit, hlm. 172-173

[4] Drs. H. Ahmad Rofi’i. H. Ahmad Syadali, M.A. Ulumul Quran I, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 186-189.


[5] Drs. Mahmud bin Alawi al-Maliki al-Hasni, Mutiara Ilmu-ilmu Al-Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 299.

[6] Chirzin, hlm. 63-66

[7] Abu Zaid, hlm. 241


MAKALAH MAKKIH DAN MADANI

View Article

 BAB 1

PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG

      Ilmu Makki dan Madani adalah ilmu yang membahas ihwal bagian al-Qur’an yang Makki dan bagian yang Madani, baik dari segi arti dan maknanya, cara-cara mengetahuinya, atau tanda masing-masingnya, maupun macam-macamnya. Sedangkan yang di maksud dengan Makki dan Madani ialah bagian-bagian kitab suci al-Qur’an, dimana ada sebagiannya termasuk Makki dan ada yang termasuk Madani.

Para ulama’ sangat memperhatikan al-Qur’an dengan cermat dimana mereka menartilkan surah-surah sesuai dengan tempatnya. Namun suatu surah tidak bisa di tempatkan begitu saja di bagian Makki dan Madani sebelum mengetahui jelas ciri-ciri antara keduanya.

Dari sini pemakalah mencoba untuk mengulas lebih lanjut dalam persoalan menetapkan mengetahui dan memahami, mana surah yang termasuk bagian Makki dan mana surah yang termasuk bagian Madani.


B. RUMUSAN MASALAH

        1.     Apa pengertian Makki dan Madani ?

        2.    Apa karakteristik Makkiah dan Madaniah ?

        3.   Apa Faedah Mengetahui Makki dan Madani ?


C.TUJUAN PENULISAN

        1.      Mengetahui Pengertian Maki dan Madani.

        2.      Mengetahui karakteristik Mkiah dan Madaniah

        3.      Faedah Makki daan Madani.

           

          






BAB II

PEMBAHASAN

                                                                                                    

A.     PENGERTIAN MAKKI DAN MADANI


            Untuk mendefinisikan atau memberikan ceriteria bagian mana yang Makki dan bagian mana yang Madani para ulama meneliti Qur’an dengan cara melalui ayat demi ayat dan dari surah demi surah untuk di tertibkan sesuai dengan nuzulnya. Dengan memperhatikan waktu, tempat dan pola kalimat bahkan lebih dari itu mereka mengumpulkan antara waktu, tempat dan pola kalimat. Cara demikian merupakan ketentuan cermat yang memberikan kepada peneliti objektif. Gambaran mengenai penyelidikan ilmiah tentang ilmu makki dan madani.

            Para ulama memperhatikan Qur’an dengan cermat mereka menertibkan surah-surah sesuai dengan tempat turunnya mereka mengatakan misalnya “surah ini diturunkan setelah surah itu.” Dan lebih cermat lagi sehingga mereka membedakan antara yang diturunkan dimalam hari dengan yang di turunkan di siang hari, antara yang diturunkan di musim panas dengan diturunkan di musim dingin dan antara yang diturunkan waktu sedang berada dirumah dengan yang diturunkan saat bepergian. Untuk mengetahui dan menentukan makki dan madani para ulama juga bersandar pada dua cara utama .Manhaj sima`i naqli ( metode pendengaran seperti apa adanya ) dan Manhaj qiyasi ijtihadi ( menganalogikan dan ijtihad ).

        1 . Cara sima'i naqli

              didasarkan pada riwayat sahih dari para sahabat yang hidup pada saat itu dan     

 menyaksikan turunnya wahyu atau dari para tabi`in yag menerima dan mendengar dari para sahabat sebagaiamana, dimana dan peristiwa apa yang berkaitan dengan turunnya wahyu itu. Sebagian besar penentuan makki dan madani itu didasarkan pada cara pertama.

        2.  Cara qiysi ijtihadi

            didasarkan pada ciri-ciri makki dan madani. Apabila dalam surah makki terdapat suatu ayat yang mengandung ayat madani atau mengandung persitiwa madani, maka dikatakan bahwa ayat itu madani dan sebaliknya. Bila dalam satu surah terdapat ciri-ciri makki, maka surah itu dinamakan surah makki. Juga sebaliknya.


Beberapa contoh:

            Bebrapa ulama berpendapat bahwa yang paling mendekati kebenaran tentang bilangan surah- surah Makki dan Madani ialah bahwa yang termasuk surah madaniah ada 20 surah :

         1.      Al- baqarah                       8.   Al- Hujarat                                 15.   Al- Ahzab    

   2.      Ali Imran                          9.   Al- Hadid                                   16. Muhammad     

   3.      An-Nisa                           10.  Al- mujadalah                            17.   Al- Fath

   4.      Al- Ma’idah                     11.  Al- Hasyr                                   18.   At- Talak  

         5.      Al- Anfal                         12.  Al- Mumtahanah                        19.   An- Nasr.      

         6.      At- Taubah                      13.  Al- Jumu’ah                                20.   At- Tahrim

              7.      An- Nur                           14.  Al- Munafikun  

    

Makki adalah surah atau ayat yang diturunkan sebelum hijrah meskipun bukan di makah,sebab turunya di mekah dan sekitarnya, seperti di Mina, Arafah dan hudaibiyah. sedangkan madani adalah yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun bukan di madinah, yang diturunkan sesudah hijrah sekalipun di mekkah atau arafah adalah madani seperti yang diturunkan pada tahun penaklukan kota makkah. yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba dan sil. Pendapat ini mengakibatkan tidak adanya pembagian secara konkrit yang mendua sebab yang turun dalam perjalanan di tabuk dan di baitul Makdis tidak termasuk kedalam salah satu bagiannya sehingga ia tidak dinamakan Makki dan tidak juga Madani. Juga mengakibatkan bahwa yang diturunkan di mekkah sesudah hijrah di sebut Makki. Dari segi sasarannya. Makki adalah yang seruannya di tunjukan kepada penduduk mekah dan madani adalah yang seruannya di tunjukan kepada penduduk madina. Berdasarkan pendapat ini para pendukungnya mengatakan bahwa Ayat al-qur;an yang mengandung seruan (nida) “ya ayyuhan nas” (wahai manusia) adalah makki. Sedangkan ayat yang mengandung seruan (nida) “ya ayyuhal lazina amanu” (wahai orang-orang yang beriman) adalah madani.







B.      KARAKTERISTIK MAKKI DAN MADANI.


            Para ulama telah meneliti surah surah makki dan madani dan menyimpulkan beberapa ketentuan analogis bagi keduanya yang menerangkan ciri-ciri khas gaya bahasa dan persoalan persoalan yang dibicarakannya. Disitu mereka dapat menghasilkan kaidah kaidah dengan ciri tersebut.


a). Ketentuan maki dan ciri khas Temanya:

               1.      Setiap surah yang didalamnya mengandung “sajdah” maka surah itu Makki.

               2.      Setiap surah yang mengandung lafal “kalla”, berarti Makki.

         3.      Setiap surah yang mengandung kalimat “nida” (panggilan)

               4.      Setiap surah yang mengandung kisah para nabi dan umat terdahulu adalah                           Makki, kecuali surah Al- baqarah.

               5.      Setiap surah yang mengandung kisah Nabi Adam dan Iblis adalah Makki,                   kecuali  surah Al-baqarah.

               6.      Setiap surah yang dibuka dengan huruf – huruf singkatan, seperti Alif Lam                   Mim, Alif Lam Ra, Ha Mim dan lainnya, adalah Makki. Kecuali surah Al-                   Baqarahh, Ali Imran. Sedangkan surah Ar- Rad masih di perselisihkan.

b). Ketetntuan Madani dan ciri khas Temanya:

                 1.      Setiap surah yang berisi kewajiban atau had (sanksi) adalah Madani.

                 2.      Setiap surah yang didalamnya disebutkan orang-orang munafik adalah                      madani, kecuali surah al-‘Ankabut adalah Makki.

                 3.      Setiap surah didalamnya terdapat dialog dengan ahli kitab adalah madani.

 










C.     FAEDAH MENGETAHUI MAKKI DAN MADANI.


 Pengetahuan tentang maki dan madani banyak faedahnya, diantaranya yaitu:

a)       Untuk dijadikan alat bantu dalam menafsirkan Qur’an, sebab pengetahuan mengenai   

tempat turunnya ayat dapat membantu memahami ayat tersebut dan menafsirkannya dengan tafsiran yang benar, sekalipun yang menjadi pegangan adalah pengertian ilmu lafadz, bukan sebab yang khusus. Berdasarkan hal itu seorang penafsir dapat membedakan antara ayat yang nasikh dengan yang masukh bila diantara kedua ayat terdapat makna yang kontradiktif. Yang datang kemudian tentu merupakan nasikh atas yang terdahulu.

b)       Meresapi gaya bahasa Al- Qur’an dan memanfaatkannya dalam metode berdakwah menuju 

jalan Allah, sebab setiap situasi mempunyai bahasa tersendiri. Memperhatikan apa yang dikehendaki oleh situasi, merupakan arti paling khusus dalam ilmu retorika. Karakteristik gaya bahasa Makki dan Madani dalam Qur’an pu memberikan kepada orang yang mempelajarinya sebuah metode dalam penyampaian dakwah ke jalan Allah yang sesuai dengan kejiwaan lawan berbicara dan menguasai pikiran dan perasaannya serta menguasai pikiran dan perasaannya serta mengatasi apa yang ada dalam dirinya dengan penuhkebijaksanaan. Setiap tahapan dakwah mempunyai topik dan pola penyampaian tersendiri. Pola penyampaian itu berbeda- beda, sesuai dengan perbedaan tata cara, keyakinan dan kondisi lingkungan. Hal yang demikian nampak jelas dalam berbagai cara Qur’an menyeru berbagai golongan: Orang yang Beriman, yang Musyrik, yang munafik, dan Ahli kitab.

c)       Mengetahui sejarah hidup Nabi melalui ayat- ayat Qur’an, sebab turunnya Wahyu kepada 

Rosulallah sejalan dengan sejarah dakwah  dengan segala peristiwa, baik pada periode Mekah maupun periode Medinah, sejak permulaan turun wahyu hingga ayat terakhir diturunkan. Qur’an adalah sumber pokok bagi peri hidup Rasulallah. Peri hidup beliau yang diriwayatkan ahli sejarah harus sesuai dengan Qur’an; Qur’an pun memberikan kata putus terhadap perbedaan riwayat yang mereka riwayatkan.


MAKALAH STUDI QUR'AN "NĀSIKH DAN MANSŪKH"

View Article
Makalah Studi Qur’an "NĀSIKH DAN MANSŪKH"

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Allah menurunkan shari’at di dalam Alquran kepada Nabi Muhammad  untuk memperbaiki umat di bidang akidah, ibadah, dan muamalah. Tentang bidang ibadah dan mu’āmalah memilki prinsip yang sama yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakkan, adanya Nasikh Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesiuai dengan tuntutan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa nasikh mansukh terjadi karena Al-qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik harus mengetahui ilmu nasikh mansukh dalam Al-qur’an.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian  nāsikh dan mansūkh?
2.      Bagaimana macam-macam nāsikh dan mansūkh?
3.      Bagaimana dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh?
4.      Bagaimana pendapat mengenai ayat yang dimansu>kh ?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian nāsikh dan mansūkh.
2.      Untuk mengetahui dasar-dasar penetapan nāsikh dan mansūkh.
3.      Untuk mengetahui bentuk dan jenis nāsikh dan mansūkh.
4.      Untuk mengetahui pendapat mengenai ayat yang dimansūkh.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Nāsikh dan Mansūkh
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. Berarti “Iza>latu al shay’I wa i’da>muhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al shay’i” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil” (penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan). Sedangkan naskh secara istilah adalah:  Mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil/khith{ab syara’ yang lain.
Dari defenisi diatas jelaslah bahwa komponen naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Mansūkh merupakan hukum yang diangkat atau yang dihapus.[1]

B.     Syarat-syarat Naskh
1. Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum syara’.
2. Dalil nāsikh harus datang lebih dulu daripada mansūkh .
3. Khit{ab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu.

C.    Pembagian Naskh
Naskh dibagi menjadi tiga ;
1.       Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Contoh: Dinasakhnya hukum tentang ‘iddah dengan haul (setahun) menjadi empat bulan sepuluh hari.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ فَإِنْ خَرَجْنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِي مَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ مِنْ مَعْرُوفٍ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ]البقرة : ٢٤٠ [
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya). Akan tetapi jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (wali atau ahli waris dari yang meninggal) membiarkan mereka berbuat yang ma'ruf terhadap diri mereka. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 240)[2]

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
 فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ] البقرة : ٢٣٤ [
        Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat . (QS.Al-Baqarah [2]: 234)[3]

2.      Nasakh as-Sunnah dengan as-Sunnah Hadith mutawatir dan ahad dinasakh oleh hadits mutawatir, dan hadits ahad dinasakh oleh hadith ahad.
Contoh:
 كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ أَلاَ فَزُوْرُوْهَا   
“Dahulu aku melarang kalian melakukan ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”
فَإِنْ شُرْبَ الرَّابِعَةِ فَاقْتُلُوْهُ
                  “Apabila dia minum (khamar) keempat kalinya maka bunuhlah”

Dinasakh oleh hadith:
أَنَّهُ حُمِلَ إِلَيْهِ مَنْ شَرِبَهَا الرَّابِعَةَ فَلَمْ يَقْتُلْهُ
                  Sesungguhnya dibawa kepada Rasul orang yang minum khamr keempat kalinya, tetapi rasul tidak membunuhnya. Sabda Rasululah:

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنِ ادَّخَارِ لحُوُمِ اْلأَضَاحِي ِلأَجْلِ الدَّا فَةِ فَادَّخِرُوْهَا
            Dahulu aku melarang kalian menyimpan daging kurban karena ada golongan yang membutuhkan, maka sekarang simpanlah.

3.      Nasakh as-Sunnah Oleh al-Qur’an
       Menghadap Baitul Maqdis telah dinasakh al-Qur’an:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ وَإِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا يَعْمَلُونَ [البقرة :١٤٤]
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi al-kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 144)[4]


A.      Macam-Macam Nāsikh dalam al-Qur’an
Nāsikh dalam al-Qur’an ada tiga macam, yaitu:
1.      Penghapusan terhadap hukum dan bacaan. Ayat-ayat yang terbilang kategori ini tidak dibenarkan dibaca dan tidak dibenarkan diamalkan. Misalnya riwayat Bukha>ri dan Muslim, yaitu hadits ‘A<isyah ra.
كَانَ فِيْمَا أُنْزِلَ عَشَرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُوْمَاتِ يُحَرِّمْنَ فَنُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُوْمَاتٍ. فَتُوُفِّيَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم (وَهُنَّ مِمَّا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْأَنِ).
“Dahulu termasuk yang diturunkan (ayat al-Qur’an) adalah sepuluh isapan menyusu yang diketahui, kemudian dinasakh oleh lima (isapan menyusu)  yang diketahui.  Seteah Rasulullah wafat, hukum yang terakhir tetap dibaca sebagai bagian al-Qur’an.”
Maksudnya, mula-mula dua orang yang berlainan ibu sudah dianggap bersaudara apabila salah seorang di antara keduanya menyusu kepada ibu salah seorang di antara mereka sebanyak sepuluh isapan. Ketetapan sepuluh isapan kemudian dināsikh menjadi lima isapan. Ayat tentang sepuluh atau lima isapan dalam menyusu karena baik bacaannya maupun hukumnya telah dināsikh.[5]
2.      Penghapusan terhadap hukumnya saja, sedangkan bacaannya tetap ada. Misalnya ayat tentang mendahulukan sedekah:
يَاَيُّهَا الْذِيْنَ اَمَنُوْآ إِذَا نَجَيْتُمْ الرَّسُوْلَ فَثَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيَّ نَجْوَكُمْ صَدَقَةً ذَلِكَ خَيْرُ لَكُمْ وَاَطْهَرُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوْا فَإِنَّ اللهَ غَفُوْرُ رَّحِيْمٌ. [المجادلة :۱۲]
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul, hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu.  Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu  dan lebih bersih, jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedahkan) maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 12)[6]
Ayat  ini di- nāsikh oleh surat yang sama ayat: 13:
أَاَشْفَقْتُمْ  اَنْ تُقَدِّمُوْا بَيْنَ يَدَيَّ نَجْوَاكُمْ صَدَقَاتٍ فَاِذْ لَمْ تَفْعَلُوْا وَتَابَ اللهُ عَلَيْكُمْ فَاَقِيْمُوْا الصَّلَوةَ واَتُوْا الزَّكَوةَ وَاَطِيْعُوْا اللهَ وَرَسُوْلَهُ وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.
[المجادلة :۱۳]
“Apabila kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul? maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah telah memberi tobat kepadamu, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Allah dan Rasulnya, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. al-Muja>dalah [58]: 13).[7]
3.      Penghapusan terhadap bacaannya saja, sedangkan hukumnya tetap berlaku. Contoh ayat rajam, mula-mula ayat rajam ini terbilang ayat al-Qur’an. Ayat yang dinyatakan mansūkh bacaannya, sementara hukumnya tetap berlaku itu adalah:
إِذَا زَنَا الشَّيْخُ الشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهَمَا
 “Jika seorang pria tua dan wanita tua berzina, maka rajamlah keduanya”.
Cerita tentang ayat orang tua berzina di atas diturunkan berdasarkan riwayat Ubay bin Ka’ab bin Abu Umamah bin Sahl menurunkan bunyi yang bernada  mengenai ayat yang dianggap bacaannya mansūkh itu. Umamah mengatakan bahwa Rasulullah telah mengajarkan kami membaca ayat rajam:
الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ فَارْجُمُوْهُمَا البَتَةَ بِمَا قَضَيَا مِنَ الَّذَّةِ.
 “Seorang peria tua dan seorang wanita tua, rajamlah mereka lantaran apa yang mereka perbuat dalam bentuk kelezatan (zina).”[8]

B.       Dasar-dasar Penetapan Nāsikh dan Mansūkh
Manna>’ Al-Qat}t}an menetapkan tiga dasar untuk menegaskan bahwa suatu ayat dikatakan nāsikh (menghapus) ayat lain mansūkh (dihapus). Ketiga dasar adalah:
1.    Melalui pentransmisian yang jelas (an-naql al-sharih) dari Nabi atau para sahabatnya, seperti hadis yang artinya:Aku dulu melarang kalian berziarah kubur, sekarang berziarahlah.
2.    Melalui kesepakatan umat bahwa ayat ini nāsikh dan ayat itu mansūkh
3.    Melalui studi sejarah, mana ayat yang lebih belakang turun, sehingga disebut nāsikh, dan mana yang duluan turun, sehingga disebut mansūkh Al-Qat}t}an menambahkan bahwa nāsikh tidak bisa ditetapkan melalui prosedur ijtihad, pendapat ahli tafsir, karena adanya kontradiksi antara beberapa dalil bila dilihat dari lahirnya, atau belakangnya keislaman salah seorang dari pembawa riwayat.

C.      Pendapat Mengenai Ayat yang Dianggap Mansūkh
Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat-ayat Alquran yang dianggap mansūkh di antaranya menurut al Nahas (388 H) jumlah ayat yang dianggap mansūkh berjumlah 100 buah. Keseratus ayat Allah itu dianggap Al Nahas berlawanan dengan ayat-ayat lainnya. Setelah diteliti ternyata hukumnya tidak berlaku lagi. Akan tetapi, rupanya tak semua ulama setuju dengan vonis Nahas itu. Maka jauh kebelakang setelah Al Nahas, seorang ulama lain berasal dari provinsi Ashut} (karena dijuluki Al Suyut}iy) menghitung ulang ayat-ayat yang telah batal hukumnya itu.  Al Suyut}iy berusaha mengkompromikan ayat-ayat yang dipandang mansūkh dengan yang dianggap nāsikh. Kesimpulan Suyut}iy, ada 20 ayat yang terpaksa dinyatakan mansūkh.
Adapun pendapat lain yang datang dari Al Shaukaniy yang hidup sampai dengan tahun 1250 H melihat 12 ayat yang dianggap Suyut}i tak mungkin digabungkan ternyata olehnya bisa. Maka jadilah hitungan ayat mansūkh menurut Shaukaniy hanya 8 buah.[9]
Contoh :
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
 [البقرة: ۱۱۵ ]
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”.[10]
Ayat ini dianggap mansūkh. Menurut satu riwayat yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas, dikatakan bahwa nāsikh (yang me-nasakh)nya adalah:
ۚ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ.... [البقرة : ١٥٠ ]
“Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya”. [11]
Riwayat turunnya ayat 115 al-Baqarah – seperti dikisahkan Al Wah}idiy Al Nisaburiy dalam Asbab Al Nuzid wa Bihamishihi Al Na>sikh wa Al Mansūkh - demikian: “Setiap kali Nabi Muhammad mengerjakan salat, wajahnya menengadah ke langit dan berseru: “Wahai Jibril, sampai kapankah daku salat menghadap ke kiblat orang Yahudi.” Mendengar keluhan Rasulullah, Jibril hanya mampu berucap: “Aku hanyalah hamba yang diperintah. Tanyalah Tuhanmu.” Tiba-tiba saja turun ayat 115, al-Baqarah ini.
Berdasarkan asbabu Al nuzu>l, perubahan kiblat dari Bait Al Maqdis disebabkan kerisian Nabi, karena mengikuti kiblat orang Yahudi. Kerisian Nabi mendorong beliau mengadu kepada Jibril. Tapi sayang, Jibril tidak berdaya. Karena seperti diakui Jibril sendiri, dia hanyalah pesuruh. Keluhan Nabi Muhammad ini ditanggapi Allah dan turunlah ayat 150 surat al-Baqarah. Padahal bila diperiksa ayat Alquran sebelumnya jelas-jelas dinyatakan bahwa perubahan kiblat itu berdasar kehendak Allah dan semata-mata karena kemaslahatan yang hanya diketahui Allah dan perubahan itu bertujuan untuk menguji kadar kesetiaan pengikut Rasulullah.[12]


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
          Naskh adalah menghapus hukum syara’ dengan dalil/khitab syara’ yang lain. Naskh terdiri dari; adanya pernyataan yang menunjukkan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada nāsikh, harus ada mansūkh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam menghapus hukum shara’ tersebut ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yakni : Hukum yang mansūkh (dihapus) adalah hukum shara’, Dalil naskh harus datang lebih dulu daripada mansūkh, khitab yang mansūkh hukumnya tidak terikat dengan waktu. Dalam cakupannya naskh dibagi menjadi tiga, antara lain : Naskh quran dengan quran, naskh sunnah dengan sunnah, naskh sunnah dengan quran. Terdapat beberapa pendapat mengenai ayat yang mansūkh. Di antaranya, pendapat mengenai jumlah ayat dan ayat tersebut. al Nahas berpendapat jumlah ayat yang dimansūkh berjumlah 100 ayat. Suyuṭiy berpendapat terdapat 20 ayat, sedangkan Al Shaukaniy berpendapat 8 ayat.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Qat{t{an, Manna>’ Khali>l. Studi Ilmu-ilmu Quran. Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2014.
Anwar, Rosihon. Ulumu al-Quran. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Haris, Abdul . “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”. Tajdid, (2014), XIII: 205-206.
Hermawan, Acep.  Ulumul Quran untuk Memahami Wahyu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011.

[1] Abdul haris, “Nasikh dan Mansukh dalam Alquran”, Tajdid, Vol. XIII No. 1, Januari-Juni 2014, 205-206.
[2] Q. S. al-Baqarah (2) : 240.
[3] Q. S. al-Baqarah (2) : 234.
[4] Q. S. al-Baqarah (2) : 144.
[5]  Anwar Rosihon, Ulūm Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 175.
[6] Q. S. al-Mujaādalah (58) : 12.
[7] Ibid.,176.
[8] Ibid.,177.
[9] Acep Hermawan, ‘Ulūmul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), 182.
[10] Q. S. al-Baqarah (2) : 115.
[11] Q. S. al-Baqarah (2) : 150.
[12] Hermawan, Ulūmul Quran, 185.