MAKALAH FIQIH MUAMALAH JUAL BELI

 MAKALAH FIQIH MUAMALAH "JUAL BELI"

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Agama Islam mengatur setiap segi kehidupan umatnya. Mengatur hubungan seorang hamba dengan Tuhannya yang biasa disebut dengan muamalah ma’allah dan mengatur pula hubungan dengan sesamanya yang biasa disebut dengan muamalah ma’annas. Nah, hubungan dengan sesama inilah yang melahirkan suatu cabang ilmu dalam Islam yang dikenal dengan Fiqih muamalah. Aspek kajiannya adalah sesuatu yang berhubungan dengan muamalah atau hubungan antara umat satu dengan umat yang lainnya. Mulai dari jual beli, sewa menyewa, hutang piutang dan lain-lain.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup setiap hari, setiap muslim pasti melaksanakan suatu transaksi yang biasa disebut dengan jual beli. Si penjual menjual barangnya, dan si pembeli membelinya dengan menukarkan barang itu dengan sejumlah uang yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.Jika zaman dahulu transaksi ini dilakukan secara langsung dengan bertemunya kedua belah pihak, maka pada zaman sekarang jual beli sudah tidak terbatas pada satu ruang saja.Dengan kemajuan teknologi, dan maraknya penggunaan internet, kartu kredit, ATM, dan lain-lain sehingga kedua belah pihak dapat bertransaksi dengan lancar.

Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lainpun menjadi lebih teguh. Akan tetapi sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya; karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga pembantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.

Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit: (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya, (3) hilang kesopanannya,”

Sebenarnya bagaimana pengertian jual beli menurut Fiqih muamalah?Apa saja syaratnya? Lalu apakah jual beli yang dipraktekkan pada zaman sekarang sah menurut fiqih muamalah? Tentu ini akan menjadi pambahasan yang menarik untuk dibahas.


1.2.RumusanMasalah

Dari beberapa uraian diatas tentang Ba’i atau jual beli yang sebagian telah dipaparkan, maka beberapa pertanyaan yang perlunya untuk di jawab agar tidak ada keraguan lagi.

1.      Apa yang Dimaksud dengan Jual Beli ?

2.      Bagaimana Hukum Jual beli ?

3.      Apa Saja Rukun-rukun dan Syarat-syarat Jual Beli ?

4.      Sebutkan Macam-macam Jual Beli ?

5.      Apa Saja Jual Beli yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama ?


1.3.TujuanPenulisan

Dari beberapa uraian rumusan masalah diatas, maka dapat di spesifikan beberapa tujuan penulis menyusun makalah ini, diantaranya :

1.        Mahasiswa dapat memahami ruang lingkup jual beli dalam Fiqih Muamalah.

2.        Untuk memperdalam materi jual beli agar bisa menerapkan keluar.

3.        Memenuhi tugas mata kuliah Fiqih Muamalah







BAB II

PEMBAHASAN


2.1. Pengertian Jual Beli

Arti jual beli secara bahasa adalah menukar sesuatu dengan sesuatu. Jual beli menurut syara’ adalah akad tukar menukar harta dengan harta yang lain melalui tata cara yang telah ditentukan oleh hukum islam. Yang dimaksud kata “harta” adalah terdiri dari dua macam. Pertama; harta yang berupa barang, misalnya buku, rumah, mobil dll. Kedua; harta yang berupa manfaat (jasa), misalnya pulsa telephone, pulsa listrik, dan lain-lain.

Sedangkan menurut istilah, yang dimaksud jual beli adalah :

    a. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari        yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan;

b.      Menurut Syekh Muhammad ibn Qasim Al-Ghazzi : Pengertian jual beli yang tepat ialah, memiliki suatu harta (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara, sekedar memiliki izin manfaatnya saja yang diperbolehkan syara untuk selamanya yang demikian itu harus dengan melalui pembayaran yang berupa uang;

c.       Menurut Imam Taqiyuddin dalam kitab Kiffayatul al-Akhyar : Pengertian jual beli adalah, saling tukar harta, saling menerima, dapat dikelola (tasharruf) dengan ijab qobul, dengan apa yang sesuai dengan syara;

d.      Menurut Syekh Zakaria al-Anshari dalam kitabnya, Fath al-Wahab: Pengertian jual beli adalah, Tukar menukar benda lain dengan cara yang khusus (dibolehkan);

e.       Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah : Pengertian jual beli adalah, penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya melalui jalan (cara) yang diperbolehkan;

f.       Ada sebagian ulama memberikan pemaknaan tentang julan beli (ba’i) diantaranya; Ulama Hanafiyah “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta (benda) berdasarkan cara khusus (yang diperbolehkan) syara’ yang disepakati”. Menurut Imam Nawawi dalam al-majmu’ mengatakan “Jual beli adalah pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan”. Menukar barang dengan barang atau barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik atas dasar saling merelakan.


2.2. Landasan Hukum Jual Beli

Dasar hukum (landasan syara’) jual beli adalah sebagai berikut :

   a.      Dasar Al-Qur’an









Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memiliki harta sesamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama suka diantara kamu ......... (QS AN-Nisa: 29)

   b.      Al-Hadits:

 “Dari Rifa'ah ibn Rafi 'RA. Nabi Muhammad SAW., Ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, 'Seseorang yang bekerja dengan membantu dan setiap jual beli yang mabrur'. ” (HR. Bazzar, hakim menyahihkannya dari Rifa'ah ibn Rafi ')

Maksud Mabrur dalam kasus diatas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu-menipu, dan merugikan orang lain.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut diatas maka hukum dari jual beli adalah halal atau boleh.

  

   c.       Ijma '

Ulama telah sepakat bahwa jual-beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.


d.      Hukum-hukum yang menangani paut dengan jual beli:

1.      Mubah (boleh), adalah asal hukum jual beli;

2.      Wajib, seperti wali menjual harta anak yatim udah, begitu juga qadhi menjua harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya kepada hartanya) orang yang akan datang keterangannya tentang muflis;

3.      Haram, cinta yang telah lalu apa-apa jual beli yang terlarang;

4.      Sunat, seperti jual beli kepada sahabat atau pamili yang dikasihi, dan kepada orang yang sangat berhajat kepada barang itu.


2.3. Syarat dan Rukun Jual Beli

2.3.1. Syarat Jual Beli

Syarat adalah hal-hal yang harus ada atau dipenuhi sebelum transaksi jual beli

1)      Syarat Penjual dan Pembeli atau pihak yang bertransaksi (Aqid) adalah :

a.       Berakal, agar dia tidak terkecoh, orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.

b.      Dengan kehendak sendiri (bukan dipaksa), keterangannya yaitu ayat diatas tentang suka sama suka.

c.       Tidak mubazir (pemboros), sebab harta orang mubazir itu di tangan walinya, sedangkan dalam jual beli itu harus barang milik sendiri.

d.      Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa), anak kecil tidak sah jual belinya, adapun anak yang sudah mengerti tetapi belum sampai pada umur dewasa, menurut pendapat sebagian para ulama mereka diperbolehkan berjual-beli barang yang kecil-kecil; karena kalau tidak diperbolehkan sudah tentu menjadi kesulitan dan kesukaran, sedangkan agama islam sekali-kali tidak akan menetapkan peraturan yang mendatangkan kesulitan kepada pemeluknya.


2)      Syarat Barang yang diperjual-belikan atau objek jual beli (Ma’qud Alaih)

a.         Suci, barang najis tidak sah di jual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan, seperti kulit binatang atau bangkai yang belum disamak (dikuliti).

b.        Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dilarang pula mengambil tukarannya karena hal itu termasuk dalam arti menyia-nyiakan (memboroskan) harta yang terlarang.

c.         Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli, misalnya ikan dalam laut, barang rampasan yang masih berada di tangan yang merampasnya, barang yang sedang dijaminkan, sebab semua itu mengandung tipu daya (kecohan).

d.        Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.

e.         Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kada (ukuran) dan sifat-sifatnya jelas, sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh.


3)      Syarat ucapan serah terima (Ijab dan Kabul)

Ijab kabul dapat dilakukan dengan kata-kata penyerahan dan penerimaan atau dapat juga berbentuk tulisan seperti faktur, kuitansi, atau nota dan lain sebagainya.

Ijab adalah perkataan penjual, umpanya, “saya jual barang ini sekian”.

Kabul adalah ucapan si pembeli, “Saya terima (saya beli) dengan harga sekian.” Keterangannya yaitu ayat yang mengatakan bahwa jual beli itu suka sama suka.

Sedangkan suka sama suka itu tidak dapat diketahui dengan jelas kecuali dengan perkataan, karena perasaan suka itu bergantung pada hati masing-masing. Ini pendapat kebanyakan para ulama. Tetapi Imam Nawawi, Mutawali, Bagawi dan beberapa ulama yang berpendapat bahwa lafaz itu tidak menjadi rukun, hanya menurut adat kebiasaan saja. Apabila menurut telah berlaku bahwa hal yang seperti itu sudah dipandang sebagai jual beli, maka itu saja sudah cukup karena tidak ada suatu dalil yang jelas untuk mewajibkan lafaz.

Menurut ulama yang mewajibkan lafaz, lafaz itu diwajibkan memenuhi beberapa syarat :

a)        Keadaan ijab dan kabul berhubungan. Artinya salah satu dari keduanya pantas menjadi jawaban dari yang lain dan belum berselang lama.

b)        Makna keduanya hendaklah mufakat (sama) walau lafaz keduanya berlainan.

c)        Keduanya tidak disangkutkan dengan urusan yang lain, seperti katanya “Kalau saya jadi pergi, saya jual barang ini sekian.”

d)       Tidak berwaktu, sebab jual beli berwaktu seperti sebulan atau setahun, tidak sah.


2.3.2. Rukun Jual Beli

Rukun adalah hal-hal yang harus ada dan terpenuhi dalam pelaksanaan transaksi jual beli, Rukun jual beli ada 3 :

1.      Aqid (Pihak yang bertransaksi)

2.      Ma’qud Alaih mencakup barang yang jual dan harganya

3.      Sighat Ijab Kabul (ucapan serah terima dari penjual dan pembeli)


2.3.3. Hukum (Ketetapan) Ba’i Beserta Pembahasan Barang dan Harga

1.    Hukum (Ketetapan) Akad

Hukum akad adalah tujuan dari akad. Dalam jual beli, ketetapan akad adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau uang sebagai milik penjual.

Secara mutlak hukum akad dibagi tiga bagian :

a.       Dimaksudkan sebagai taklif, yang berkaitan dengan wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah.

b.      Dimaksudkan sesuai dengan sifat-sifat syara’ dan perbuatan, yaitu : sah, luzum, dan tidak luzum, seperti pernyataan, “akad yang sesuai dengan rukun dan syaratnya disebut sahih lazim.”

c.       Dimaksudkan sebagai dampak tasharruf syara’, seperti wasiat yang memenuhi ketentuan syara’ berdampak pada beberapa ketentuan, baik bagi orang yang diberi wasiat, maupun bagi orang atau benda yang diwasiatkan.

Hukum atau ketetapan yang dimaksud pada pembahasan akad jual-beli ini, yakni menetapkan barang milik pembeli dan menetapkan uang milik penjual.

Hak-hak akad (huquq al-aqd) adalah aktifitas yang harus dikerjakan sehingga menghasilkan hukum akad, seperti menyerahkan barang yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan barang yang cacat, khiyar, dan lain-lain.

Adapun hak jual-beli yang mengikuti hukum adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan barang yang dibeli, yang meliputi berbagai hak yang harus ada dari benda tersebut yang disebut pengiring (murafiq). Kaidah umum dari masalah ini misalnya : segala sesutau yang berkaitan dengan rumah adalah termasuk pintu, jendela, WC, dapur dan lain-lain, walaupun tidak disebutkan ketika akad, kecuali jika ada pengecualian.


2.    Tsaman (harga) dan Mabi’ (Barang Jualan)

a.       Pengertian harga dan mabi’

Secara umum, mabi’ adalah “ma yata’ayyanu bitt ta’yiinn” (perkara yang menjadi tentu dengan ditentukan”. Sedangkan pengertian harga secara umum adalah “ma laa yata’ayyanu bitt ta’yiinn” (perkkara yang tidak tentu dengan ditentukan).

Definisi diatas sebenarnya sangat umum sebab sangat bergantung pada bentuk dan barang yang diperjualbelikan. Adakalanya mabi’tidak memerlukan penentuan, sebaliknya harga memerlukan penentuan, seperti penetapan uang muka.

Imam syafi’i dan jafar berpendapat bahwa harga dan mabi’ termasuk dua nama yang berbeda bentuknya, tetapi maksudnya satu perbedaan diantara keduanya dalam hukum adalah penggunaan huruf Ba (dengan).

b.      Penentuan mabi’ (barang jualan)

Penentuan Mabi’ adalah penentuan barang yang akan dijual dari barang-barang lainnya yang tidak akan dijual. Jika penentuan tersebut menolong atau menentukan akad, baik pada jual beli yang barangnya ada di tempat akad atau tidak apabila mabi’ tidak ditentukan dalam akad, penentuannya adalah dengan cara penyerahan mabi’ tersebut.

c.       Perbedaan Harga, Nilai, dan Utang

1.      Harga

Harga hanya terjadi pada akad, yakni sesuatu yang direlakan dalam akad, baik lebih sedikit, lebih besar, atau sama dengan nilai barang. Biasanya harga dijadikan penukar barang yang diridai oleh kedua pihak yang berakad.

2.      Nilai Sesuatu

Sesuatu yang dinilai sama menurut pandangan manusia.

3.      Utang

Utang adalah sesuatu yang menjadi tanggungan seseorang dalam urusan harta, yang keberadaannya disebabkan adanya beberapa iltijam, yakni keharusan untuk mengerjakan atau tidak untuk mengerjakan sesuatu untuk orang lain, seperti merusak harta ghasab, berutang, dan lain lain.

d.      Perbedaan Mabi’ dan Harga

Kaidah umum tentang mabi’ dan harga adalah segala sesuatu yang dijadikan mabi’ adalah sah dijadikan harga, tetapi tidak semua harga dapat dijadikan mabi’



Diantara perbedaan antara mabi’ dan Tsaman adalah :

1.      Secara umum uang adalah harga, sedangkan barang yang dijual adalah mabi’;

2.      Jika tidak menggunakan uang, barang yang akan ditukarkan adalah mabi’ dan penukarnya adalah harga.

e.       Ketetapan Mabi’ dan Harga

Hukum-hukum yang berkaitan dengan mabi’ dan harga antara lain :

1.      Mabi disyaratkan haruslah harta yang bermanfaat, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.

2.      Mabi’ disyaratkan harus ada dalam kepemilikan penjual, sedangkan harga tidak disyaratkan demikian.

3.      Tidak boleh mendahulukan harga pada jual-beli pesanan, sebaliknya mabi’ harus di dahulukan.

4.      Orang yang bertanggung jawab atas harga adalah pembeli sedangkan yang bertanggung jawab atas mabi’ adalah penjual.

5.      Menurut ulama Hanafiyah, akad tanpa menyebutkan harga adalah fasid dan akad tanpa menyebutkan mabi’ adalah batal.

6.      Mabi’ rusak sebelum penyerahan adalah batal, sedangkan bila harga rusak sebelum penyerahan, tidak batal.

7.      Tidak boleh tasharruf atas barang yang belum diterimanya, tetapi dibolehkan bagi penjual untuk tasharruf sebelum menerima.


2.4. Macam-Macam Jual Beli

1.      Bai’ Sohihah

Yaitu akad jual beli yang telah memenuhi syarat dan rukunnya.

2.      Bai Fasidah

Yaitu akad jual yang tidak memenuhi salah satu atau seluruh syarat dan rukunnya .

a.       Macam-macam Bai’ Sohihah

1.      Jual beli barang yang terlihat secara jelas dan ada ditempat terjadinya transaksi.

2.      Jual beli barang yang pesanan yang lazim dikenal dengan istilah dengan akad salam.

3.      Jual beli mas atau perak, baik sejenis atau tidak (bai’ sharf).

4.      Jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan ditambah keuntungan (bai murabahah).

5.      Jual beli barang secara kerja sama atau serikat (bai isyrak).

6.      Jual beli barang dengan cara penjual memberi diskon kepada pembeli (bai muhatah).

7.      Jual beli barang dengan harga pokok, tanpa ada keuntungan (bai’ tauliyah).

8.      Jual beli hewan dengan hewan (bai muqabadah).

9.      Jual beli barang dengan syarat khiyar, yaitu perjanjian yang telah disepakati antara penjual dan pembeli, untuk mengembalikan barang yang diperjual belikan, jika tidak ada kecocokan didalam masa yang telah disepakati oleh keduanya.

10.  Jual beli barang dengan syarat tidak ada cacat (bai bisyarti al baro)

b.      Macam-macam bai’ fasidah (terlarang)

Jual beli terlarang artinya jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, yaitu :

1.      Jual Beli Sistem Ijon

Maksud dari jual beli sistem Ijon adalah jual beli hasil tanaman yang masih nyata buahnya, ada isinya, ada buahnya, seperti jual beli padi masih muda, jual beli mangga masih berwujud bunga, semua kemungkinan besar masih bisa rusak yang belum dapat merugikan kedua belah pihak. Rasulullah saw bersabda: “Dari Ibnu Umar, Nabi Muhammad SAW, telah melarang jual beli buah-buahan sehingga nyata sehat buah itu (pantas untuk diambil dan dipetik buahnya)” HR. Bukhori dan Muslim.

2.      Jual beli barang haram

Jual beli barang yang diharamkan hukumnya tidak sah atau dilarang serta karena haram hukumnya. Seperti jual beli minuman keras ( khamr ), bangkai, darah, daging babi, patung berhala dan lain sebagainya.

3.      Jual beli sperma hewan

Jual beli sperma hewan tidak sah, karena sperma tidak dapat diketahui kadarnya dan tidak dapat diterima wujudnya, rasulullah saw, bersabda: “rasulullah saw, telah membatalkan jual beli kelebihan air (sperma)” (HR Muslim)

4.      Jual beli anak binatang yang masih ada dalam kandungan induknya

Hal ini dilarang karena belum jelas kemungkinannya ketika lahir hidup atau mati. Rasulullah saw, bersabda: “sebenarnya rasulullah saw, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan induknya” (HR Bukhori dan Muslim)

5.      Jual beli barang yang belum dimiliki

Maksudnya adalah jual beli yang barangnya belum diterima dan masih berada di tangan penjual pertama. Rasulullah saw, bersabda: “nabi Muhammad saw, telah bersabda janganlah engkau menjual sesuatu yang baru saja engkau beli, sehingga engkau menerima (memegang) barang itu” (HR. Ahmad dan Baihaqi)

6.      Jual beli barang yang belum jelas

Menjual buah-buahan yang belum nyata buahnya, sabda nabi Muhammad saw, dari Ibnu Umar Ra: “Nabi Muhammad saw, telah menjual buah-buahan yang tidak tampak manfaatnya” (HR. Muttafaq Alaih)


3.      Jual beli berdasarkan pertukarannya secara umum dibagi empat macam:

Sebuah.       Jual beli saham (pesanan)

Jual beli saham adalah jual-beli melalui pesanan, yakni jual beli dengan cara menyerahkan terlebih dahulu uang muka kemudian barangnya diantar belakangan.

b.      Jual-beli muqayadhah (barter)

Jual beli muqayadhah adalah jual beli dengan cara menukar barang dengan barang, seperti menukar baju dengan sepatu.

c.       Jual beli muthlaq

Jual beli muthlaq adalah jual beli barang dengan sesuatu yang telah disepakati sebagai alat pertukaran, seperti uang.

d.      Jual beli alat penukar dengan alat penukar

Jual beli alat penukar dengan alat penukar adalah jual beli barang yang biasa dipakai sebagai alat penukar dengan alat penukar lainnya, seperti uang perak dengan uang emas.


4.      Berdasarkan segi harga, jual beli dibagi pula menjadi empat bagian:

1.      Jual beli yang menguntungkan (al-murabbahah), 

2.      Jual beli yang tidak menguntungkan, yaitu menjual dengan harga pinjaman (at-tauliyah),

3.      Jual beli rugi (al-khasarah)

4.      Jual beli al-musawah, yaitu penjual yang sangat hati-hati, tetapi kedua orang yang akad saling meridai, jual beli seperti inilah yang berkembang sekarang.


2.5. Jual Beli Yang Sah Hukumnya, Tetapi Dilarang Agama

Jual beli ini hukumnya sah, tetapi dilarang oleh agama karena adanya suatu sebab atau akibat dari perbuatan tersebut, yaitu:

Sebuah.       Jual beli pada saat Khutbah dan shalat jum'at

Larangan melakukan kegiatan jual beli pada saat khutbah dan shalat jum'at ini tentu bagi laki-laki muslim, karena pada waktu itu setiap muslim laki-laki wajib melaksanakan shalat jum'at, Allah swt, berfirman:


 



“Hai orang-orang yang beriman, tap diserukan untuk menunaikan shalat, maka bersegeralah kamu untuk mengingat Allah, dan tinggalkanlah jual beli, yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu melihat” (QS Al-Jum'ah: 9)

b.      Jual beli dengan cara menghadang di jalan sebelum sampai ke pasar

Jual beli seperti ini, penjual tidak melihat harga pasar yang sebenarnya, dengan tujuan barang akan dibeli dengan harga yang serendah-rendahnya, selanjutnya akan dijual di pasar dengan harga sedang-tingginya. Rasulullah saw, bersabda: “janganlah kamu menghambat orang-orang yang akan pasar” (HR Bukhori dan Muslim).

c.       Jual beli dengan niat menimbun barang

Jual beli ini tidak terpuji, karena itu dilarang, karena pada saat orang banyak yang membutuhkan ia justru menimbun dan akan dijual dengan harga yang panas pada saat barang-barang yang ia timbun langka.

d.      Jual beli dengan cara mengurangi ukuran dan timbangan

Contoh jual beli mengurangi ukuran dan timbangan adalah apabila ia bermaksud menipu, ia menjual minyak tanah dengan mengatakan satu liter ternyata tidak ada satu liter, menjual beras 1 kg, ternyata setelah ditimbang hanya 8 ons dan sebagainya.

e.       Jual beli dengan cara mengecoh

Jual beli ini termasuk menipu sehingga dilarang, misalnya penjual mangga meletakkan mangga yang bagus-bagus diatas onggokan, sedangkan yang jelek-jelek ditempatkan dibawah onggokan. 

f.       Jual beli barang yang masih di tawar orang lain

Jika masih terjadi tawar antara penjual dan pembeli yang penjualnya penjual tidak menjual barang tersebut kepada orang lain, ada seseorang akan membeli suatu barang makanya tidak ikut membeli suatu barang yang sedang ditawar oleh orang lain, kecuali sudah tidak ada kepastian dari orang tersebut atau sudah membatalkan belinya.





BAB III

PENUTUP


3.1.  Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa jual beli itu diizinkan dalam Islam.Hal ini karena jual beli adalah sarana manusia dalam mencukupi kebutuhan mereka, dan menjalin silaturahmi antara mereka.Namun demikian, tidak semua jual beli diizinkan.Ada juga jual beli yang dilarang karena tidak memenuhi rukun atau syarat jual beli yang sudah disyariatkan. Rukun jual beli adalah adanya akad (ijab kabul), subjek akad dan objek yang kesemuanya mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi, dan itu semua telah menyatakan di atas.Walaupun banyak perbedaan pendapat dari kalangan ulama dalam menentukan rukun dan syarat jual beli, namun pada intinya terdapat topik, yang berbeda hanyalah perumusannya saja, tetapi inti dari rukun dan syaratnya hampir sama.

Bagi umat Islam yang melakukan bisnis dan selalu berpegang teguh pada norma-norma hukum islam, akan mendapat berbagai hikmah diantaranya; (a) bahwa jual beli (bisnis) dalam islam dapat bernilai sosial atau tolong menolong sesama sesama, akan menumbuhkan berbagai pahala, (b) bisnis dalam islam merupakan salah satu cara untuk menjaga kebersihan dan halalnya harta yang dimakan untuk dirinya dan keluarganya, (c ) bisnis dalam islam merupakan cara untuk memberantas kemalasan, pengangguran dan pemerasan kepada orang lain, (d) berbisnis dengan jujur, sabar, ramah, memberikan pelayanan yang memuaskan karyawan dalam islam akan selalu menjalin persahabatan dengan sesama manusia.


3.2.  Saran

Jual beli merupakan kegiatan yang sering dilakukan oleh setiap manusia, namun pada zaman sekarang manusia tidak menghiraukan hukum islam. Oleh karena itu, sering terjadi penipuan dimana-mana. Untuk menjaga perdamaian dan ketertiban sebaiknya kita berhati-hati dalam bertransaksi dan alangkah baik menerapkan hukum islam dalam interaksinya.

Allah SWT telah berfirman bahwasannya Allah mengizinkan jual beli dan mengharamkan riba.Maka dari itu, jauhilah riba dan jangan sampai kita melakukun riba. Karena sebenarnya riba dapat merugikan orang lain.




DAFTAR PUSTAKA


Syafe'i, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv. Pustaka setia.

Rasjid, Sulaiman. 1994. Fiqh Islam, Bandung: PT. Sinar Baru Algensindo.

Syafe'i, Nurdin. 2016. Buku Siswa Fiqih Madrasah Tsanawiyah Kelas IX.

Jakarta: Kementerian Agama Republik Indonesia.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung.

S. Shobirin. (2016). “Jual Beli dalam Pandangan Islam”. [on line]. Tersedia:

journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1494/1372.







Artikel Terkait