MAKALAH PERKEMBANGAN POLA PENDIDIKAN PADA PERIODE DINASTI UAMYYAH

BAB I

PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah

Sejarah pendidikan Islam sangat erat kaitannya dengan perkembangan Islam pada masa-masa sejarah perkembangan Islam tersebut, dan tiap periode berbeda yang tergantung pada keadaan itu. Secara garis besarnya sejarah Islam terbagi ke dalam tiga periode yaitu; klasik, pertengahan dan modern.


Dengan berakhirnya kekuasaan khalifah Ali ibn Abi Tholib, maka lahirlah kekuasaan dinasti bani Umayyah. Pada periode Ali dan kholifah sebelumnya, pola keteladanan masih mengikuti teladan Nabi. Para kholifah dipilih melalui proses musyawarah dan jika ada kesulitan, langsung mengadadakan musyawarah dengan para pembesar untuk menyelesaikannya.


Hal ini jauh berbeda dengan masa sesudah khulafaur rasyidin atau masa dinasti-dinasti yang berkembang sesudahnya, yang dimulai dari dinasti Umayyah. Adapun bentuk pemerintahannya berbentuk kerajaan, kekuasaan bersifat feodal, atau turun-temurun.


Umayyah berkuasa kurang lebih selama 91 tahun. Reformasi cukup banyak terjadi, terkait pada bidang pengembangan dan kemajuan pendidikan Islam. Perkembangan ilmu tidak hanya dalam bidang agama saja melainkan juga dalam aspek teknologi. Sementara sistem pendidikan masih sama ketika masa Rasul dan khulafau rrasyidin, yaitu kuttab yang pelaksanaanya berpusat di masjid. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menggambarkan tentang pola pendidikan Islam pada periode Dinasti Umayyah.


B. Rumusan Masalah


Bagaimanakah pengambi alih kekuasaan dan pembentukan dinasti Umayyah?

Apakah kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa dinasti Umayyah?

Bagaimanakah pola pendidikan dan bentuk-bentuk pendidikan dinasti Umayyah?

C. Tujuan


Untuk mengetahui pengambi alih kekuasaan dan pembentukan dinasti Umayyah.

Untuk mengetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa dinasti Umayyah.

Untuk mengetahui pola pendidikan dan bentuk-bentuk pendidikan dinasti Umayyah.

D. Manfaat


Dapat menegtahui pengambi alih kekuasaan dan pembentukan dinasti Umayyah.

Dapat menegetahui kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa dinasti Umayyah.

Dapat mengetahui pola pendidikan dan bentuk-bentuk pendidikan dinasti Umayyah.

E. Metodologi Penulisan


Dalam pembuatan makalah ini bisa menggunakan beberapa metodologi penulisan, salah satu yang digunakan penulis ialah, metode collection yakni dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan media pembelajaran seperti dari buku-buku.



BAB II

PEMBAHASAN


A. PENGAMBIL ALIH KEKUASAAN DAN PEMBENTUKAN DINASTI UMAYYAH


Pengambil Alih Kekuasaan

Implementasi (dampak) dari terjadinya Perang Siffin terhadap pergulatan dunia dalam Islam menimbulkan polemik antara Ali ibn Abi Thalib dengan Muawiyah. Padahal jika ditinjau dari garis keturunan, keduanya masih pada satu garis keturunan, yaitu bertemu pada satu garis keturunan Abdu Manaf.[1]


Pengikut Ali yang ingkar dinamakan dengan golongan khawarij, golongan ini dianggap sebagai sekte yang pertama dalam Islam. golongan ini menyetujui adanya tahkim serta menyatakan keluar dari golongan Ali. Anggapan mereka tahkim itu sendiri juga penyimpang, karena sudah tidak sesuai lagi dengan semboyan “La hukma illa lillah” (tiada hukum selain hukum Allah).


Adapun pengikut yang meningkari Ali ibn Abi Thalib yang disebut dengan golongan khawarij merencanakan pembunuhan terhadap Ali ibn Abi Thalib, Muawiyah ibn Abi Sofyan, dan Amr ibn ‘Ash.


Mereka adalah Abd. ar-Rahman ibn Muljam yang berangkat ke Kuffah untuk mebunuh Ali, Al Baraq ibn Abdillah at-Tamimi berangkat ke Syam untuk membunuh Muawiyah, ‘Amr ibn Bakr at-Tamimi berangkat ke Mesir untuk membunuh ‘Amr ibn ‘Ash. Menurut mereka, ketiga orang tersebut yang menjadi penyebab terjadinya perpecahan di kalangan umat Islam.[2]


Di antara tiga tokoh yang direncanakan tersebut hanya Ali ibn Abi Thalib yang berhasil dibunuh oleh Abd. ar-Rahman ibn Muljam. Muljam menusukkan pedangnya tatkala Ali memanggil orang untuk melakukan shalat. Orang dalam masjid tersebut berhasil mengangkap Abd. ar-Rahman ibn Muljam, dan setelah wafatnya Ali kemudian Abd. ar-Rahman ibn Muljam dibunuh. Sementara Muawiyah hanya tertikam saja dan ‘Amr ibn ‘Ash ketika hendak dibunuh ia dalam keadaan sakit. Kedudukannya sebagai imam shalat subuh ketika itu digantikan oleh Kharijah ibn Habib as-Suhami yang disangka oleh ‘Amr ibn Bakr sebagai ‘Amr ibn ‘Ash.[3]


Setelah wafatnya khalifah Ali ibn Abi Thalib, maka berakhirlah kepemimpinan khulafaur rasyidin. Pada saat itu masyarakat Arab, Irak, dan Iran mengangkat Hasan ibn Ali untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Pada awalnya Hasan menolak karena ia menuntut balas atas kematian ayahnya, akan tetapi Qois ibn Abbas malarang Hasan. Akhirnya Hasan dibaiat Qois ibn Saad dan diikuti oleh masyarakat Irak.


Pembaiatan Hasan tidak bisa menyatukan umat, karena polemik dengan Muawiyah belum selesai. Pihak Muawiyah semakin kuat, beberapa hari setelah pengangkatan Hasan, Muawiyah mengirim tentara untuk menyerang Irak. Hal ini diketahui oleh Hasan, maka ia mengirim Qaish ibn Saad untuk melawan pasukan Muawiyah.[4]


Demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar di kalangan umat Islam, maka Hasan ibn Ali bersedia mengundurkan diri dengan beberapa syarat kepada Muawiyah, antara lain:


Agar Muawiyah tidak meneruh dendam terhadap seseorang pun terhadap Irak.

Agar pajak tanah negeri Ahwaz diberikan kepada Hasan setiap tahun.

Muawiyah membayar kepada saudara Husain sebanyak dua juta dirham.

Menjamin keamanan dan memaafkan kesalalahn penduduk Irak.

Pemberian kepada bani Hasyim haruslah lebih banyak dari pada bani Abdu Syam.

Jabatan khalifah setelah Muawiyah harus diputuskan berdasarkan musyawarah di antara kaum muslimin.[5]

Dengan demikian, Muawiyah menjadi penguasa di seluruh wilayah kedaulatan pemerintahan Islam. ini terjadi pada tanggal 25 Rabiul Tsani 41 H. Muawiyah sampai di Kuffah untuk mengambil baiat dari kaum muslimin yang disaksikan oleh Hasan dan Husain. Peristiwa ini disebut dengan ‘Am al Jama’ah yang artinya tahun persatuan.


Pembentukan Dinasti Umayyah

Muawiyah adalah pendiri dinasti Umayyah, ia merupakan putra dari Abu Sufyan Ibn Umayyah ibn Abdu Syam ibn Abd Manaf. Ibunya adalah Hindun binti Utbah ibn Rabiah ibn Abd Syam ibn Abd Manaf. Sebagai keturunan Abdu manaf, muawiyyah mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW. Ia masuk Islam pada hari penaklukan kota Mekkah (Fathul Makkah). Ketika itu ia berumur 23 tahun.[6]


Rasulullah ingin sekali mendekati keluarga para pemimpin keluarga ternama yang masuk Islam utnuk memberikan perhatian terhadap mereka Islam yang terjamin dan ajarannya tertanam pada hati mereka, salah satunya pada Muawiyah. Muawiyah juga pernah diangkat menjadi anggota sidang penulis hadits.[7]


Pada masa Abu Bakar, Muawiyah dikirim untuk memimpin tentara untuk membantu Yazid di Syam. Selain itu ia juga memimpin laskar Islam dalam penaklukan kota Sindon, Beirut, dan lainnya yang terletak di dekat pantai Damaskus. Ketika Yazid meninggal, khalifah Umar menggabungkan daerah Damsyik dalam wilayah kekuasaan Muawiyah, dengan alasan mempunyai kepribadian yang kuat, jujur, serta ahli dalam bidang politik. Dan pada masa Usman, semua daerah kekuasaan diserahkan kepada Muawiyah.[8]


Dari hal tersebut, Muawiyah dikenal dengan gaya kepemiminan yang kuat, menjadi landasan kepemimpinan, politikus, serta profesional dalam mengatur adaministrasi pemerintahan.


Dinasti Umayyah berkuasa selama 91 tahun (41-132 H atau 661-750 M), dengan empat belas khalifah, antara lain:[9]


Mu’awiyah ibnu Abi Sufyan (661-681 M).

Yazid ibn Mu’awiyah (681-683 M).

Mua’wiyah ibnu Yazid (683-685 M).

Marwan ibnu Hakam (684-685M).

Abdul Malik ibn Marwan (685-705 M).

Al-Walid ibnu Abdul Malik (705-715 M).

Sulaiman ibnu Abdul Malik (715-717 M).

Umar ibnu Abdul Aziz (717-720 M).

Yazid ibnu Abdul Malik (720-824 M).

Hisyam ibnu Abdul Malik (724-743 M).

Walid ibn Yazid (734-744 M).

Yazid ibn Walid (Yazid III) (744 M).

Ibrahim ibn Malik (744 M).

Marwan ibn Muhammad (745-750 M).

Adapun khalifah Bani Umayyah yang tergolong menonjol adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (661-680 M), Abd al-Malik ibn Marwan(685-705 M), al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M), Umar ibn Abd al-Aziz(717-720 M), dan Hisyam ibn Abd al-Maalik (724-743 M).


Pada awalnya pemerintahan Umayyah bersifat demokrasi lalu berubah menjadi kerajaan atau feodal. Pusat pemerintahannya bertempat di Damaskus.


B. KEMAJUAN YANG DICAPAI DINSTI UMAYYAH


Kemajauan Bidang Politik

Masa kekhalifahan Bani Umayyah selain banyak diisi dengan program-program besar, mendasar, dan strategis, juga banyak melahirkan golongan dan aliran dalam Islam, serta perkembangan ilmu agama, ilmu umum, kebudayaan, dan peradaban.[10]


Di antara program besar, mendasar dan strategis di zaman Bani Umyyah adalah perluasan wilayah Islam. Di zaman Muawiyah Tunisa dapat ditaklukan. Di sebelah Timur, Muawiyah dapat menguasai daerah Khurasan sampai ke sungai Axus dan Afghanistan hingga ke Kabul. Angkatan lautnya melakukan serangan-serangan ke ibu kota Bizantium dan Konstantinopel. Ekspansi ke timur yang dilakukan Muawiyah kemudian dilanjutkan oleh Khalifah Abd al-Malik. Dia mengirim tentara menyeberangi sungai Oxus dan berhasil menundukan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Ferghana, dan Samarkand. Tentaranya bahkan sampai ke India dan dapat menguasai Balukhistan, Sind, dan daerah Punyab sampai ke Maltan.


Selanjutnya ekspensi secara besar-besaran dilanjutkan pada zaman al-Walid bin Abdul Malik. Sejarah mencatat bahwa masa pemerintahan al-Malik adalah masa ketentraman, kemakmuran, kertiban, dan kebahagiaan.[11] Pada masa pemerintahan yang berlangsung lebih kurang 10 tahun itu tercatat suatu ekpedisi militer dari Afrika Utara menuju wilayah Barat Daya, Benua Eropa yaitu pada tahun 711 M. Setelah al-Jazair dan Maroko dapat ditundukan Tariq bin Ziyad pemimpin pasukan islam menyebrangi selat yang memisahkan antara Maroko dengan benua Erofa, dan mendarat disuatu tempat yang sekarang dikenal dengan Gibraltal. Tentara Spanyol dapat dikalahkan dan dengan demikian ibu kota Spanyol Kordofa dengan cepat dapat dikuasai begitu juga dengan kota-kota lain seperti Seville, Elvira dan Toledo. Di zaman Umar bin Abd Al-Aziz, perluasan wilayah dilanjutkan ke Perancis melalui pegunungan Piranee, dibawah Komandan Abd al-Rahman Ibn Abdullah al-Ghafiqi. Ia mulai dengan menyerang Boredeau, Politiers, dan terus ke Tours. Naamun dalam peperangan yang terjadi dikota Tours, al-Ghafiqi terbunuh, dan tentaranya mundur kembali ke Spanyol.


Melalui berbagai keberhasilan ekspansi tersebut, maka wilayah kekuasaan Islam di zaman Bani Umayyah, di samping Jazirah Arabia dan sekitarnya, juga telah menjangkau Spanyol, Afganistan, Pakistan, Turkemenia, Uzbek, dan Kirgis di Asia Tengah.[12]


Kemajauan Bidang Sosial

Dalam bidang sosial dan pembangunan, Bani Umayyah berhasil mendirikan berbagai banguanan di berbagai bidang. Muawiyah mendirikan dinas pos dan tempat-tempat tertentu dengan menyediakan kuda yang lengkap dengan peralatannya di sepanjang jalan. Dia juga berusaha menertibkan angkatan bersenjata dan mencetak mata uang. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (qadli) adalah seorang spesialis dibidangnya.


Kemudian pada masa Abd. al-Malik mengubah mata uang Bizantium dan Persia yang dipakai didaerah-daerah yang dikuasai Islam. Untuk itu, dia mencetak mata uang tersendiri pada tahun 659 M dengan memakai kata-kata dan tulisan Arab. Khalifah Abdul Malik juga berhasil melakukan pembenahan-pembenahan administrasi pemerintahan dan memberlakukan bahasa Arab sebagai bahasa resmi Administrasi pemerintahan Islam. Selanjutnya dizaman al-Walid ibn Abd al-Malik (705-715 M) seorang yang berkemauan keras dan berkemampaun melaksanakan pembangunan panti-panti untuk orang cacat yang para petugasnya digaji oleh negara. Selain itu, al-Walid juga membangun jalan raya yang menghubungkan suatu daerah dengan daerah lainnya, pabrik, gedung pemerintahan, dan masjid yang megah.


 


Kemajauan Bidang Keagamaan

Dalam bidang keagamaan, pada masa Bani Umayyah ditandai dengan munculnya berbagai aliran keagamaan yang bercorak politik ideologis. Mereka itu antara lain golongan Syi’ah, Khawarij dengan berbagai sektenya; Azariqah, Najdat Aziriyah, Ibadiyah, Ajaridah dan Shafariyah, golongan Mu’tazilah, Maturidiyah, Asy’ariyah, Qadariyah, dan Jabariyah.[13] Berbagai aliran dan golongan keagamaan ini terkadang melakukan gerakan dan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah.


Dengan terbunuhnya Husein di Karbela, perlawanan orang-orang Syi’ah tidak pernah padam. Banyak pemberontakan yang dipelopori kaum Syi’ah. Yang terkenal diantaranya pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Selain itu, terdapat pula gerakan Abdullah bin Zubair. Ia membina gerakan oposisinya di Mekkah setelah dia menolak sumpah setia terhadap Yazid. Akan tetapi, dia baru menyatakan dirinya secara terbuka sebagai khalifah setelah Husein ibn Ali terbunuh.


Selain gerakan diatas, gerakan anarkis yang dilancarkan kelompok Khawarij dan Syi’ah juga dapat diredakan. Keberhasilan memberantas gerakan itulah yang membuat orientasi pemerintahan dinasti ini dapat diarahkan kepada pengamanan daerah kekuasaan diwilayah timur yang meliputi kota disekitar Asia Tengah dan wilayah Afrika bagian utara, bahkan membuka jalan untuk menaklukkan Spanyol.


C. POLA PENDIDIKAN DAN BENTUK-BENTUK PENDIDIKAN DINASTI UMAYYAH


Pola Pendidikan Dinasti Umayyah

Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi, tidak memilki tingkatan dan standar umur. Kajian keilmuan berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova, dan beberapa kota lainnya.[14] Diantara ilmu-ilmu yang dikembangkannya, yaitu: kedokteran, filsafat, astronomi atau perbintangan, ilmu pasti, sastra, seni baik itu seni bangunan, seni rupa, maupun seni suara


Pola pendidikan pada periode dinasti Umayyah telah berkembang dilihat dari aspek pengajarannya, meskipun sistemnya masih sama seperti pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin. Pada masa ini perdaban Islam bersifat Internasional yang meliputi tiga benua, yaitu sebagian Eropa, sebagian Afrika, dan sebagian asia yang kesemuanya itu dipersatukan dengan bahasa Arab sebagai bahasa resmi.


Dalam memberikan pelajaran dengan sistem kuttab, pada masa khulafaur rasyidin gurunya tidak dibayar, sementara pada masa dinasti Umayyahlain lagi ceritannya. Ada diantaranya penguasa membayar guru untuk mengajar putranya bahkan disediakan tempat tinggal di istana. Ada juga guru yang hanya mendapat penghargaan dari masyarakat.[15]


Adapun keadaan pendidikan di zaman bani Umayah dapat dijelaskan secara terperinci, sebagai berikut:


Visi, Misi, Tujuan, dan Sasaran

Visi

Visi pendidikan di zaman bani Umayyah secara eksplisit tidak dijumpai. Namun dari berbagai petunjuk bisa diketahui bahwa visinya adalah unggul dalam ilmu agama dan umum sejalan dengan kebutuhan zaman dan masing-masing wilayah Islam.[16]


Misi

Adapun misinya antara lain:[17]


Menyelenggarakan pendidikan agama dan umum secara seimbang.

Melakukan penataan terhadap kelembagaan dan aspek-aspek pendidikan Islam.

Memberikan pelayanan pendidikan pada seluruhg wilayah Islam secara adil dan merata.

Menjadikan pendidikan sebagai penopang utama kemjuan wilayah Islam.

Memberdayakan masyarakat agar dapat memecahkan masalahnya sesuai dengan kemampuanya sendiri.

Tujuan

Adapun tujuannya ialah menghasilkan sumber daya manusia yang unggul secara seimbang dalam ilmu agama dan umum serta mampu menerapkannya bagi kemajuan wilayah Islam.[18]


Sasaran

Sedangkan yang menjadi sasarannya adalah seluruh umat atau warga yang terdapat di seluruh wilayah kekuasaan Islam, sebagai dasar bagi dirinya dalam membangun masa depan yang lebih baik.


Visi, misi, tujuan, dan sasaran pendidikan tersebut di atas, secara eksplisit atau tertulis tentu belum ada. Namun dari segi kebijakannya secara umum serta hasil-hasil yang dicapai oleh dinasti ini mengandung visi, misi, tujuan, dan sasaran tersebut di atas.


Sejarah mencatat, bahwa pada masa dinasti Umayyah telah dilakukan hal-hal sebagai berikut:[19]


Melakukan pemisahan antara kekuasaan agama dan kekuasaan politik, sehingga terjadi semacam dikotomi, namun bukan dalam hal ilmu agama dan ilmu umum.

Melakukan pembagian kekuasaan kedalam bentuk provinsi, yaitu Syiria dan Palestina, Kuffah, Irak, Basrah, Persia, Sijistan, Khurasan, Bahrain, Oman, Najd, Yamah, Armenia, Hijaz, Karman dan India, Mesir, Afrika, Yaman, Arab Selatan, serta Andalusia.

Membentuk organisasi dan lembaga-lembaga pemerintahan dalam bentuk departemen, seperti dewan al-Kahawarij yang mengurusi pajak, dewan rasail yang mengani pos, dewan musghilat yang menangani kepentingan umum, dan dewan al-hatim yang menangani dokumen negara.

Membentuk organisasi keuangan yang terpusat pada Baitul Mal yang diproleh dari pajak tanah, perorangan, dan nonmuslim, serta mencetak mata uang.

Membentuk organisasi ketentaraan yang umumnya terdiri dari orang-orang keturunan Arab.

Membentuk organisasi kehakiman.

Membentuk lembaga sosial dan budaya.

Bidang seni sastra, yaitu terjadinya keseragaman bahasa, semua bahasa daerah terutama dalam bidang adaministrasi diseragamkan menggunakan bahasa Arab.

Membentuk bidang seni rupa seperti seni ukur, seni pahat, dan kaligrafi.

Membentuk lembaga arsitektur, sebagaimana terlihat pada arsitektur kubah al-Sakhra di Baitul Maqdis, yaitu kubah batu yang didirikan pada masa khalifah Abdul Malik ibn Marwan pada tahun 691 M.[20]

Terjadinya berbagai kemajuan tersebut dipastikan karena didukung oleh tersedianya sumber daya manusia yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan, keterampilan, keahlian teknis, dan pengalaman yang dihasilkan melalui proses pendidikan dalam arti luas, serta memberikan dorongan yang kuat terhadap kemajuan dunia pendidikan dengan menyediakan sarana dan prasarana. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar para ilmuan, para seniman, para Ulama’ dapat mengembangkan bidang keahliannya masing-masing serta mampu melakukan kaderisasi ilmu.[21]


2. Kurikulum


Pada masa bani Umayyah terdapat dua jenis pendidikan yang berbeda sistem dan kurikulumnya, yaitu pendidikan khusus dan pendidikan umum.


Pendidikan Khusus

Pendidikan khusus adalah pendidikan yang dislenggarakan dan diperuntukkan bagi anak-anak khalifah dan anak-anak pembesarnya. Kurikulumnya diarahkan untuk memperoleh kecakapan memegang kendali pemerintahan, atau hal-hal yang ada sangkut pautnya dengan keperluan dan kebutuhan pemerintahan. Tempat pendidikannya di istana dan guru-gurunya ditunjuk dan diangkat oleh khalifah dengan mendapat jaminan hidup (gaji).


Pendidikan Umum

Sedangkan pendidikan umum adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi rakyat biasa. Pendidikan ini merupakan kelanjutan dari pendidikan yang telah dilaksakan sejak zaman Nabi masih hidup, ia merupakan sarana yang amat penting bagi kehidupan agama. Karena ia merupakan lanjutan dari pendidikan sebelumnya, maka kurikulum yang digunakan pun sama dengan kurikulum sebelumnya.


Yang bertanggungjawab atas kelancaran pendidikan ini adalah para Ulama, merekalah yang memikul tugas mengajar dan membimbing rakya. Mereka bekerja atas dasar dorongan moral serta tanggung jawab agama, bukan atas dasar penunjukkan dan pengangkatan oleh pemerintahan. Karena itu mereka tidak memperoleh jaminan (gaji) dari pemerintah.


Kurikulum atau yang dikembangkan dalam pendidikan pada dinasti Umayyah, antara lain:[22]


Ilmu agama; Al-Qur’an, Hadits, dan Fiqih. Sejarah mencatat, bahwa pada masa khalifah Umar ibn Abdul al-Aziz (99-10H) dilakukan proses pembukuan hadits, sehingga studi hadits mengalami perkembangan yang pesat.

Ilmu sejarah dan Geografi; yaitu segala ilmu yang membahas tentang perjalanan hidup, kisah dan riwayat.

Ilmu pengetahuan bidang bahasa; yaitu segala ilmu yang mempelajari bahasa, nahwu, sorof.

Filsafat; yaitu segala ilmu yang pada umunya berasal dari baha asing, seperti ilmu mantik, kimia, astronimi, ilmu hitung dan ilmu yang berhubungan dengan ilmu kedokteran.[23]

3. Bentuk-Bentuk Pendidikan Dinasti Umayyah


Adapun bentuk Pusat-pusat pendidikan pada masa dinasti Umayyah antara lain:


a. Pendidikan Istana


Pendidikan tidak hanya tingkat rendah, tetapi lanjut pada pengajaran tingkat tinggi sebagaimana halaqoh, masjid, dan madrasah. Guru di istana dinamakan Muaddib. Tujuan pendidikan istana bukan saja mengajarkan ilmu pengetahuan bahkan Muaddib harus mendidik kecedasan, hati dan jasmani anak.


Adapun rencana pelajaran di istana sebagai berikut:


Al-Qur’an.

Hadist-hadist yang termulia.

Syair-syair yang terhormat.

Riwayat hukama.

Menulis, membaca, dan lain-lain.

b. Nasihat Pembesar Kepada Muaddib


Sebagaimana pembesar Hisyam ibn Abdul Malik kepada guru anaknya Sulaiman al-Kalby:[24]


“Sesungguhnya anakku ini adalah cahaya mataku. Aku serahkan kepada engkau untuk memberi adab kepadanya. Maka, tugas engkau adalah bertaqwa kepada Allah dan menunaikan amanah. Wasiatku yang pertama kepada engaku supaya engkau ajarkan kepadanya kitabullah. Kemudian engkau riwayatkan kepadanya syair-syair terbaik. Sesudah itu engkau ajarkan riwayat kaum arab dan syair-syair mereka yang baik. Perlihatkan kepadanya sebagian yang halal dan yang haram serta pidato-pidato dan riwayat peperangan.”


Badiah

Ini merupakan bentuk pemurnian penggunaan bahasa Arab yang sesuai dengan kaidahnya. Dengan adanya Arabisasi oleh khalifah Abdul Malik ibn Marwan, maka munculah istilah badiah, yaitu dusun badui di Padang Sahara yang masih fasih bahasa arabnya dan murni sesuai dengan kaidah bahasa Arab itu.[25]


Akibat dari Arabisasi ini munculah qawa’id dan cabang ilmu lainya untuk mempelajari bahasa Arab. Bahasa Arab ini sudah sampai ke Irak, Syiria, Mesir, Lebanon, Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko, di samping Saudi Arabia, Yaman, Emirat Arab, dan sekitarnya. Sehingga banyak khalifah mengirim anaknya ke badiah untuk belajar bahasa Arab, bahkan Ulama’ juga belajar bahasa Arab seperti; Al Khalil ibn Ahmad belajar ke Badiah, Hijaz, Nejd, dan Tihamah.


c. Perpustakaan


Al Hakam ibn Nasir (350 H/961 M) mendirikan perpustakaan yang besar di Qurtubah (Cordova).


d. Bramantisan (Rumah Sakit)


Cucu Muawiyah Kahlid ibn Yazid sangat tertarik pada ilmu dan kedokteran.[26] Ia menyediakan sejumlah harta dan memerinyahkan para sarajana Yunani yang ada di Mesir untuk menerjamahkan buku kimia dan kedokteran ke dalam bahasa Arab. Hal ini menjadi terjemahan pertama dalam sejarah sehingga Al Walid ibn Abdul Malik memberikan perhatian terhadap Bamaristan.


BAB III

PENUTUP


A. Kesimpulan


Setelah wafatnya khalifah Ali ibn Abi Thalib, maka berakhirlah kepemimpinan khulafaur rasyidin. Pada saat itu masyarakat Arab, Irak, dan Iran mengangkat Hasan ibn Ali untuk menggantikan kedudukan ayahnya. Pembaiatan Hasan tidak bisa menyatukan umat, karena polemik dengan Muawiyah belum selesai. Demi menghindari pertumpahan darah yang lebih besar, maka Hasan ibn Ali bersedia mengundurkan diri dengan syarat.


Dinasti Umayyah berkuasa selama 91 tahun (41-132 H atau 661-750 M). Dengan 14 khalifah. Pada awalnya pemerintahan Umayyah bersifat demokrasi lalu berubah menjadi kerajaan atau feodal. Pusat pemerintahannya bertempat di Damaskus. Masa kekhalifahan Bani Umayyah mengalamai perkembangan dalam bidang politik, bidang sosial dan bidang agama.


Pada masa dinasti Umayyah pola pendidikan bersifat desentralisasi, tidak memilki tingkatan dan standar umur. Kajian keilmuan berpusat di Damaskus, Kuffah, Mekkah, Madinah, Mesir, Cordova, dan beberapa kota lainnya. Pola pendidikan pada periode dinasti Umayyah telah berkembang dilihat dari aspek pengajarannya, meskipun sistemnya masih sama seperti pada masa Nabi dan khulafaur rasyidin. Adapun bentuk-bentuk pendidikan pada masa dinasti Umayyah antara lain: pendidikan istana, nasihat pembesar kepada muaddib, badiah, perpustakaan, dan bramantisan (rumah sakit).


B. Saran


Dalam bidang pendidikan pada masa sekarang, sudah seharusnya kita dapat mengambil contoh apa yang telah berkembang pada masa dinasti Umayyah itu. Kita harus melakukan berbagai cara untuk memajukan dan mengembangkan berbagai bidang dengan mereformasinya.


DAFTAR PUSTAKA


Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Amzah. Jakarta.

Harun, Maidir. Agus, Firdaus. 2001. Sejarah Peradaban Islam. IAIN IB Pers. Padang.

Nata, Abuddin. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Kencana. Jakarta.

Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, Cet. 4. Kencana. Jakarta.

Soekarno. Supardi, Ahmad. 1985. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Aksara. Bandung.

Syalabi, Ahmad. 1982. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Pustaka al Husna. Jakarta.

Syalabi, Ahmad. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Cet. 4. Pustaka al Husna. Jakarta.

Yatim, Badri. 2011. Sejarah Peradaban Islam (Dirasah Islamiyah II). Rajawali Pers.

Yunus, Mahmud. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Hidakarya Agung. Jakarta.


Referensi:

[1]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, Cet. 4. (Jakarta: Kencana. 2011). hlm. 54.


[2]Ibid. hlm. 54-55.


[3]Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 1, Cet. 4. (Jakarta: Pustaka al Husna. 2003). hlm. 264.


[4]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. hlm. 55.


[5]Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. (Jakarta: Pustaka al Husna. 1982). hlm. 35.


[6]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. hlm. 56.


[7]Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. hlm. 35-36.


[8]Ibid. hlm. 30-31.


[9]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. hlm. 58.


[10]Abuddin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Kencana). hlm. 127


[11]Samsul Munir Amin. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Amzah). hlm. 125-126


[12]Ibid. hlm. 127-128.


[13]Soekarno dan Ahmad Supardi. Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung: Angkasa). hlm. 93-130.


[14]Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Hidakarya Agung. 1992). hlm. 33.


[15]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. hlm. 60-61.


[16]Abuddin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. hlm. 131.


[17]Ibid. hlm.131-132.


[18]Ibid. hlm. 132.


[19]Badri Yatim. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: Rajawali Perss. 2011). hlm. 48-49.


[20]Maidir Harun. Firdaus Agus. Sejarah Peradaban Islam. (Padang: IAIN IB Pers. 2001). hlm. 82-87.


[21]Ibid. hlm. 82-87.


[22]Abuddin Nata. Sejarah Pendidikan Islam. hlm. 134-135.


[23]Samsul Nizar. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia. hlm. 59.


[24]Ibid. hlm. 61.


[25]Ibid. hlm. 62.


[26]Mahmud Yunus. Sejarah Pendidikan Islam. hlm. 82-95.


Artikel Terkait