Labels

MAKALAH TAFSIR AL-QUR'AN

View Article

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah sumber dari segala sumber ajaran Islam. Kitab suci menempati posisi sentral bukan saja dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu ke Islaman tetapi juga merupakan inspirator dan pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang empat belas abad lebih sejarah pergerakan umat ini.Al-Qur`an ibarat lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi, penuh dengan keajaiban dan keunikan tidak akan pernah sirna dan lekang di telan masa dan waktu. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan al-Qur`an diperlukan tafsir.

Penafsiran terhadap al-Qur`an mempunyai peranan yang sangat besar dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu sangat besar perhatian para ulama untuk menggali dan memahami makna-makna yang terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula, dan dalam penafsiran itu nampak dengan jelas sebagai suatu cermin perkembangan penafsiran al-Qur`an serta corak pemikiran para penafsirnya sendiri. Dalam makalah yang singkat ini penulis berusaha membahas tentang pengertian tafsir, sejarah perkembangan tafsir, bentuk metode corak tafsir, kitab-kitab tafsir berbahasa indonesia syarat-syarat seorang mufassir.

B.     Rumusan Masalah

1.      Pengertian tafsir

2.      Sejarah perkembangan tafsir

3.      Bentuk, metode dan corak tafsir

4.      Kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia

5.      Syarat-syarat seorang mufassir

C.    Tujuan Masalah

1.      Untuk mengetahui pengertian tafsir

2.      Untuk mengetahui sejarah perkembangan tafsir

3.      Untuk mengetahui  bentuk, metode dan corak tafsir

4.      Untuk mengetahui kitab-kitab tafsir berbahasa Indonesia

5.      Untuk mengetahui syarat-syarat seorang mufassir

BAB II

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN TAFSIR

Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufassiru-tafsiran, berarti penjelasan (al-idhah wa at-tabyin), sebagai mana terdapat dalam firman Allah SWT yang berbunyi :

(٣٣) وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا

Artinya:

“tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan 25:33).

Dari segi terminologis bermacam definisi dibuat oleh para ulama, antara lain sebagai berikut :

1.      Abu Hayyan, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafazh-lafazh Al-Qur’an dan tentang arti dan makna dari lafazh-lafazh tersebut, baik kata perkata maupun dalam kalimat yang utuh serta hal-hal yang melengkapinya.

2.      Az-Zarkasyi, menurutnya tafsir adalah ilmu untuk memahami Kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, menjelaskan makna-maknanya serta mengeluarkan hukum dan hikmahnya.

3.      Az-Zarqani, menurutnya tafsir adalah ilmu yang membahas tentang Al-Qur’an Al-Karim dari segi makna yang terkandung di dalamnya sesuai dengan maksud yang diinginkan oleh Allah SWT sebatas kemampuan manusia.


Sekalipun telah diungkapkan dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi ketiga definisi di atas sepakat menyatakan bahwa secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia.

Dalam menafsirkan Al-Qur’an, di sampig dibatasi oleh kemampuan masing-masing sebagai manusia, para mufasir juga dipengaruhi oleh latar belakang pedidikan, sosial budaya yang berbeda-bed, sehingga bentuk, metode dan corak penafsir an mereka juga berbeda-beda.

B.     SEJARAH PERKEMBANGAN TAFSIR

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.

Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an para sahabat menggunakan beberapa cara, antar lain.

1.      Menelitinya dalam’ Al-Qur’an sendiri, karena ayat-ayat Al-Qur’an satu sama lain saling menafsirkan.

2.      Merujuk kepada penafsiran Nabi Muhammmad SA, sesuai dengan fungsi beliau sebagai mubayyin terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.

3.      Apabila mereka tidak ditemukan keterangan tentang ayat tertentu dalam Al-Qur’an dan tidak sempat menanyakannya kepada Rasulullah SA, para sahabat berijtihat dengan bantuan pengetahuan bahasa Arab, pengenalan terhadap tradisi Arab dan keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di Arabia pada waktu ayat turun atau latar belakang ayat tersebut diturunkan, dan dengan menggunakan kekuatan penalaran mereka sendiri.

4.      Sebagian sahabat ada pula menanyakan beberapa masalah, khususnya sejarah Nabi-Nabi atau kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur’an kepada tokoh-tokoh ah;i Ahlul Kitab yang telah memeluk agama Islam, seperti Abdullah ibn Salam, Ka’ab al-Ahbar dan lain-lain.

Tafsir pada masa sahabat ini belum merupakan ilmu sendiri’ masih merupakan bagian dari riwayat-riwayat hadits yang berserakan, belum sistematis seperti tafsir yang kita kenal sekarang. Di samping belum sistematis pada masa sahabat ini pun Al-Qur’an belum ditafsirkan secara keseluruhan, dan pembahasannya pun belum luas dan mendalam. 

Sesudah periode sahabat, datangah generasi berikutnya (tabi’in) meneruskan usaha yang telah dirintis oleh para sahabat. Di samping menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an dan Hadits Nabi mereka juga merujuk kepada penafsiran para sahabat dan sebagian juga tidak lupa mengutip dari Ahlul Kita. Setelah itu baru mereka mengembangkan penafsiran sendiri berdasarkan ijtihad. Pada masa Tabi’in, tafsir masih merupakan bagian dari hadits, tetapi sudah mengelompok menurut kota masing-masing.

Sesudah masa sahabat dan tabi’in datanglah masa kodifikasi (tadwin) hadits dimana riwayat-riwayat berisi tafsir dikelompokkan menjadi satu bab sendiri, walaupun tetap belum sistematis seperti susunan Al-Qur’an. Dalam perkembangan  selanjutnya tafsir dipisahkan dari kandungan kitab hadits dan menjadi kitab sendiri. Para ulama mengumpulkan riwayat-riwayat yang berisi tefsir dari Nabi, sahabat dan tabi’in dalam kitab sendiri. Riwayat-riwayat yang dikumpulkan itu sudah mencakup keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dan disusun sesuai dengan sistematika mushaf. Bentuk penafsiran yang dirintis Ibn Jarir dan mufasir lain pada masa awal pembukuan tafsir inilah yang kemudian di kenal dengan bentuk at-tafsir bi al-ma’tsur.

Setelah ilmu pengetahuan tumbuh dan berkembang pesat pada masa Daulah Abbasiyah, para mufasir tidak puas hanya dengan bentuk bi al-ma’tsur, karena perubahan dan perkembangan zaman menghendaki pengembangan bentuk tafsir dengan memperluas dan memperbesar peran ra’yu atau ijtihad dibandingkan dengan penggunaannya pada bentuk bi al-ma’tsur. Tafsir dengan bentuk ini kemudian dikenal dengan  at-tafsir bi-ar-ra’yi.

Dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggunakan kemampuan ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hadits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengetahuan seperti ilm bahasa Arab, ilmu Qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqih, ilmu sejarah dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi-ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.




C.    BENTUK, METODE DAN CORAK TAFSIR

1.      Bentuk Penafsiran Al-Qur’an

Sebagaimana sudah disinggung dalam uraian perkembangan tafsir diatas, dari segi bentuk dikenal dengan dua bentuk penafsiran, yaitu :

a.      Tafsir bi al-ma’tsur

Tafsri Tafsir bi al-ma’tsur adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan Sunnah Nabi dan Al-Qur’an dengan pendapat atau penafsiran para sahabat Nabi dan tabi’in. Dinamai dengan bi al-ma’tsur (dari kata atsar yang berarti sunnah, hadits, jejak, peninggalan) karena dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufasir menelusuri jejak atau peninggalan masa lalu dari generasi sebelumnya terus sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena banyak mennggunakan riwayat, maka tafsir dengan meode ini dinamai tafsir bi ar-riwayah.

Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an atau ayat dengan ayat adalah firman Allah dalam Surat Al An’am ayat 82 ditafsirkan oleh surat Luqman ayat 13. Allah SWT berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُواإِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

Artinya:

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanandan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-An’am 6:82)

Penafsiran ayat dengan ayat tidak selamanya berdasarkan petunjuk Nabi seperti dalam contoh di atas, tetapi bisa juga atas pemahaman para sahabat atau tabi’in seperti dalam penafsiran maksud kalimatin dalam Surat Al-Baqarah 37. Allah SWT berfirman:

فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ


Artinya:

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat Lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Baqarah 2:37)

Contoh tafsir Al-Qur’an dengan Hadits Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Jarir dan lain-lain dari ‘Adi bin Hati, ia berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah SAW tentang firman Allah SWT: ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, Nabi menjelaskan bahwa ghairil maghdhubi ‘alaihim wa la adh-dhallin, adalah Yahudi, dan wa la adh-dhallin adalah Nashara.

b.      Tafsir bi ar-Ra’yi

Tafsir biar ar-ra’yi adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan mrnggunakan kemampun ijtihad atau pemikiran tanpa meninggalkan tafsir Al_Qur’an dengan Al-Qur’an atau dengan hdits dan tidak pula meninggalkan sama sekali penafsiran para sahabat dan tabi’in. Bentuk ini mengembangkan penafsiran dengan bantuan bermacam-macam ilmu pengtahuan seperti ilmu bahasa Arab, ilmu qiraah, ilmu-ilmu Al-Qur’an, ilmu hadits, ushul fiqh, ilmu sejarah, dan lain sebagainya. Dinamai dengan at-tafsir bi- ar-ra’yi karena yang dominan memang penalaran atau ijtihad mufasir itu sendiri.

2.      Metode Penafsiran Al-Qur’an

Dari segi metode sejauh ini dikenal ada empat metode penafsiran yaitu:

a.      Metode Ijmali

Metode ijmali adalah metode yang paling awal muncu karena sudah digunakan sejak Nabi dan para sahabat. Nabi dan para sahabat dalam menafsirkan Al-Qur’an tidak memberikan rincian yang detail, hanya secara ijmali atau global. 

Dengan metode ijmali, seorang mufasir menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara ringkas, mulai dari ayat pertama sampai ayat terakhir sesuai dengan susunan ayat dan surat di dalam mushaf dengan bahasa yang populer dan mudah dimengerti. Makna yang diungkapkan ayat-ayat dengan menggunakan lafazh bahasa yang mirip bahkan sama dengan lafazh Al-Qur’an, sehingga pembaca akan merasa bahwa uraiannya tersebut tidak jauh dari gaya bahasa Al-Qur’an itu sendiri.

b.      Metode Tahlili

Setelah metode ijmali, dikenal metode tahlili. Dengan menggunakan metode ini, seorang mufasir berusaha menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari berbagai aspek, mulai dari aspek bahasa, asbab an nuzul, munasabah dan aspek lain yang memungkinkan sesuai dengan minat dan kecenderungan mufasir sendiri. Penafsiran dilakukan dengan menggunakan sistematika mushaf Al-Qur’an, urut dari awal sampai akhir ayat demi ayat.

c.       Metode Muqarin

Setelah metode ijmali dan tahlili, muncul metode muqarin atau perbandingan. Dengan metode ini seorang mufasir melakukan perbandingan antara (1) teks ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau memilki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama; (2) ayat-ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan; dan (3) berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.

d.      Metode Maudhu’i

Yang terakhir muncul adalah metode  maudhu’i atau tematik. Berbeda dengan metode ijmali dan tahlili yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara kronologis sesuai dengan urutan ayat dan surat yang terdapat dalam mushaf, maka metode maudhu’i ini membahas ayat-ayat yang dalam berbagai surat yang telah diklasifikasikan dalam tema-tema tertentu. Dengan metode ini seorang mufasir menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian serupa, mengkompromikan antara pengertian yang am dan khas, antara yang muthlaq dan yang muqayyad, mensinkronkan ayat-ayat yang lahirnya tampak kontradiktif, menjelaskan ayat nasikh dan mansukh, sehingga semua ayat tersebut bertemu pada satu muara, tanpa perbedaan dan kontradiksi atau tindakan pemaksaan terhadap sebagian ayat kepada makna-makna yang sebenarnya tidak tepat.


3.      Corak Penafsiran Al-Qur’an

Di samping bentuk dan metode yang sudah dijelaskan di atas, dikenal juga corak pnafsiran. Karena yang dominan dalam at-tafsir bi-ar-ra’yi adalah pemikiran musafir, baik yang orisinal dari yang bersangkutan atau mengutip dari sumber-sumber lain, maka tentu saja hasil penafsiran beragam sesuai latar belakang pengetahuan, sosial budaya dan kecenderungan masing-masing. Dalam ilmu-ilmu Al-Qur’an keragaman itu diistilahkan dengan al-laun yang secara harfiah berarti warna. Dalam bahasa Indonesia, oleh M. Quraish Shihab digunakan istilah Corak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti corak antara lain berjenis-jenis warna pada warna dasar, faham, macam,bentuk. Menurut hemat penulis, kata corak lebih tepat digunakan dibanding warna. Warna dasarnya adalah at-tafsir bi-ar-ra’yi di atas warna dasar itu ada warna warni lain yang beragam, dan itulah corak. Corak itu sekalipun menunjukkan faham penulisannya, macam atau bentuk tafsirnya.

Sejauh ini corak-corak penafsiran yang dikenal antara lain sebagai berikut:

a.      Corak Sastra Bahasa

Corak sastra bahasa timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memelukagama islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri dibanding sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewaan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an.

b.      Corak Fiqih dan Hukum

Corak fiqih dan hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan brusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.

c.       Corak Teologi dan atau Filsafat

Corak teologi dan atau filsafat, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atua tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.

d.      Corak Tasawuf

Corak tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.




e.       Corak Penafsiran Ilmiah

Corak penafsiran ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha mufasir untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.

f.       Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan

Corak sastra budaya kemasyarakatan, yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tetapi indah didengar.

Demikianlah bentuk, metode dan corak penafsiran Al-Qur’an sepanjang zaman sampai zaman kita sekarang ini. Masing-masing mufasir telah berjasa menjelaskan pesan-pesan Al-Qur’an sesuai dengan kemampuan dan latar belakang masing-masing. Karena keragaman latar belakang para mufassir baik dari segi disiplin ilmu, kecenderungan maupun latar belakang sosial budaya dan keragaman persoalan dan kebutuhan zaman, maka kitab-kitab tafsir yag muncul sepanjang waktu pun mempunyai bentuk, corak dan warna yang berbeda-beda. Namun demikian, sekalipun terjadi keragaman, tidak berarti sau sama lain saling berbeda sepenuhnya. Ibarat lingkungan yang dipertautkan sambung bersambung, selalu ada bagian dua lingkaran yang menempati ruang yang sama. Bagian yang sama itulah yang akan menjadi benang merah dari seluruh penafsiran.


D.    KITAB-KITAB TAFSIR BERBAHASA INDONESIA

Sejak pertiga awal abad XX di Indonesia telah lahir berbagai karya berbahasa Indonesia tentang Al-Qur’an, baik berupa terjemhan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana perlu maupun dalam bentuk tafsir Al-Qur’an sebagian atau keseluruhannya.

Dalam bentuk terjemahan Al-Qur’an dengan beberapa anotasi di mana perlu antara lain:

1.      Mahmud Yunus, Tafsir Al-Qur’an al-Karim (1930);

2.      A. Halim hasan, Zainal Arifin Abbas dan Abdur Rahim Haitami, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim (1955);

3.      Zainuddin Hamidy dan Hs. Fachruddin, Tafsir Qur’an (1959);

4.      Bachtiar Surin, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an (1978);

5.      Oemar Bakry, Tafsir Rahmat (1983);

6.      Team Penerjemah Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (1975).

Dalam bentuk tafsir Al-Qur’n sebagaian atau keseluruhannya, antara lain:

1.      Abdul Karim Amrullah, Al-Burhan, Tafsir Juz ‘Amma (1922);

2.      Ahmad Hassan, Al-Hidayah, Tafsir Juz ‘Amma (1930);

3.      M. Hashbi ash- Shiddiqy, Tafsir Al-Qur’anul Majid An-Nur (1952) dan Tafsir  Al-Bayan (1962);

4.      HAMKA, Tafsir Al-Azhar (1982);

5.      Team Penafsir Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya (1995);

6.      M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (2000).


E.     SYARAT-SYARAT SEORANG MUFASSIR

Para ahli dan ulama’ mensyaratkan agar setiap mufassir memenuhi hal-hal sebagai berikut:

1.      Memiliki aqidah yang benar

2.      Tidak dikuasai nafsu ananiya, ’asabiyah dan lain-lain

3.      Mengetahui ilmu bahasa Arab dan cabang-cabangnya

4.      Mengetaui ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an

5.      Faham secara mendalam dan dapat mengistimbatkan makna sesuai dengan nash syari’ah.



KESIMPULAN

Secara etimologis Tafsir berarti penjelasan, sedangkan secara terminologis tafsir adalah keterangan dan penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Qur’an sekalipun tidak diungkapkan secara eksplisit dalam definisi, tentu saja Abu Hayyan dan Az-Zarkasyi akan sepakat dengan Az-Zarqani bahwa keterangan dan penjelasan tentang maksud firman Allah SWT tersebut sebatas kemampuan manusia. 

Usaha menafsirkan Al-Qur’an sudah dimulai semenjak zaman para sahabat Nabi sendiri. Ali ibn Abi Thalib, Abdullah ibn Abbas, Abdullah IbnMas’ud dan Ubay ibn Ka’ab adalah diantara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dibandingkan dengan sahabat-sahabat yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Muchotob. 2003. Studi Al-Qur’an Komprehensif. Gama Media: Yogyakarta

Ilyas, Yunahar. 2013. Ulumul Qur’an. Itqan Publishing: Yogyakarta

MAKALAH ULUMUL QUR’AN “ILMU QIRAAT ALQURAN”

View Article

BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Bangsa Arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadis tersebar di sepanjang Jazirah Arab. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan letak geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun, disamping setiap suku memiliki dialek yang berbeda-beda, mereka telah menjadikan bahasa Quraisy sebagai bahasa bersama (common language) dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah, dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dari kenyataan diatas, sebenarnya kita dapat memahami mengapa Al-Qur’an diturunkan denga menggunakan bahasa Quraisy.

Disisi lain, perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan Al-Qur’an. Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri, dengan melihat gejala beragam dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya fenomena yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur’an dengan berbagai macam qira’at. Sabdanya “Al-Qur’an itu diturunkan dengan menggunakan tujuh huruf (unzila hadza Al-Qur’an ‘ala sab’ah ahruf)” dan hadits-hadits lain yang sepadan dengannya, kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya Al-Mursyid Al-Wajiz menolak muatan hadits itu sebagai justifikasi qira’ah sab’ah, tetapi konteks hadits itu sendiri memberikan peluang Al-Qur’an dibaca dengan berbagai ragam qira’ah

Seni membaca Alquran boleh dibilang merupakan salah satu bentuk ekspresi seni dalam Islam. Ibnu Manzur menyatakan, ada dua teori tentang asal mula munculnya seni membaca Alquran. 

Pertama, berasal dari nyanyian nenek moyang bangsa Arab. Kedua, terinspirasi dari nyanyian budak-budak kafir yang menjadi tawanan perang. Kedua teori tersebut menegaskan bahwa lagu-lagu Alquran berasal dari khazanah tradisional Arab. Dengan teori ini pula ditegaskan bahwa lagu-lagu Alquran idealnya bernuansa irama Arab.

Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait boleh tidaknya membaca Alquran dengan cara dilagukan. Dr Basyar Awad Ma’ruf dalam bukunya berjudul al-Bayan fi Hukm at-Taghanni bi Alquran mengatakan, ada ulama yang membolehkan dan ada pula yang memakruhkan

Ulama yang memakruhkan, kata Dr Basyar, antara lain, Imam Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas, Said bin al-Musayyib, Said bin Jabir, al-Qasim bin Muhammad, Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin, Ibrahim an-Nakha’i. Opsi ini juga menjadi rujukan sejumlah ulama masa kini, seperti Syekh Muhammad Abu Zahrah.

Sedangkan, ada pula ulama yang membolehkan membaca Alquran dengan tilawah atau tartil berikut macam-macam lagunya. Mereka, antara lain, Abu Hanifah, Syafi’i, Abdullah bin al-Mubarak, at-Thabari, Ibn Bathal, Abu Bakar Ibn al-Arabi, dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. 

Menurut Dr Basyar, sahabat Umar bin Khatab, Ibnu Abbas, Abdullah bin Mas’ud, dan lainnya juga membolehkan Alquran dibaca dengan cara dilagukan. Syekh Rasyid Ridha, Syekh Labib as-Sa’d, dan Dr Abd al-Mun’im al-Bahi merupakan ulama kontemporer yang mendukung diperbolehkannya membaca Alquran dengan cara dilagukan.

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab yang jelas. Hal ini adalah suatu yang wajar karena Al-Qur’an diturunkan ke tengah-tengah umat yang berbahasa Arab melalui Nabi yang berbahasa arab pula. Keadaan Al-Qur’an dalam bahasa Arab dijelaskan oleh Al-Qur’an sendiri, antara lain

“Sesungguhnya, kami menurunkan Al-Qur’an yang berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (QS. Yusuf (12):2)

“Dengan bahasa Arab yang jelas”. (QS. Syu’ara (26):195)

Berdasarkan dua ayat di atas, jelas bahwa bahasa yang digunakan Al-Qur’an adalah bahasa Arab asli, sekalipun bukan berarti bahwa Al-Qur’an diturunkan khusus untuk bangsa Arab. Sebab, berdasarkan keterangan Al-Qur’an sendiri dan praktek Nabi, agama Islam yang sumber pokoknya Al-Qur’an ditujukan untuk seluruh umat manusia. Dengan demikian, mengenai Al-Qur’an berbahasa Arab itu sendiri terdiri dari berbagai rumpun, masalahnya bahasa Arab itu sendiri terdiri dari berbagai rumpun; apakah Al-Qur’an menggunakan semuanya atau hanya menggunakan rumpun tertentu?

Lagi pula sejak dulu bangsa Arab mempunyai dialek yang amat banyak, yang mereka dapatkan dari fitrahnya dan sebagiannya mereka ambil dari tetangga mereka. Tidak diragukan lagi bahasa Quraisy amatlah terkenal dan tersebar luas. Hal ini disebabkan kesibukan mereka berdagang dan keberadaan mereka di sisi Baitullah ditambah lagi kedudukan mereka sebagai penjaga dan pelindungnya.

Orang-orang Quraisy memang mengambil sebagian lahjah (dialek) dan kalimat-kalimat yang mereka kagumi dari orang-orang luar selain mereka. Telah menjadi tabiat bahwa Allah ‘Azza wa Jala menurunkan Al-Qur’an dengan bahasa yang dapat dipahami oleh bangsa Arab seluruhnya dengan maksud untuk mempermudah memahaminya, membaca dan menghafalnya, mengandung nilai mukjizat serta ajakan bertanding keapda para pakar sastra untuk mendatangkan satu surat atau bahkan satu ayat sekalipun.

Karena adanya berbagai macam rumpun dan lahjah bahasa Arab itulah barangkali yang kemudian memunculkan adanya berbagai macam qiro’at dalam membaca Al-Qur’an.



B.     Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian qira’at ?

2.      Bagaimana teori asal-usul qira’at ?

3.      Bagaimana pengertian Al-Qur’an dengan 7 huruf ?

4.      Apa macam-macam qira’at ?

5.      Bagaimana tolok ukur validitas qira’at ?

6.      Bagaimana implikasinya dalam penafsiran ?


BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Qira’at

Al-Qira’at, jamak dari qira’atan, mashdar dari qara’a, yaqra’u, qira’atan. Menurut arti istilah ia berarti; Mazhab pembacaan Al-Qur’an dari para imam qurra’ yang masing-masing mempunyai perbedaan dalam pengucapan Al-Qur’an Al-Karim dan  disandarkan pada sanad-sanadnya sampai kepada Rasulullah Saw. (Ash-Shabuni, 2001: 357)

Al-Qur’an dan Qira’at adalah dua kata yang berbeda. Al-Qur’an adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk menerangkan kepada manusia risalah ilahi dan sebagai bukti kebenaran risalahnya. Sedangkan Qira’at adalah cara membaca lafal-lafal tertulis dalam mushaf, baik dengan meringankan bacaannya (takhif) ataukah dengan menggandakan (tasydid). Wahyu hanya satu dan berasal dari Allah. Sedangkan cara penulisannya atau bacaan dan pengucapannya boleh berbeda. Hal ini ditunjukkan dengan adanya “Qira’at Tujuh” yang oleh para ulama di nilai mutawatir riwayatnya. (Tim UII, Mukadimah, 2004:28)

Dari keterangan ringkas di atas dapatlah disimpulkan bahwa perbedaan esensiil antara Al-Qur’an dengan Qira’at adalah:\

1.      Al-Qur’an adalah wahyu  Allah yang terjamin keaslian dan kemurniaannya semenjak turun kepada nabi sampai ke akhir zaman. Sedang Qira’at adalah cara membaca Al-Qur’an itu.

2.      Pada Al-Qur’an tidak sedikit pun terselip keraguan, sedangkan Qira’at terdapat perbedaan antara satu riwayat dengan yang lain. Perbedaan qira’at tersebut sama sekali tidak mempengaruhi kemurnian Al-Qur’an, Sebab bagaimanapun juga, bahasa Arab pada waktu turunnya Al-Qur’an itu menuliskannya dengan huruf yang belum sempurna, yang belum dilengkapi dengan baris, tanda baca dan sebagainya. Namun jelas mereka paham dengan tulisan-tulisan yang ada yang sesuai dengan pengambilan langsung secara lisan dari para huffaz yang mengajarkan Al-Qur’an


B.     Teori Asal-Usul Qira’at

Para ulama telah banyak mencoba menjelaskan tentang asal-usul munculnya qiro’ah ini. Yang pada umumnya, mereka bersandar pada latar belakang linguistik dan hadits-hadits Nabi yang menerangkan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dalam tujuh huruf.

1.      Latar belakang linguistik

Di zaman Jahiliyah, orang Arab mempunyai beberapa bahasa (dialek) yang berbeda terutama dalam pengucapannya. Akan tetapi, mereka tetap mengutamakan bahasa Quraisy yang dengan bahasa itu Allah menurunkan Kitab Suci-Nya. Bahasa Quraisy mengatasi semua dialek yang hidup di jazirah Arabia yang jumlahnya sampai puluhan. Hal ini karena beberapa faktor antara lain: (Tim UII, Mukadimah, 2004:18)

a.       Kota Mekah (yang memakai bahasa Quraisy) adalah pusat perniagaan dan pusat kegiatan sosial, budaya dan agama. Ini karena di kota Mekah ada rumah suci (Baitullah atau Ka’bah) dan karena banyaknya penguasa-penguasa Arab yang berasal dari kota itu.

b.      Bahasa Quraisy adalah bahasa yang paling kaya dengan kata asing yang di Arabkan, sedangkan pada dialek lain tidak banyak menyerap kata asing itu. Tidak mengherankan kalau Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab Quraisy yang kaya dengan bahasa asing sehingga memudahkan pengertian orang. Apa lagi di kota Mekah berkumpul ahli bahasa, sastrawan dan ahli-ahli pidato. Tidak mengherankan, bila kabilah-kabilah Arab yang di sekitar kota Mekah terpengaruh dialek Quraisy yang beda dengan dialek lain. Lama kelamaan menimbulkan perbedaan dalam membaca Al-Qur’an sekali pun tidak merusak makna ayat yang mereka baca.

Dari latar belakang linguistik itulah akhirnya timbul suatu istilah yang terkenal dengan “Qira’at Tujuh” (Qira’at Al-Qur’an yang dinisbatkan pada Imam Tujuh).


2.      Latar belakang hadits Nabi

Di dalam hadis-hadis sahih yang diriwayatkan dari Rasulullah terdapat keterangan bahwa Al-Qur’an itu diturunkan pula dalam tujuh huruf. Kita kemukakan beberapa hadis berkenaan dengan masalah ini.

a.       Hadis riwayat Bukhari Muslim dari Ibnu ‘Abbas.

Artinya: “Rasulullah bersabda: “Jibril membacakan Al-Qur’an dengan satu huruf kepadaku, maka aku (senantiasa) mengulang-ulangnya. Maka senantiasa aku minta (kepada Jibril) agar dia menambahkannya (lagi), Jibril pun berkehendak menambahkan kepadaku sampai berakhir kepada tujuh huruf. Muslim menambahkan (dalam riwayatnya), berkata Ibnu Syihab: “Disampaikan kepadaku bahwa yang tujuh (huruf) itu mengenai satu hal dan tidak berbeda ia dalam (menetapkan) hukum halal dan haram.


b.      Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab, ujarnya:

Artinya: “Umar berkata: “Aku mendengar Hisyam bin Hakim membaca surah Al Furqan pada masa nabi (masih) hidup. Maka aku dengar (perhatikan) bacaannya, maka tiba-tiba ia membaca surah Al Furqan itu dengan berbagai macam bacaan yang belum (pernah) Rasulullah membacakannya kepadaku. Maka hampir saja aku menyerangnya ketika (ia) salah dan aku menunggunya sampai ia mengucapkan salam, kemudian aku tarik leher bajunya maka aku tanyakan: “Siapakah yang membacakan kepada engkau surah Al Furqan ini (dengan bacaan seperti itu) yang saya mendengar engkau membacanya. Ia berkata: “Rasulullah saw. yang membacakannya kepadaku. Aku berkata (membantah kepadanya: “Engkau dusta.” Sesungguhnya Rasulullah saw. Membacakan surah ini kepadaku berbeda dengan apa yang engkau baca. Maka aku (Umar) segera berangkat dengannya mengadukan persoalannya kepada Rasulullah saw. Maka aku berkata: “Sesungguhnya saya mendengar Hisyam (ini) membaca surah Al Furqan atas huruf-huruf yang tidak (pernah) engkau membacakannya kepadaku. Maka Rasulullah bersabda: “Lepaskan dia (Hisyam) (dan setelah Hisyam berada di hadapan Rasulullah saw.), beliau berkata: “bacalah ya Hisyam! Maka ia pun membacakan qira’at yang telah aku dengar itu, maka Rasulullah bersabda: “Demikianlah Al-Qur’an itu diturunkan. Kemudian Rasulullah bersabda: “bacalah hai Umar! Maka aku membacakan qira’at yang telah dibacakan kepadaku. Maka Rasulullah bersabda: “Demikianlah (Al-Qur’an) diturunkan, sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf, maka hendaklah kamu membaca (Al-Qur’’an) dengan memakai bacaan (qira’at) yang mudah daripadanya.

c.       Hadis riwayat Muslim dari Ubay

Artinya: “Dan Ubay bin Ka’ab berkata: Aku sedang berada di masjid, kemudian termasuklah seorang laki-laki membacakan ayat dengan qira’at yang tiada aku mengenalnya. kemudian masuk pula laki-laki lain, maka ia pun membaca qira’at yang berbeda dengan qira’at sahabatnya, maka kami berdiri semua lain mendatangi (ramah) Rasulullah saw. Maka aku berkata: Sesungguhnya laki-laki ini membaca (Al-Qur’an) dengan qira’at yang tidak aku kenal dan masuk pula laki-laki lain, maka ia membaca yang lain dari sahabatnya (berbeda). Kemudian Rasulullah memerintahkan membaca kepada kedua (laki-laki) itu, maka mereka pun membaca qira’atnya (masing-masing). Lalu nabi bersabda: Kalian bedua benar, setelah nabi mengatakan kepada keduanya tentang bacaannya benar, maka merasa berat padaku dan tiadalah aku seperti pada zaman Jahiliyah lagi. Maka ketika Rasulullah melihat (ada sesuatu) yang menyebabkan aku murung, lalu beliau memukul dadaku, hingga mengalir keringatku dan seolah-olah aku melihat Allah swt. berbeda (dari sebelumnya). Rasulullah berkata: Hai Ubay, diperintahkan kepadaku agar aku membaca dengan satu huruf. Maka aku memohon kepada-Nya agar diberi kemudahan bagi umatku. Maka ia menjawab kedua kalinya (agar) aku membaca Al-Qur’an dengan dua huruf, maka aku mengulangi lagi (permintaanku) agar memberi keringanan lagi buat umatku. Maka ia menjawab ketiga kalinya (dan memerintahkan): “Bacalah Al-Qur’an itu dengan tujuh huruf dan engkau berhak memohonkan permintaan yang engkau minta kepada-Ku.” Maka aku berdoa: “Wahai Allah! ampunilah umatku, ampunilah umatku dan aku mengundurkan (doa yang ketiga kalinya) sampai pada hari di mana setiap orang senang kepadaku, sampai kepada Nabi Ibiahim as.


Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis tentang Al-Qur’an diturunkan tujuh huruf adalah hadis-hadis mutawatir (lafzy). Bahkan Jumhur Ulama cenderung mengatakan mushaf Usman pun memuat tulisan Al-Qur’an dengan tujuh huruf itu. Diriwayatkan oleh Muslim dari Ubay bin Ka’ab bahwa kedatangan Jibril kepada Nabi saw. yang menyuruh beliau membaca Al-Qur’an dengan satu huruf. Rasulullah bermohon ampun dan maaf kepada Allah sebab umat beliau tiada sanggup dengan satu cara itu saja. Untuk kedua kalinya Allah memerintahkan nabi membacakan Al-Qur’an dengan dua cara dan beliau pun masih memohonkan ampun dan maaf kepada Allah karena dengan dua cara itu pun masih terasa berat bagi umat beliau. Untuk ketiga kalinya Jibril datang membawa pesan Allah agar beliau membacakan Al-Qur’an dengan tiga cara dan beliau pun masih mohon keringanan. Maka pada kali yang keempat Jibril datang dan mengabarkan bahwa Allah memerintahkan beliau membacakan Al-Qur’an dengan tujuh cara. Membaca Al-Qur’an dengan ketujuh cara itu benar.

Dari beberapa hadis (terutama dua hadis terakhir di atas) dapatlah disimpulkan bahwa dengan adanya qira’at Al-Qur’an yang macam-macam (Sab’atu Ahruf) Allah bermaksud memberikan kemudahan bagi umat Islam yang tidak seluruhnya dapat membaca Al-Qur’an dengan sempurna. Kemudahan tersebut menunjukkan bahwa Islam dalam hal membaca Al-Qur’an dengan bahasa Arab tersebut, tidak memberikan beban yang berat.

C.     Pengertian Al-Qur’an Dengan 7 Huruf

Dijelaskan oleh Ash-Shabuni (2001:346) bahwa kata “ahruf” adalah bentuk jamak dari “harfun” yang oleh pengarang kamus diartikan sebagai ujung atau pinggir sesuatu, atau puncak (gunung). Akan tetapi ada pula yang mengartikannya sebagai “ragu” atau “tepi”, mengingat firman Allah ‘Azza wajalla: “Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dipinggir-pinggir (dalam keraguan)… “(QS. Al-Haj: 11), yakni menyembah-Nya hanya di waktu makmur. Tetapi waktu krisis, tidak. Atau menyembah-Nya dengan tidak tenang, yakni tidak masuk ke dalam agama Allah dengan teguh. Adapun yang dimaksudkan “Al-Qur’an itu diturunkan atas tujuh huruf”, yaitu tujuh bahasa dari bahasa-bahasa bangsa Arab. Bukan berarti tujuh huruf seperti yang kita tahu di mana Al-Qur’an itu datang dengan dua puluh tujuh huruf atau lebih, melainkan sekali lagi artinya adalah bahwa tujuh bahasa yang berbeda-beda dalam Al-Qur’an.

Dari uraian di atas, kita tahu bahwa kata “huruf” mempunyai banyak arti, namun yang dikehendaki adalah satu yang sesuai dengan qarinah dan maqam. Dengan demikian yang dimaksudkan huruf adaJah “wajhun/segi”, ini berdasarkan dalil sabda beliau: “Al-Qur’an diturunkan atas tujuh huruf (wajah bacaan)”, untuk memperluas dan mempermudah, sehingga ucapan itu akan berarti: “Al-Qur’an diturunkan dengan luas yang di dalamnya pembaca dapat membacanya dengan tujuh wajah (bacaan). Dengan wajah manapun dia hendak membacanya”, atau seolah-olah Rasulullah Saw. itu bersabda: “Sedemikian luasnya Al-Qur’an itu diturunkan”.

Memang disini banyak terdapat perselisihan pendapat dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan 7 huruf tersebut. Namun pendapat bahwa 7 huruf adalah 7 wajah bacaan adalah cukup kuat. Yang menjadi persoalan juga disini adalah apakah bilangan 7 itu mutlak? Ternyata, dalam tradisi bahasa Arab, kata 7 menunjukkan pengertian “tawassul” (bilangan yang tak terhingga). Dengan demikian, bilangan 7 disini bisa diartikan sebagai bilangan yang bermakna lebih dari 7.

D.    Macam-Macam Qira’at

Diatas telah diterangkan mengenai teori asal usul munculnya macam-macam qira’at yaitu bahwa bahwa sekelompok orang tertentu di zaman Rasul menekuni bacaan (qira’at) Al-Quran, mengajarkan dan mempelajarinya. Mereka selalu ingin mengetahui ayat-ayat yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad s.a.w., kemudian menghafalkannya. Dan terkadang mereka membaca ayat-ayat itu di hadapan Nabi agar disimak.

Sebagian mereka menjadi guru. Orang-orang yang belajar qira’at kepada mereka meriwayatkannya dengan menyebutkan sanad-nya dan mereka sering menghafalkan qira’at yang diriwayatkan dari seorang guru. Penghafalan dan periwayatan seperti ini memang sesuai untuk masa itu, karena tulisan yang digunakan pada waktu itu adalah tulisan kufi. Dalam tulisan ini satu kata dapat dibaca dengan beberapa cara. Oleh karena itu, harus belajar langsung kepada guru, kemudian menghafalkan dan meriwayatkan.

Selain itu, kebanyakan orang pada waktu itu masih buta huruf, tidak bisa tulis-baca dan belum mengenal cara menjaga pelajaran selain menghafal dan meriwayatkan. Cara ini juga terus diikuti dalam masa-masa berikutnya.

Kelompok pertama para qurra’ adalah para qurra’ dari kalangan sahabat Nabi yang tekun mengajar dan belajar di masa hidup beliau. Mereka itu antara lain yang terkemuka adalah Usman, Ali, Ubay bin Ka’b, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Mas’ud dan Abu Musa al-Asy’ari. (Thabathaba’i, 1992:135)

Kelompok kedua adalah murid-murid dari kelompok pertama. Mereka ini adalah dari generasi tabi’in dan mempunyaihalqah (kelas belajar) di kota-kota Makkah, Madinah, Kufah, Basrah dan Suriah. Ke kota-kota inilah Mus-haf Imam dikirimkan.

Kelompok ketiga adalah para qurrai yang hidup kurang lebih pertengahan pertama abad kedua hijrah. Mereka itu adalah sekelompok imam qurra’ yang belajar kepada kelompok kedua.

Di antara para qurra’ kelompok ketiga yang paling banyak dikenal adalah tujuh orang imam qira’at. Mereka ini menjadi rujukan dalam ilmu qira’at dan mengalahkan imam-imam yang lain. Dari masing-masing tujuh imam itu dikenal dua orang perawi di antara sekian banyak perawi yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Nama-nama tujuh imam dan dua orang perawinya itu adalah sebagai berikut:

1.      Ibnu   Katsir dari Makkah. Dua orang perawinya adalah Qanbul dan Bazzi yang meriwayatkan qira’at darinya melalui seorang perantara.

2.      Nafi’ dari Madman. Dua orang perawinya adalah Qalun dan Warasy.

3.      Ashim dari Kufah. Dua orang perawinya adalah Abu Bakar Syu’bah bin al-‘Iyasy dan Hafs. Al-Qur’an yang ada di kalangan kaum Muslimin dewasa ini adalah memakai qira’at Ashim yang diriwayatkan oleh Hafs.

4.      Hamzah dari Kufah. Dua orang perawinya adalah Khalf dan Khalaad yang meriwayatkan qira’at darinya melalui satu perantara.

5.      Al-Kisa’i dari Kufah. Dua orang perawinya adalah Dauri dan Abul Harits.

6.      Abu Amr bin al- ‘Ala’ dari Basrah. Dua orang perawinya adalah Dauri dan Sausi yang meriwayatkan qira’atdarinya melalui seorang perantara.

7.      Ibnu ‘Amir. Dua orang perawinya adalah Hisyam dan Ibnu Zakwan yang meriwayatkan melalui satu perantara.

Kemasyhuran qira’at sab’ah (tujuh qira’at yang diriwayatkan dari tujuh imam qira’at di atas) diiringi oleh tiga qira’at lain yang diriwayatkan dari Abu Ja’far, Ya’kub dari Khalaf.

Ada beberapa qira’at lain yang tidak terkenal, seperti qira’at yang disebutkan   sebagai   berasal  dari   sebagian  sahabat, qira’at syadz (tidak populer) yang tidak boleh diamalkan, serta qira’at-qira’at yang terpencar-pencar yang dijumpai dalam beberapa hadis yang diriwayatkan dari para Imam Ahlul Bait. Mereka ini memerintahkan kepada pengikut-pengikutnya untuk mengikuti qira’at yang terkenal itu.


E.     Tolok Ukur Validitas Qira’at

Untuk menangkal penyelewengan qira’at yang sudah mulai muncul, para ulama membuat persyaratan-persyaratan bagi qira’at yang dapat diterima. Untuk membedakan antara qira’at yang benar dan qira’at yang aneh (sya’zzah), para ulama membuat tiga syarat bagi qira’at yang benar. Pertama, qira’at itu sesuai dengan bahasa Arab sekalipun menurut satu jalan. Kedua, qira’at itu sesuai dengan mushhaf utsmani. Ketiga, bahwa sahih sanadnya, baik diriwayat­kan dari imam qira’at yang tujuh dan yang sepuluh, maupun dari imam-imam qira’at yang selain mereka. Setiap qira’at yang memenuhi kriteria ini adalah qira’at yang benar yang tidak boleh ditolak dan harus diterima. Sebaliknya, qira’at yang kurang salah satu dari tiga syarat ini disebut sebagai qira’at yang lemah atau aneh atau batal, baik qira’at tersebut diriwayatkan dari imam qira’at yang tujuh maupun dari imam yang lebih besar dari mereka. Inilah pendapat yang benar menurut imam-imam yang meneliti dari kalangan Salaf dan Khalaf. Demikian ditegaskan oleh Al-Dani, Makki, Al-Mahdi, dan Abu Syamah. Bahkan, menurut Al-Suyuthi, pendapat ini menjadi mazhab Salaf yang tidak diketahui seorang pun dari mereka menyalahinya. (Ramli Abdul Wahid, 1993:119)

Mayoritas  ulama Ahlus  Sunnah   berkeyakinan bahwa tujuh qira’at di  atas  diriwayatkan  secara  mutawatir, sehingga sabda Nabi,  “Al-Qur’an  diturunkan dengan  memakai tujuh  huruf”, ditafsirkan oleh sebagian mereka sebagai diturunkan dengan me­makai  tujuh qira’at itu. Sebagian  ulama Syi’ah juga condong kepada pendapat ini. (Thabathaba’i, 1992:139)

Namun Makki menyatakan,. “Sungguh salah bila orang menganggap bahwa qira’at para qura, seperti Nafi’ dan ‘Ashim, itu adalah tujuh huruf yang disebutkan dalam hadis Nabi (di atas).” Selanjut­nya ia menyatakan, “Anggapan ini membawa konsekuensi bahwa qira’at di luar qira’at tujuh imam itu, yang telah pasti diriwayat­kan dari imam-imam selain mereka dan sesuai dengan tulisan mushaf, bukan merupakan Al-Qur’an. Ini merupakan kesalahan yang besar, sebab ahli-ahli qira’at terdahulu yang menyusun buku-buku tentang qira’at-qira’at Al-Qur’an, seperti Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, Abu Hatim as-Sijistani, Abu Ja’far ath-Thabari dan Ismail al-Qadhi menyebutkan qira’at-qira’at yang jumlahnya beberapa lipat dari jumlah tujuh qira’at itu. (Thabathaba’i, 1992:139)


F.      Implikasinya Dalam Penafsiran

Yang menjadi persoalan adalah, apakah perbedaan-perbedaan yang ada pada qira’at itu berimplikasi pada penafsiran? Jawabnya, perbedaan-perbedaan ini sudah barang tentu membawa sedikit atau banyak, perbedaan kepada makna yang selanjutnya berpengaruh kepada hukum yang diistinbath daripadanya. Karena itu, Al-Zarkasyi berkata: (Ramli Abdul Wahid, 1993:123)

Artinya: “Bahwa dengan perbedaan qira’at timbullah perbedaan dalam hukum. Karena itu, para ulama fiqh membangun hukum batalnya wudhu’ orang yang disentuh (lawan jenis) dan tidak batalnya atas dasar perbedaan qira’at pada: “kamu sentuh” dan “kamu saling menyentuh”. Demikian juga hukum bolehnya mencampuri perempuan yang sedang haidh ketika terputus haidhnya dan tidak bolehnya hingga ia mandi (dibangun) atas dasar perbedaan mereka dalam bacaan: “hingga mereka suci”.

Menurut qira’at Nafi’ dan Abu ‘Amr dibaca  dan menurut qira’at hamzah dan Al-Kisai; . Qira’a  pertama dengan sukun tha  dan dhammah ha’ menunjukkan larangan menggauli perempuan itu pada ketika haidh. Ini berarti bahwa ia boleh dicampuri setelah terputusnya haidh sekalipun sebelum mandi. Inilah pendapat Abu Hanifah. Sedangkan qira’at kedua dengan tasydid (suara ganda) tha’ dan ha’   menunjukkan adanya perbuatan manusia dalam usaha menjadikan dirinya bersih. Per­buatan itu adalah mandi sehingga  ditafsirkan dengan  (mandi).  Berdasarkan qira’at Hamzah dan Al-Kisai, jumhur ulama menafsirkan bacaan yang tidak bertasydid dengan makna bacaan yang bertasydid.

Perbedaan antara qira’at dan juga mempengaruhi  perbedaan dalam istinbath hukum. Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, semata-mata bersentuh antara laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu’. Sebab, menurut Hanafi, kata;     di sini berarti jima’ (hubungan kelamin) dan menurut Maliki berarti bersentuhan yang disertai dengan perasaan nafsu. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, ber­sentuhan semata akan membatalkan wudhu’.

Dari sudut qira’at, perbedaan qira’at dalam ayat ini jelas menimbulkan perbedaan pengertian. Qira’at pertama: mengandung unsur interaksi antara pihak yang menyentuh dan yang di­sentuh, baik interaksinya sampai kepada jima’sebagaimana yang dipahami mazhab Hanafi maupun haanya sampai kepada batas perasaan syahwat sebagaimana yang dipahami dalam mazhab Maliki. Sebab, kata: termasuk bentuk kata kerja musyarakah dalam ilmu sharaf. Sementara itu, qira’at: adalah bentuk kata kerja muta’addi (transitif) yang tidak mengandung unsur musyarakah. Karena itu, qira’atpertama mendukung pendapat mazhab Hanafi dan Maliki dan qira’at kedua mendukung pendapat mazhab Syafi’i. Di samping ini, masing-masing memang mempunyai alasan lain.

Demikianlah beberapa contoh, yang menunjukkan bahwa perbedaan qira’at itu juga berimplikasi dari perbedaan penafsiran ulama dalam mengistinbat hukum.











BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Perbedaan pembacaan atau pelafalan kitab suci Al-Qur’an bukan berarti tidak sesuai dengan Al-Qur’an itu sendiri, karena perbedaan itulah timbul yang namanya Ilmu Qiraat Al-Qur’an, tidak semua orang dapat membuat perbedaan bacaan tersebut. Ada syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Ada 7 imam yang dapat kita anut pembacaannya diantaranya Ibnu   Katsir dari Makkah, Nafi’ dari Madman, Ashim dari Kufah, Hamzah dari Kufah, Al-Kisa’i dari Kufah, Abu Amr bin al- ‘Ala’ dari Basrah, Ibnu ‘Amir. Dalam perbedaan pembacaan Al-Qur’an tentunya akan menjadikan perbedaan dalam penafsiran, tetapi bukan berarti bentuk penyelewengan Al-Qur’an.


B.     Saran

Kita sebagai seorang Muslim harusnya mengetahui tantang Ilmu Qiraat supaya nantinya jika terdapat perbedaan pembacaan Al-Qur’an maka kita tidak hanya menyalahkan, tapi mengetahui karena memang ada perbedaan pembacaannya, dan juga kita dapat mengetahui imam-imam yang harus dianut dalam pembacaa Al-Qur’an




DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Rosihon,  Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010


Mudzakar, op.cit


MAKALAH AMTSAL AL-QUR'AN

View Article

 BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Sejak jaman jahiliyah atau sebelum kedatangan rasul masyarakat Arab sudah gemar berpantun dan bersyair. Semakin indah pantun dan syair seseorang maka semakin tinggi pula status sosial seseorang. Ketika Allah SWT yang maha mengetahui mengutus seorang rasul dengan dibekali firman-firman dari Allah yang kemudian dibukukan menjadi sebuah kitab dengan bahasa dan sastranya tidak bisa ditandingi oleh siapapun.

Disamping bahasa dan sastranya yang indah, Al-Qur’an juga menggunakan perumpamaan-perumpamaan (amtsal) yang sangat indah dan logis, yang mampu diterima oleh masyarakat. Namun karena begitu indahnya terkadang ‘ulama pun akan kesulitan dalam menafsirkan perumpamaan-perumpamaan tersebut.

Dengan analogi yang benar, kita akan lebih mengetahui ilmu yang kita yakini. Tamtsil (perumpamaan) merupakan kerangka yang dapat menampilkan makna-makna dalam bentuk yang hidup didalam pikiran. Biasanya dilakukan dengan mempersonifikasikan sesuatu yang ghoib dengan yang hadir, yang abstrak dengan yang konkrit, atau menganalogikan hal dengan sesuatu yang sama. Dengan tamtsil betapa banyak makna yang baik, dijadikan lebih indah, menarik dan mempesona.


B.     Rumusan Masalah

1.         Apakah pengertian dari amtsal al-qur’an?

2.         Apa saja unsur-unsur amtsal al-qur’an?

3.         Apa saja macam-macam amtsal al-qur’an?

4.         Apa saja sighat amtsal al-qur’an?

5.         Apa saja kegunaan amtsal al-qur’an?



C.    Manfaat Makalah


Mengatahui pengertian dari amtsal al-qur’an

 Mengatahui unsur-unsur amtsal al-qur’an.

 Mengatahui-macam-macam amtsal al-qur’an.

Mengatahui sighat amtsal al-qur’an.

Mengatahui kegunaan amtsal al-qur’an.




























BAB II

PEMBAHASAN


A.    Pengertian Amtsal

Amtsal adalah bentuk jamak dari matsal. Kata matsal, mitsl dan matsil serupa dengan syabah, syibh dan syabih, baik lafazh maupun maknanya. Amsal dalam sastra adalah penyerupaan suatu keadaan dengan keadaan yang lain, demi tujuan yang sama, yaitu menyerupakan sesuatu dengan yang aslinya.

Secara etimologi, kata amtsal adalah bentuk jamak dari mitsl dan matsal yang berarti serupa atau sama. Namun, dapat juga diartikan sebagai contoh, teladan, peribahasa atau cerita perumpamaan.[1])

Sedangkan menurut istilah ada beberapa pendapat. Menurut istilah ulama ahli adab, amtsal adalah ucapan yang banyak menyamakan keadaan sesuatu yang diceritakan dengan sesuatu yang dituju.

Menurut ulama ahli tafsir, amtsal adalah menampakkan penampakan yang abstrak dalam ungkapan yang indah, singkat dan menarik, yang mengena dalam jiwa, baik dalam bentuk tasybih maupun majaz mursal.[2]) 


B.     Unsur-unsur Amtsal Al-Qur’an

Didalam matsal  haruslah terdapat empat unsur yaitu:

1.         Ada yang disempurnakan (musyabbah), yaitu sesuatu yang akan diperumpamakan.

2.         Ada asal ceritanya (musyabbah bih), yaitu sesuatu yang dijadikan perumpamaan.

3.         Ada persamaannya (wajhul musyabbah), yaitu segi perumpamaan.

4.         Ada alat Tasybih, yaitu kaf, mitsil, kaana, dan semua lafaz yang menunjukkan makna perserupaan.

Contoh tamtsil dalam Al-Qur’an

مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ

Artinya: “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan . Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.”

Dari contoh tersebut wajhul syabbahnya adalah “kesia-siaan”(tidak bermanfaat) dan alat tasybihnya menggunakan kata mitsil (مثل). Sedangkan musyabbah dan musyabbah bihnya adalah amalan orang kafir dan abu.[3])


C.    Macam-macam Amtsal Al-Qur’an

Amtsal di dalam Al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

1.       Amtsal Musarrahah adalah amtsal yang didalamnya dijelaskan dengan lafaz matsal . Seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah :17

مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لا يُبْصِرُون

Artinya: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat.”

2.       Amtsal Kaminah adalah amtsal yang di dalamnya tidak disebutkan dengan jelas lafaz tamtsil tetapi ia menunjukkan makna-makna yang indah, menarik, dalam kepadatan redaksinya dan mempunyai pengaruh tersendiri bila dipindahkan kepada yang serupa dengannya. Contoh pada al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 68 :

قَالُوا ادْعُ لَنَا رَبَّكَ يُبَيِّنْ لَنَا مَا هِيَ قَالَ إِنَّهُ يَقُولُ إِنَّهَا بَقَرَةٌ لا فَارِضٌ وَلا بِكْرٌ عَوَانٌ بَيْنَ ذَلِكَ فَافْعَلُوا مَا تُؤْمَرُونَ

Artinya : Mereka menjawab: "Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami, agar Dia menerangkan kepada kami, sapi betina apakah itu." Musa menjawab: "Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang tidak tua dan tidak muda; pertengahan antara itu; maka kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu". (al-Baqarah : 68)

Ayat tersebut yang senada dengan suatu ungkapan “sebaik-baik perkara yang tidak berlebihan, adil, dan seimbang.” Yaitu seperti firman Allah diatas yang artinya : “Sapi betina yang tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara itu”

3.       Amtsal Mursalah adalah kalimat-kalimat bebas yang tidak menggunakan lafaz tasybih secara jelas, tetapi kalimat-kalimat itu berlaku sebagai matsal. Contoh pada al-Qur’an surat al-Mudatstsir ayat 38

 كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ

Artinya:”Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” [4])

D.    Sighat Amtsal Al-Qur’an

Sighat Amtsalil Qur’an terdiri dari beberapa bentuk, antara lain :

1.      Sighat tasybih ash-sharih (tasybih yang jelas)

Yaitu bentuk perumpamaan yang jelas dimana didalamnya terungkap kata-kata mastsal (perumpamaan). Contohnya seperti ayat 24 surah Yunus


إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ

Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu adalah seperti air (hujan) yang kami turunkan dari langit.”

Dalam ayat tersebut jelas tampak adanya lafal al-matsal yang berarti perumpamaan.


2.      Sighat tasybih adh-dhimni (tasybih yang terselubung)

Yaitu bentuk perumpamaan yang tersembunyi, didalam perumpamaan itu tidak terdapat kata al-amtsal, tetapi perumpamaan itu diketahui dari segi artinya. Contoh QS. Al Hujarat ayat 12


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلا تَجَسَّسُوا وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka, karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”

Dalam ayat tersebut tidak terdapat kata-kata al-matsal (perumpamaan), tetapi arti itu jelas menerangkan perumpaman , yaitu mengumpamamakan menggunjing orang lain yang disamakan dengan makan daging bangkai saudaranya sendiri.[5])

3.      Sighat majaz mursal

Yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan yang bebas dan tidak terikat dengan asal ceritanya. Contohya seperti dalam ayat 73 Surat Al hajj


يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَنْ يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ وَإِنْ يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لا يَسْتَنْقِذُوهُ مِنْهُ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

Artinya: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kalian seru selain Allah sekali – kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakanya. Dan jika lalat-lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahnya yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah .”

4.      Sighat majaz Murakkab

Yaitu sighat dengan bentuk perumpamaan ganda yang segi persamaanya diambil dari dua hal yang berkaitan, dimana kaitanya adalah perserupamaan yang telah biasa digunakan dalam ucapan sehari-hari yang berasal dari isti’arah tamtsiliyah. Contohnya seperti melihat orang yang ragu-ragu akan pergi atau tidak, maka diucapkan saya lihat kamu itu maju mundur saja. Dalam al-qur’an contohnya seperti dalam QS Al – jumu’ah ayat 5


مَثَلُ الَّذِينَ حُمِّلُوا التَّوْرَاةَ ثُمَّ لَمْ يَحْمِلُوهَا كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ أَسْفَارًا بِئْسَ

 مَثَلُ الْقَوْالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

Artinya: ”Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim."

disini keadaan keledai yang tidak bisa memanfaatkan buku dengan baik, padahal dia yang membawa buku yang tebal-tebal itu.[6])

5.      Sighat isyti’arah  

Dengan bentuk perumpamaan sampiran. Bentuk ini hampir sama dengan majas murokkab, karena memang merupakan asalnya. Contohnya seperti sebelum memanah harus dipenuhi tempat anak panahnya. Contohnya dalam al-qur’an seperti daam ayat 24 QS Yunus


إِنَّمَا مَثَلُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا كَمَاءٍ أَنْزَلْنَاهُ مِنَ السَّمَاءِ فَاخْتَلَطَ بِهِ نَبَاتُ الأرْضِ مِمَّا يَأْكُلُ النَّاسُ وَالأنْعَامُ حَتَّى إِذَا أَخَذَتِ الأرْضُ زُخْرُفَهَا وَازَّيَّنَتْ وَظَنَّ أَهْلُهَا أَنَّهُمْ قَادِرُونَ عَلَيْهَا أَتَاهَا أَمْرُنَا لَيْلا أَوْ نَهَارًا فَجَعَلْنَاهَا حَصِيدًا كَأَنْ لَمْ تَغْنَ بِالأمْسِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ


Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air yang Kami turunkan dan langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai perhiasannya , dan pemilik-permliknya mengira bahwa mereka pasti menguasasinya , tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan kepada orang-orang berfikir”.[7])





E.     Kegunaan Amtsal Al-Qur’an

1.     Pengungkapan pengertian yang abstrak dengan bentuk yang kongkrit yang dapat ditangkap dengan indera manusia.

2.     Dapat mengumpulkan makna yang indah, menarik dalam ungkapan yang singkat dan padat.

3.     Mendorong giat beramal, melakukan hal-hal yangn menarik dalam Al-Qur’an.

4.     Menghindarkan dari perbuatan tercela.

5.     Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.[8])

















BAB III

PENUTUP


A.    Kesimpulan

Amsal adalah penyerupaan suatu keadaan dengan keadaan yang lain, demi tujuan yang sama. Unsur-Unsur Amtsal Al-Qur’an diantaranya adalah musyabbah, musyabbah bih, wajhul musyabbah, dan alat Tasybih,

Sedangkan Amtsal di dalam Al-Qur’an dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Amtsal Musarrahah, Amtsal Kaminah, Amtsal Mursalah.

Sighat Amtsalil Qur’an terdiri dari beberapa bentuk, antara lain : Sighat tasybih ash-sharih, Sighat tasybih adh-dhimni, Sighat majaz mursal, Sighat majaz Murakkab, Sighat isyti’arah.

Sementara kegunaan amtsal al-qur’an adalah Pengungkapan pengertian yang abstrak dengan bentuk yang kongkrit yang dapat ditangkap dengan indera manusia, Dapat mengumpulkan makna yang indah, menarik dalam ungkapan yang singkat dan padat, mendorong giat beramal, menghindarkan dari perbuatan tercela, Memberikan kesempatan kepada setiap budaya dan juga bagi nalar para cendekiawan untuk menafsirkan dan mengaktualisasikan diri dalam wadah nilai-nilai universalnya.


B.     Saran

Bagi semua umat Islam, agar kiranya untuk lebih memahami ‘Ulumul Qur’an lebih mendalam agar bertambah pula iman kita. Dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Hasyim, Ahmad. 1993. Jawahir al-Adab. Bairut:  Dar el-fikri.

Abdul Lathif, Wahab. 1993. Musu’ah Amtsal al-Qur’aniyyah, Kairo.

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1977. Ilmu Qur’an, Jakarta : Bulan Bintang.

Hadiri, Chairuddin. 2005. Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, Jakarta:Gema Insani.

Anwar, Rosihon. 2000. Ilmu Tafsir, Pustaka Setia: Bandung.

Djalal, Abdul, 2000.Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu.

Rofi’I, Ahmad. 1997. Ulumul Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.



[1] ) Ahmad Al-Hasyim, Jawahir al-Adab, Bairut:  Dar el-fikri, 1993. Hlm. 107.

[2] ) Ahmad Rofi’I,  Ulumul Qur’an, Bandung: Pustaka Setia, 1997. hlm. 35.

[3] ) Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia: Bandung, 2000. hlm. 93-94

[4] ) Abdul Djalal, Ulumul Qur’an, Surabaya: Dunia Ilmu, 2000. Hlm. 309-3010

[5] ) Wahab  Abdul Lathif, Musu’ah Amtsal al-Qur’aniyyah, Kairo, 1993. hlm. 203

[6] )  Chairuddin Hadiri, Klasifikasi Kandungan al-Qur’an, Jakarta : Gema Insani, 2005. hlm. 73

[7] )  ibid, hlm. 75


MAKALAH I'JAZUL QUR'AN

View Article

 BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar  Belakang

       Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin yang menjadi sumber ajaran islam yang pertama dan utama yang harus kita imani serta aplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan di dunia maupun di akhirat. I’jazul Qur’an adalah bagian dari ilmu tafsir yang mempelajari tentang segala sesuatu yang menyangkut kemukjizatan Al-Qur’an. Keistimewaan Al-Qur’an inilah yang menjadi daya tarik sendiri dari juz,surat,ayat,kalimat, bahkan apa yang ada dalam huruf per huruf di Al-Qur’an itu merupakan anugerah dari Allah SWT.

      Kemukjizatan Al-Qur’an adalah sesuatu yang diberikan Allah untuk kekasih-Nya,beliau Nabi Muhammad SAW. Kemukjizatan yang tidak di berikan Allah kepada siapapun baik sebelum maupun sesudah Nabi Muhammad SAW. Inilah yang merupakan keistimewaan tersendiri dari Al-Qur’an sekaligus sebagai mukjizat rahmatan lil’alamin.

 Al-Qur’an adalah kitab suci kaum muslimin menjadi sumber ajaran Islam yang pertama dan utama yang harus mereka imani serta diaplikasikan dalam kehidupan agar memperoleh kebaikan di dunia dan di akhirat. Selain itu Al-Qur’an menjadi mu’jizat terbesar bagi Nabi Muhammad SAW, dan mu’jizat Al-Qur’an ini hukumnya sepanjang masa, karena tidak akan ada satu manusia pun yang mampu membawa satu kitab tandingan atau sama dengan Al-Qur’an. Jadi, sebagai seorang muslim wajib bagi kita untuk mengimaninya dengan sepenuh hati.

Dan sudah sewajarnya pula mengetahui segala sesuatu tentang mu’jizat Al-Qur’an. Karena ada banyak sekali hikmah yang dapat kita ambil untuk menambah keimanan kita.

I’jazul Qur’an adalah bagian dari Ilmu Tafsir yang mempelajari tentang segala sesuatu yang menyangkut kemu’jizatan Al-Qur’an. Dan makalah ini dibuat dengan tujuan memperjelas kemu’jizatan Al-Qur’an.

Dan diharapkan setelah kita memahaminya kita dapat lebih mencintai Al-Qur’an dan mengamalkannya dalam setiap segi kehidupan.


B.     Rumusan masalah

1.      Apa pengertian I’jazul Qur’an?

2.      Bagaimana sejarah perkembangan I’jazul Qur’an?

3.      Apa tujuan dan fungsi I’jazul Qur’an?

4.      Apa saja macam-macam I’jazul Qur’an?

5.      Apa saja segi-segi I’jazil Qur’an dan fungsinya?

6.      Bagaimana pendapat para ulama tentang kemukjizatan Al-Qur’an?












BAB  II

PEMBAHASAN


1.              Pengertian I’jazul Qur’an

Kata i’jaz diambil dari akar kata a’jaza-yu’jizu yang secara harfiyah(bahasa) berarti lemah,tidak mampu,tidak berdaya. Yang dimaksud i’jaz dalam pembicaraan ini ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul dengan menampakkan kelemahan orang arab untuk  menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an. Dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka.

Adapun Manna Al Qatthan mendefinisikan dengan hal serupa yaitu “amrun khariqun lil’addah maqrunun bit tahaddiy salimun anil mu’aradhah”yaitu suatu kejadian yang keluar dari kebiasaan,disertai dengan unsur tantangan,dan tidak dapat ditandingi.

Sedangkan Al-Thushi mendefinisikan mu’jizat dengan terjadinya sesuatu yang tidak  bisa terjadi yang disertai dengan pemberontakan terhadap adat kebiasaan dan hal itu sesuai dengan tuntutan. Pengertian ini adalah pengertian mu’jizat dari segi istilah sebagaimana yang diugkapkan Az zarqani,mu’jizat adalah sesuatu yang membuat manusia tidak mampu baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,untuk mendatangkan yang seperti itu,dan pengertian mu’jizat menurut Dr.Tantowi ialah ilmu yang membahas tentang keunggulan Al-Qur’an dan menyikap ilmu yang ada di dalamya yang dapat diungkap oleh ilmu pengetahuan di era modern.

Sedangkan kalimat I’jazul Qur’an itu seniri merupakan bentuk idhafah,menurut Imam Zarqani “I’jazul Qur’an secara bahasa berarti di tetapkannya Al Qur’an itu melemahkan bagi yang akan menandinginya. Adapun pengertian mu’jizat menurut theology (mutakallimin) adalah munculnya sesuatu hal yang berbeda dengan kebiasaan yang terjadi di dunia (khariqun adah) untuk menunjukkan kebenaran kenabian (nubuwwah) para ulama[1]

2.                 Sejarah Perkembangan I’jazul Qur’an

Ada ulama yang berpendapat, orang yang pertama kali menulis I’jazul Quran ialah Abu Ubaidah (wafat 208 H) dalam kitab Majazul Quran. Lalu disusul oleh Al-farra (wafat 207 H) yang menulis kitab Ma’anil Quran. Kemudian disusul Ibnu Quthaibah yang mengarang kitab Ta’wilu Musykikil Qur’an

Pernyataan terebut dibantah Abdul Qohir Al-Jurjany dalam kitabnya Dalailul I’jaz, bahwa semua kitab tersebut di atas bukan ilmu I’jazul Qur’an, melainkan sesuai dengan nama judul-judulnya itu.

Menurut Dr. Subhi Ash-sholeh dalam kitabnya Mabahis fi Ulumil Qur’an, bahwa orang yang pertama kali membicarakan ijazul Qur’an adalah imam Al-jahidh (wafat 255 H), ditulis dalam kitab Nuzhumul Qur’an, hal ini seperti diisyaratkan dlam kitabnya yang lain, Al Hayyam. Lalu disusul muhammad bin Zaid Al-wasithy (wafat 306 H) dalam kitab I’jazul Qur’an yang banyak mengutip isi kitab Al-jahidh tersebut di atas. Kmudian dilanjutkan Imam Arrumany (wafat 384 H). Dalam kitab Al-i’jaz yang isinya mengupas segi-segi kemukjizatan Al-Qur’an. Lalu disusul oleh Al-Qadhy Abu bakar Al-baqillany (wafat 403 H) dalam kitab I’jazul Qur’an , yang isinya mengupas segi-segi kebhalagahan Alquran, di samping segi-segi kemukjizatanya. Kitab ini sangat populer. Kemudian disusul Abdul Qohir Al-jurjany (wafat 471 H) dalam kitab Dala’alul i’jaz dan Asrarul Balaghah.

Para pujangga modern seperti Musthofa Shodiq Ar-Rofi’y menulis tentang ilmu ini dalam kitab Tarikhul Adabil Arabi dan prof. Dr. Sayyid Quthub dalam buku At-tashwirul fanni fil qur’an dan At-ta’birul fanni fil Qur’an[2]

3.                 Tujuan dan Fungsi I’jazul Qur’an

Tujuan ijazul qur’an

a.       membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa mukjizat kitab Al-Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi atau Rasul Allah. Beliau diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT kepada umat manusia dan untuk mencanangkan tantangan supaya menandingi Al-Qur’an kepada mereka yang ingkar

b.      membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan malaikat Jibril dan bukan tulisan Nabi Muhammad SAW. Sebab seandainya Al-Qur’an itu buat Nabi Muhammad yang seorang ummi (tidak pandai menulis dan membaca), tentu pujangga-pujangga Arab yang profesional,di mana mereka tidak hanya pandai menulis danmembaca tetapi juga ahli dalamsastra, gramatikal bahasa arab, dan balaghahnya akan bisa membuat seperti Al-Qur’an,sehingga jelaslah bahwa Al-Qur’an itu bukan buatan manusia

c.      menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasan manusia,karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mempu mendatangkan kitab tandingan yang sama seperti Al-Qur’an,yang telah ditantangkan kepada mereka dalamberbagai tingkat dan bagian Al-Qur’an

d.      menunjukkan kelemahan daya upaya dan rekayasa umat manusia yang tidak sebanding dengan keangkuhan dan kesombongannya[3]


Fungsi ijazul Qur’an

Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT (QS: Al A’raaf:2) yang memiliki fungsi dan peran sebagai:

1.      Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw

2.      Pedoman hidup bagi setiap Muslim

3.      Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya        .

Al Quran tidak diragukan lagi sebagai pedoman hidup bagi setiap muslim. Di dalamnya terdapat ayat-ayat yang mengajak pada kebajikan dan kebenaran, menuju hidup yang lebih baik. Tidak hanya berisi tata cara berinteraksi dengan Sang Pencipta, melainkan juga etika bermu’amalah dengan sesama manusia, maupun dengan makhluk lainnya.. Ada kalanya penyebutan di Al Quran secara global saja, dan Hadits Nabi Muhammad SAW berfungsi sebagai penjelasnya.

Karena diturunkan terakhir atau pamungkas, maka Al Quran berfungsi sebagai korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya. Sementara sebagai mu’jizat Rasulullah Muhammad SAW, Al Quran sudah tidak ada tandingannya lagi, bahkan jika seluruh makhluk bersekutu untuk membuat sebuah surat yang sama dengan al Quran[4]

4.                  Macam-macam I’jazul Qur’an

Orang yang mengamati al-Qur’an dengan cermat, mereka akan mengetahui bahwa al-Qur’an merupakan gudang berbagai disiplin ilmu dan pengetahuan, baik ilmu-ilmu lama maupun ilmu-ilmu baru. Dalam menjelaskan macam-macam I’jazil Qur’an ini-pun para ulama berbeda pendapat. Hal ini disebabkan karena perbedaan tinjauan masing-masing dari mereka. Setidaknya ada beberapa poin I’jazul Qur’an, yaitu seperti berikut ini :

a.       I’jazul Balaghi yaitu kemukjizatan segi sastra balaghahnya. Al-Qur’an adalah suatu kitab yang sangat piawai dalam ilmu Balaghah. Sebab setiap kalimat yang ada dalam Al-Qur’an dapat mewakili suatu makna dan maksud dari kalimat tersebut.

b.      I’jazut Tasyri’i  yaitu kemukjizatan segi pensyariatan ajarannya. Ajaran-ajarannya yang selalu eksis dalam situasi dan kondisi apapun. Cara pensyariatannya yang simpatik dan menarik tanpa ada pemaksaan.

c.       I’jazul Ilmi yaitu kemukjizatan dalam segi ilmu pengetahuan. Jumlah ayat-ayat tentang ilmu dalam Al-quran mencapai 750 ayat yang mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan

d.      I’jaz di bidang pemberitaannya tentang hal-hal yang ghaib. Ghaib di sini ada 4 yaitu:

·         Ghaib berita-berita zaman dahulu yang menceritakan tetang waktu terdahulu.

·         Ghaib tetang masa datang, ghaib adalah sesuatu yang tidak bisa dilihat atau diketahui oleh manusia.

·         Ghaib tetang kenyataan-kenyataan ilmiah yang baru diketahui kebenarannya ribuan tahun setelah Al-Qur’an diturunkan.

·         Ghaib tetang kejadian-kejadian besar yang akan menimpa kaum muslim sepeninggal Rasulullah SAW.

e.       I’jaz dari segala perubahan, segala sesuatu yang ada di dunia ini mesti mengalami perubahan, harus tunduk pada hukum dunia, mengalami usia usang, tetapi Al-Qur’an tidak pernah tunduk pada hukum dunia, Al-Qur’an tidak pernah usang.

f.       I’jazul Adadi, yaitu kemukjizatan bilangan-bilangan dalam Al-Qur’an. I’jaz ini baru ditemukan. Misalnya, sholat wajib ada lima waktu., ternyata ketika di teliti kalimat shalawat (jamak dari sholat) yang berkaitan dengan sholat wajib, di jumpai bilangannya ada lima kalimat dalam al-Qur’an. Kemudian Sholat lima waktu ini ada 17 rekaat, Abu Zahra meneliti kalimat fardhu ini di dalam Al-Qur’an, dan semua kalimat fardhu dengan berbagai derajatnya berjumlah 17 kalimat. Lalu kalimat qasr (memendekkan bilangan rekaat dalam sholat ketika dalam perjalanan), di sebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 11 kali, ternyata ketika dihitung jumlah rekaat dalam sholat qasr sehari semalam, juga 11 rekaat, yaitu, Zuhur 2, Ashar2, Magrib 3, Isya’ 2, dan Subuh2. Kalimat tawaf, tercatat dalam Al-Qur’an ada tujuh kalimat. Itu adalah sebagian dari mukjizat bilangan dala Al-Qur’an.[5]



5.                  Segi-segi I’jazul Qur’an dan Fungsinya

Untuk menentukan segi-segi I’jazul Qur’an, para ulama berbeda pendapat antara lain:

a.       Syekh Abu Bakar Al-Baqillany, dalam kitab I’jazil Qur’an mengatakan Al-Qur’an menjadi mukjizat itu karena 3 kemukjizatan,yaitu

1)      Di dalam Al-Quran itu ada cerita mengenai hal-hal ghaib

2)      Di dalam Al-Quran itu ada cerita umat terdahulu beserta para Nabinya,padahal Rasulullah SAW adalah seorang ummi

3)      Di dalam Al-Quran terdapat susunan indah yang terdiri dari 10 segi: Ijaz, tasybih, isti’arah, talaum, jawashil, tajamus, tasyrif, tadhim, mubalaghah, dan husnul bayan.

b.      Al-Qadhi Iyad Al-Basty dalam buku asy-syifa’u bi ta’rifi huquqil musthafa,mengatakan segi-segi kemukjizatan Al-Quran itu ada 4,yaitu:

1)      Susunannya yang indah

2)      Uslubnya yang lain dari pada yang lain

3)      Adanya berita ghaib yang belum terjadi,tetapi betul-betul terjadi

4)      Adanya berita ghaib masa lalu dan syariat tedahulu yang jelas dan benar

c.       Imam Al-Qurthuby dalam tafsir al-jami’u ahkamil quran mengatakan segi-segi kemukjizatan yaitu:

1)      Susunanya yang indah

2)      Uslubnya berbeda dengan seluruh uslub bahas Arab

3)      Isi aturan halal haram

4)      Pengaturan bahasa yang utuh-bulat

5)      Adanya berita mengenai peristiwa kejadian-kejadian dunia yang belum terdengar[6]

Ada juga yang menyebutkan segi-segi i’jazul Qur’an yaitu :

Gaya bahasa

Gaya bahasa Al-Qur’an membuat orang arab pada saat itu merasa kagum dan terpesona. Al-Qur’an secara tegas menetang. Semua sastrawan para orator arab untuk menandingi ketinggian Al-Qur’an  baik bahasa maupun susunanya. Setiap kali mereka mencoba menandingi, mereka mengalami kesulitan dan kegagalan dan bahkan mendapat cemohan dari masyarakat.

Diantara pendusta dan musyrik arab pada saat itu berusaha untuk menandingi ialah Musailimah Kadzdzab dan tokoh-tokoh masyarakat arab lain pada waktu itu yang ingin menandingi kalam Allah itu, namun selalu mengalami kegagalan.

Hukum Illahi yang Sempurna

Al-Qur’an pokok aqidah , norma-norma keutamaan, sopan santun,undang-undan, ekonomi, politik, sosial dan kemasyarakatan,serta hukum-hukum ibadah.apabila kita memperhatikan pokok-pokok ibadah, kita akan memperoleh kenyataan bahwa islam telah memperluasnya dan menganekaragamkan serta meramunya menjadi ibadah amaliah, seperti zakat dan sedekah. Ada juga yang berupa ibadah amaliah sekaligus ibadah badaniah, seperti berjuang di jalan Allah.

Tentang aqidah Al-Qur’an mengajak umat manusia pada aqidah yang suci dan tinggi yakni beriman kepada Allah yang maha agung, menyatakan adanya nabi dan rasul serta mempercayai kitab samawi.

Dalam bidang undang-undang, Al-Qur’an telah menetapkan kaidah-kaidah mengenai perdata,pidana,politik, dan ekonomi. Adapun mengenai hubungan internasional, Al-Qur’an telah menetapkan dasar-dasar yang paling sempurna dan adil, baik dalam keadaan damai maupun terang.[7]




Berisi beberapa ilmu pengetahuan

Dalam Al-Quran banyak berisi benih dari cabang-cabang ilmu pengetahuan, Al-Quran itu seolah-olah bagaikan gudang yang penuh berbagai pengetahuan dalam berbagai segi kehidupan manusia

Disamping itu, di dalamnya juga penuh bibit ilmu dan acuan di bidang syariat,muamalah,jinayah,dan sebagainya.


6.                  Pendapat para ulama tentang kemukjizatan Al-Qur’an

a.      Az-Zarksy

Kemukjizatan Al-Quran disepakati seluruh ulama, perbedaanya hanya terletak pada bentuk dari mukjizat Al-Quran itu seperti susunan bahasanya,berita ghaib,kisah-kisah masa lampau,isi hatiorang,maknanya yang dalam,puncak kefasihan, memiliki balaghah yang tidak seorang Arab pun mampu menyamainya.keseluruhan kelebihan itulah yang menjadikan Al-Quran itu sebagai mukjizat

b.      Az-Zarqani

Kemukjizatan Al-Quran terletak pada bahasanya,keutuhan susunannya, sehingga setiap surat meskipun ayat-ayatnya turun secara berangsur-angsur atau sekaligus terasa kokoh ikatannya,berisi ilmu pengetahuan, memenuhi kebutuhan manusia seperti perbaikan aqidah,akhlaq,ibadah.peran wanita,politik, ekonomi,dan sebagainya. Sikapnya terhadap ayat qauniyah bisa berupa dorongan untuk bisa menimbulkan kesadaran keagungan Allah,pemberitaan yang ghaib

c.       Subhi ash-Shalih

Al-Quran berisi ushlub yang serasi, kaya dengan irama dan alunan musik[8]




BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Ijazul Qur’an ialah menampakkan kebenaran Nabi dalam pengakuannya sebagai seorang Rasul, dengan menampakkan kelemahan orang Arab untuk menghadapi mukjizatnya yang abadi, yaitu Al-Qur’an, dan kelemahan generasi-generasi sesudah mereka dan mukjizat adalah sesuatu hal luar biasa yang disertai tantangan dan selamat dari perlawanan.

Dan Al-Qur’an al-Karim digunakan Nabi untuk menantang orang-orang Arab tetapi mereka tidak sanggup menghadapinya, padahal mereka sedemikian tinggi tingkat fasahah dan balaghahnya. Hal ini tiada lain karena Al-Qur’an adalah mukjizat.

Mukjizat adalah suatu hal yang luar biasa yang dianugrahkan oleh Allah kepada Nabi/ Rasul-Nya untuk membuktikan kebenaran kenabian atau kerasulannya.

I’jazul Qur’an mempunyai beberapa tujuan, yaitu :

1.         Untuk membuktikan kerasulan Nabi Muhammad SAW

2.        Untuk membuktikan bahwa kitab suci Al-Qu’an benar-banar wahyu dari Allah.

3.        Untuk menunjukkan balaghah bahasa manusia.

4.         Untuk menunjukkan kelemaan daya upaya dan rekayasa manusia

Al-Qur'an adalah wahyu Allah SWT (QS: Al A’raaf:2) yang memiliki fungsi dan peran sebagai:

1.      Mu'jizat bagi Rasulullah Muhammad saw

2.      Pedoman hidup bagi setiap Muslim

3.      Korektor dan penyempurna terhadap kitab-kitab Allah yang sebelumnya       

Mukjizat yang diberikan kepada Nabi Muhammad dan nabi-nabi yang lain ada dua jenis, yaitu Hissi dan Maknawi.



PENUTUP

Demikianlah makalah yang kami uraikan. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila banyak kesalahan dalam penulisan dan pemaparan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, dan menambah keyakinan kita kepada Allah SWT.




DAFTAR PUTAKA

Buchori, Didin Saefuddin, Pedoman Memahami Kandungan Al-Qur’an (Bogor:

Granada Sarana Pustaka, 2005),

Djalal, Abdul, Ulumul Qur’an, (Surabaya: Dunia Ilmu, 2012)

Suhadi, Ulumul Qur’an, (Kudus: Nora Media Enterprise,2011)

http://kangmahfudz.blog.com/2014/10/06/ijazul-quran/

http://multazam-einstein.blogspot.com/2012/12/makalah-ijazul-quran.html